"Selesai sif, Pak?" Nanda mengambil pulpen dari tanganku setelah aku menyelesaikan tanda tangan beberapa keterangan inventaris dan presensi."Iya." Aku masih terkejut dengan keberaniannya mengambil milikku tanpa izin seperti biasa sampai-sampai mulutku terbuka hingga pertanyaan Nanda berikutnya."Langsung pulang?""Enggak, sih. Ada janji." Kepalaku mendongak ke sisi kanan, mengingat pesan terakhir dari grup rese sebelum beralih pada Nanda yang mengembalikan pulpen ke saku jasku. "Kamu langsung ke asrama, kan?"Kekehan ringan Nanda ditutupi papan alas dalam pegangannya hanya menampakkan mata sipit yang dihiasi alis lurus dan rapi. "Ya mau gimana lagi, Pak. Mau keluar, enggak tahu jalan di kota sini."Aku baru memperhatikan. Entah. Mungkin karena baru beberapa hari terakhir Nanda jadi teman bicara sejak Mas Agus dipindahkan ke VIP. Perawat lain masih enggan mendekat denganku setelah Mbak Risa berhenti kerja karena pernikahan."Rantau?" tebakku ketika sadari Nanda mengiringi langkah di ko
Malam dari ketinggian. Hotel yang dipesan Elzar di pertengahan kota memang enggak menjulang tinggi seperti kebanyakan hotel baru. Namun, kesejukan dikelilingi pepohonan menjadi perbedaan kenyamanan paling dasar yang menjadi kelebihan tempat ini. Tentu karena posisinya juga berada di atas bukit.Balkon berpagar kayu yang menjadi tempatku dan Nanda memisahkan diri dari para orang gila dalam ruangan menampakkan lampu-lampu perkotaan yang tampak seperti bintang di lautan. Atap-atap menghilang dalam kegelapan."Sorry, tadi mereka ngasih kamu wine." Rasanya aku lagi enggak minta maaf kalau membelakanginya.Entah hanya dugaan saja atau memang benar, anggur dalam gelasku memberi efek panas ke seluruh tubuh. Biasanya alkohol menyisakan kehangatan di kerongkongan hingga perut, bukan sampai lapisan kulit."Boleh nanya enggak, Pak?" Nanda merapat di sampingku, turut menumpukan lengan pada pembatas kayu yang sama."Silakan." Kusesap lagi cairan kemerahan dari pinggiran gelas di tangan. Kepalaku mul
"Nanda kenapa, Mas?" tanya Mbak Dara yang menyambut brankar Nanda begitu masuk pintu IGD."Hipotermia. Kontra obat. Intoleransi alkohol." Aku menjawab cepat.Dokter jaga di pertengahan malam itu pasti kaget melihatku yang masih berselimut jubah mandi hotel saat menunggu pemeriksaan Nanda sambil menjawab rinci kemungkinan diagnosis. Pihak medis harus mengurai belitan berlembar-lembar handuk dan selimut ketika harus mencari jalur vena untuk pemasangan infus, tentunya juga memasang alat monitoring karena detak jantung dan intensitas napas Nanda masih rendah."Bagaimana ceritanya Nanda ketemu alkohol sama obat?" Lirikan yang tertuju padaku seperti paduan khawatir dan marah, terpampang nyata dari kerutan di kening Mbak Dara. Wanita berpenutup kepala itu sempat menggeleng."Afrodisiak sintetis." Kusebutkan jenisnya, bukan merek. Menyebutkan nama yang mudah dicari dalam penjelajahan internet bisa saja menjerumuskan orang lain untuk mencoba mendapatkan obat yang sama."Mas Abra? Ini nyawa oran
"Pagi, Sayang ...." Aku menguap setelah membuka tampilan layar ponsel dan menemukan wajah Aya tampil. Ah, tidur di kursi menyakiti punggung, aku perlu peregangan."Baru bangun?" tanya Aya. Wajahnya tampak semringah, segar di jam ... arlojiku menunjukkan jam sembilan lewat."Iya, semalam ada kasus darurat." Kuletakkan ponsel bersandar pada tumpukan buku dan aku berdiri merentangkan tangan ke atas sejauh mungkin kemudian menggerakkan kepala hingga suara patahan terdengar."Tadi Mama ngirimin makanan lewat ojol. Sampai?"Kuperhatikan, Aya meletakkan ponselnya, seperti di penyangga menghadap ranjang kami. Dia terlihat bolak-balik di ruangan. Aya sepertinya terbiasa mengenakan kaus milikku, seperti enggak pakai celana di baliknya kalau tertutupi hingga ke paha.Tunggu, dia tadi bilang apa? Kiriman makanan?Aku kembali duduk dan mendapati tas bekal berlapis kemasan merek salah satu layanan pengiriman daring di dekat bingkai foto. Di depannya tergeletak kertas pesan dari Nanda, "Disuruh antar
Tubuhku remuk tanpa istirahat setelah semalaman mengontrol keadaan beberapa pasien yang masuk IGD. Mungkin beberapa gelas kopi dan kisah para perawat yang mengajak bicara di antara tumpukan berkas cukup menghibur.Seperti seramnya koridor dengan segala suara bisikan, rintih, bahkan berbagai kekacauan benda jatuh tanpa tahu asalnya. Apa itu lucu? Mengingatnya saja bisa membuatku tertawa. Selama mengambil sif malam, belum bertemu kejadian aneh selain petugas keamanan yang berkeliling dan menawarkan dagangan istrinya dari krim perawatan sampai pakaian dalam."Baru pulang, Bra?" Aya muncul dari balik pintu kamar mandi kamar setelah aku merebahkan diri pada empuknya permukaan kasur yang tidak kusentuh selama beberapa hari terakhir.Sebelum masalah Nanda, aku memang lebih banyak beristirahat di ruangan dokter, menunggu panggilan dadakan, atau minimal menghindari Aya yang mampu membangkitkan gejolak panas seketika. Hasilnya jauh lebih panas daripada efek obat yang sempat masuk beberapa hari l
Enggak bisa pulang dulu kayaknya. Undangan dari Nanda untuk menjelajahi bagian terdalam dirinya sangat menggugah selera. Aku enggak bakal munafik jika tergoda dengan kegelapan nan hangat yang menyambut.Obat perangsang itu memang mengundang panas dan gelenyar denyutan pada inti gairah. Namun, perbuatan amoral itu pilihan. Bahkan tanpa afrodisiak, Nanda melemparkan dirinya padaku hingga berakhir di bawah selimut yang sama tanpa penghalang. Bulir keringatku bahkan belum kering sepenuhnya setelah melepas ledakan yang selama ini tertunda di dalam Nanda.Khawatir?Enggak. Nanda bilang kalau tamu bulanannya baru selesai dan semburat kemerahan yang tercetak setelah penaklukan dinding pertamanya membuat rasa bersalah kembali menghantamku."Pak?""Iya."Panggilan dari suara Nanda spontan membuatku mengangkat wajah dari belakang daun telinganya.Lengkung yang terbentuk dari kelopak matanya begitu polos bak remaja yang menemukan kesenangan baru dari kata bebas. Senyuman lebar Nanda menampakkan tu
"Sebenarnya kita mau ke mana sih, Nan?"Aku bertanya setelah melalui belokan ke kanan pada simpang tiga di depan mal besar. Sepanjang jalan dipenuhi jejeran pertokoan bermerek, tempat karaoke, bahkan kafe-kafe besar. Melalui jalan dua arah lurus dengan kecepatan rata-rata menggodaku untuk menekan pedal gas di bawah sepatu dalam-dalam kalau saja Nanda tidak melarang.Katanya, "Aturan berkendara di sini sangat ketat.Alhasil, kakiku seolah menggantung pada pedal nanggung. Jari-jariku hanya bisa mengetuk pinggiran roda kemudi seiring lagu yang mengalun dari saluran radio.Sesekali Nanda mengikuti lirik lagu sampai terpejam ketika bergoyang di bangkunya, seperti, "Than a moment, than a moment, love."Kebanyakan bahasa asing yang enggak kumengerti. Apalagi kata-kata yang mengiringinya."Lurus aja sampai ketemu lapangan, Pak." Nanda masih mengarahkan setiap aku kedapatan bertemu tatap dengannya.Kesan yang kutangkap darinya?Ceria.Bergejolak.Perawat dengan gelar ahli muda di usia dua puluh
"Bapak yakin bisa ngalahin aku?"***Kesepakatan itu akhirnya menjadi bumerang tersendiri. Meski hanya permainan, permintaannya untuk hubungan yang lebih jelas selain teman tidur justru harus kusetujui. Bermandikan keringat karena berlomba mengendarai sepeda sewaan di sepanjang jalan terusan menuju Melawai, gairah masih belum mampu dibendung. Sosok Nanda terlampau menggoda dalam pakaian yang dialiri peluh dan air minum karena kami sempat saling menyiram air mineral yang dibeli.Baru menutup pintu dari dalam kamar hotel yang kusewa, Nanda langsung menyambar pinggangku dari belakang. Jari-jari lentiknya seolah berusaha menjelajah dan menemukan tegangan yang semakin mengeras karena sentuhannya."Sabar, Nan." Kutarik kedua tangan Nanda keluar, berbalik dan menghadapinya dengan menawarkan sekali ciuman singkat. "Aku masih bau.""Keringatmu malah bikin keliatan menggoda, Pak." Desahannya seolah menggaung dalam kepala. Berulang-ulang. Sejak kapan Nanda yang polos berubah menjadi singa betina