Rintik kala gelap menambah dinginnya malam. Bukan hanya kata kiasan di antara sajak yang pernah kubaca, tapi memang benar adanya ketika langit menutupi cahaya rembulan. Memang sejak kapan bisa memperhatikan permainan cahaya dari langit jika lampu-lampu jalanan yang jauh lebih semarak?
Dari balik dinding kaca yang membatasi udara luar, embun yang melapisi mampu kugores dengan lingkaran-lingkaran abstrak enggak penting, lalu temukan dia masih betah berdiri di pinggiran lorong dekat pintu masuk ruang gawat darurat. Lama tak jumpa dan aku masih saja tersenyum jika melihatnya dari kejauhan? Kenapa?Ariesta Kanaya. Gadis setinggi bahuku saat berhadapan di lorong sebelumnya terlihat garang dengan jins dan kaus berbalut jaket kulit hitamnya, ransel senada yang menggantung jauh lebih kecil dari punggungnya. Perbedaan paling kentara ialah tampilan garis hitam yang membingkai kelopak mata Aya. Tajam.Belum kutemukan duka dari pupil yang cenderung menatap kekosongan di sisiku saat mendengarkan penjelasan mengenai risiko yang mungkin terjadi dalam semalam. Ranjang ICCU yang belum ada dan percobaan anestesi sebagai pengganti obat yang tidak tersedia. Hah ... tanggung jawabku sebagai penerima tugas.Aku beralih pada mesin kopi, berusaha mengalihkan rasa bersalah yang menggelayut sambil mengisi dua gelas kertas sekaligus dengan espresso panas dan tambahan air. Sambil menunggu aliran si cairan gelap, jemariku mengetuk-ngetuk pinggiran meja, mempertimbangkan untuk menemuinya lagi atau tidak.Ternyata gerak sepatuku justru memilih menyusuri lorong hingga berada tepat di sisi Aya. Melihatnya menadah rintikan yang jarang mampu menerbitkan lengkung di bibir sampai dia sadar, aku menunggu."Eh, Dokter?" Aya menjaga jarak selangkah setelah sempat menoleh.Kusodorkan salah satu gelas di tanganku padanya. "Nunggu? Enggak ada keluarga yang lain?"Bisa terlihat garis senyumnya yang seolah dipaksakan saat meraih gelas kopi. Hampir lurus, hanya ujung naik barang sedetik. Aya menyeruput dari pinggiran gelas tanpa melirikku lagi."Tinggal berdua, Dok," ucapnya dengan nada datar disusul embusan napas panjang dan menunduk. Kuperhatikan ujung-ujung sepatu ketsnya menendang-nendang butiran air yang jatuh secara acak."Kita pernah satu sekolah, Aya. Kamu betah bicara formal dengan manggil aku 'Dok'?"Kaki kanannya berhenti di udara untuk sesaat, lalu berpijak perlahan. "Oh, ya? Aku enggak ingat." Susunan kalimatnya berubah santai saat sepatu-sepatu kets itu bergeser menghadap keberadaanku.Kembali kusesap kopi dari gelas kertas di tanganku seraya memasukkan tangan lain yang bebas dalam saku jas putih yang kukenakan sejak masuk ruang gawat darurat. Ternyata Aya memperhatikan susunan huruf yang membentuk namaku pada penanda di bagian dada kiri jas."Nathanael Abraham?" Dia ternyata menyebutkan namaku perlahan dengan intonasi tanya. Benarkah dia benar-benar tidak ingat? Atau aku yang salah orang?Enggak mungkin. Wajahnya jelas-jelas terpatri dalam setiap kenangan yang ... benar harusnya dilupakan. Sial! Terlalu menyesakkan. Kenapa rasa bersalah justru menggelayut?"Beneran enggak ingat?" Kupindahkan gelas kopi ke tangan kiri lalu mengulurkan tangan di depannya sambil menyunggingkan senyum. Kuharap tidak terlalu kaku untuk awal yang berbeda. "Bagaimana kalau berteman lagi dari awal? Aku Abra."Pandangan mata kelam Aya sempat turun pada jari-jariku yang menunggu disambut. Sedetik ... dua detik ... belum ada tanggapan. Kutolehkan kepala pada taman kecil menghadap area parkir kendaraan roda dua yang berdampingan dengan rumah makan. Tentu sudah tutup di pertengahan malam.Saat kembali melihat Aya, gadis itu berjongkok, meletakkan gelas kopinya tepat di samping tiang penyangga dan menurunkan ranselnya dari tali bahu kiri. Sebuah kartu nama yang justru mendarat di tangan kananku, bukan sambutan."Kalau perlu jasa instalasi atau perbaikan laptop, hubungi ini." Aya menunjuk deretan nomor yang tertera di baris bawah kartu hitam dengan huruf-huruf arial putih. "Mau jual bangkai laptop juga boleh. Aku bisa kasih harga bagus."Penjelasannya ternyata mampu merusak ekpektasiku tentang gadis yang irit bicara. Dia begitu mudah menjelaskan banyak hal mengenai pekerjaan lepasnya sebagai teknisi di sepanjang satu jam perkenalan yang berhasil membuatku berkali-kali menguap dan kopi tak mampu menahan lebih lama."Coba aku cek di dalam dulu, ya." Jempolku bergerak naik ke udara, mengarah pada pintu masuk IGD sambil berusaha menyunggingkan senyum. "Kamu masih nunggu di sini, kan?"Yah, aku baru menyadari jarum pada arloji di pergelangan tangan kanan sudah melewati pukul dua. Harusnya aku turut mengawasi keadaan pasien daripada menyerahkan tugas ke perawat, tapi siapa yang mengawasi? Toh, pria yang berstatus sebagai ayahnya Aya sudah terlelap setelah mendapat penenang."Mbak Risa mana?" Aku langsung bertanya pada perawat lain yang kutebak baru saat mengecek lembaran kertas di meja pendataan."Lagi dipanggil Pak Agus. Pak Abra masuk malam ini?" Dia malah melebarkan mata saat melihatku. Senyuman lebar yang ditunjukkannya ketika menyerahkan lembaran atas namaku sebagai penanggungjawab justru di saat tidak tepat.Aku malah menguap lagi, refleks menutup mulut dengan tangan kiri ketika harus membaca surat persetujuan wali pasien untuk penempatan. Ruangannya sudah ada dan untuk sementara obat yang masuk dalam tubuh pasien menggunakan injeksi. Hasil tes darah menunjukkan naiknya leukosit. Mungkin ada infeksi di dalam, atau alergi pada zat tertentu.Kuletakkan gelas kopi yang telah kosong di meja dan ingat kartu nama yang masuk dalam saku saat meninggalkan Aya. Nomornya tertera di sana, bukan? Lebih mudah menghubungi Aya daripada harus berjalan keluar.Aku segera menekan deretan nomor pada layar ponsel setelah mengeluarkannya dari saku celana. Ada beberapa pemberitahuan pesan masuk terabaikan yang sama sekali tidak ingin kubaca. Dari siapa? Tidak banyak orang yang kukenal dan saling peduli. Mungkin belum."Hai, Aya! Aku Abra," ucapku begitu penerima panggilan menjawab, tentu tanpa ada basa-basi. Ini bukan perkara perkenalan gebetan atau say hai after long time, tetapi lebih ke urusan profesional medikasi. "Boleh tanya, ya? Pak Raden ... eh, ayah kamu punya masalah alergi sama obat tertentu?"Jariku yang bebas memberi isyarat pada si perawat baru untuk mengambil apa saja yang bisa ditulis sementara aku mengambil pulpen dan merapatkan ponsel di antara telinga dan bahu."Apa tadi, ya?" Kutanyakan ulang dan dia menyebutkan sederet nama obat dalam daftar kortikosteroid, termasuk kemungkinan alergi makanan sejenis hidangan laut juga. Tercatat acak dalam coretan kertas."Oke. Terima kasih informasinya." Hampir kututup panggilan jika saja tidak ingat memberi pesan. "Pulang saja dulu. Nanti aku kabarin kelanjutannya."Bisa kudengar ucapan terima kasih di ujung sana sebelum tanda panggilan terputus menyambut. Dia memang berbeda dan kuharap hidupnya jauh lebih baik setelah kelulusan. Banyak hal yang tak mampu kurelakan di masa lalu dan menyakitkan untuknya.Setelah menyelesaikan pemeriksaan terakhir pada pasien di ruang gawat darurat, aku kembali pada bagian pendaftaran. Sekadar berbincang kosong dengan Aldi atau mengecek pemberitahuan terakhir di ponsel.Hujan di luaran dinding kaca ternyata telah berganti rintik jarang. Posisi menghadap pelataran parkir memungkinkanku melihat Aya yang berlari mencapai motornya menyadarkanku hal lain."KT 4807 ZA?" Sudut bibirku perlahan naik membentuk seringai. "Mungkin ganti rugi aja enggak bakal cukup, Ya."***"Dompetmu," ucap Caca, gadis yang meletakkan benda kulit berwarna hitam tepat pada meja di depan. Dompetku. Dia langsung duduk tanpa perlu dipersilakan.Entah warna apa lagi yang menjadi highlight rambut panjang tergerainya hari ini. Ungu? Merah muda? Enggak penting sebenarnya. Aku cuma penasaran apa yang membuat seorang perempuan begitu memperhatikan penampilan atau membuat ciri khasnya sendiri. Seperti Aya yang terkesan garang dari penampilan, Caca yang lebih banyak mengenakan warna pastel dari kaki sampai aksesoris rambut, atau wanita lain yang cenderung menghabiskan waktu di kamar mandi dan depan cermin hanya untuk memastikan banyak hal. Itu yang kuhadapi dari teman kencanku setiap selesai bergulat di kasur."Sorry semalam." Kuangkat cangkir dari meja dan menyeruput isinya dari pinggiran. Kebutuhan kopiku sepertinya bertambah setelah semalaman bertugas dan secangkir Long Black tanpa gula cukup menambah pahit hari ini."Serius, Bra. Kamu nyuruh aku ambil dompet ini cuma karena mobil
Aya sebenarnya terlihat berbeda dengan tampilan kerja. Jauh lebih dewasa daripada saat bertemu di rumah sakit. Tidak ada kets hitam atau jins ketat. Benar-benar feminin.Namun, cara makannya menggunakan jari-jari dan suapan penuh ternyata menarik. Sulit untukku berpaling atau menggerakkan sendok di tangan karena takjub dengan tingkah tanpa malunya Aya. Padahal dia tadi sudah menghinaku terang-terangan ketika mengacungkan jari tengah terus ngakunya enggak inget. Aneh.Mengajak makan calon gebetan--calon korban--setelah mengisi perut dengan gadis lain sebenarnya bukan gayaku. Kalau memaksa perut untuk tetap diisi saat penuh, mungkin sampai rumah aku enggak bakal bisa tidur cepat."Memang kenapa kalau kamu enggak mau dijodohkan?" tanya Aya setelah kuceritakan masalah perjodohan dengan sedikit bumbu.Siapa yang tidak akan simpatik dengan kisah sedih di zaman sekarang? Orang tertindas akan selalu dianggap pihak protagonis, bukan? Aku harap sih mempan di Aya."Umur dua delapan di Indo sudah
"Di mana?" tanya pemanggil dalam sambungan dari ponselku menggunakan pelantang tanpa kabel. Suaranya semakin familier di telinga dan mampu mengundang geli di perut. Ingin tersenyum terus rasanya.Jalan menurun di ujung jalan layang sempat mengundang kekhawatiran. Hampir seluruh kendaraan berkecepatan tinggi. Aku bahkan kesulitan mencari pelataran parkir saking banyaknya tempat makan. Buat apa coba Aya ngajak ketemuan di tempat ramai siang terik begini?Kuangsurkan selembar biru pada anak kecil di pinggiran trotoar setelah menanyakan harga sekotak klepon, makanan berbentuk bola hijau berisi gula merah dengan taburan kelapa parut. Usianya mungkin sekitar lima atau enam tahun. Dua anak kecil di dekatnya jauh lebih kecil dan kurus, duduk sambil menyapu keringat."Ambil tiga sepuluh ribu, Om."Aku tergelak disebut om. Lucu. Setua itukah wajahku? "Harga biasa aja, Dik. Ambilkan empat."Si anak kecil terlihat memeriksa bungkusan plastiknya setelah menyerahkan pesananku. Terlihat lembaran lusu
"Kopi?" Kusodorkan gelas kertas berisi cairan hitam pekat. Telunjukku mengetuk stoples kecil berisi butiran putih di meja. "Tanpa gula. Kalau perlu gula, ini.""Makasih." Aya mengangkat gelas yang kuberikan dengan kedua tangan. Bibirnya masih pucat meski kami telah berpindah dalam ruangan."Bajumu basah?" Pertanyaanku tentu hanya basa-basi. Hujan deras jelas menyiram kami sebelumnya sampai tiba di ruanganku.Ketukan pada pintu terbuka terdengar seiring kata, "Paket, Pak Abra."Ah, itu Nanda mengantar tas kertas berlogo salah satu market store terkemuka yang membuka pelayanan online.Aku menghampiri ambang pintu, mengucap terima kasih sambil meraih benda yang disebut paket oleh Nanda. Bisa kulihat senyuman dari perawat baru itu saat melirik dalam ruangan."Aku enggak tahu ukuranmu, jadi tadi pesan yang kelihatan aja." Kuletakkan tas kertas di meja, tepat samping tangan Aya, kemudian menunjuk pintu di sudut ruangan. "Ada kamar mandi."Aya mengeluarkan isi tas. Keningnya mengernyit. Hanya
Setelah menemani Aya mengantarkan pakaian ganti dan perlengkapan mandi untuk bapaknya di ruang ICCU, aku bisa bernapas lega sejenak. Bantuan yang kuulurkan untuk Pak Raden ternyata dianggapnya sebagai utang. Itu juga termasuk lucu bagiku.Gimana, ya?Mama selalu memberi contoh padaku untuk memberi tanpa meminta imbalan. Bahkan ketika ibu penghuni sebelah rumah harus melahirkan, tidak perlu ditanya dua kali, Mama langsung membantu mencari tumpangan dan bantu pembiayaan si ibu. Ya, tanpa imbalan. Mama tidak pernah menagih besaran biaya sekalipun kami pernah mengalami kesulitan keuangan sejak ditinggal Ayah.Ah, mengingatnya lagi saat perjalanan pulang membuat darah menggelegak. Kepalan tanganku spontan memukul roda kemudi sampai Aya meneriakkan namaku."Sorry, Ya. Aku lagi enggak fokus." Kupinggirkan kendaraan roda empat milikku setelah memastikan tidak ada tanda dilarang parkir atau berhenti. Pelipisku harus ditekan beberapa kali sampai nyeri yang menusuk dadakan hilang.Aliran napas di
"Kenapa udah deket jamnya baru minta aku datang?"Aku terkejut ketika menutup lemari pendingin dan mendapati Caca sudah berada di ruang makan. Dia duduk dan memakan beberapa donat yang tersedia tanpa keributan. Sepertinya Mama meninggalkan camilan sebelum pergi. Memiliki banyak cabang dalam bidang kuliner justru jadi alasan Mama sering keluar kota."Calonnya baru setuju." Kuanggukkan kepala ke sisi kanan sebelum menghampiri meja dan membawa dua kaleng bir. "Mau?"Caca membuka salah satu kaleng. Bahunya naik ketika meneguk paksa isinya. Jelas, dia enggak terbiasa dengan soda apalagi bir. Anggur bisa lah dikit. Tumben."Cewek mana lagi yang malam ini mau jadi korbanmu?" tanya Caca sambil mengambil lembaran tisu dari kotak untuk membersihkan jari dan bibirnya.Pinggangku bersandar pada pinggiran meja. Sesekali mendongak ketika meminum isi kaleng. "Yang jelas manusia. Enggak mungkin aku bawa succubus. Entar bukannya ke pesta, malah ngider di kasur." Gelak yang keluar dari bibirku justru me
"Brengsek!" Aya memberi tonjokan di pipi kiriku.Lucu. Begitulah pemikiranku jika ingin membandingkannya dengan gadis lain yang paling jauh menamparku. Ini ringan untuk ukuran Aya.Dia bahkan dua kali hampir mencelakaiku. Baret di mobil dan tabrakan motor itu.Bisa saja kecenderungan berbahayanya kulaporkan ke polisi, tapi tawaran perjanjian yang kuberikan untuknya saat bicara di tempat makan gado-gado ternyata berjalan mulus."Hanya perlu jadi pacarku sampai rencana pernikahan dibatalkan. Bagaimana?"Aya berhenti menyuap. Kedua kakinya yang naik bersila di bangku terlihat bergoyang. Ternyata dia mengenakan celana pendek di balik rok yang membuatnya terlihat feminin. Aya menyiramkan air dari botol ke tangannya di atas piring makan. "Apa untungnya buatku?"Sudut bibir kananku naik begitu menyadari ada ketertarikan dalam intonasinya. "Mau lihat duniaku? Kamu kan selalu ngebahas hal yang terlihat dari jauh. Aku juga bisa menanggung biaya pengobatan bapakmu, Aya.""Enggak perlu, Bra. Terim
"Nah, tuan muda Abraham sudah datang!" Tepuk tangan mengiringi kalimat pemuda sepantaran denganku di sudut kapal yang disewanya hanya untuk pesta bikini di pinggiran Selat Makassar.Memang belum beranjak dari pelabuhan, menunggu jingga berganti kegelapan di penghabisan cakrawala."Enggak lucu tau, Zar." Kurengutkan bibir saat harus menanggapi tinjuan persahabatan darinya lalu mengambil gelas tinggi dan kurus dari pelayan yang menghampiri.Elzar namanya. Hanya celana pendek yang biasa digunakannya untuk renang yang tersisa. Padahal dingin yang menyapa mulai menusuk lapisan terluar kulit. Aku saja sampai harus mengusap lengan atas berkali-kali karena hanya mengenakan kaus tanpa lengan."Gimana Aya?"Sudah kuduga dia akan menanyakan gadis itu setelah beberapa hari pertaruhan berjalan. Lumayan. Akuisisi perusahaan yang dia pegang dengan salah satu rumah pemberian Ayah. Wajah Elzar begitu tenang saat mengisap lintingan yang kuyakin tidak hanya berisi tembakau dari aroma yang menguar.Kuseru
"Kamu yang jemput?" Aku menjawab panggilan suara setelah memastikan barang-barang yang dibawa ke ruang rawat inap sudah lengkap masuk dalam tas besar."Enggak suka?" Suara Aya terdengar merajuk. "Aku balik aja lagi kalau gitu."Lucu aja, sih. Aya yang manja seperti ini biasanya cuma ketemu pas dia lagi hamil. Kalau lagi mode normal, banyakan cueknya.Atau jangan-jangan .... Ah, enggak. Belum ada ngapa-ngapain kok semenjak nifasnya selesai. Aku juga masih mikirin kondisi tubuh Aya yang mungkin kesulitan semenjak operasi.Ujungnya, aku cuma terkekeh ketika diantarkan pihak medis berpakaian APD lengkap melalui lorong keluar dari bangsal karantina. Kebanyakan ruangan memang kosong, tetapi bangsal yang terisi tampak miris.Kayaknya belakangan yang diterima karantina hanya untuk kasus khusus.Aku mendengar beberapa selentingan mengenai isolasi mandiri jika terlular tanpa gejala membahayakan. Lumayan, kalau memang benar, efeknya bisa mengurangi penuhnya IGD seperti yang belakangan terjadi."
Beberapa orang yang masuk ruanganku menggunakan seragam APD datang berbaris. Dokter paling depan jelas kukenali, sementara orang-orang di belakangnya mungkin dokter baru yang bertugas mencatat dan membawa perlengkapan."Sudah enakan?" tanya Iren, sambil menggerakkan diaphgram stetoskop di dadaku sementara yang lain melakukan pemeriksaan terhadap laju cairan infus, bahkan mengambil urin yang sengaja diminta."Lumayan." Aku mengangguk, jauh lebih baik setelah menelepon Aya dan mendapat tontonan biru secara pribadi.Masih kebayang gimana panasnya Aya ketika memainkan puncak di depan tubuhnya sambil memejamkan mata. Caranya memanggil namaku dengan sangat sensual.Sulit menahan diri untuk tidak pergi ke kamar mandi meski harus membawa tiang infus dan penyangga tabung oksigen.Mengingat Aya saja sudah bisa membuatku tegang kembali. Sial!"Usahakan tidak stres, atur pola makan, dan perbanyak istirahat, ya." Pesan Iren, selaku dokter yang menanganiku kali ini.Dalam sehari ada dua kali kunjun
Lepas masker sesampai di rumah, aku melihat lagi citra luar dari jendela kaca yang terlindungi vitrase dan menyamarkan keberadaanku. Penguntit tadi memang tidak mengikuti lagi, tetapi mobil berkaca riben dengan plat nomor yang sama berkali-kali melintas."Baru pulang?" Suara lembut datang menyusul terbukanya pintu dari ruangan di belakangku, mamanya Abra. Tangis rendah menyertai dalam gendongannya."Udah dari tadi, Ma." Aku bergegas mencapai keran di bak cuci, mencuci tangan dan wajah sebelum mengambil bayi dari wanita yang juga aku panggil 'mama' itu."Maureen belum tidur?" tanyaku meski tahu jawabannya hanya sebatas senyum dan binar.Dia salah satu alasanku bertahan hidup meski tidak lagi memiliki keluarga. Dia salah satu alasanku mencoba menetapkan hati pada Abra. Entah bagaimana perasaan papanya yang jujur padaku.Setiap kata cinta atau rindu yang terucap dari bibirnya selalu meninggalkan perih, sangat dalam."Sudah telepon Abra?" Mama terlihat menutup tirai yang melapisi vitrase.
"Masih belum mau bicara juga?" Andi keluar dari konter dapur membawa pisau daging. Dari gerakannya sih aku nebaknya si barista cuma membersihkan pisau, tapi efeknya ternyata menakutkan bagi si penguntit."Saya cuma disuruh. Ampun." Lelaki berpakaian lengkap dengan topi kupluknya itu bak wartawan pengejar berita di sekitar kehidupan Elzar.Tidak dimungkiri, pernah dalam hubungan saling menguntungkan dengan si artis yang cuma modal wajah dan tubuh itu cukup memberiku informasi tentang kehidupan entertain di luar sana. Segala keluhan pekerjaan hingga larangan memiliki hubungan pribadi membuat kami mencapai satu kesepakatan kontrak dulu.Dulu sekali, sebelum ketemu Abra kembali."Transaksinya gimana?" Abyan mengambil ponsel si penguntit dari rampasan Aris.Model lama ponsel yang digunakan hanya untuk panggilan suara dan pesan singkat itu tidak memberi petunjuk. Layar penampil pesan dan panggilan terakhir benar-benar kosong,"Saya dihubungi menggunakan nomor pribadi," aku pria tua itu samb
"Jangan terlalu naif deh, Ya." Lagi-lagi pemilik nama lengkap Natasha Wiratama itu menertawakanku. Matanya menghilang di balik lengkungan setiap tertawa.Kalau boleh sedikit percaya diri, pantas saja Abra memilih bersamaku dibanding anak orang kaya ini. Terlalu banyak hal aneh yang aku dapati ketika bicara dekat dengannya, tetapi hanya dia kan yang bisa aku ajak bicara untuk sementara ini?Menoleransi kekurangan orang lain sebenarnya bukanlah kebiasaanku. Aku lebih mudah menarik diri jika merasa tidak nyaman atau menjadi berbahaya ketika merasa terancam.Naif? Yang aku tahu pengertian dari kata naif itu hanya dua, lugu atau bodoh. Mungkin aku termasuk yang kedua. Sudah mengetahui tanda jika dibodohi, tetapi masih saja terus berada di sisi seseorang yang memanfaatkanku.Caca condong maju ke arahku. Ujung-ujung rambut pendeknya mengikuti arah gravitasi, menebar di sisi pipi.Dengan sorot serius, dia bilang, "Di keluarga ini terlalu banyak mata dan telinga. Semua emang punya niatan salin
Bagianku dimulai dari sini, ketika harus menunggu kabar Abra bisa sadar semenjak dia masuk ruang intensif khusus. Komplikasi yang dijelaskan dokter juga di luar dugaanku.Seingatku Abra itu bukan perokok. Tidak pernah aku menemukan aroma tembakau di pakaiannya, hanya sesekali wangi parfum wanita atau bercak sisa lipstik.Anggaplah aku tidak terlalu peduli. Selama dia tidak mencari masalah denganku, aku mungkin bisa menghargai ruang yang diinginkannya meskipun semakin lama ternyata melubangi hatiku sendiri."Aku paling benci berharap pada manusia tau, Ca." Itu yang sebenarnya aku rasakan ketika Caca terus mengorek masalah yang belakangan mempengaruhi hubunganku dengan Abra.Berharap pada manusia itu seperti memberi kesempatan bagi kecewa untuk menghancurkan diri, seperti yang aku alami di masa lalu. Harapan untuk bisa lulus sekolah dengan damai dan bisa kuliah di luar negeri pun pupus seketika.Aku membenci dan ingin menghapus garis waktu di masa itu, tetapi berakhir menjadi jarak tak
Proses pemakaman berlangsung cepat. Lagian, di masa penyebaran virus seperti sekarang, kerumunan masih sangat dilarang. Jadi, tidak banyak orang yang bertandang ke rumah Mbak Dara.Hanya ... kebiasaan warga setempat yang kerap mengadakan pengajian sebagai bentuk doa bagi jenazah dan keluarga yang ditinggalkan."Di mana Randy?" tanya Caca ketika bertemu di pelataran rumah dan membiarkan dua anak lelaki yang bersamanya masuk ke dalam.Kami memilih berada di luar kerumunan dan melihat orang-orang yang melintas masuk bergantian ke dalam rumah. Aku belum bertemu Randy lagi semenjak dia ikut mengantarkan suami Dara ke tempat peristirahatan terakhir.Sesekali aku bersin, mungkin efek tidak tidur semalaman dan dingin mengigit meski telah mengenakan jaket tebal."Ikut pengajian di dalam?" jawabku datar setelah menengok dari ambang pintu. Benar, saudara dari istri keduaku ini sedang berkomat-kamit melihat buku kecil dalam pegangannya."Randy? Ngaji?" Caca hampir-hampir tidak percaya dan ikut me
"Hei! Hei! Ada apa?" Randy tiba di lorong depan ICU. Dia ikut berjongkok seperti Mbak Dara yang masih menangis semenjak keluar dari ruang tempat sang suami ditangani."Mas Khalil, Ran ...." Kedua tangan Dara menyatu di depan wajah, tampak bergetar dan memucat.Aku tahu pasti keinginan Randy untuk menenangkan Mbak Dara, terlihat dari kedua tangannya yang menggantung di samping Mbak Dara. Namun, tidak ada yang terjadi. Mbak Dara memeluk diri sendiri dan terus tenggelam di antara lututnya."Kenapa?" Terlihat frustrasi, Randy menghampiri aku yang memilih berdiri di dekat pintu masuk ruang ICU."Masih nunggu." Aku mengangguk ragu sambil menunjuk ke arah pintu.Ya, aku juga masih merinding setelah melihat kondisi pasien secara langsung. Jemariku saja bergerak tidak tentu di wajah. Terkadang menutup keseluruhan, terkadang hanya mengusap ujung hidung yang beberapa kali terasa gatal."Lo kenapa muncul di sini?" singgung Randy. "Ngilang sana!""Sialan lo! Udah bagus gue bantuin Mbak Dara tadi."
Aya berdiri mantap ketika aku berbalik melihatnya. Tatapan tajam itu sangat aku kenali, penuh dengan dendam.Aku enggak takut, hanya saja ketika amarah mengambil alih emosi, mungkin saja bagi Aya melakukan hal berbahaya lagi.Ya Tuhan! Terlibat dengan tiga wanita bermasalah saja sudah membuatku terus mengeluh."Kamu bicarain apa, Ya?" Tidak sanggup aku berteriak, hanya mencicit lemah.Aya benar, aku selalu membawa sarung pengaman dulu, ketika Nanda belum menunjukkan tanda kehamilannya dan memilih menggugurkan kandungan."Pikir aja sendiri!"Aya bahkan tidak menjawab maksud dari kecurigaannya, aku jadi enggak tahu sejauh apa informasi yang dimilikinya. Mungkin nama atau tempat dia memergoki atau mengawasi aku?Bodoh! Enggak mungkinlah Aya membongkar penyamaran dengan mudah kalau bisa mendapat bukti yang lebih banyak.Dia menendang kursi yang tadi diduduki hingga besinya bertabrakan dengan kaki meja kabinet."Aya!" panggilku ketika Aya memilih menuju kamar kami. "Aku bicarain kamu! Ken