Aku belum bisa berhenti tersenyum karena tingkah kekanakan Nanda dalam berbicara atau berlaku di luar profesi nakes.Dia membisikkan sesuatu."Charmander? Yang benar aja!" Bukan enggak tahu, hanya enggak habis mikir alasannya menggunakan karakter animasi asal Jepang itu. Aku kira hanya angkatan 90-an yang masih doyan sama kartun lawas itu."Jin maunya kalau pacaran pakai panggilan itu."Siapa lagi itu? "Jin? Jin ifrit?""Jin BTS, Pak. Abra." Cubitannya kembali disarangkan pada pinggangku.Kalau dipikir lagi selera musik Nanda sepanjang berada di mobilku setiap disambungkan dengan ponselnya, jangan bilang ...."Idol Korea. Boyband." Bibirnya merengut maju saat aku memutar, menghadapinya sambil menekuk lutut biar sejajar dan memegangi kedua bahunya. "Kamu enggak tau?"Aku menggeleng, merasa enggak pernah kenal nama yang disebutkannya. Aku cuma tahu kalau cowok asal negara ginseng itu punya karakter wajah yang mirip. Susah dihafal."Kalau Charmander?""Tapi itu karakter anime, Nan!""Pak
Aku baru keluar dari kamar mandi ketika melihat Aya membongkar isi koper. Perasaan enggak nyembunyiin apa-apa di sana, tapi kok jantungku berdebar-debar?Kulepaskan belitan handuk di pinggang setelah mengambil kaus dan celana kargo selutut dari lemari. Kalau memperhatikan pergerakan Aya dari pantulan cermin, sepertinya ada yang berubah dari bentuk tubuhnya. Semakin kentara dibanding terakhir kali kusentuh. Mungkin ukuran dalamannya naik beberapa nomor. Kenapa malah mikir ke itu?“Bra? Ini punya siapa?” Atensiku terdistraksi dengan pertanyaannya saat berkacak pinggang dan memperlihatkan botol kaca langsing berlogo salah satu merek impor yang enggak mungkin dibeli murah.Kuhampiri Aya dan merangkul pinggangnya sambil memperhatikan botol yang dipegang. Sepertinya bukan barang palsu. Aku pernah lihat salah satu parfum serupa milik Caca, tapi enggak mungkin itu dari dalam koperku.Bisa jadi ..., “Punyaku.” Aku tertegun mengingat kemungkinan yang bisa terjadi.“Sejak kapan pakai parfum gini?
Baru kembali dari ruang rawat inap tempat salah satu pasienku dipindahkan, langkahku di koridor terpaksa dihentikan kemudian berpindah ke belakang tiang beton yang cukup melindungi diri. Aku mengintip dua sosok wanita yang belakangan mewarnai hidupku sedang bertemu di persimpangan. Aya istriku, dan Nanda yang menjadi pacarku.Wait, pacar?Sebelum bersama Nanda, siapa yang kuakui sebagai pacar? Aya saja kusebut sebagai calon istri.Aku belum pernah berminat berpacaran selain menjadikan seseorang teman kencan. Kebanyakan dari kaum venus memilih memutus hubungan dariku jika keinginan mahal mereka tidak dipenuhi. Yah, seperti kencan di tempat mewah terus menerus atau harus makanan mahal.Nanda enggak seperti itu. Pertemuan kami hanya sebatas urusan gairah yang harus dipuaskan.Kudengar suara Nanda bertanya, “Istrinya Pak Abra?”“Iya.”“Pak Abra-nya masih ada pasien. Perlu diantar ke ruangan?”“Ah, iya. Terima kasih. Saya duluan saja.”Bisa kudengar langkah sepatu kets Aya yang familier mel
"Abra!" Caca langsung menanggapi pelukan yang kuberikan. Sepertinya dia mengusap wajah di bagian dada jasku sampai enggak sadar riasannya berantakan. Kentara dominasi kelabu menodai sepanjang bagian kiri.Hufh ..., kayaknya harus buang jas lagi. Napasku sampai perlu diembuskan melalui mulut sebelum mengambil inisiatif mengusap belakang kepalanya sampai isakan yang terdengar benar-benar reda."Randy, Bra." Caca menyebutkan nama penghuni brankar yang baru ditarik ke dalam ruang tindakan."Iya. Aku tahu." Ya, keadaannya enggak termasuk dalam daftar mengenaskan kalau dilihat secara kasat mata. Kudorong bahu Caca menjauhi jasku. "Kayaknya kamu perlu cuci muka deh, Ca.""Luntur, ya?" Gadis dari pemilik salah satu perusahaan konstruksi raksasa yang sebenarnya bersaing dengan Ayah itu lebih memilih mengambil cermin dari tas tangan yang dibawanya daripada mengasihani jasku. "Ya Tuhan! Kacaunya! Punya sabun cuci muka, Bra? Atau pembersih riasan?"Selalu. Para wanita sepertinya memang punya hal-h
Sepatuku mengetuk lantai sepanjang koridor menuju ruang dokter. Sedikit dipercepat, aku jadi enggak sabar bertemu seseorang yang menunggu di sana. Namun, ternyata ada seseorang yang mengikuti, bahkan sepertinya berusaha menyejajari langkah di sisi."Pulang, Pak?" Suaranya masih terdengar manis meski menggunakan sapaan formal. Dia masih mengikuti perjanjian kami untuk tetap menggunakan percakapan seperti biasa selama berada di rumah sakit."Iya.""Pak Abra kapan punya waktu lagi?""Maaf, Nan." Aku enggak berniat menyediakan kesempatan berpaling lagi. Jujur, aku juga ngerasa jahat karena menjadikan Nanda pelarian selama Aya sulit didekati.Padahal sebelum bertemu dengan Aya, aku enggak perlu merasa bersalah pada siapa pun jika ingin mendua, tiga, atau bahkan mengumpulkan para kekasih dalam satu ranjang sekaligus.Siapa yang menolak?Tergantung. Apa yang mereka mau dariku? Enggak mau, yah tinggal pergi."Maaf?" Langkah Nanda berhenti di belakangku. Lebih tepatnya menghentakkan dasar sepat
Kudorong pintu masuk salah satu ruang paviliun di bagian gedung VIP dan langsung disambut keadaan yang sangat jauh berbeda dengan ruangan biasa di bagian umum. Ruangan didominasi warna jingga pada dindingnya menampilkan susunan sofa dan meja makan. Ah, belum masuk kamar pasien. Hanya ada Caca yang masih berbaring menghadap sandaran sofa sambil menggeser layar ponsel."Gimana keadaan Randy?" Aku menarik kursi dari meja makan dan membuka salah satu stoples camilan dari sana."Sudah baikan." Bisa terdengar helaan berat saat Caca bangkit menyandarkan punggungnya pada sofa putih itu."Dia bakal dipindahin ke rehabilitasi?""Mau gimana lagi? Salahnya sendiri make dosis tinggi."Kuraih segenggam kacang goreng dari dalam stoples, memasukkan satu per satu dalam mulut untuk dikunyah sambil mendekati sosok gadis yang masih saja fokus dengan layar ponselnya. "Aku enggak lihat ada bekas suntikan kemarin?""Bisa aja dia pakai bong atau obat oral."Ah, benda yang digunakan untuk mengubah serbuk menja
"Nan ... da?" Aku terbelalak melihat sosoknya ternyata berada di paviliun VIP.Nanda menunduk, meringis saat menyebut, "Aku ternyata cuma barang." Hidungnya merona kemerahan meski tidak meneteskan air mata."Kamu? Kenapa bisa di sini?" Masih terkejut, aku belum bisa menghindar meski bisa saja aku masuk lagi dalam kamar Randy atau memilih meninggalkannya lebih dulu keluar."Selamat ulang tahun!" Nanda memberi kotak hitam bertuliskan label merek yang menurutku enggak murah untuk kantong petugas medis. Dia lanjut bicara, "Bu Dara baru selesai sif beberapa menit yang lalu," dan berlari pergi."Nan! Nanda!"Percuma kupanggil. Nanda sudah lebih dulu menghilang memasuki lift."Wah, korban baru?" Elzar muncul dari koridor tangga, berjalan sambil memasukkan tangan pada kedua saku celananya. "Dikasih kado, nih.""Lo kalau mau jenguk, langsung masuk aja. Ada Caca di dalam." Aku menunjuk arah pintu masuk salah satu ruangan di paviliun.Sempat menoleh pada sosok berpakaian formal itu lalu tatapanku
"Ada perlu apa lagi, Yah?" Aku langsung bicara pada inti pertemuan kali ini setelah memesan pada pelayan yang mampir ke meja kami. "Jujur, Abra sedang tidak ingin berdebat kali ini."Ruangan pribadi yang Ayah pesan di salah satu resto terkemuka kota ini menjadi sasaran penglihatanku sebelum melihat langsung pada sosoknya di ujung meja sejauh dua kursi dari tempatku duduk. Pria tua itu sibuk menikmati makan siang yang porsinya hanya sebatas pertengahan piring saji."Kenapa hal seperti ini bisa lolos ke publik?" tanya Ayah tanpa melihat keberadaanku. Beliau masih saja sibuk dengan garpu dan pisaunya.Salah satu pengawal Ayah mendekat seraya menyerahkan amplop besar ke hadapanku. Isinya? Foto-foto kedekatanku bersama Nanda ketika berada di kota sebelah. Beberapa keintiman tidak disengaja memang jelas terlihat, tetapi masih sangat samar untuk dijadikan skandal."Hanya ini?" Kulemparkan lembaran yang menurutku tidak berharga itu ke tengah meja. "Masalah buat Ayah?""Mereka mengancam Ayah ak
"Kamu yang jemput?" Aku menjawab panggilan suara setelah memastikan barang-barang yang dibawa ke ruang rawat inap sudah lengkap masuk dalam tas besar."Enggak suka?" Suara Aya terdengar merajuk. "Aku balik aja lagi kalau gitu."Lucu aja, sih. Aya yang manja seperti ini biasanya cuma ketemu pas dia lagi hamil. Kalau lagi mode normal, banyakan cueknya.Atau jangan-jangan .... Ah, enggak. Belum ada ngapa-ngapain kok semenjak nifasnya selesai. Aku juga masih mikirin kondisi tubuh Aya yang mungkin kesulitan semenjak operasi.Ujungnya, aku cuma terkekeh ketika diantarkan pihak medis berpakaian APD lengkap melalui lorong keluar dari bangsal karantina. Kebanyakan ruangan memang kosong, tetapi bangsal yang terisi tampak miris.Kayaknya belakangan yang diterima karantina hanya untuk kasus khusus.Aku mendengar beberapa selentingan mengenai isolasi mandiri jika terlular tanpa gejala membahayakan. Lumayan, kalau memang benar, efeknya bisa mengurangi penuhnya IGD seperti yang belakangan terjadi."
Beberapa orang yang masuk ruanganku menggunakan seragam APD datang berbaris. Dokter paling depan jelas kukenali, sementara orang-orang di belakangnya mungkin dokter baru yang bertugas mencatat dan membawa perlengkapan."Sudah enakan?" tanya Iren, sambil menggerakkan diaphgram stetoskop di dadaku sementara yang lain melakukan pemeriksaan terhadap laju cairan infus, bahkan mengambil urin yang sengaja diminta."Lumayan." Aku mengangguk, jauh lebih baik setelah menelepon Aya dan mendapat tontonan biru secara pribadi.Masih kebayang gimana panasnya Aya ketika memainkan puncak di depan tubuhnya sambil memejamkan mata. Caranya memanggil namaku dengan sangat sensual.Sulit menahan diri untuk tidak pergi ke kamar mandi meski harus membawa tiang infus dan penyangga tabung oksigen.Mengingat Aya saja sudah bisa membuatku tegang kembali. Sial!"Usahakan tidak stres, atur pola makan, dan perbanyak istirahat, ya." Pesan Iren, selaku dokter yang menanganiku kali ini.Dalam sehari ada dua kali kunjun
Lepas masker sesampai di rumah, aku melihat lagi citra luar dari jendela kaca yang terlindungi vitrase dan menyamarkan keberadaanku. Penguntit tadi memang tidak mengikuti lagi, tetapi mobil berkaca riben dengan plat nomor yang sama berkali-kali melintas."Baru pulang?" Suara lembut datang menyusul terbukanya pintu dari ruangan di belakangku, mamanya Abra. Tangis rendah menyertai dalam gendongannya."Udah dari tadi, Ma." Aku bergegas mencapai keran di bak cuci, mencuci tangan dan wajah sebelum mengambil bayi dari wanita yang juga aku panggil 'mama' itu."Maureen belum tidur?" tanyaku meski tahu jawabannya hanya sebatas senyum dan binar.Dia salah satu alasanku bertahan hidup meski tidak lagi memiliki keluarga. Dia salah satu alasanku mencoba menetapkan hati pada Abra. Entah bagaimana perasaan papanya yang jujur padaku.Setiap kata cinta atau rindu yang terucap dari bibirnya selalu meninggalkan perih, sangat dalam."Sudah telepon Abra?" Mama terlihat menutup tirai yang melapisi vitrase.
"Masih belum mau bicara juga?" Andi keluar dari konter dapur membawa pisau daging. Dari gerakannya sih aku nebaknya si barista cuma membersihkan pisau, tapi efeknya ternyata menakutkan bagi si penguntit."Saya cuma disuruh. Ampun." Lelaki berpakaian lengkap dengan topi kupluknya itu bak wartawan pengejar berita di sekitar kehidupan Elzar.Tidak dimungkiri, pernah dalam hubungan saling menguntungkan dengan si artis yang cuma modal wajah dan tubuh itu cukup memberiku informasi tentang kehidupan entertain di luar sana. Segala keluhan pekerjaan hingga larangan memiliki hubungan pribadi membuat kami mencapai satu kesepakatan kontrak dulu.Dulu sekali, sebelum ketemu Abra kembali."Transaksinya gimana?" Abyan mengambil ponsel si penguntit dari rampasan Aris.Model lama ponsel yang digunakan hanya untuk panggilan suara dan pesan singkat itu tidak memberi petunjuk. Layar penampil pesan dan panggilan terakhir benar-benar kosong,"Saya dihubungi menggunakan nomor pribadi," aku pria tua itu samb
"Jangan terlalu naif deh, Ya." Lagi-lagi pemilik nama lengkap Natasha Wiratama itu menertawakanku. Matanya menghilang di balik lengkungan setiap tertawa.Kalau boleh sedikit percaya diri, pantas saja Abra memilih bersamaku dibanding anak orang kaya ini. Terlalu banyak hal aneh yang aku dapati ketika bicara dekat dengannya, tetapi hanya dia kan yang bisa aku ajak bicara untuk sementara ini?Menoleransi kekurangan orang lain sebenarnya bukanlah kebiasaanku. Aku lebih mudah menarik diri jika merasa tidak nyaman atau menjadi berbahaya ketika merasa terancam.Naif? Yang aku tahu pengertian dari kata naif itu hanya dua, lugu atau bodoh. Mungkin aku termasuk yang kedua. Sudah mengetahui tanda jika dibodohi, tetapi masih saja terus berada di sisi seseorang yang memanfaatkanku.Caca condong maju ke arahku. Ujung-ujung rambut pendeknya mengikuti arah gravitasi, menebar di sisi pipi.Dengan sorot serius, dia bilang, "Di keluarga ini terlalu banyak mata dan telinga. Semua emang punya niatan salin
Bagianku dimulai dari sini, ketika harus menunggu kabar Abra bisa sadar semenjak dia masuk ruang intensif khusus. Komplikasi yang dijelaskan dokter juga di luar dugaanku.Seingatku Abra itu bukan perokok. Tidak pernah aku menemukan aroma tembakau di pakaiannya, hanya sesekali wangi parfum wanita atau bercak sisa lipstik.Anggaplah aku tidak terlalu peduli. Selama dia tidak mencari masalah denganku, aku mungkin bisa menghargai ruang yang diinginkannya meskipun semakin lama ternyata melubangi hatiku sendiri."Aku paling benci berharap pada manusia tau, Ca." Itu yang sebenarnya aku rasakan ketika Caca terus mengorek masalah yang belakangan mempengaruhi hubunganku dengan Abra.Berharap pada manusia itu seperti memberi kesempatan bagi kecewa untuk menghancurkan diri, seperti yang aku alami di masa lalu. Harapan untuk bisa lulus sekolah dengan damai dan bisa kuliah di luar negeri pun pupus seketika.Aku membenci dan ingin menghapus garis waktu di masa itu, tetapi berakhir menjadi jarak tak
Proses pemakaman berlangsung cepat. Lagian, di masa penyebaran virus seperti sekarang, kerumunan masih sangat dilarang. Jadi, tidak banyak orang yang bertandang ke rumah Mbak Dara.Hanya ... kebiasaan warga setempat yang kerap mengadakan pengajian sebagai bentuk doa bagi jenazah dan keluarga yang ditinggalkan."Di mana Randy?" tanya Caca ketika bertemu di pelataran rumah dan membiarkan dua anak lelaki yang bersamanya masuk ke dalam.Kami memilih berada di luar kerumunan dan melihat orang-orang yang melintas masuk bergantian ke dalam rumah. Aku belum bertemu Randy lagi semenjak dia ikut mengantarkan suami Dara ke tempat peristirahatan terakhir.Sesekali aku bersin, mungkin efek tidak tidur semalaman dan dingin mengigit meski telah mengenakan jaket tebal."Ikut pengajian di dalam?" jawabku datar setelah menengok dari ambang pintu. Benar, saudara dari istri keduaku ini sedang berkomat-kamit melihat buku kecil dalam pegangannya."Randy? Ngaji?" Caca hampir-hampir tidak percaya dan ikut me
"Hei! Hei! Ada apa?" Randy tiba di lorong depan ICU. Dia ikut berjongkok seperti Mbak Dara yang masih menangis semenjak keluar dari ruang tempat sang suami ditangani."Mas Khalil, Ran ...." Kedua tangan Dara menyatu di depan wajah, tampak bergetar dan memucat.Aku tahu pasti keinginan Randy untuk menenangkan Mbak Dara, terlihat dari kedua tangannya yang menggantung di samping Mbak Dara. Namun, tidak ada yang terjadi. Mbak Dara memeluk diri sendiri dan terus tenggelam di antara lututnya."Kenapa?" Terlihat frustrasi, Randy menghampiri aku yang memilih berdiri di dekat pintu masuk ruang ICU."Masih nunggu." Aku mengangguk ragu sambil menunjuk ke arah pintu.Ya, aku juga masih merinding setelah melihat kondisi pasien secara langsung. Jemariku saja bergerak tidak tentu di wajah. Terkadang menutup keseluruhan, terkadang hanya mengusap ujung hidung yang beberapa kali terasa gatal."Lo kenapa muncul di sini?" singgung Randy. "Ngilang sana!""Sialan lo! Udah bagus gue bantuin Mbak Dara tadi."
Aya berdiri mantap ketika aku berbalik melihatnya. Tatapan tajam itu sangat aku kenali, penuh dengan dendam.Aku enggak takut, hanya saja ketika amarah mengambil alih emosi, mungkin saja bagi Aya melakukan hal berbahaya lagi.Ya Tuhan! Terlibat dengan tiga wanita bermasalah saja sudah membuatku terus mengeluh."Kamu bicarain apa, Ya?" Tidak sanggup aku berteriak, hanya mencicit lemah.Aya benar, aku selalu membawa sarung pengaman dulu, ketika Nanda belum menunjukkan tanda kehamilannya dan memilih menggugurkan kandungan."Pikir aja sendiri!"Aya bahkan tidak menjawab maksud dari kecurigaannya, aku jadi enggak tahu sejauh apa informasi yang dimilikinya. Mungkin nama atau tempat dia memergoki atau mengawasi aku?Bodoh! Enggak mungkinlah Aya membongkar penyamaran dengan mudah kalau bisa mendapat bukti yang lebih banyak.Dia menendang kursi yang tadi diduduki hingga besinya bertabrakan dengan kaki meja kabinet."Aya!" panggilku ketika Aya memilih menuju kamar kami. "Aku bicarain kamu! Ken