"Nara! Tri!" Mendengar suaranya dipanggil, Iwas mengurungkan niat membuka pintu mobil. Vira dan Nia terlihat berlari-lari kecil ke arahnya. "Kalian baru datang ya? Lho, kamu kenapa, Tri?" Vira heran melihat rambut Gayatri yang awut-awutan. Mata Gayatri juga basah seperti orang yang baru menangis. Sepertinya malah masih. Karena dua butir air mata tiba-tiba meloncat, saat Gayatri mengedipkan mata."Masih bertanya lagi? Bukannya kamu yang memberitahu ibu kalau aku ada di sini?" Iwas memelototi Vira. Ia yakin Vira lah yang mengatakan pada keluarganya kalau dirinya ada di restaurant ini. Makanya mereka jadi berbondong-bondong datang ke restaurant."Kok kamu nuduh aku sih, Nar? Aku sama sekali nggak tahu apa-apa lho!" Vira menaikkan alisnya. Ia emosi dituduh yang tidak-tidak. "Kalau bukan kamu, siapa lagi? Cuma kita bertiga yang akan berkumpul di sini?" cetus Iwas tak kalah emosi. "Kamu juga yang bilang kalau ingin menunda pernikahan pada Ibu 'kan?" Iwas tidak memberi kesempatan Vira unt
"Setelah sepuluh tahun berlalu, apa kabarmu, Gayatri Harimurti?" Pak Ilham membuka percakapan. Gayatri tersenyum kecil. Waktu boleh berlalu. Namun cara Pak Ilham memanggilnya sama persis seperti dulu. Yaitu menyebut namanya secara lengkap. Kenangan saat menjadi murid Pak Ilham keluar dengan sendirinya."Kabar saya baik, Pak. Bapak bagaimana?" Gayatri berbasa basi."Bapak sudah lebih baik sekarang. Tidak bisa Bapak pungkiri, Bapak memang sangat marah pada ayahmu dulu. Namun sekarang Bapak sudah mengikhlaskan semuanya," ungkap Pak Ilham jujur. "Sekali lagi saya minta maaf atas apa yang sudah dilakukan oleh ayah saya dulu. Waktu itu saya juga sedang bingung. Makanya saya tidak bisa berbuat banyak untuk membela Bapak.""Bapak tidak pernah menyalahkanmu, Gayatri. Kamu masih anak-anak waktu itu."Mata Gayatri berkaca-kaca. Pak Ilham tidak pernah membencinya rupanya."Yang membuat Bapak kecewa itu ayahmu. Ayahmu menghukum orang yang ia anggap salah dengan cara membabi buta. Tapi seperti yan
Gayatri merapikan penampilannya sekali lagi pada pantulan kaca lift, sebelum melangkah keluar. Pagi ini ia ke kantor Harsa untuk menandatangani dokumen-dokumen penjualan hotel. Karena Hotel Grand Mediterania telah dibalik nama menjadi namanya, maka Gayatri datang seorang diri. Kehadiran ayahnya sudah tidak diperlukan lagi. Gayatri menghampiri staff front desk di depan ruangan Harsa. Ada dua orang gadis muda yang duduk di belakang meja. Kedua gadis muda itu langsung berdiri ketika melihat Gayatri berjalan mendekat."Selamat pagi. Ibu Gayatri Harimurti ya?" sapa si gadis bersanggul cepol muda sopan. "Benar. Saya Gayatri Harimurti. Saya juga sudah membuat janji dengan Pak Harsa pukul sembilan pagi ini.""Baik. Pak Harsa dan notaris juga sudah menunggu di dalam. Mari saya antar, Bu." Staff front desk berwajah manis itu menemani Gayatri ke ruangan Harsa. Selanjutnya ditemani si gadis manis, Gayatri berjalan ke sebuah ruangan yang letaknya tak jauh dari meja front desk. Sesampai di pintu
"Di tempat perjudian Singapura. Waktu itu Ayah kalah judi dan ingin menebus kekalahan Ayah secepatnya. Makanya Ayah meminjam sejumlah uang pada Pak Bakri."Tidak ada harapan lagi. Berarti walaupun Pak Bakri berbohong mengenai jumlah hutang ayahnya, dirinya tidak bisa berbuat apa-apa juga. Karena ayahnya telah menandatangani surat perjanjian hutang piutang dengan Pak Bakri."Berarti kita akan kehilangan hotel besar yang pemasukannya menjadi biaya hidup kita sehari-hari, hanya karena kesemberonoan Ayah." Kesal Gayatri segera menutup telepon. Sebelumnya Gayatri memang sudah siap kehilangan hotel. Karena ia mengira itu memang murni kesalahan ayahnya. Namun kini, setelah ia tahu bahwa kemungkinan ia kehilangan hotel karena dipedaya oleh Pak Bakri, membuat Gayatri jengkel. Tapi Gayatri sadar, Ia tidak bisa berbuat apa-apa. Nasi telah menjadi bubur."Kalau memang ayahmu mau menjual hotel karena masalah hutang piutang, Jangan tanda tangani surat perjanjian jual beli hotel itu.""Astaga, kage
Gayatri sama sekali tidak menyangka kalau usul Iwas ternyata bisa menyelamatkan hotelnya. Saat ia kembali ke ruangan Harsa, Pak Girsang tidak bersedia lagi menangani masalah jual beli hotel. Pak Girsang mengatakan bahwa ia tidak mau terbawa-bawa jikalau terjadi masalah hukum di kemudian hari. Seperti yang Iwas katakan juga. Harsa sepertinya sudah tahu kalau masalah hutang piutang ini tidak bisa membuat ayahnya di penjara. Karena Harsa tidak mengatakan apa-apa saat Gayatri mengatakan bahwa ia siap menerima gugatan dari Pak Bakri. Walaupun begitu ayahnya masih saja was-was. Istimewa ayahnya tahu bahwa yang mengajarinya adalah Iwas. Ayahnya takut kalau Iwas hanya pura-pura baik. Sikap ayahnya ini Gayatri nilai wajar, mengingat perseteruan keduanya di masa lalu. "Turn left."Gayatri mengikuti intruksi navigasi dari maps ponselnya. Saat ini Gayatri tengah berkendara menuju rumah Vira yang ada di Jakarta. Vira telah membagi lokasi rumahnya melalui aplikasi peta perjalanan. "You have ar
"Pada awalnya saya juga berpikir seperti kamu. Vira pasti akan mengamuk. Tapi nyatanya tidak demikian. Vira santai saja masuk ke hotel dan meminta temannya itu berpakaian sambil mengatakan ; jangan mempermalukan diri sendiri. Itu saja. Vira bukan seperti perempuan kebanyakan. Ia lebih menggunakan akalnya daripada hatinya.""Saya mengerti, Bang. Dengan Abang menceritakan semua ini, saya jadi makin yakin dengan keputusan saya. Bahwa saya tidak mau berhubungan dalam hal apapun dengan Abang, tanpa diketahui oleh Mbak Vira.""Kenapa kamu mempersulit diri sendiri, Tri? Bukannya kamu yang jadi susah, kalau setiap kali ingin membahas tentang Zana, harus meminjam mulut Vira?" Iwas mulai kehilangan kesabaran. Gayatri ini ternyata keras hati. Sangat sulit mengubah keputusannya."Saya hanya ingin menjaga perasaan Mbak Vira, Bang. Abang harus bersyukur mempunyai pasangan seperti Mbak Vira. Karena kalau saya di posisi Mbak Vira, saya tidak akan membiarkan Abang dekat-dekat dengan perempuan mana pu
Gayatri, Iwas dan Vira ikut bernyanyi dan bertepuk tangan kala lagu selamat ulang tahun dinyanyikan. Hari ini Zana berulang tahun yang ke sebelas. Senyum manis dan tawa bahagia terus menghiasi bibir Zana. Ramainya kerabat dan teman-teman sekolah Zana membuat suasana di rumah kian semarak. Tema ulang tahun Zana ini adalah Barbie. Ada standing figure berupa dua barbie di depan ruangan. Satu yang berambut pirang dengan baju pink. Satunya lagi berambut hitam dengan pakaian warna-warni. Ada juga box ekstra besar seperti wadah barbie yang dipajang di toko-toko. Zana sendiri menggunakan gaun berwarna pink fuscia dengan rok tutu megar yang indah. "Ayo berdoa dulu, Nak. Setelah itu tiup lilinnya." Bu Nuraini mendekatkan sang putri pada kue ulang tahun istimewanya. Kue ulang tahun ini ia buat sendiri sesuai dengan permintaan sang putri. Warnanya merah muda dengan taburan sprinkle warna-warni dan mutiara. Cocok sekali dengan tema Barbie di ulang tahun putrinya ini."Baik, Bu." Zana mengangkat
"Iya, Zana. Ayo photo dengan Om Nara dan Tante Ratri. Baju kalian sudah matching 'kan?" Pak Azwar mencairkan suasana. Ia tahu kalau istrinya sudah memberi tatapan was was. Wajar, mengingat raut wajah Zana ini mirip sekali dengan Gayatri dan Nara. Kalau mereka berdiri bertiga, pasti kemiripan mereka akan semakin kentara. Masalahnya kalau ia menolak, Nara bisa makin nekad. Walau baru dua kali bertemu, Pak Azwar bisa melihat keagresifan Nara. Sifat Nara ini sangat bertolak belakang dengan Gayatri yang tenang."Sini, Zana. Kita photo ala-ala keluarga kecil Barbie," sindir Nara santai. Pak Azwar terdiam sementara Bu Nuraini tampak geram. Namun keduanya tidak bisa mengatakan apa-apa. Saat ini kartu As mereka ada di tangan Nara dan Gayatri. Mereka hanya bisa pasrah dan mengikuti keinginan Nara. Demi mempersingkat waktu, Gayatri segera memasang pose senyum gembira sambil merangkul Zana. Iwas juga memasang pose yang sama. Vira memotret beberapa kali dengan beberapa pose lagi. Dalam hati Gayat
"Ramai sekali rumah Abang sepertinya ya?" Gayatri mengamati keadaan rumah Iwas. Dirinya dan Iwas baru saja tiba. Ada dua buah mobil yang diparkir sejajar di halaman. Iwas juga parkir sejajar di sana. Sekarang halaman dipenuhi oleh tiga buah mobil. "Seperti yang saya bilang tadi. Ada seseorang yang istimewa ingin bertemu denganmu." Iwas tersenyum simpul. Selain ingin mempertemukan Gayatri dengan tamunya, Sesungguhnya ia juga sudah tidak sabar ingin bertemu dengan tamu istimewa tersebut."Ayolah, Bang. Kemisteriusan sikap Abang membuat saya makin senewen saja." Gayatri mengikuti Iwas yang keluar dari mobil. Setelah Iwas menekan remote untuk mengunci pintu mobil, Gayatri melangkah lebar-lebar menuju pintu rumah Iwas."Kamu sudah sampai, Tri?" Gayatri disambut oleh ayah dan ibunya di ruang tamu. Kedua orang tua Iwas juga berada di ruangan yang sama. Hubungan orang tuanya dan Iwas memang semakin membaik dari hari ke hari."Oh, tamu istimewanya Ayah dan Ibu ya?" Gayatri meringis. Ia memang
Gayatri dan Iwas duduk bersisian di ruangan juru periksa kepolisian. Mereka berdua sedang menunggu kedatangan Vira. Pada akhirnya Gayatri bersedia memenuhi permintaan Vira. Ia dan Iwas terbang ke Surabaya tadi pagi. Dan sore ini mereka berdua sudah duduk di kantor polisi tempat Vira ditahan.Sejurus kemudian Vira masuk ke dalam ruangan dikawal oleh seorang petugas. Gayatri termangu melihat penampakan Vira. Jikalau di televisi kemarin Vira tampak sehat dan tegar, saat ini Vira terlihat depresi. Wajahnya murung dengan mata memerah. Ditambah rambutnya yang acak-acakan, Vira tampak nelangsa. Namun Vira memaksakan seulas senyum padanya dan Iwas setelah mereka duduk berhadapan."Apa kabar, Mbak?" Setelah kalimat pembukanya terucap, Gayatri menyesalinya. Pertanyaan ini bisa artikan ambigu. Salah satunya adalah mengejek keterpurukan Vira."Maaf, Mbak. Bukan maksud saya untuk menyindir keberadaan Mbak Vira di sini." Gayatri meralat kalimatnya. "Tidak apa-apa, Tri. Saya sudah mengenal kepriba
Setelah mematikan telepon, Gayatri segera membuka televisi. Vira yang kini berseragam oranye, diwawancari beberapa awak media."Semenjak saya kecil, saya sudah lama mengalami pelecehan seksua* oleh Om Danu. Saya tetap diam karena Om Danu mengancam akan membuka rahasia saya. Yaitu bahwa saya mempunyai orientasi seksua* yang menyimpang. Ya, saya adalah penyuka sesama jenis. Ketika Om Danu kembali mengetahui rahasia saya yang lainnya, ia kembali mengancam saya. Bahwa jikakau saya ingin rahasia saya aman lagi, maka saya harus mengizinkannya mengulangi perbuatannya seperti dulu. Saya melawan, yang berakhir dengan terbunuhnya Om Danu. Saya hanya membela diri.Gayatri terkesima. Ia tidak menyangka kalau Vira dengan gagah berani membuka semua rahasianya."Saya tidak pernah mencintai Narawastu Adiwangsa. Saya telah mempunyai pacar sesama jenis sejak lama sekali. Saya berpacaran dengan Nara, karena tuntutan orang tua dan kehidupan sosial saya. Mengenai Gayatri Harimurti, dia dan Nara sudah sepu
"Tidak apa-apa kalau mereka membatalkan pesanan, Pak Wayan. Selama mereka mengikuti prosedur, proses saja. Anggap saja belum rezeki mereka menginap di hotel kita." Gayatri menutup ponsel. Ia baru saja berbicara dengan pengurus hotel Grand Mediterania yang berlokasi di Ubud Bali. Semalam hingga siang hari ini, banyak tamu yang tiba-tiba membatalkan kamar yang sudah mereka pesan. Gayatri menduga hal itu ada hubungannya dengan berita-berita online yang berseliweran di media sosial.Sedari malam hingga siang ini Gayatri terus mendapat telepon dari relasi dan teman-teman dekatnya. Termasuk Citra dan juga Windy. Mereka memberinya link-link berita tentang dirinya dan Iwas yang wara wiri di tabloid online. Gayatri sama sekali tidak menduga. Kalau aksi lamaran tidak biasa Iwas akan mendapat tanggapan negatif dari netizen. Judul-judul berita yang ia baca dari berita-berita online tersebut rata-rata memojokkan dirinya dan Iwas. Malangnya nasib anak konglomerat ; dihianati kekasih, dilecehkan o
Di depan mobil, Gayatri melihat Iwas berdiri. Iwas mengembangkan sebuah poster di dada dengan tulisan ; will you make me the happiest man on earth and say yes? Bukan itu saja. Di samping kanan dan kiri Iwas tampak Citra dan Windy bertepuk tangan dan berteriak ; say yes, Bestie."Ya Allah, semoga semua kebahagiaan ini bukan mimpi," bisik Gayatri dengan bibir bergetar. "Baiklah, Bang. Mari kita sempurnakan kebahagiaan kita." Gayatri membuka pintu mobil. Ia kemudian berlari menghampiri Iwas. Ketika tinggal berjarak beberapa langkah, Gayatri menghentikan langkahnya.“I’ve been waiting for this moment all my life. And the answer is, yes!” Gayatri berteriak keras. Setelahnya ia berlari menuju Iwas yang mengembangkan kedua tangannya. Citra dan Windy berteriak gembira. Suitan dan tepuk tangan dari para pengguna jalan lainnya mengiringi kebahagiaan Gayatri dan Iwas. Beberapa orang tampak merekam aksi mereka dengan ponsel."Selamat ya, Tri, Bang Iwas." Citra memeluk Gayatri dan mengucapkan sel
Gayatri menguap lebar. Rapat baru saja ia bubarkan. Akhir-akhir ini dirinya dan segenap pengurus hotel memang bekerja lebih keras. Dengan adanya cicilan hutang yang jumlahnya tidak sedikit pada Harsa, Gayatri melakukan segala cara untuk menambah income hotel.Sembari memindai jam dinding, Gayatri memutar pinggangnya yang pegal ke kiri dan ke kanan. Gerakannya sangat hati-hati mengingat dirinya sedang mengandung. "Sudah pukul setengah tujuh rupanya," gumam Gayatri. Terlalu semangat bekerja telah membuatnya lupa waktu. Menguap lebar sekali lagi, Gayatri membereskan meja kerjanya. Setelah semua tertata rapi, Gayatri meraih tas. Ia bermaksud pulang dan beristirahat di rumah. Merogoh tas untuk mencari ponsel, Gayatri pun menelepon Pak Diman. Ia menginstruksikan agar Pak Diman menjemputnya di depan lobby. Gayatri memang meminta Pak Diman menjemputnya. Ia tadi menolak tawaran Iwas yang menelepin ingin mengantarnya pulang. Gayatri mengerti bahwa kedatangan Iwas ke Jakarta selain mengurus m
Gayatri tidak menjawab. Ia mengerutkan kening. Berpikir keras sebelum menjawab. Iwas memintanya menjawab jujur. Makanya harus hati-hati. Lebih baik ia memberi jawaban yang aman saja."Sama saja kok, Bang. Dulu maupun sekarang, saya suka-suka saja.""Begitu ya? Coba berikan alasannya." Iwas tidak mau dijawab seadanya. Ia ingin mengetahui perasaan Gayatri padanya."Alasannya? Apa ya? Sikap Abang dulu walau dingin, Abang baik pada saya. Buktinya Abang dulu bersedia memenuhi permintaan saya. Baik itu permintaan menemani ke pesta ulang tahun Citra, ataupun ke rumah sakit menemui Zana.""Kalau saya yang sekarang?" cecar Iwas lagi. "Kalau Abang yang sekarang, ya lebih ramah sih." Gayatri mulai kesulitan merangkai kata-kata. Ia memang paling tidak bisa memuji-muji orang. Setelan pabriknya memang begitu."Masa cuma begitu? Tambahin lagi dong. Kan saya minta jawabnya yang jujur." Sembari tetap fokus menyetir, Iwas memasang telinganya baik-baik. Sulit sekali rupanya meminta Gayatri mengutarakan
Iwas menjalankan kendaraan dengan hati-hati. Saat ini Gayatri tertidur dalam mobil. Kepala Gayatri bersandar nyaman di bahunya. Selama berkendara dari gerai mie ayam menuju rumah Gayatri, Gayatri terkantuk-kantuk yang berakhir dengan tertidur di bahunya. Iwas tidak tega membangunkan Gayatri. Ia tahu Gayatri kelelahan. Mendekati rumah Gayatri, Iwas melambatkan laju kendaraan sebelum benar-benar berhenti. Saat Pak Irwan membuka pintu gerbang, Iwas melajukan kendaraan dan berhenti di teras rumah. Iwas menunggu sekitar lima menit, baru ia membangunkan Gayatri. Lebih baik Gayatri istirahat di kamar saja daripada bersandar begini."Tri, bangun. Kita sudah sampai di rumahmu." Iwas mengusap-usap bahu Gayatri."Heh, sampai di rumah? Kok tidak ke hotel saja?" Gayatri tersentak saat dibangunkan Iwas. Menyadari bahwa sekarang ia sudah berada di rumah, Gayatri mendecakkan lidah. Salahnya sendiri yang ketiduran. "Kamu mau ke hotel ya? Apa kamu tidak capek, Tri? Bukannya lebih baik kalau kamu isti
"Saya dan Vira mempunyai masa lalu yang hampir sama. Jikalau Vira kerap dilecehkan oleh omnya, saya oleh ayah tiri saya." Nia memandangi langit-langit ruangan. Hari ini ia menerima kunjungan dari Gayatri dan Nara di kantor polisi. Mereka sekarang duduk berhadapan dengan sebuah meja sebagai pemisah. "Jikalau Vira dijebak omnya dengan photo-photo, saya dijebak dengan masalah finansial. Saya mempunyai dua orang adik yang masih kecil-kecil. Sementara ibu saya hanyalah ibu rumah tangga yang tidak berpenghasilan. Kalau saya mengadu, ayah tiri saya mengancam akan menceraikan ibu saya. Saya terpaksa bertahan demi ibu dan adik-adik," ungkap Nia jujur."Saya menyesal atas semuanya, Tri. Tapi mau bagaimana lagi. Nasi telah menjadi bubur," ucap Nia lesu."Saya tidak akan menghakimi masa lalu Mbak Nia, karena saya tidak berada di posisi Mbak. Yang saya sayangkan kenapa kalian berdua tidak berterus terang dari awal? Masalah kalian ini sebenarnya penyelesaiannya sederhana. Kalian cukup mengaku saja