Gayatri, Iwas dan Vira ikut bernyanyi dan bertepuk tangan kala lagu selamat ulang tahun dinyanyikan. Hari ini Zana berulang tahun yang ke sebelas. Senyum manis dan tawa bahagia terus menghiasi bibir Zana. Ramainya kerabat dan teman-teman sekolah Zana membuat suasana di rumah kian semarak. Tema ulang tahun Zana ini adalah Barbie. Ada standing figure berupa dua barbie di depan ruangan. Satu yang berambut pirang dengan baju pink. Satunya lagi berambut hitam dengan pakaian warna-warni. Ada juga box ekstra besar seperti wadah barbie yang dipajang di toko-toko. Zana sendiri menggunakan gaun berwarna pink fuscia dengan rok tutu megar yang indah. "Ayo berdoa dulu, Nak. Setelah itu tiup lilinnya." Bu Nuraini mendekatkan sang putri pada kue ulang tahun istimewanya. Kue ulang tahun ini ia buat sendiri sesuai dengan permintaan sang putri. Warnanya merah muda dengan taburan sprinkle warna-warni dan mutiara. Cocok sekali dengan tema Barbie di ulang tahun putrinya ini."Baik, Bu." Zana mengangkat
"Iya, Zana. Ayo photo dengan Om Nara dan Tante Ratri. Baju kalian sudah matching 'kan?" Pak Azwar mencairkan suasana. Ia tahu kalau istrinya sudah memberi tatapan was was. Wajar, mengingat raut wajah Zana ini mirip sekali dengan Gayatri dan Nara. Kalau mereka berdiri bertiga, pasti kemiripan mereka akan semakin kentara. Masalahnya kalau ia menolak, Nara bisa makin nekad. Walau baru dua kali bertemu, Pak Azwar bisa melihat keagresifan Nara. Sifat Nara ini sangat bertolak belakang dengan Gayatri yang tenang."Sini, Zana. Kita photo ala-ala keluarga kecil Barbie," sindir Nara santai. Pak Azwar terdiam sementara Bu Nuraini tampak geram. Namun keduanya tidak bisa mengatakan apa-apa. Saat ini kartu As mereka ada di tangan Nara dan Gayatri. Mereka hanya bisa pasrah dan mengikuti keinginan Nara. Demi mempersingkat waktu, Gayatri segera memasang pose senyum gembira sambil merangkul Zana. Iwas juga memasang pose yang sama. Vira memotret beberapa kali dengan beberapa pose lagi. Dalam hati Gayat
Iwas mengelengkan kepala beberapa kali. Sedari tadi matanya terus berkunang-kunang. Ia tidak bisa fokus melihat sesuatu. Selain itu kepalanya juga pusing. Ditambah dengan suara musik dan keriuhan kolega-kolega Vira yang asik bergoyang, kepalanya serasa mau pecah. Iwas membuka dua kancing kemejanya. Sekarang ia merasa kepanasan. Padahal ruangan ini berpendingin udara. "Pak Nara kenapa? Dari tadi saya perhatikan Pak Nara gelisah sekali?" Rudy, staff marketing Wibawa Real Estate mendekati Iwas. "Iya, Rud. Kepala saya pusing sekali. Mungkin karena suasana di sini berisik." Iwas menarik-narik kemejanya. Mencoba mencari angin dengan cara termudah. "Saya rasa sebaiknya Pak Nara istirahat saja. Masalah di sini biar saya yang menghandle." Rudi mencari solusi. Calon suami atasannya ini jelas tidak sehat. Nara terus memijat kening dengan wajah memerah. Keringat tampak bermanik di keningnya. "Baiklah. Saya akan istirahat di kamar saja. Kalau ada apa-apa telepon saya ya, Rud?" Iwas menyerah. I
"Aku harus melakukan sesuatu agar pernikahan Vira dan Bang Iwas tetap berjalan. Berpikirlah, Tri. Berpikirlah." Gayatri berjalan hilir mudik karena panik. Ia takut kembali disalahkan semua orang. "Baiklah. Mungkin ini adalah satu-satunya jalan agar Mbak Vira dan Iwas bisa tetap bersatu." Gayatri memikirkan sebuah rencana. Dengan cepat ia mengambil tas travelling dan alat-alat mandinya ke kamar Vira. Sebagai gantinya ia membawa pakaian kotor Iwas berupa kemeja dan celana Iwas yang tercecer di kamar Vira. Gayatri membuat kesan seolah-olah dirinya dan Vira berganti kamar. Setelah semuanya selesai, Gayatri menutup connecting door dan menelepon resepsionis."Hallo, Yanti. Tamu room 223 atas nama Savira Wibawa kemarin bertukar kamar dengan saya di room 224. Jadi nanti saat check out, tunangannya akan menyerahkan cardlock 224. Segera ubah nomor room di sistem ya, Yanti?""Baik, Bu Gayatri. Saya akan mengubah nomor roomnya sekarang juga."Setelah memastikan semuanya berjalan sesuai rencana,
Gayatri tercekat. Citra benar. Dirinya bukan anak kecil yang tidak mengerti perihal pembuahan. Ia hanya mencoba menyangkal demi menenangkan diri sendiri."Tri, lo hamil sama siapa? Sama Bang Iwas ya?" tebak Citra tanpa tedeng aling-aling.Setelah menimbang sejenak, Gayatri mengangguk. Citra terlalu mengenalnya. Jikalau ia berbohong pun, Citra pasti mengetahuinya."Astaga, Tri. Gue sama sekali nggak nyangka kalo lo rupanya secinta itu sama Bang Iwas." Citra menutup wajah dengan kedua tangan. Dirinya merasa gagal sebagai seorang sahabat. Karena tidak mengetahui isi hati Gayatri yang sebenarnya."Lo salah, Cit. Gue nggak cinta sama Bang Iwas," bantah Gayatri. Ia tahu akan sulit menjelaskan masalah ini pada Citra."Nggak cinta gimana? Lo hamil dua kali dengan orang yang sama. Tanpa ada ikatan apa-apa lagi. Ya ampun, Tri... Tri... cinta boleh, tapi goblok, jangan. Lo 'kan tau kalo Bang Iwas mau nikah dua bulan lagi. Lo bener-bener nyari penyakit, Tri!" Citra menepuk keningnya. Ia benar-ben
"Terima kasih, Cit. Untuk saat ini hanya dukungan yang gue butuhkan. Terima kasih karena lo selalu ada di saat-saat terburuk gue." Gayatri menyentuh tangan Citra di atas setir."Gue pernah menjadi penyebab tidak langsung kehancuran masa remaja lo, Tri. Ada penyesalan yang nggak bisa hilang dari ingatan gue. Makanya saat ini gue nggak mau lo terpuruk lagi. Lo udah kelamaan jadi korban, Tri," ujar Citra getir."Nggak apa-apa, Cit. Sekarang gue bukan anak abege lagi. Gue udah bisa mengambil keputusan sendiri. Terima kasih karena lo selalu ada untuk gue," ungkap Gayatri tulus. Citra menanggapi kalimat Gayatri dengan menggenggam sekilas tangan Gayatri di atas setir. Citra takut kalau ia terlalu banyak bicara akan membuatnya menangisi nasib Gayatri. Malang sekali nasib sehabatnya ini.***"Kebetulan kamu sudah pulang, Tri. Ayah baru saya bermaksud meneleponmu." Pak Sanwani memasukkan kembali ponselnya. Putrinya sudah pulang ternyata."Ada apa, Yah." Gayatri yang baru saja tiba di rumah dis
"Persiapan pernikahan kalian sudah berapa persen kira-kira, Vir? Was?"Bu Arini menanyakan persiapan pernikahan pada Vira dan Iwas. Malam ini ia memang sengaja mengundang Vira untuk makan malam bersama. Seperti biasa sebelum hidangan disajikan, Bu Arini berbincang-bincang sejenak dengan anggota keluarga."Ya begitulah, Bu. Pokoknya sudah diurus," sahut Iwas sambil lalu."Ya begitulah bagaimana maksudnya, Was?" Bu Arini menaikkan alisnya."Bagaimana, Vir?" Iwas mengalihkan pertanyaan pada Vira."Nanti akan dihandle oleh EO, Bu," jawab Vira singkat."Nantinya itu lho, Vir. Kapan? Pernikahan kalian itu bulan depan. Kok kalian berdua masih santai-santai begini sih?" Bu Arini uring-uringan. Tadinya ia melihat hanya Vira yang ragu karena kemunculan Gayatri. Namun sekarang Iwas juga tampak ogah-ogahan. Bu Arini takut kalau pernikahan keduanya benar-benar gagal. Impiannya melihat Iwas berkeluarga bisa pupus nantinya."Kalau kalian berdua sibuk, Ibu saja yang mengurus segala sesuatunya ya? Ibu
"Ibu!" Pak Ilham dan Iwas serempak menegur Bu Arini. Sementara Nabila melongo. Ia tidak menyangka kalau ibunya berani bertanya sefrontal itu."Ibu pertanyaannya kok begitu?" Iwas menegur ibunya. "Habisnya tingkahmu ini mirip sekali dengan ayahmu sewaktu Ibu mengidam kamu dan Nabila dulu. Makanya Ibu kira kamu mengidam karena Vira hamil." Bu Arini memberi alasan. "Tapi itu tidak bisa dijadikan patokan, Bu. Lagi pula tidak sopan menanyakan hal sepribadi itu pada Vira. Di hadapan orang banyak lagi." Pak Ilham menasehati sang istri. "Benar, Bu. Jangan sembarangan berasumsi. Apalagi masalahnya sensitif begini. Iwas hanya kecapean dan agak stress karena pekerjaan. Akhir-akhir ini Iwas banyak diundang menjadi dosen tamu di sana sini. Makanya Iwas agak keteteran mengatur waktu dengan pekerjaan di kantor notaris." Iwas memberi alasan logis. Ia tidak habis pikir dengan dugaan sang ibu yang mengatakan kalau dirinya mengidam. "Mas Iwas benar, Bu. Jangan suka asumai sendiri. Mengenai masalah s
"Ramai sekali rumah Abang sepertinya ya?" Gayatri mengamati keadaan rumah Iwas. Dirinya dan Iwas baru saja tiba. Ada dua buah mobil yang diparkir sejajar di halaman. Iwas juga parkir sejajar di sana. Sekarang halaman dipenuhi oleh tiga buah mobil. "Seperti yang saya bilang tadi. Ada seseorang yang istimewa ingin bertemu denganmu." Iwas tersenyum simpul. Selain ingin mempertemukan Gayatri dengan tamunya, Sesungguhnya ia juga sudah tidak sabar ingin bertemu dengan tamu istimewa tersebut."Ayolah, Bang. Kemisteriusan sikap Abang membuat saya makin senewen saja." Gayatri mengikuti Iwas yang keluar dari mobil. Setelah Iwas menekan remote untuk mengunci pintu mobil, Gayatri melangkah lebar-lebar menuju pintu rumah Iwas."Kamu sudah sampai, Tri?" Gayatri disambut oleh ayah dan ibunya di ruang tamu. Kedua orang tua Iwas juga berada di ruangan yang sama. Hubungan orang tuanya dan Iwas memang semakin membaik dari hari ke hari."Oh, tamu istimewanya Ayah dan Ibu ya?" Gayatri meringis. Ia memang
Gayatri dan Iwas duduk bersisian di ruangan juru periksa kepolisian. Mereka berdua sedang menunggu kedatangan Vira. Pada akhirnya Gayatri bersedia memenuhi permintaan Vira. Ia dan Iwas terbang ke Surabaya tadi pagi. Dan sore ini mereka berdua sudah duduk di kantor polisi tempat Vira ditahan.Sejurus kemudian Vira masuk ke dalam ruangan dikawal oleh seorang petugas. Gayatri termangu melihat penampakan Vira. Jikalau di televisi kemarin Vira tampak sehat dan tegar, saat ini Vira terlihat depresi. Wajahnya murung dengan mata memerah. Ditambah rambutnya yang acak-acakan, Vira tampak nelangsa. Namun Vira memaksakan seulas senyum padanya dan Iwas setelah mereka duduk berhadapan."Apa kabar, Mbak?" Setelah kalimat pembukanya terucap, Gayatri menyesalinya. Pertanyaan ini bisa artikan ambigu. Salah satunya adalah mengejek keterpurukan Vira."Maaf, Mbak. Bukan maksud saya untuk menyindir keberadaan Mbak Vira di sini." Gayatri meralat kalimatnya. "Tidak apa-apa, Tri. Saya sudah mengenal kepriba
Setelah mematikan telepon, Gayatri segera membuka televisi. Vira yang kini berseragam oranye, diwawancari beberapa awak media."Semenjak saya kecil, saya sudah lama mengalami pelecehan seksua* oleh Om Danu. Saya tetap diam karena Om Danu mengancam akan membuka rahasia saya. Yaitu bahwa saya mempunyai orientasi seksua* yang menyimpang. Ya, saya adalah penyuka sesama jenis. Ketika Om Danu kembali mengetahui rahasia saya yang lainnya, ia kembali mengancam saya. Bahwa jikakau saya ingin rahasia saya aman lagi, maka saya harus mengizinkannya mengulangi perbuatannya seperti dulu. Saya melawan, yang berakhir dengan terbunuhnya Om Danu. Saya hanya membela diri.Gayatri terkesima. Ia tidak menyangka kalau Vira dengan gagah berani membuka semua rahasianya."Saya tidak pernah mencintai Narawastu Adiwangsa. Saya telah mempunyai pacar sesama jenis sejak lama sekali. Saya berpacaran dengan Nara, karena tuntutan orang tua dan kehidupan sosial saya. Mengenai Gayatri Harimurti, dia dan Nara sudah sepu
"Tidak apa-apa kalau mereka membatalkan pesanan, Pak Wayan. Selama mereka mengikuti prosedur, proses saja. Anggap saja belum rezeki mereka menginap di hotel kita." Gayatri menutup ponsel. Ia baru saja berbicara dengan pengurus hotel Grand Mediterania yang berlokasi di Ubud Bali. Semalam hingga siang hari ini, banyak tamu yang tiba-tiba membatalkan kamar yang sudah mereka pesan. Gayatri menduga hal itu ada hubungannya dengan berita-berita online yang berseliweran di media sosial.Sedari malam hingga siang ini Gayatri terus mendapat telepon dari relasi dan teman-teman dekatnya. Termasuk Citra dan juga Windy. Mereka memberinya link-link berita tentang dirinya dan Iwas yang wara wiri di tabloid online. Gayatri sama sekali tidak menduga. Kalau aksi lamaran tidak biasa Iwas akan mendapat tanggapan negatif dari netizen. Judul-judul berita yang ia baca dari berita-berita online tersebut rata-rata memojokkan dirinya dan Iwas. Malangnya nasib anak konglomerat ; dihianati kekasih, dilecehkan o
Di depan mobil, Gayatri melihat Iwas berdiri. Iwas mengembangkan sebuah poster di dada dengan tulisan ; will you make me the happiest man on earth and say yes? Bukan itu saja. Di samping kanan dan kiri Iwas tampak Citra dan Windy bertepuk tangan dan berteriak ; say yes, Bestie."Ya Allah, semoga semua kebahagiaan ini bukan mimpi," bisik Gayatri dengan bibir bergetar. "Baiklah, Bang. Mari kita sempurnakan kebahagiaan kita." Gayatri membuka pintu mobil. Ia kemudian berlari menghampiri Iwas. Ketika tinggal berjarak beberapa langkah, Gayatri menghentikan langkahnya.“I’ve been waiting for this moment all my life. And the answer is, yes!” Gayatri berteriak keras. Setelahnya ia berlari menuju Iwas yang mengembangkan kedua tangannya. Citra dan Windy berteriak gembira. Suitan dan tepuk tangan dari para pengguna jalan lainnya mengiringi kebahagiaan Gayatri dan Iwas. Beberapa orang tampak merekam aksi mereka dengan ponsel."Selamat ya, Tri, Bang Iwas." Citra memeluk Gayatri dan mengucapkan sel
Gayatri menguap lebar. Rapat baru saja ia bubarkan. Akhir-akhir ini dirinya dan segenap pengurus hotel memang bekerja lebih keras. Dengan adanya cicilan hutang yang jumlahnya tidak sedikit pada Harsa, Gayatri melakukan segala cara untuk menambah income hotel.Sembari memindai jam dinding, Gayatri memutar pinggangnya yang pegal ke kiri dan ke kanan. Gerakannya sangat hati-hati mengingat dirinya sedang mengandung. "Sudah pukul setengah tujuh rupanya," gumam Gayatri. Terlalu semangat bekerja telah membuatnya lupa waktu. Menguap lebar sekali lagi, Gayatri membereskan meja kerjanya. Setelah semua tertata rapi, Gayatri meraih tas. Ia bermaksud pulang dan beristirahat di rumah. Merogoh tas untuk mencari ponsel, Gayatri pun menelepon Pak Diman. Ia menginstruksikan agar Pak Diman menjemputnya di depan lobby. Gayatri memang meminta Pak Diman menjemputnya. Ia tadi menolak tawaran Iwas yang menelepin ingin mengantarnya pulang. Gayatri mengerti bahwa kedatangan Iwas ke Jakarta selain mengurus m
Gayatri tidak menjawab. Ia mengerutkan kening. Berpikir keras sebelum menjawab. Iwas memintanya menjawab jujur. Makanya harus hati-hati. Lebih baik ia memberi jawaban yang aman saja."Sama saja kok, Bang. Dulu maupun sekarang, saya suka-suka saja.""Begitu ya? Coba berikan alasannya." Iwas tidak mau dijawab seadanya. Ia ingin mengetahui perasaan Gayatri padanya."Alasannya? Apa ya? Sikap Abang dulu walau dingin, Abang baik pada saya. Buktinya Abang dulu bersedia memenuhi permintaan saya. Baik itu permintaan menemani ke pesta ulang tahun Citra, ataupun ke rumah sakit menemui Zana.""Kalau saya yang sekarang?" cecar Iwas lagi. "Kalau Abang yang sekarang, ya lebih ramah sih." Gayatri mulai kesulitan merangkai kata-kata. Ia memang paling tidak bisa memuji-muji orang. Setelan pabriknya memang begitu."Masa cuma begitu? Tambahin lagi dong. Kan saya minta jawabnya yang jujur." Sembari tetap fokus menyetir, Iwas memasang telinganya baik-baik. Sulit sekali rupanya meminta Gayatri mengutarakan
Iwas menjalankan kendaraan dengan hati-hati. Saat ini Gayatri tertidur dalam mobil. Kepala Gayatri bersandar nyaman di bahunya. Selama berkendara dari gerai mie ayam menuju rumah Gayatri, Gayatri terkantuk-kantuk yang berakhir dengan tertidur di bahunya. Iwas tidak tega membangunkan Gayatri. Ia tahu Gayatri kelelahan. Mendekati rumah Gayatri, Iwas melambatkan laju kendaraan sebelum benar-benar berhenti. Saat Pak Irwan membuka pintu gerbang, Iwas melajukan kendaraan dan berhenti di teras rumah. Iwas menunggu sekitar lima menit, baru ia membangunkan Gayatri. Lebih baik Gayatri istirahat di kamar saja daripada bersandar begini."Tri, bangun. Kita sudah sampai di rumahmu." Iwas mengusap-usap bahu Gayatri."Heh, sampai di rumah? Kok tidak ke hotel saja?" Gayatri tersentak saat dibangunkan Iwas. Menyadari bahwa sekarang ia sudah berada di rumah, Gayatri mendecakkan lidah. Salahnya sendiri yang ketiduran. "Kamu mau ke hotel ya? Apa kamu tidak capek, Tri? Bukannya lebih baik kalau kamu isti
"Saya dan Vira mempunyai masa lalu yang hampir sama. Jikalau Vira kerap dilecehkan oleh omnya, saya oleh ayah tiri saya." Nia memandangi langit-langit ruangan. Hari ini ia menerima kunjungan dari Gayatri dan Nara di kantor polisi. Mereka sekarang duduk berhadapan dengan sebuah meja sebagai pemisah. "Jikalau Vira dijebak omnya dengan photo-photo, saya dijebak dengan masalah finansial. Saya mempunyai dua orang adik yang masih kecil-kecil. Sementara ibu saya hanyalah ibu rumah tangga yang tidak berpenghasilan. Kalau saya mengadu, ayah tiri saya mengancam akan menceraikan ibu saya. Saya terpaksa bertahan demi ibu dan adik-adik," ungkap Nia jujur."Saya menyesal atas semuanya, Tri. Tapi mau bagaimana lagi. Nasi telah menjadi bubur," ucap Nia lesu."Saya tidak akan menghakimi masa lalu Mbak Nia, karena saya tidak berada di posisi Mbak. Yang saya sayangkan kenapa kalian berdua tidak berterus terang dari awal? Masalah kalian ini sebenarnya penyelesaiannya sederhana. Kalian cukup mengaku saja