"Bukannya kamu sendiri yang bilang mau punya 18 istri untuk melayaniku?" Miko melirik Rafa dengan senyum nakal, lalu menggoda, "Arumi dan Kanaya baru dua orang, masih kurang 16 lagi. Kamu harus terus berusaha!""Baiklah, kalau begitu aku berusaha terus." Rafa mengangguk, lalu pergi meracik obat untuk Kanaya.Namun, di dalam hati, Miko hanya bisa menghela napas panjang.Bukan karena Miko terus-menerus berpindah hati antara Mega dan Kanaya. Hanya saja, keluarga mereka terlalu miskin. Miko sangat khawatir Rafa tidak bisa mendapatkan istri dan akan tetap melajang seumur hidup.Bagi Miko, siapa pun yang bersedia menikah dengan Rafa, baik itu Arumi maupun Kanaya, semuanya tidak masalah! Sejak dulu, orang miskin tidak bisa pilih-pilih dalam mencari istri. Bahkan jika yang datang adalah seorang janda, asalkan mau menikah dengan Rafa, Miko pasti akan setuju.Sebagai kakak ipar, dia harus bertanggung jawab untuk memastikan adik iparnya menikah dan berkeluarga.Setelah selesai meracik obat, Rafa
Miko tiba-tiba tersenyum, lalu menarik tangan Arumi dan berkata, "Kak Arumi, tolong bantu aku. Bisa nggak kamu menjodohkan Kanaya dengan Rafa?"Arumi termangu sesaat, lalu mengulurkan tangannya. "Bisa saja. Tapi, ayahnya Kanaya minta mahar 160 juta. Kalau kamu sanggup, aku bakal jadi mak comblang buat Rafa.""Seratus enam puluh juta? Dua tahun terakhir ini harga mahar naik gila-gilaan ya ...."Miko terkejut dan tersenyum getir. "Sebenarnya sih masih bisa diusahakan. Coba kamu tanya ayah Kanaya, boleh nggak bayarnya dicicil? Rafa 'kan dokter, nanti pelan-pelan bisa lunasin, gimana?""Hahaha!" Arumi tertawa sampai perutnya sakit. "Miko, kamu lucu banget. Masa mahar bisa dicicil?"Rafa juga tak bisa menahan tawa. "Sudahlah, Kak. Kalau punya 160 juta, mending buat hidup sehari-hari, daripada dikasih ke orang lain."Arumi masih tertawa. "Miko, dengar tuh. Rafa lebih milih hidup bareng kamu.""Kak Arumi, jangan asal ngomong! Aku nggak bilang begitu ... maksudku ...." Wajah Rafa langsung meme
Setelah berseru beberapa kali di depan rumah, Arumi menoleh menatap Miko dan Rafa sambil tersenyum. "Miko, aku bukan datang buat makan gratis, tapi untuk bantu kalian. Coba pikir, Rafa buka klinik. Kalau nggak ada promosi, gimana orang-orang bakal tahu?""Sekarang setelah aku buat heboh begini, seluruh penduduk Desa Kenanga bakal tahu. Nanti usaha Rafa bakal lebih ramai."Miko tersenyum pahit. "Aku tahu niatmu baik, Kak. Tapi aku ...."Koki paling pintar sekalipun tidak bisa memasak tanpa bahan. Keluarganya miskin, tidak punya uang sepeser pun. Miko benar-benar tidak tahu bagaimana mengatur jamuan makan untuk warga siang ini!"Aku tahu kamu nggak punya uang." Arumi tersenyum, lalu mengeluarkan uang 600 ribu dan menyelipkannya ke tangan Miko. "Aku pinjamkan 600 ribu dulu. Pakai buat beli bahan masak, minuman, dan rokok. Pasti cukup."Miko akhirnya bisa bernapas lega, dia tersenyum. "Terima kasih, Kak. Nanti kita lihat berapa banyak warga yang datang."Dengan uang 600 ribu itu, keluarga
Miko berkali-kali mengucapkan terima kasih, lalu menuangkan minuman untuk Hansen.Sekitar pukul 1 siang, warga desa akhirnya membubarkan diri dengan puas.Miko minum cukup banyak siang itu, tetapi tetap bersikeras membereskan peralatan makan.Rafa melihat Miko yang mabuk berjalan dengan langkah terhuyung, jadi langsung menahannya. "Kak, istirahat dulu. Piring-piring ini bisa ditinggal dulu, nanti sore saja."Wajah Miko memerah karena alkohol. Rafa pun memapahnya ke kamar. Kebetulan, Alice terbangun dari tidur siangnya dan mulai merengek minta susu.Miko mengangkat bajunya untuk menyusui Alice, lalu tersenyum. "Rafa, sekarang seluruh warga sudah tahu kamu nggak bodoh lagi dan buka klinik. Mulai sekarang, aku serahkan urusan mencari uang kepadamu.""Jangan khawatir, Kak. Aku yakin dengan keahlian medisku." Rafa mengangguk dan meneruskan, "Biar aku yang urus Alice, kamu istirahat saja."Miko yang mabuk malah semakin bersemangat. Sambil mengganti posisi Alice menyusu, dia berkata lagi, "Na
Lengan Rafa sakit akibat gigitan Miko, tetapi hatinya lebih sakit. Saat ini, dia baru tahu Miko hanya berpura-pura tegar. Semua penderitaan dan keluh kesah dipendam di dalam hati selama ini. Di depan orang lain, Miko selalu tampak ceria, lembut, dan sabar.Namun, tidak ada yang tahu berapa kali Miko menangis diam-diam di tengah malam selama lebih dari setahun ini!"Kak ...." Rafa merasa hatinya pedih, bahkan matanya ikut memanas. "Kalau kamu benar-benar marah pada kakakku, gigit saja aku. Aku nggak apa-apa. Aku janji, kalau sudah punya uang, aku pasti akan mencarinya dan membawanya pulang!"Alice yang berada di samping pun ketakutan dan mulai menangis keras."Alice ...." Miko terkejut dan buru-buru melepaskan Rafa untuk melihat putrinya.Rafa segera menggendong Alice. "Kak, kamu sedang mabuk, jangan sampai anakmu jatuh. Cepat tiduran dulu, aku akan ambilkan obat pereda mabuk."Setelah berkata demikian, Rafa keluar dan mencampurkan larutan glukosa dengan air hangat, lalu kembali untuk m
Setelah menikah, Belinda tinggal di Desa Belukar yang jaraknya 5 kilometer dari sini. Suaminya adalah seorang tukang batu.Rafa berdiri di ambang pintu sambil menggendong Alice. Dia melirik Belinda dengan tatapan dingin, tanpa sedikit pun berniat menyingkir untuk memberi jalan."Rafa, dengar-dengar kamu buka klinik?" Belinda memasang senyuman manis, lalu bertanya, "Kamu sekarang sudah nggak bodoh? Dari mana kamu dapat uang buat buka klinik? Memangnya kamu bisa mengobati orang?"Rafa tetap diam."Kayaknya kamu masih tolol ya? Dari tadi aku bicara panjang lebar, tapi kamu diam saja. Heh!" Belinda memelotot, lalu meneruskan, "Dulu Ayah pernah bilang di rumah ini ada pusaka turun-temurun, semacam lesung untuk menumbuk obat, katanya barang antik. Jangan-jangan kamu dan Miko jual itu buat modal buka klinik?"Rafa tertawa sinis. "Apa urusannya denganmu?"Mata Belinda membelalak semakin besar. "Kenapa bukan urusanku? Aku ini kakak sulungmu, anak perempuan dari keluarga ini! Kalau harta keluarg
Ada pepatah yang bilang "tidak takut penagih utang galak, tapi takut si pengutang miskin sampai tidak punya sepeser pun"!Belinda senang bermain bunga-bunga utang. Biarkan dia terus menghitung bunga itu sendirian, toh Rafa tidak punya sepeser pun untuk bayar!Warga desa yang menonton tak bisa menahan tawa. Belinda terdiam sesaat, lalu mulai meratap seperti kehilangan orang tua, "Semuanya, kalian harus tahu Rafa ini utang, tapi nggak mau bayar. Masih bisa disebut laki-laki nggak?"Rafa langsung naik darah. Dia masuk ke rumah untuk mengambil golok kayu bakar, lalu mendekati Belinda dengan langkah besar. Sambil menggertakkan gigi, dia menyergah, "Belinda, kalau sampai Ibu kenapa-napa gara-gara kamu, aku bakal habisi kamu! Dasar serigala tak tahu balas budi!"Bagaimanapun, Belinda hanya wanita dengan nyali kecil. Dia buru-buru bangkit, lalu menepuk-nepuk debu di pantatnya. Sambil mengomel, dia pergi begitu saja. Dia pun tahu, sekalipun membunuh Rafa, dia tetap tidak bisa mendapat sepeser p
"Ayo!" Rafa berpamitan pada ibunya, lalu membuka payung untuk melindungi Alice dari terik matahari. Bersama Mega, mereka melangkah keluar dari rumah.Karena kakak iparnya sedang tidur, Rafa tidak punya pilihan selain membawa Alice bersamanya. Begitu keluar, Rafa mengunci pintu rumah. Sebelum berjalan jauh, mereka bertemu dengan Alzam, kakak Kanaya."Rafa, kalian mau ke mana?" tanya Alzam dengan tatapan tajam."Oh, aku dan Mega bawa anak jalan-jalan." Rafa melirik Mega sekilas, sengaja menjawab seperti itu.Mega langsung melayangkan pukulan kepada Rafa. "Dasar bajingan, bisa nggak ngomong yang benar sedikit?"Mereka cuma keluar bareng, tetapi Rafa malah bicara seolah-olah mereka ini adalah pasangan suami istri.Namun, Alzam tidak menangkap maksud Rafa. Dia hanya terkekeh-kekeh dan mengejek, "Dasar aneh, panas-panas begini malah keluyuran!"Kelompok Empat Desa Kenanga berjarak sekitar 500 meter dari rumah Rafa. Di tengah desa, ada rumah tiga lantai yang menjulang tinggi dengan dekorasi m
Wanita itu mengira Rafa tidak puas, jadi berkata dengan nada menyesal, "Aku tahu kamu mungkin kurang puas, tapi aku cuma bisa kasih segitu. Tapi, aku bisa menambahkan 20 juta sebagai tanda terima kasih karena sudah membantuku tadi.""Nggak, nggak ... aku sangat puas." Rafa berbicara jujur. Dia tersenyum dan meneruskan, "Dalam bisnis, memang harus begitu, harus adil. Soal uang terima kasih, aku nggak bisa terima. Aku bantu bukan karena uang.""Jarang sekali ada orang baik sepertimu." Wanita itu tersenyum. "Baiklah, aku antar kamu ke pasar, biar aku langsung kasih uangnya."Mobil pun melaju menuju pasar obat tradisional."Namaku Karina. Kamu bisa panggil aku Kak Karina." Sambil menyetir, wanita itu bertanya, "Siapa namamu? Dari mana asalmu?""Aku Rafa, dari Desa Kenanga.""Oh, oh ...." Karina mengambil sebuah kartu nama dan tersenyum. "Kalau nanti kamu datang ke kota ini lagi, hubungi saja aku kalau butuh bantuan. Mau jual atau beli obat, aku bisa bantu. Aku jamin kamu bisa jual dengan h
Perampok yang satunya marah besar! Dia mengayunkan kunci inggrisnya ke arah kepala Rafa!"Matilah!" Rafa dengan sigap mengayunkan ranselnya, memukul kunci inggris itu hingga terlempar. Kemudian, dia menyusul dengan satu tendangan tepat ke perut perampok itu!"Aaaarrgh ... ughhh ...." Perampok kedua langsung jatuh berlutut, wajahnya pucat pasi, keringat bercucuran."Berani-beraninya kalian menindas wanita!" Rafa masih dipenuhi amarah. Dia kembali melayangkan tendangan bertubi-tubi, membuat wajah kedua perampok itu penuh luka lebam.Wanita yang memakai rok pendek itu ketakutan. Dia bergegas bangkit dan berteriak cemas, "Dik, cukup! Kalau terus dipukul, mereka bisa mati!"Rafa baru menghentikan aksinya. Dua perampok itu merangkak ke mobil mereka dengan tubuh penuh darah. Dengan sempoyongan, mereka masuk ke mobil, menyalakan mesin, lalu kabur."Fiuh ...." Wanita itu menghela napas lega. Dia merapikan rambut dan pakaiannya, lalu mengangguk ke arah Rafa. "Terima kasih banyak ya.""Sama-sama.
"Ke pemandian ... bisa lihat apa?" Rafa bingung."Lihat apa? Lihat burung! Di pemandian banyak burung, silakan lihat sepuasnya!" sahut pria tua itu dengan ketus."Buset! Begini caramu berdagang?" Rafa murka, menatap tajam pria itu. "Ya sudah! Aku nggak akan pergi ke pemandian hari ini. Aku akan tetap di sini, melihat burung tuamu!"Tiga pegawai wanita di toko itu saling melirik dan menahan tawa. Mereka memberi isyarat agar Rafa segera pergi."Sial, pagi-pagi sudah bertemu iblis. Sial sekali!" Rafa memelototi pria tua itu, menggerutu sambil berjalan pergi.Awalnya, Rafa masih merasa ada kedekatan dengan tanah leluhurnya. Namun, hari ini dia bukan hanya diincar pencuri, tetapi juga bertemu dengan kakek menyebalkan ini. Perasaan hangat itu lenyap seketika.Dia bahkan mulai berpikir, mungkin nenek moyangnya yang pindah ke Desa Kenanga dulu telah mengambil keputusan yang tepat! Tempat ini benar-benar buruk!Rafa masuk ke toko di seberang. Karena telah belajar dari pengalaman, kali ini dia l
Mata Rafa juga sedikit panas, tetapi dia menahan air matanya. Dia menghapus air mata Miko dan berucap, "Kak, tenang saja. Aku tahu tanggung jawabku, aku nggak akan mengecewakanmu."Miko mengangguk, lalu perlahan melepaskan pelukannya. Dia melihat Rafa pergi semakin jauh.Di timur, langit mulai memancarkan sinar fajar. Rafa berjalan cepat melewati jalan setapak menuju Kota Muara. Sesampainya di sana, dia menyewa sebuah mobil van dan langsung menuju stasiun kereta api kota kabupaten.Lima jam perjalanan dengan kereta api. Akhirnya sebelum tengah hari, Rafa tiba di Kota Obat, pusat perdagangan herbal terbesar!Di kota kecil biasa, paling-paling hanya ada satu atau dua toko obat. Di kota besar, mungkin hanya ada satu pasar obat. Namun di sini, bukan sekadar pasar, melainkan kota khusus untuk obat!Dari namanya saja, sudah terasa perbedaan skala yang luar biasa. Sebagai keturunan langsung dari tabib legendaris, Rafa merasa bersemangat.Dia berjalan sambil mengamati suasana hingga akhirnya t
Rafa sungguh kehabisan kata-kata. Dia mengayunkan tangannya, lalu jarum peraknya langsung menusuk punggung tangan Arumi."Aaaahhh ...!" Arumi menjerit kesakitan.Sebelum Arumi pergi, beberapa warga desa mulai berdatangan. Sorenya, semakin banyak yang datang berobat. Ini karena makan daging kerbau, lalu mengalami panas dalam.Rafa akhirnya menjual habis semua ramuan herbalnya untuk meredakan panas dalam, juga semua persediaan pil.Inilah yang disebut efek domino. Kerbau tua milik Rahman mati, membuat seluruh desa menderita panas dalam, tetapi justru memberi Rafa keuntungan kecil.Satu pasien bisa menghasilkan 20 ribu, jadi totalnya dia berhasil mendapatkan 400 ribu. Uang receh tetap uang!Saat makan malam, Rafa berdiskusi dengan Miko. "Kak, besok aku harus pergi jauh. Aku mau ke Kota Obat, kampung halamanku, untuk beli beberapa bahan obat."Dia harus menjual batu empedu kerbau itu, menukarnya dengan uang, lalu membeli obat untuk menyembuhkan Diah."Kampung halaman?" Miko tidak mengerti,
"Kak, ini klinik. Kita ... bicarakan soal pengobatan." Rafa mulai berkeringat. Matanya menghindar, tidak berani menatap wajah Hana. "Sebenarnya ... apa yang sakit?"Baru saat itu, Hana melepaskan tangannya dari pipi dan mendekatkan wajahnya. "Gigiku sakit."Rafa mengangguk, mengambil senter untuk memeriksa mulut Hana, lalu meraba nadinya. "Nggak apa-apa, Kak. Kamu cuma kepanasan ....""Kepanasan?" Hana tersenyum. "Ya, aku memang kepanasan. Bisa nggak kamu bantu meredakan?""Ten ... tentu bisa ...." Rafa langsung gugup dan terbata-bata. "Kak, kamu makan apa dua hari ini?""Apa lagi? Ya daging kerbau yang kamu kasih 1,5 kilo kemarin, karena kamu kasihan padaku," sahut Hana dengan nada penuh keluhan."Daging kerbau?" Rafa langsung paham.Di cuaca panas seperti ini, makan daging kerbau berlebihan memang bisa menyebabkan panas dalam. Niat baiknya justru membawa masalah untuk diri sendiri."Nggak apa-apa. Aku akan bantu kamu redain panasnya .... Eh, maksudku, aku akan racik obat untukmu." Ka
Setelah mendengar analisis Rafa yang begitu logis dan masuk akal, Miko akhirnya merasa tenang. Namun, dia masih bertanya, "Rafa, apa Pak Dika ... benar-benar akan mati?""Kak, coba ingat-ingat. Aku sudah menangani pasien selama setengah bulan ini, apa pernah aku salah mendiagnosis?" tanya Rafa balik."Memang benar yang kamu katakan ...." Miko mengangguk, lalu menghela napas. "Sayangnya, Pak Dika nggak mau mendengarkanmu. Satu nyawa hilang begitu saja."Rafa hanya mengangkat bahunya. Kalau orang memang ingin mati, apa yang bisa dia lakukan?Setelah kembali ke kamar, Rafa mengambil batu empedu yang didapatkannya. Di mana dia bisa menjual barang berharga ini?Di kota kecil? Tidak mungkin. Tempat kecil seperti itu tidak akan ada orang yang bisa menilai harganya. Selain itu, jika kabar ini bocor dan Rahman tahu, pasti akan muncul masalah lagi.Ke Kota Obat saja! Tanah kelahiran leluhur mereka, sang tabib legendaris, pusat perdagangan obat tradisional terbesar di negara ini!Namun, bukan sek
"Baik, baik." Dika mengangguk dan melambaikan tangan ke sekeliling. "Hari ini, dengan kesaksian warga desa, Pak Galih, serta Pak Hansen, aku bertaruh dengan Rafa. Hari ini aku biarkan dia lolos, tapi 3 hari kemudian, aku akan datang lagi. Jangan sampai ada yang bilang aku menindasnya!"Galih, Hansen, dan warga desa terdiam menatap Rafa. Taruhan ini terlalu besar!Rafa juga melambaikan tangan dan berseru dengan lantang, "Hari ini aku bertaruh dengan Pak Dika! Tiga hari kemudian, kalau beliau masih bisa muncul dengan sehat di depan rumahku, aku sendiri yang akan membakar klinikku dan menyerahkannya kepadanya!"Kerumunan mulai berbisik-bisik.Rafa menatap Dika dan berkata, "Pak Dika, aku sarankan kamu jangan mempertaruhkan nyawa dalam taruhan ini. Aku akan memberimu resep. Pergilah ke rumah sakit di ibu kota provinsi, jalani operasi. Gunakan ramuan herbal coptis chinensis dan houpoea officinalis, seduh dengan teh, dan minum setiap hari. Itu bisa menyelamatkan nyawamu.""Terima kasih! Tiga
"Aku beli untuk dimakan sendiri, boleh 'kan? Badanku kurang sehat, jadi aku memang suka makan obat."Rafa tersenyum, lalu meneruskan, "Kamu menuduhku membuka klinik, mengobati pasien, mencari uang secara ilegal. Silakan tunjukkan buktinya. Siapa yang kuobati? Aku menerima uang dari siapa? Tolong tunjukkan bukti itu."Kemudian, Rafa menoleh ke arah warga desa yang berkumpul di depan pintu dan melambaikan tangan. "Saudara-saudara sekalian, apa ada di antara kalian yang pernah sakit dan mencariku untuk berobat?"Orang-orang tertawa serempak. "Semua penduduk Desa Kenanga sehat walafiat!""Kamu ...!" Dika terdiam, tidak bisa membalas. Dia menoleh ke Hansen dan membentak, "Pak Hansen! Kemari dan bersaksi! Ini urusan desa kalian!"Hansen menggaruk kepalanya dan mendekat. "Bersaksi gimana?""Bersaksi kalau Rafa menghasilkan uang dengan mengobati orang!""Oh, oh ...." Hansen berpikir sejenak, lalu menghela napas. "Kalau soal mengobati orang, memang ada. Ayahnya dulu seorang tabib, jadi meningga