"Nar, kenapa kamu tiba-tiba menanyakan soal nomor kamar hotel sih? Aku jadi penasaran." Vira menggamit lengan Nara. Acara makan malam telah usai. Ia akan pulang ke rumah sekarang. Karena ia tadi datang sendiri. Maka ia akan pulang sendiri. Seperti inilah gaya berpacarannya dengan Nara. Ia tidak suka diantar jemput ke sana ke mari seperti perempuan tidak berdaya. Dirinya adalah seorang perempuan mandiri yang tidak suka merepotkan orang lain."Nggak apa-apa, Vir. Aku cuma iseng saja." Iwas berupaya mengelak. Tidak mungkin ia menceritakan kalau ia merasa telah berkasih mesra dengan seorang perempuan entah siapa di dalam hotel bukan? Sebijaksana-bijaksananya Vira, pasti ia akan mengamuk jikalau mengetahui bahwa ada kemungkinan ia telah tidur dengan perempuan lain. "Oh cuma iseng toh," ucap Vira singkat. Padahal ia mencurigai sesuatu. Nara tadi tampak gelisah saat ia menyebutkan nomor kamarnya. Namun Vira memilih untuk tidak melanjutkan pertanyaannya. Nara terkesan enggan membahasnya le
Gayatri mengangkat bahu. Ia pura-pura cuek. Padahal sebenarnya ia sangat tegang. Ia sempat takut Pak Bakri tidak menyetujui usulnya. Setelah Pak Bakri keluar dari ruang kerja, Gayatri menarik napas lega. Ia menghirup napas dalam-dalam hingga paru-parunya mengembang. Satu masalah selesai. Tinggal satu masalah lagi. Gayatri mengelus perut datarnya. Masalah yang ini, tinggal menunggu waktu saja ledakannya."Tri," Gayatri sontak menghentikan elusannya, saat pintu ruangan terbuka. Harsa masuk ke dalam ruangan dengan seorang gadis kecil yang memeluk pahanya. Aimee, putri Harsa dan Novi. Bayi kecil yang saat baru lahir ia jenguk dulu, sudah besar rupanya."Ayah bilang saya harus menandatangani beberapa berkas ya?" Harsa menggandeng tangan putri kecilnya. Putrinya yang pemalu tampak enggan melangkah melihat kehadiran orang asing di rumahnya."Begitulah, Mas." Gayatri mengedikkan bahu. Tatapannya terarah pada Aimee yang berusaha menahan sedu-sedannya. Bekas-bekas air mata masih menggantung di
Iwas tiba di Sumatera Persada Hotel pada pukul tujuh kurang lima menit. Seperti yang ia duga, petugas front desk yang bertugas bername tag Mariyanti. Iwas tidak langsung mendatangi front desk untuk check ini. Ia sengaja duduk di lobby sembari menunggu pengganti shift Yanti. Dugaannya pengganti Yanti nantinya bernama Raisa, sesuai dengan pembicaraan yang ia dengar di telepon kemarin malam. Yanti akan bertukar shift dengan Raisa pada pukul tujuh pagi.Sejurus kemudian, seorang wanita muda dengan seragam yang sama dengan Yanti mendekati front desk. Apa yang ia tunggu-tunggu sudah datang. Gadis muda inilah yang menerima cardlocknya saat check out sebulan yang lalu. Iwas masih mengingat andeng-andeng di pipi kanannya. Tanpa menunggu lama, Iwas langsung berjalan menuju front desk. Dugaannya benar. Name tag gadis muda itu adalah Raisa Sundari."Selamat pagi. Saya Narawastu Adiwangsa. Tunangan Savira Wibawa, tamu yang check in pada tanggal 10 Agustus lalu di room 233. Namun pada tanggal 12 Ag
"Ibu Gayatri Harimurti, Pak. Bu Gayatri lah yang menelepon ke saya sekitar pukul 06.00 pagi dan mengatakan bahwa tunangan Bapak telah meminta pertukaran kamar dengannya. Makanya Bu Gayatri meminta saya mengubah sistem agak sinkron satu sama lain."Saat nama Gayatri disebut, Iwas sontak terduduk. Benang merah satu persatu mulai menemukan ujungnya. Bisa jadi perempuan yang ia mesrai itu adalah Gayatri. Tapi kenapa ia bisa tertidur di kamar Gayatri? Yang lebih menakutkan lagi. Apakah ia kembali melakukan sesuatu pada Gayatri saat ia tidak sadar seperti sepuluh tahun yang lalu? Mengingat ia terbangun dalam keadaan polos. Lantas mengapa Gayatri menutupi semuanya dengan cara menukar kamar mereka?Iwas terduduk di sofa. Sungguh ia tidak mengerti mengapa hal ini bisa terulang kembali. Walau ia dalam keadaan separuh sadar pada malam itu, respon tubuhnya mengatakan bahwa ia telah melakukan sesuatu. Ada sisa-sisa rasa puas dan nikmat yang tertinggal di tubuhnya. Dirinya seorang laki-laki dewasa.
"Abang ngomong apa? Saya tidak mengerti?" Berpikir,Tri. Berpikir. Jangan sampai salah menjawab."Kamu tidak capek berbohong terus, Tri? Masih mau mengelak? Baiklah. Akan saya ikuti maumu. Oh ya, sebagai bukti keseriusan saya untuk mengupas misteri ini, saya akan mengirimkan kamu sesuatu."Iwas mematikan ponsel. Sebagai gantinya ia mengirim sebuah photo. Darah Gayatri tersirap melihat photo Iwas yang berlatar Sumatera Persada Hotel. Bukan itu saja. Iwas juga berphoto dengan background Yanti dan Raisa yang sedang bertugas di meja front desk. Bahu Gayatri mencelos. Ia tidak bisa mengelak lagi. Iwas pasti telah mengetahui aksi menukar kamarnya. "Kamu sudah melihat di mana saya berada bukan? Sekarang terus terang saja. Apa yang terjadi malam itu? Seingat saya, Vira menyerahkan cardlock 223 pada saya, dan sudah saya konfirmasikan kebenarannya dengan Vira. Tapi kenapa saya terbangun di kamar 224? Apa yang terjadi sebenarnya? Apa kamu merencanakan sesuatu lagi, Tri?""Abang bertanya pada sa
Keadaan Iwas kurang lebih sama. Karena ia sekarang sudah terduduk di atas closet. Seketika ingatan akan kejadian malam itu berputar bagai slide film di kepalanya. Rasa gelisah dan panas yang membuatnya melepas pakaiannya. Pintu connecting room yang terbuka. Rasa penasarannya hingga masuk ke kamar sebelah. Gundukan lembut dibalik selimut yang membuat darahnya mendidih, hingga ia terbangun dengan rasa puas dan nikmat di titik tertentu tubuhnya. Semua itu ia rasakan. Ternyata noda-noda di sprei itu bukan hanya berasal dari tubuhnya. Melainkan dari tubuh Gayatri juga."Kenapa kamu tidak membangunkan saya waktu itu?" Iwas meremas rambutnya. Ia telah melakukan kesalahan yang sama dua kali dengan orang yang sama pula."Sudah, Bang. Tapi Abang tidak terbangun. Saya juga panik waktu itu. Saya takut sekali kalau Mbak Vira memergoki kita berdua. Satu-satu yang saya pikirkan waktu itu adalah meminimalisir keadaan. Saya kemudian menukar nomor room dan meminta Yanti mengubahnya ke dalam sistem.""
Gayatri bolak-balik menatap pintu kaca kafe. Ia sudah membuat janji untuk bertemu dengan Pak Bakri di kafe ini. Tadinya Gaytri ingin bertemu dengan Pak Bakri di rumahnya saja. Namun Pak Bakri menolak. Alasannya ia tidak mau Harsa mengetahui pertemuan mereka.Pintu kaca bergoyang. Harapan Gayatri membumbung. Semoga saja itu Pak Bakri. Ia stress karena di rumah kedua orang tuanya terus membahas masalah pernikahannya dengan Harsa. Tebakannya benar. Pak Bakri masuk ke dalam kafe. Namun Pak Bakri tidak datang sendiri. Ada Aimee yang mengandeng lengannya."Tante mommy!" Gayatri terkesiap saat Aimee melepas tangan Pak Bakri dan menghambur ke arahnya duduk. Di belakang Aimee, Pak Bakri mengekori cucunya."Maaf, Pak. Mengapa Bapak membawa Aimee ke sini?" ucap Gayatri keheranan. Namun tak urung ia menyambut juga pelukan Aimee walau kaku. Terlahir sebagai anak tunggal, membuatnya tidak luwes menghadapi anak kecil."Karena kakek bilang, kakek mau bertemu dengan mommy baru Ai, makanya Ai minta iku
"Benar sekali. Saya tidak menyukaimu. Dari pertama kali bertemu dulu, saya tidak pernah menyukaimu. Perempuan dingin, sombong dan keras kepala sepertimu bukan kriteria menantu idaman saya. Ditambah dengan keadaanmu sekarang ini, membuat saya semakin tidak menyukaimu," aku Pak Bakri terus terang. Tapi demi Harsa dan Aimee, saya mengalah. Saya bersedia menerimamu sebagai menantu untuk menebus kesalahan-kesalahan saya dulu." Sembari mengadu geraham, Pak Bakri menyelesaikan kalimatnya.Misi telah gagal!"Aimee, sini. Kita sudah mau pulang. Pamit dulu dengan Tante mommy." Pak Bakri melambaikan tangan pada Aimee. Ia menyelamati dirinya sendiri yang sanggup bertahan menghadapi Gayatri selama beberapa menit ini. Padahal ia sangat shock mendengar keadaan Gayatri. "Oke, Kakek." Aimee berlari mendekat setelah menghabiskan minuman dinginnya."Bagaimana, Kek. Tante mommy mau kan jadi mommy Aimee?""Harus mau. Tante Mommy akan segera menjadi mommymu. Pamit dulu pada Tante mommy. Kita harus segera
"Ramai sekali rumah Abang sepertinya ya?" Gayatri mengamati keadaan rumah Iwas. Dirinya dan Iwas baru saja tiba. Ada dua buah mobil yang diparkir sejajar di halaman. Iwas juga parkir sejajar di sana. Sekarang halaman dipenuhi oleh tiga buah mobil. "Seperti yang saya bilang tadi. Ada seseorang yang istimewa ingin bertemu denganmu." Iwas tersenyum simpul. Selain ingin mempertemukan Gayatri dengan tamunya, Sesungguhnya ia juga sudah tidak sabar ingin bertemu dengan tamu istimewa tersebut."Ayolah, Bang. Kemisteriusan sikap Abang membuat saya makin senewen saja." Gayatri mengikuti Iwas yang keluar dari mobil. Setelah Iwas menekan remote untuk mengunci pintu mobil, Gayatri melangkah lebar-lebar menuju pintu rumah Iwas."Kamu sudah sampai, Tri?" Gayatri disambut oleh ayah dan ibunya di ruang tamu. Kedua orang tua Iwas juga berada di ruangan yang sama. Hubungan orang tuanya dan Iwas memang semakin membaik dari hari ke hari."Oh, tamu istimewanya Ayah dan Ibu ya?" Gayatri meringis. Ia memang
Gayatri dan Iwas duduk bersisian di ruangan juru periksa kepolisian. Mereka berdua sedang menunggu kedatangan Vira. Pada akhirnya Gayatri bersedia memenuhi permintaan Vira. Ia dan Iwas terbang ke Surabaya tadi pagi. Dan sore ini mereka berdua sudah duduk di kantor polisi tempat Vira ditahan.Sejurus kemudian Vira masuk ke dalam ruangan dikawal oleh seorang petugas. Gayatri termangu melihat penampakan Vira. Jikalau di televisi kemarin Vira tampak sehat dan tegar, saat ini Vira terlihat depresi. Wajahnya murung dengan mata memerah. Ditambah rambutnya yang acak-acakan, Vira tampak nelangsa. Namun Vira memaksakan seulas senyum padanya dan Iwas setelah mereka duduk berhadapan."Apa kabar, Mbak?" Setelah kalimat pembukanya terucap, Gayatri menyesalinya. Pertanyaan ini bisa artikan ambigu. Salah satunya adalah mengejek keterpurukan Vira."Maaf, Mbak. Bukan maksud saya untuk menyindir keberadaan Mbak Vira di sini." Gayatri meralat kalimatnya. "Tidak apa-apa, Tri. Saya sudah mengenal kepriba
Setelah mematikan telepon, Gayatri segera membuka televisi. Vira yang kini berseragam oranye, diwawancari beberapa awak media."Semenjak saya kecil, saya sudah lama mengalami pelecehan seksua* oleh Om Danu. Saya tetap diam karena Om Danu mengancam akan membuka rahasia saya. Yaitu bahwa saya mempunyai orientasi seksua* yang menyimpang. Ya, saya adalah penyuka sesama jenis. Ketika Om Danu kembali mengetahui rahasia saya yang lainnya, ia kembali mengancam saya. Bahwa jikakau saya ingin rahasia saya aman lagi, maka saya harus mengizinkannya mengulangi perbuatannya seperti dulu. Saya melawan, yang berakhir dengan terbunuhnya Om Danu. Saya hanya membela diri.Gayatri terkesima. Ia tidak menyangka kalau Vira dengan gagah berani membuka semua rahasianya."Saya tidak pernah mencintai Narawastu Adiwangsa. Saya telah mempunyai pacar sesama jenis sejak lama sekali. Saya berpacaran dengan Nara, karena tuntutan orang tua dan kehidupan sosial saya. Mengenai Gayatri Harimurti, dia dan Nara sudah sepu
"Tidak apa-apa kalau mereka membatalkan pesanan, Pak Wayan. Selama mereka mengikuti prosedur, proses saja. Anggap saja belum rezeki mereka menginap di hotel kita." Gayatri menutup ponsel. Ia baru saja berbicara dengan pengurus hotel Grand Mediterania yang berlokasi di Ubud Bali. Semalam hingga siang hari ini, banyak tamu yang tiba-tiba membatalkan kamar yang sudah mereka pesan. Gayatri menduga hal itu ada hubungannya dengan berita-berita online yang berseliweran di media sosial.Sedari malam hingga siang ini Gayatri terus mendapat telepon dari relasi dan teman-teman dekatnya. Termasuk Citra dan juga Windy. Mereka memberinya link-link berita tentang dirinya dan Iwas yang wara wiri di tabloid online. Gayatri sama sekali tidak menduga. Kalau aksi lamaran tidak biasa Iwas akan mendapat tanggapan negatif dari netizen. Judul-judul berita yang ia baca dari berita-berita online tersebut rata-rata memojokkan dirinya dan Iwas. Malangnya nasib anak konglomerat ; dihianati kekasih, dilecehkan o
Di depan mobil, Gayatri melihat Iwas berdiri. Iwas mengembangkan sebuah poster di dada dengan tulisan ; will you make me the happiest man on earth and say yes? Bukan itu saja. Di samping kanan dan kiri Iwas tampak Citra dan Windy bertepuk tangan dan berteriak ; say yes, Bestie."Ya Allah, semoga semua kebahagiaan ini bukan mimpi," bisik Gayatri dengan bibir bergetar. "Baiklah, Bang. Mari kita sempurnakan kebahagiaan kita." Gayatri membuka pintu mobil. Ia kemudian berlari menghampiri Iwas. Ketika tinggal berjarak beberapa langkah, Gayatri menghentikan langkahnya.“I’ve been waiting for this moment all my life. And the answer is, yes!” Gayatri berteriak keras. Setelahnya ia berlari menuju Iwas yang mengembangkan kedua tangannya. Citra dan Windy berteriak gembira. Suitan dan tepuk tangan dari para pengguna jalan lainnya mengiringi kebahagiaan Gayatri dan Iwas. Beberapa orang tampak merekam aksi mereka dengan ponsel."Selamat ya, Tri, Bang Iwas." Citra memeluk Gayatri dan mengucapkan sel
Gayatri menguap lebar. Rapat baru saja ia bubarkan. Akhir-akhir ini dirinya dan segenap pengurus hotel memang bekerja lebih keras. Dengan adanya cicilan hutang yang jumlahnya tidak sedikit pada Harsa, Gayatri melakukan segala cara untuk menambah income hotel.Sembari memindai jam dinding, Gayatri memutar pinggangnya yang pegal ke kiri dan ke kanan. Gerakannya sangat hati-hati mengingat dirinya sedang mengandung. "Sudah pukul setengah tujuh rupanya," gumam Gayatri. Terlalu semangat bekerja telah membuatnya lupa waktu. Menguap lebar sekali lagi, Gayatri membereskan meja kerjanya. Setelah semua tertata rapi, Gayatri meraih tas. Ia bermaksud pulang dan beristirahat di rumah. Merogoh tas untuk mencari ponsel, Gayatri pun menelepon Pak Diman. Ia menginstruksikan agar Pak Diman menjemputnya di depan lobby. Gayatri memang meminta Pak Diman menjemputnya. Ia tadi menolak tawaran Iwas yang menelepin ingin mengantarnya pulang. Gayatri mengerti bahwa kedatangan Iwas ke Jakarta selain mengurus m
Gayatri tidak menjawab. Ia mengerutkan kening. Berpikir keras sebelum menjawab. Iwas memintanya menjawab jujur. Makanya harus hati-hati. Lebih baik ia memberi jawaban yang aman saja."Sama saja kok, Bang. Dulu maupun sekarang, saya suka-suka saja.""Begitu ya? Coba berikan alasannya." Iwas tidak mau dijawab seadanya. Ia ingin mengetahui perasaan Gayatri padanya."Alasannya? Apa ya? Sikap Abang dulu walau dingin, Abang baik pada saya. Buktinya Abang dulu bersedia memenuhi permintaan saya. Baik itu permintaan menemani ke pesta ulang tahun Citra, ataupun ke rumah sakit menemui Zana.""Kalau saya yang sekarang?" cecar Iwas lagi. "Kalau Abang yang sekarang, ya lebih ramah sih." Gayatri mulai kesulitan merangkai kata-kata. Ia memang paling tidak bisa memuji-muji orang. Setelan pabriknya memang begitu."Masa cuma begitu? Tambahin lagi dong. Kan saya minta jawabnya yang jujur." Sembari tetap fokus menyetir, Iwas memasang telinganya baik-baik. Sulit sekali rupanya meminta Gayatri mengutarakan
Iwas menjalankan kendaraan dengan hati-hati. Saat ini Gayatri tertidur dalam mobil. Kepala Gayatri bersandar nyaman di bahunya. Selama berkendara dari gerai mie ayam menuju rumah Gayatri, Gayatri terkantuk-kantuk yang berakhir dengan tertidur di bahunya. Iwas tidak tega membangunkan Gayatri. Ia tahu Gayatri kelelahan. Mendekati rumah Gayatri, Iwas melambatkan laju kendaraan sebelum benar-benar berhenti. Saat Pak Irwan membuka pintu gerbang, Iwas melajukan kendaraan dan berhenti di teras rumah. Iwas menunggu sekitar lima menit, baru ia membangunkan Gayatri. Lebih baik Gayatri istirahat di kamar saja daripada bersandar begini."Tri, bangun. Kita sudah sampai di rumahmu." Iwas mengusap-usap bahu Gayatri."Heh, sampai di rumah? Kok tidak ke hotel saja?" Gayatri tersentak saat dibangunkan Iwas. Menyadari bahwa sekarang ia sudah berada di rumah, Gayatri mendecakkan lidah. Salahnya sendiri yang ketiduran. "Kamu mau ke hotel ya? Apa kamu tidak capek, Tri? Bukannya lebih baik kalau kamu isti
"Saya dan Vira mempunyai masa lalu yang hampir sama. Jikalau Vira kerap dilecehkan oleh omnya, saya oleh ayah tiri saya." Nia memandangi langit-langit ruangan. Hari ini ia menerima kunjungan dari Gayatri dan Nara di kantor polisi. Mereka sekarang duduk berhadapan dengan sebuah meja sebagai pemisah. "Jikalau Vira dijebak omnya dengan photo-photo, saya dijebak dengan masalah finansial. Saya mempunyai dua orang adik yang masih kecil-kecil. Sementara ibu saya hanyalah ibu rumah tangga yang tidak berpenghasilan. Kalau saya mengadu, ayah tiri saya mengancam akan menceraikan ibu saya. Saya terpaksa bertahan demi ibu dan adik-adik," ungkap Nia jujur."Saya menyesal atas semuanya, Tri. Tapi mau bagaimana lagi. Nasi telah menjadi bubur," ucap Nia lesu."Saya tidak akan menghakimi masa lalu Mbak Nia, karena saya tidak berada di posisi Mbak. Yang saya sayangkan kenapa kalian berdua tidak berterus terang dari awal? Masalah kalian ini sebenarnya penyelesaiannya sederhana. Kalian cukup mengaku saja