"Hehe, nggak apa-apa, Bi. Nggak akan ada yang datang. Tenang saja!" Melihat Ayu yang menghampiri mereka, Tirta tersenyum licik. "Kebetulan, Kak Melati sudah nggak sanggup bertahan lagi. Bibi, nanti mohon bantuannya ya," ujar Tirta.Tentu saja Ayu mengerti apa yang dimaksud Tirta. Dia tersipu sambil berdecak, "Cih, jangan mimpi.Meski begitu, kedua wanita tetap menurut saat Tirta membawa mereka kembali ke klinik. Setelah menutup pintu, Tirta memojokkan Melati dan Ayu. Ayu yang telah mengikuti pertempuran sengit bersama Melati dan Tirta, kini tak lagi merasa malu. Sebaliknya, dia lebih menikmati kenyamanan yang dirasakannya."Hehe, hari ini kalian berdua nggak akan bisa keluar lagi," kata Tirta sambil mengambil beberapa pakaian dalam seksi. "Bibi, kamu juga pakai ini."Ayu mengeluarkan desahan manja. Dia tampak agak kesal, tetapi akhirnya menyerah pada nasibnya. Lagi pula jika bukan karena menghormati sahabatnya, Ayu dan Tirta yang tidak punya hubungan apa pun sedari awal, pasti sudah la
"Apa?" Tirta terpaku sejenak sebelum akhirnya sadar kembali. Dia sama sekali tidak menyangka Arum akan menanyakan pertanyaan seperti itu.Tirta menyeringai bangga dan berkata, "Nggak, ko. Mana mungkin capek kalau hal beginian? Mau bertarung sepuluh hari sepuluh malam pun, aku nggak akan capek."Arum menutup mulutnya dengan terkejut, "Serius? Itu ... sepertinya nggak mungkin."Arum tahu bahwa pria sering melebih-lebihkan dalam hal seperti ini. Namun, dia mendengar langsung suara-suara yang terjadi semalam. Melihat Tirta yang masih penuh semangat dan tampak begitu bertenaga, Arum mulai merasa Tirta tidak sedang membual. Ini benar-benar mengejutkan dan luar biasa.Melihat lingkaran hitam yang tebal di bawah mata Arum, Tirta memperingatkan, "Oh ya, Arum, sekarang Nabila belum tahu tentang hubunganku dengan Ayu dan Melati. Jadi tolong jangan sampai keceplosan, terutama jangan sampai Nabila tahu, ya."Dengan wajah tersipu, Arum meletakkan tangan kecilnya di depan mulutnya dan mengangguk pela
Sebagai seorang pengusaha besar di dunia bisnis, perlakuan sopan Afrian terhadap Tirta adalah hal yang jarang terjadi. Mungkin, selain karena Gilang tahu tentang kemampuan dan kekuatan Tirta, ada juga peran Irene yang memberikan pujian tentang Tirta di hadapan ayahnya.Bagaimanapun, Tirta telah meniduri Irene sebelumnya. Menerima perlakuan yang sopan dari Afrian, Tirta merasa perlu memberikan respons yang setimpal. Dia tersenyum dengan merendahkan diri, "Haha, itu semua hanya omongan Irene dan Gilang. Jangan terlalu dianggap serius, Pak Afrian."Mendengar hal itu, Afrian tampak sedikit mengernyit karena sepertinya dia benar-benar percaya pada perkataan Tirta. Irene yang berada di samping, segera maju dan membelanya, "Apanya yang sekadar omongan kami? Kamu memang hebat, kok!"Irene sangat percaya pada Tirta. Pandangannya terhadap Tirta juga tampak hangat. Dia menambahkan, "Tirta, kalau hasilnya bagus kali ini, kamu tenang saja, kami pasti akan memberikan imbalan yang setimpal. Kamu ngga
Lantaran Afrian bersikeras, Tirta juga tidak menolaknya lagi. Melihat Tirta hendak membantu Afrian dalam acara pemilihan batu giok kali ini membuat Gilang merasa antusias.Dia mengepalkan tangan dan berkata, "Bagus sekali. Kalau Pak Tirta turun tangan, aku juga bisa belajar. Ini benar-benar kesempatan belajar yang langka."Afrian juga beranggapan sama. "Tenang saja, akan ada kesempatan untuk kalian. Setelah acaranya dimulai nanti, Irene dan Gilang masuk duluan bersama Tirta."Gilang dan Irene tentunya tidak akan menolak. Keduanya mengangguk setuju.Di bawah pimpinan Afrian, Tirta memasuki lokasi pemilihan batu giok. Lokasi acara itu sangat besar dan diadakan di sebuah alun-alun yang luas. Lokasi tersebut ditutupi dengan karpet merah dan ada banyak kursi yang sangat nyaman telah disediakan.Di sekelilingnya, banyak tamu berkumpul untuk melihat langsung kemeriahan acara pemilihan ini. Kerumunan orang yang padat memenuhi tempat itu sehingga menciptakan suasana yang sangat meriah.Acara pe
Sekelompok orang itu tampak babak belur. Jika bukan karena pakaian mereka yang mewah, orang mungkin akan mengira mereka adalah korban yang baru saja dibawa dari medan perang. Satu-satunya yang belum pernah dilihat Tirta adalah seorang pria paruh baya yang duduk di samping mereka dengan ekspresi tenang dan dingin.Hidungnya yang mancung dan matanya yang tajam, sesekali mengeluarkan kilatan cahaya seolah-olah mampu melihat menembus segalanya. Secara refleks, dia melirik Tirta sejenak. Tatapannya tetap datar tanpa ekspresi.Pria ini bernama Sandy, seorang ahli penilai batu yang diundang oleh Putro untuk acara kali ini. Sandy juga merupakan senjata pamungkas dan andalan terbesar Putro.Setelah melihat Tirta sekilas, Sandy mengalihkan pandangannya dan tidak memperhatikannya lagi. Dia hanya mendengus dengan nada mengejek, jelas tidak menganggap Tirta yang masih muda ini bisa menandinginya.Aina yang lehernya terpasang penyangga, hanya bisa memalingkan kepalanya. Namun, dia langsung mengenali
"Dia? Memangnya bocah tengik sepertinya pantas menilai batu? Ini benar-benar lelucon besar!" ejek Putro dengan tatapan menghina."Aku nggak peduli apa alasanmu membawa bocah ini. Kalaupun kamu membawanya ke sini adalah untuk memijat kakiku, aku juga nggak peduli. Tapi, kalau dia nggak berlutut minta maaf padaku hari ini, masalah kita nggak akan selesai begitu saja."Sikap Putro sangat agresif. Bahkan dengan Afrian yang mencoba menghentikannya sekalipun, Putro tampaknya tidak berniat untuk mengalah begitu saja. Tirta mendengus dingin, lalu mengepalkan tinjunya."Kamu belum cukup dihajar, ya? Kemarin kamu sudah minta maaf, tapi sekarang malah datang cari masalah lagi. Minta dihajar lagi?" Mata Tirta memancarkan kilatan yang berbahaya.Berani-beraninya sekelompok orang ini datang mencari masalah? Sepertinya pelajaran kemarin belum cukup membekas bagi mereka?Menghadapi ancaman dari Tirta, Putro dan Aina tampak agak tegang. Sudut bibir mereka sedikit berkedut. Luka mereka masih terasa saki
Irene malah menyetujui persyaratan yang begitu tidak adil. Hal ini membuat Afrian tertegun sejenak, lalu menoleh pada Tirta. "Tirta, bagaimana menurutmu?"Tirta mengangguk. "Aku nggak keberatan. Lagi pula aku nggak akan kalah. Biarkan orang kampungan ini membuka wawasannya." Bisa memenangkan satu triliun dari Putro adalah jumlah besar. Tirta juga tentunya setuju.Berhubung kedua belah pihak telah sepakat, taruhan mereka pun langsung dijalankan."Hahaha ...." Putro dan Aina tertawa terbahak-bahak."Baiklah, Afrian, kali ini kamu pasti kalah. Pecundang yang kamu pilih ini bahkan nggak berhak jadi pesuruh Pak Sandy. Saat aku melayani putrimu nanti, akan kukirimkan video padamu. Hahaha ...."Putro bahkan tidak peduli lagi untuk menjaga martabatnya di depan orang banyak. Melihat Irene yang memiliki aura anggun dan tubuh rampingnya yang tinggi semampai, penampilan ini benar-benar memukau. Sayangnya, wajah Irene saat ini dipenuhi dengan kebencian.Namun, Putro punya caranya tersendiri untuk m
Tirta juga tidak terlalu peduli pada Sandy. Afrian dan Gilang yang duduk di sampingnya menimpali, "Tentu saja. Dengan kemampuanmu, bahkan Sandy pun nggak akan jadi masalah bagimu."Gilang menambahkan sambil tertawa, "Sandy memang lumayan terkenal di kalangan ini, tapi dia sangat sombong. Reputasinya lebih besar daripada kemampuannya sesungguhnya. Dengan kemampuan Pak Tirta, nggak perlu pedulikan soal taruhan ini. Lakukan saja seperti biasa."Kedua orang itu merasa sangat percaya diri terhadap Tirta.Irene menoleh pada Tirta. Tirta juga menyadari tatapannya, lalu melemparkan senyuman yang menenangkan. Irene tersenyum tipis, hatinya semakin mantap mendukung Tirta.Putro yang mendengar perkataan mereka itu sontak tergelak. "Hahaha ... yang bakalan nangis itu kalian! Lihat saja nanti."....Setelah menunggu sekitar setengah jam, Larry memegang mikrofon dan mengumumkan di atas panggung, "Pameran pemilihan batu giok tahun ini resmi dimulai."Tirta bangkit dari kursi, lalu meregangkan leherny
"Pak Idris, kalau memang ada sesuatu, lebih baik berdiri dan bicarakan saja. Selama bukan hal yang melanggar nurani dan hukum, aku pasti akan bantu." Melihat keadaan itu, Tirta hanya bisa menghela napas dengan pasrah."Benarkah? Kamu benaran bersedia membantuku, tanpa mengungkit kesalahan masa lalu? Tapi, permintaanku ini .... Aku ingin kamu membantuku dan istriku agar bisa punya seorang anak.""Kami sudah menikah 20 tahun, sampai sekarang belum juga punya keturunan. Aku dan istriku sudah pergi ke rumah sakit di seluruh negeri, tapi nggak ada yang bisa menemukan penyebab pastinya ...."Idris akhirnya berdiri dari lantai, tetapi suaranya masih penuh emosi dan sedikit tidak percaya. Dia merasa Tirta yang seperti dewa hidup pasti sulit didekati dan tak mudah diajak bicara. Itu sebabnya, sikapnya terhadap Tirta sangat sungkan."Kenapa nggak? Pak Idris, kamu dan Bu Marila sudah susah payah membantuku mencari Susanti. Aku tentu harus membantumu semaksimal mungkin.""Lagi pula, sekalipun buka
Setelah itu, Yuli memperhatikan bahwa wajah Idris tampak agak canggung. Dia pun mengecilkan suaranya dan bertanya dengan hati-hati, "Pak Idris, suaraku terlalu keras sampai mengganggumu ya? Maaf banget ya, aku terlalu bersemangat, jadi nggak bisa kontrol diri.""Nggak, nggak. Bu Yuli, suaramu sama sekali nggak keras. Kamu nggak perlu mengkhawatirkanku. Selama Pak Tirta nggak merasa terganggu, aku nggak akan keberatan sedikit pun." Saat melihat dari ujung mata bahwa Tirta menoleh ke arahnya, Idris buru-buru melambaikan tangan sambil tertawa canggung."Benaran?" Yuli tampak semakin tidak percaya. Seorang gubernur bisa serendah hati ini? Apalagi dari nada bicara Idris, terlihat jelas bahwa dia sangat takut pada Tirta! Jangan-jangan Tirta punya latar belakang yang bahkan membuat seorang gubernur seperti Idris gentar?"Masih sempat ngobrol, nggak pikirin kondisi anak kita sekarang kayak gimana!" Sebelum Yuli sempat melanjutkan, Anton sudah menyela dengan nada kesal."Huh! Kalau anak kita ke
"Eh ...." Tirta sebenarnya tidak menyangka bahwa Marila bisa sekompetitif itu dalam hal seperti ini. Namun, dia tetap menatap tubuh Marila dari atas sampai bawah dengan serius, lalu berkata, "Marila, sebenarnya postur tubuhmu cenderung lembut dan anggun.""Ukuran sebesar jeruk bali itu sudah sangat cocok. Bakal terlihat indah, seimbang, alami, dan menambah pesona feminin. Kalau sebesar melon, malah akan kelihatan agak aneh.""Kalau sampai lebih besar dari melon, itu malah jadi nggak enak dipandang. Nggak perlu terlalu mengejar ukuran. Yang pas itu yang terbaik."Mendengar ucapan Tirta, Marila tanpa sadar melirik tubuhnya sendiri, lalu merasa yang dikatakan Tirta masuk akal. Namun, begitu teringat pada Shinta, dia merasa enggan.Dia bertanya, "Kalau begitu, kenapa Shinta yang lebih muda dariku bilang mau sebesar melon? Kalau dia sebesar itu, bukannya juga nggak seimbang?""Benar. Makanya, aku juga nggak pernah berniat bantu dia sampai sebesar melon. Umurnya masih muda, dia belum bisa me
"Tapi, Pak Tirta sudah bilang, setelah dia mengantar Bu Susanti pulang, dia akan pergi ke ibu kota sebentar." Marila sudah tidak begitu marah lagi. Lagi pula, Shinta adalah adik kandungnya.Dia berencana untuk segera menjelaskan semuanya kepada Tirta, agar Tirta tidak melihatnya dengan pandangan yang aneh di kemudian hari."Ah, begitu ya. Kalau begitu, aku nggak akan ke sana. Tapi, Kak, sekarang aku benar-benar penasaran. Bisa nggak kamu kasih tahu aku?" Nada suara Shinta yang penuh kekecewaan seketika berubah menjadi bersemangat, bahkan dia melontarkan pertanyaan dengan nada yang berlebihan."Apa itu?" Marila tanpa sadar membalas."Tapi, jangan marah ya. Aku cuma ingin tahu, aku 'kan belum kasih tahu Kak Tirta tentang permintaanmu, terus gimana dia bisa membantumu?" Suara Shinta penuh dengan rasa penasaran dan kegembiraan."Dasar anak nakal! Nanti kalau aku kembali ke ibu kota, lihat saja gimana aku akan memberimu pelajaran!" Marila merasa sangat malu dan marah, lalu langsung memutusk
Tirta baru menyadari bahwa kejadian tadi hanyalah sebuah kesalahpahaman!Awalnya, dia berniat untuk mengejar Marila dan menjelaskan semuanya atau mungkin meminta bantuan untuk mencari bahan obat atau jarum perak, lalu benar-benar memberikan perawatan pembesaran dada seperti yang diminta.Namun, saat dia melihat Marila berbalik dan masuk ke ruangan lain, lalu menutup pintu, Tirta pun tidak mengejar lagi."Hais .... Memalukan sekali. Semoga Marila bisa melupakan kejadian ini. Kalau nggak, pasti akan canggung setiap kali kami bertemu." Setelah merasakan kemanisan tadi, Tirta kembali ke kamar tempat Susanti beristirahat untuk melihatnya.Tentu saja, Tirta sudah terbiasa dengan situasi seperti ini, jadi dia merasa cukup tenang.Di sisi lain, saat Marila kembali ke kamarnya dengan penuh rasa malu, dia baru menyadari bahwa celananya ternyata sudah basah."Kapan ini terjadi? Kenapa aku nggak sadar? Gawat, Pak Tirta pasti menyadarinya! Gimana aku bisa menghadapi Pak Tirta sekarang ...." Marila
Saat itu, hati Tirta dipenuhi kebingungan dan detak jantungnya juga tak terkendali. Meskipun dada Marila datar, dia tetaplah seorang wanita!Perut putih mulusnya datar, kulitnya sehalus giok, ekspresinya yang malu-malu tampak menggoda. Semuanya membuat hati Tirta bergetar tanpa bisa dikendalikan!"Pak Tirta, tentu saja maksudku ... maksudku ...." Melihat Tirta hanya bengong tanpa melakukan apa-apa, bahkan menatapnya dengan heran, wajah Marila semakin merah. Namun, dia benar-benar malu untuk mengatakan permintaannya secara langsung.Jadi, dia hanya melirik pelan ke arah dadanya, berharap Tirta bisa mengerti maksudnya."Bu Marila, kamu ingin aku bantu ... bantu ... apa ya?" Tirta salah paham dan cukup kaget. Pikirannya mulai liar. Bukannya Marila itu tipe yang kalem? Masa iya wanita ini memintanya memijat dadanya? Mungkin dia merasa kurang nyaman jika melakukannya sendiri?"Benar, Pak Tirta. Aku memang ingin kamu bantu aku .... Tolong segera dimulai ya ...." Melihat Tirta tampak ragu, Ma
"Ada apa sih, Kak? Kok suaramu kayak lagi ngumpet-ngumpet gitu? Jangan-jangan Paman nggak dengarin nasihat Kakek lagi ya?" Suara ceria Shinta terdengar dari seberang telepon, dengan nada penuh rasa penasaran."Bukan soal Paman ...." Marila menahan rasa gugup dan malu dalam dirinya, lalu berbisik pelan, "Aku cuma mau tanya, waktu itu gimana caranya kamu buat Pak Tirta bantuin kamu besarin payudara?""Apa? Kakak bicara apa sih? Suaramu kecil banget, aku nggak dengar jelas ...." Shinta terdengar makin bingung.Wajah Marila pun langsung merah padam. Dia terpaksa mengulangi ucapannya dengan suara lebih keras, meskipun merasa malu. "Aku bilang, aku mau tanya, gimana caranya kamu bisa buat Pak Tirta bantu kamu besarin payudara ....""Hahaha! Wah, kamu ini ya! Aku benar-benar nggak nyangka! Waktu itu kamu marahin aku habis-habisan, sekarang kamu malah mau besarin juga!""Yah ... sebenarnya sih aku bisa saja kasih tahu, tapi kamu harus minta maaf dulu sama aku. Kalau suasana hatiku baik, aku bi
Ternyata setelah Shinta kembali ke ibu kota, Marila mulai menyadari ada yang aneh dengan perubahan di tubuh adiknya itu, khususnya di area payudara.Meskipun biasanya tertutupi pakaian dan tidak mudah terlihat oleh orang luar, Marila dan Shinta adalah kakak beradik. Tentu saja mereka kerap bersentuhan secara fisik.Suatu kali, Marila tanpa sengaja menyentuh tubuh Shinta dan terkejut mendapati payudara adiknya yang dulu rata telah berubah menjadi seperti buah pir besar!Karena itu, Marila curiga bahwa Shinta diam-diam melakukan operasi pembesaran payudara. Dia langsung memarahi sang adik habis-habisan.Shinta yang masih berjiwa muda dan sensitif, tentu tidak terima dituduh macam-macam tanpa alasan. Akhirnya, mereka bertengkar. Dalam perdebatan itu, Shinta keceplosan.Dari situ, Marila baru tahu bahwa Tirta memiliki kemampuan medis yang begitu ajaib! Melihat adiknya kini justru lebih "berisi" dibanding dirinya, Marila langsung merasa tertekan dan minder.Dia pun bertekad, kalau suatu har
Marila takut Tirta kehabisan kesabaran, jadi dia menunjuk ke arah sebuah gedung tinggi di pusat kota."Maaf sudah merepotkanmu. Oh ya, sebelumnya kamu sempat bilang ingin minta bantuanku, 'kan? Nanti setelah aku selesai menenangkan Susanti, aku pasti bantu kamu ...."Tirta melirik Susanti yang sedang tertidur di pelukannya, lalu mengangguk pelan. Dia seperti teringat sesuatu dan menoleh ke arah Marila. Namun, sebelum Tirta selesai bicara, Marila segera menyela dengan ekspresi agak canggung."Pak Tirta, urusanku nggak mendesak! Kamu bisa fokus dulu merawat Bu Susanti. Kalau nanti benar-benar sudah ada waktu luang, baru cari aku."Saat mengatakan itu, Marila tanpa sadar menunduk. Wajahnya pun terlihat agak malu dan pipinya sedikit memerah."Ya sudah kalau begitu." Melihat reaksi Marila, Tirta pun tak memperpanjang pembicaraan. Dia berkata ingin beristirahat sebentar, padahal sebenarnya dia masuk dalam kondisi meditasi untuk berbicara dengan Genta.'Kak Genta, lihat deh, pemandangan di Pr