Sekelompok orang itu tampak babak belur. Jika bukan karena pakaian mereka yang mewah, orang mungkin akan mengira mereka adalah korban yang baru saja dibawa dari medan perang. Satu-satunya yang belum pernah dilihat Tirta adalah seorang pria paruh baya yang duduk di samping mereka dengan ekspresi tenang dan dingin.Hidungnya yang mancung dan matanya yang tajam, sesekali mengeluarkan kilatan cahaya seolah-olah mampu melihat menembus segalanya. Secara refleks, dia melirik Tirta sejenak. Tatapannya tetap datar tanpa ekspresi.Pria ini bernama Sandy, seorang ahli penilai batu yang diundang oleh Putro untuk acara kali ini. Sandy juga merupakan senjata pamungkas dan andalan terbesar Putro.Setelah melihat Tirta sekilas, Sandy mengalihkan pandangannya dan tidak memperhatikannya lagi. Dia hanya mendengus dengan nada mengejek, jelas tidak menganggap Tirta yang masih muda ini bisa menandinginya.Aina yang lehernya terpasang penyangga, hanya bisa memalingkan kepalanya. Namun, dia langsung mengenali
"Dia? Memangnya bocah tengik sepertinya pantas menilai batu? Ini benar-benar lelucon besar!" ejek Putro dengan tatapan menghina."Aku nggak peduli apa alasanmu membawa bocah ini. Kalaupun kamu membawanya ke sini adalah untuk memijat kakiku, aku juga nggak peduli. Tapi, kalau dia nggak berlutut minta maaf padaku hari ini, masalah kita nggak akan selesai begitu saja."Sikap Putro sangat agresif. Bahkan dengan Afrian yang mencoba menghentikannya sekalipun, Putro tampaknya tidak berniat untuk mengalah begitu saja. Tirta mendengus dingin, lalu mengepalkan tinjunya."Kamu belum cukup dihajar, ya? Kemarin kamu sudah minta maaf, tapi sekarang malah datang cari masalah lagi. Minta dihajar lagi?" Mata Tirta memancarkan kilatan yang berbahaya.Berani-beraninya sekelompok orang ini datang mencari masalah? Sepertinya pelajaran kemarin belum cukup membekas bagi mereka?Menghadapi ancaman dari Tirta, Putro dan Aina tampak agak tegang. Sudut bibir mereka sedikit berkedut. Luka mereka masih terasa saki
Irene malah menyetujui persyaratan yang begitu tidak adil. Hal ini membuat Afrian tertegun sejenak, lalu menoleh pada Tirta. "Tirta, bagaimana menurutmu?"Tirta mengangguk. "Aku nggak keberatan. Lagi pula aku nggak akan kalah. Biarkan orang kampungan ini membuka wawasannya." Bisa memenangkan satu triliun dari Putro adalah jumlah besar. Tirta juga tentunya setuju.Berhubung kedua belah pihak telah sepakat, taruhan mereka pun langsung dijalankan."Hahaha ...." Putro dan Aina tertawa terbahak-bahak."Baiklah, Afrian, kali ini kamu pasti kalah. Pecundang yang kamu pilih ini bahkan nggak berhak jadi pesuruh Pak Sandy. Saat aku melayani putrimu nanti, akan kukirimkan video padamu. Hahaha ...."Putro bahkan tidak peduli lagi untuk menjaga martabatnya di depan orang banyak. Melihat Irene yang memiliki aura anggun dan tubuh rampingnya yang tinggi semampai, penampilan ini benar-benar memukau. Sayangnya, wajah Irene saat ini dipenuhi dengan kebencian.Namun, Putro punya caranya tersendiri untuk m
Tirta juga tidak terlalu peduli pada Sandy. Afrian dan Gilang yang duduk di sampingnya menimpali, "Tentu saja. Dengan kemampuanmu, bahkan Sandy pun nggak akan jadi masalah bagimu."Gilang menambahkan sambil tertawa, "Sandy memang lumayan terkenal di kalangan ini, tapi dia sangat sombong. Reputasinya lebih besar daripada kemampuannya sesungguhnya. Dengan kemampuan Pak Tirta, nggak perlu pedulikan soal taruhan ini. Lakukan saja seperti biasa."Kedua orang itu merasa sangat percaya diri terhadap Tirta.Irene menoleh pada Tirta. Tirta juga menyadari tatapannya, lalu melemparkan senyuman yang menenangkan. Irene tersenyum tipis, hatinya semakin mantap mendukung Tirta.Putro yang mendengar perkataan mereka itu sontak tergelak. "Hahaha ... yang bakalan nangis itu kalian! Lihat saja nanti."....Setelah menunggu sekitar setengah jam, Larry memegang mikrofon dan mengumumkan di atas panggung, "Pameran pemilihan batu giok tahun ini resmi dimulai."Tirta bangkit dari kursi, lalu meregangkan leherny
"Tua bangka, sombong sekali ucapanmu. Jangan nangis kalau kalah nanti," balas Tirta sembari mengangkat alisnya. Sementara itu, Sandy bahkan tidak menggubris ucapannya sama sekali."Pak Putro, ikuti aku!"Sandy yang merasa dirinya seorang ahli, sama sekali tidak berniat melihat batu-batu di zona kelas rendah dan menengah. Dia langsung menuju zona kelas tinggi bersama Putro, Aina, dan yang lainnya. Batu giok dengan harga dasar 260 miliar masih terjangkau oleh Putro dengan kekayaannya.Sementara itu, Gilang yang mengikuti Tirta menyarankan, "Pak Tirta, meskipun sifat Sandy kurang baik, kemampuannya dalam memilih batu sangat hebat dan berpengalaman. Dia hampir nggak pernah salah memilih batu.""Batu giok di zona kelas tinggi nggak terlalu banyak. Dengan keahlian Sandy, dia pasti bisa langsung memilih batu giok yang paling berharga di sana, lalu membelinya dengan harga lebih tinggi," lanjutnya. "Kita harus segera ke zona kelas tinggi untuk memilih batu sebelum Sandy punya kesempatan."Irene
"Hahaha ...." Putro tidak segan-segan mengejek keputusan Afrian. Aina juga tidak mungkin melewatkan kesempatan ini untuk mengejek Tirta.Dia menyindir Tirta, "Kalau mau mati, langsung bilang saja. Kenapa malah nyeret orang lain? Kamu ini benar-benar orang baik ya."Bahkan beberapa orang di samping mereka yang memilih batu juga tidak tahan melihat tindakan Tirta yang konyol dan menghujatnya."Kalau nggak pandai milih, nggak usah dilihat lagi. Milih batu giok mentah tentu harus dari zona kelas tinggi. Kalaupun nggak punya uang, nggak mungkin milih di zona kelas rendah begini. Batu di sana cuma mainan untuk orang miskin.""Iya, menurutku, Afrian kali ini malah nyari bocah ingusan yang nggak ngerti apa-apa. Dia pasti bakal sial. Bukan cuma rugi besar, bahkan putrinya juga dipertaruhkan. Ckck ....""Sayang sekali. Irene secantik itu, tapi malah didapatkan orang seperti Putro.""Sayang apanya? Sudahlah, yang jadi ayahnya saja nggak merasa sayang. Untuk apa kita cemas?""Hahaha ...." Bukan ha
"Pak Tirta, kasir nomor 36, Gania, akan menyelesaikan pembayaran Anda," kata Gania dengan profesionalisme tinggi sambil memindai kode batang pada batu giok mentah tersebut dan memasukkannya ke dalam perangkatnya."Pak Tirta, Anda telah memenangkan lelang batu giok nomor 72, 634, dan 1070. Silakan konfirmasi."Tirta mengamati kaki ramping Gania yang dibalut stoking hitam sambil mengangguk. Dalam hati, dia benar-benar merasa kagum terhadap penyelenggara acara ini. Bahkan staf kasir yang bertugas saja berpenampilan secantik ini."Ya, saya konfirmasi."Gania menyadari bahwa Tirta sedang memperhatikan kakinya. Namun, dia tidak merasa terganggu dengan tatapan Tirta dan bahkan merasa agak senang. Diam-diam, dia merasa dirinya cukup menarik. Akan tetapi, itu tidak memengaruhi profesionalismenya."Berhubung nggak ada orang lain yang menawar tiga batu giok ini, berarti harganya dihitung sesuai dengan harga awal. Totalnya 200 miliar.""Silakan selesaikan transaksinya."Harga batu giok mentah di z
"Kalau tahu mereka selemah itu, aku pasti sudah maju sejak tadi," ujar Aina yang merangkul lengan Putro dengan ekspresi bangga. Penampilannya menunjukkan seolah-olah dirinya adalah bos besar di sini."Ya, sampah memang sampah. Mau berlagak seperti apa pun, tetap saja rendahan." Meskipun berkata demikian, Sandy tidak akan berani memejamkan matanya sambil memilih batu mentah.Bukannya Sandy menghargai Tirta, melainkan dia harus menjaga reputasinya. Dia harus mendapat barang bagus karena keuntungan adalah yang terpenting.Jika mendapat batu giok yang bagus, Sandy akan memperoleh komisi besar. Namun, jika gagal dan batu mentah yang terpilih tidak bagus, Sandy bukan hanya tidak akan mendapat komisi, bahkan harus menanggung kerugiannya bersama Putro. Ini sudah aturan yang tertera.Yang paling parah adalah prestise yang dibangun Sandy dengan susah payah akan hancur begitu saja. Dia tidak akan membiarkan hal seperti ini terjadi. Sandy tidak membuang-buang waktu lagi. Dia mengamati batu mentah
Melihat respons Lutfi, Shinta tertawa dan mengomentari, "Kak Lutfi, apa Kak Tirta lebih hebat darimu?"Lutfi menyahut, "Bukan cuma lebih hebat dariku. Bahkan, guruku juga nggak berhasil melatih Tinju Harimau Ganas seperti Tirta."Lutfi yang penasaran bertanya, "Tirta, katakan dengan jujur, apa sebelumnya kamu sudah pernah berlatih Tinju Harimau Ganas? Aku baru saja memberimu buku-buku itu."Tirta yang merasa antusias menjawab, "Kak Lutfi, kamu salah paham. Sebelum kamu memberiku buku-buku itu, aku nggak pernah berlatih ilmu bela diri. Kemarin aku cuma melihatnya sekilas, aku juga nggak menyangka bisa menguasainya. Apa aku benar-benar lebih hebat dari gurumu?"Lutfi menanggapi dengan ekspresi kaget, "Kamu cuma melihatnya sekilas? Tirta, sepertinya kamu itu memang genius langka dalam dunia bela diri. Tinju Harimau Ganas ini memang terdengar biasa saja. Tapi, dibandingkan teknik lain dari buku-buku yang kuberikan padamu, Tinju Harimau Ganas paling sulit dilatih."Lutfi meneruskan, "Guruku
Sebelum Niko sempat bicara, Lutfi menunjuk Karsa sambil marah-marah, "Sepertinya kamu masih nggak menyesali perbuatanmu! Awalnya kamu cuma dijatuhi hukuman tembak mati! Kalau kamu nggak takut mati, aku rasa lebih baik kamu dipenjara seumur hidup seperti dia!"Tindakan Lutfi sudah melanggar perintah Saba, tetapi seharusnya Saba tidak akan menyalahkan Lutfi. Sementara itu, Pinot sudah gila. Dia baru berusia 40-an tahun, tetapi harus menghabiskan sisa hidupnya di penjara.Ekspresi Ladim menjadi masam setelah mendengar ucapan Lutfi. Dia berseru, "Apa? Aku nggak mau dihukum seperti dia! Aku mohon, bunuh aku!"Jika tahu dirinya akan berakhir tragis, tadi Ladim pasti tidak akan berbicara. Sayangnya, semua sudah terlambat.Akhirnya, Ladim dan lainnya pun dipenjara. Niko baru tertawa terbahak-bahak, lalu pergi ke kantor Susanti.Setelah mendengar laporan Niko, Susanti tersenyum dan menanggapi, "Mereka memang pantas dihukum! Kalau mereka itu pemimpin yang memedulikan rakyat, mereka nggak akan be
Biasanya Saba memang terlihat ramah, tetapi dia tidak akan memaafkan orang-orang seperti Ladim dan lainnya yang melakukan perbuatan keji.Begitu Saba melontarkan ucapannya, Ladim dan lainnya sangat terpukul. Biarpun mereka terus memohon kepada Saba, Lutfi juga tidak peduli. Dia memimpin anggotanya untuk membawa Ladim dan lainnya keluar dari klinik."Mereka memang pantas dihukum!" celetuk Tirta. Dia yang merasa puas memandang Saba sembari bertanya, "Kak Saba, sebenarnya ada yang mau kutanyakan."Saba kembali tersenyum. Dia menyahut, "Tirta, kamu langsung bilang saja. Nggak usah sungkan."Tirta mengungkapkan kebingungannya, "Bukannya kemarin kamu bilang sudah pensiun dan nggak punya jabatan apa pun lagi? Kenapa sekarang aku merasa kamu tetap berkuasa? Kamu nggak kelihatan seperti kehilangan jabatan."Saba tertawa, lalu menjelaskan, "Tirta, ini semua berkat kamu. Sebenarnya aku nggak berniat memberitahumu. Tapi, aku akan bicara jujur karena kamu sudah bertanya."Saba meneruskan, "Awalnya
Ladim sungguh emosional sekarang. Dia menerjang ke arah Karsa dan menghajarnya. Dia ingin sekali menembak mati Karsa sekarang juga!"Karsa, akan kuhabisi kamu! Matilah kamu! Beraninya kamu menipuku untuk melawan teman Pak Saba! Kamu harus mati!"Pinot yang murka dan takut juga menyerbu ke arah Karsa dan menghajarnya habis-habisan."Ah ... ah .... Tolong berhenti! Aku nggak tahu dia teman Pak Saba!" teriak Karsa dengan kesakitan. Bagaimanapun, dia masih belum pulih dari cedera sebelumnya. Dia hampir tewas dibuat Ladim dan Pinot."Bagus, bagus sekali." Tirta menonton dengan seru, bahkan bertepuk tangan."Sialan! Kalau nggak ada Pak Saba, kamu bukan siapa-siapa!" Karsa memelototi Tirta dengan tatapan penuh kebencian dan keengganan."Kamu benar, kamu hebat. Tapi, asal kamu tahu, kalau bukan karena ada hukum di negara ini, kamu pasti sudah kubunuh kemarin. Kamu kira aku takut padamu?" sahut Tirta dengan suara rendah sambil maju. Tatapannya terlihat dingin.Seketika, jantung Karsa seperti be
"Hehe, jadi kamu Tirta ya? Masih muda dan cuma rakyat jelata, tapi berani menyuruhku masuk untuk menemuimu? Benar-benar nggak tahu diri!" Setelah memasuki klinik, Pinot menatap Tirta dengan tatapan tajam. Sikapnya terlihat seperti pejabat tinggi yang penuh wibawa."Ayah Angkat, dia Tirta. Jangan lepaskan dia begitu saja! Tirta, ayah angkatku sudah datang. Kamu akan berakhir tragis. Setahun lagi akan menjadi hari peringatan kematianmu!" Karsa yang dibawa masuk langsung dipenuhi api kebencian setelah melihat Tirta. Setelah berbicara kepada Pinot, dia berteriak dengan marah kepada Tirta."Kamu ayah angkat Karsa? Huh, sudah tua dan mau mati, tapi masih saja bodoh. Pendiri negara, Pak Saba, ada di sini. Kamu malah berani sesombong ini?" Tirta sama sekali tidak peduli dengan Karsa, melainkan menatap Pinot dan tersenyum dingin."Pak Saba? Saba Dinata? Hahaha, kenapa nggak bilang dia raja saja? Kamu ini cuma orang kampung yang picik. Atas dasar apa kamu mengenal orang sehebat Pak Saba?" Pinot
"Bu ... buset! Me ... mereka punya pistol!" Begitu melihat perubahan situasi yang mendadak, orang-orang itu pun terkesiap.Apalagi, aura yang dipancarkan oleh para pengawal Nagamas itu dipenuhi niat membunuh. Mereka ketakutan hingga memucat dan sekujur tubuh gemetar. Seketika, tidak ada yang berani bergerak.Saat ini, terdengar suara santai seseorang. "Aku Tirta. Beri tahu bos kalian, kalau mau menemuiku, suruh dia masuk sendiri. Mau aku yang keluar? Dia nggak pantas!"Tirta menyesap tehnya, lalu menyunggingkan senyuman meremehkan."Ya, cuma wali kota rendahan. Atas dasar apa dia menyuruh Kak Tirta keluar menemuinya? Dia saja yang merangkak masuk!" ucap Shinta yang memeluk anak harimau."Kita keluar!" Para bawahan itu tidak berani membantah karena mereka dibidik dengan pistol. Mereka berlari keluar dengan ketakutan."Hm? Aku suruh kalian bawa Tirta keluar. Kenapa kalian malah keluar secepat ini?" tanya Pinot dengan kesal saat melihat bawahannya keluar dengan tangan kosong."Ayah Angkat
Semua orang mengikuti arah pandang Pinot. Begitu melihatnya, mereka semua terkejut. Bagaimana bisa mobil dengan plat nomor ibu kota muncul di tempat terpencil seperti ini?Bahkan, mobil yang berada di paling depan punya plat nomor yang begitu istimewa, A99999! Jelas, pemilik mobil ini bukan orang biasa!"Pak Pinot, aku rasa kamu berlebihan. Orang-orang di ibu kota itu nggak mungkin datang ke tempat jelek seperti ini. Ini nggak masuk akal. Mungkin saja, ini rekayasa Tirta. Jangan menakuti diri sendiri," ucap Ladim sambil tersenyum tipis setelah terpikir akan kemungkinan ini."Masuk akal. Kalau Tirta kenal tokoh besar di ibu kota, mana mungkin dia masih tinggal di tempat bobrok seperti ini?""Ayah Angkat, dia mungkin tahu kita bakal kemari untuk balas dendam. Dia takut, makanya ingin menakuti kita dengan cara seperti ini. Kamu jangan tertipu," ujar Karsa yang ingin sekali membalas dendam."Seharusnya begitu. Huh! Bocah ini licik juga! Kalian semua, masuk dan tangkap dia!" Setelah menghel
"Pak Ladim, kalau kamu suka, kita bisa pindahkan dia ke Kota Lais supaya lebih dekat. Setelah kamu menundukkannya, jangan lupa kirim ke tempatku.""Ya, aku memang punya rencana seperti itu." Ladim tertawa terbahak-bahak.Saat ini, tenaga Karsa telah pulih banyak. Tatapannya dipenuhi kebencian. Dia mengertakkan gigi sambil berkata dengan susah payah, "Ayah Angkat, akhirnya kamu datang. Aku jadi cacat gara-gara mereka. Gimana aku bisa berbakti padamu di kemudian hari?""Kamu harus membantuku membalas dendam! Kalau nggak, aku nggak bakal bisa tenang seumur hidup!""Sebenarnya siapa yang membuatmu jadi begini? Kejam sekali." Pinot baru memperhatikan penampilan tragis Karsa. Bukan hanya patah tangan dan kaki, tetapi kelima jari di tangan kiri juga putus.Pinot tak kuasa menarik napas dalam-dalam saking terkejutnya. Kondisi Harto juga sama tragisnya."Nama bocah itu Tirta! Kami bertemu di kota kecil sekitar. Bukan cuma aku, tapi adikku juga! Ayah Angkat, Pak Ladim, kalian harus membalaskan d
Di sisi lain, di dalam kantor polisi.Wali Kota Hamza, Pinot, bersama dengan kepala kepolisian, Ladim, duduk dengan santai di aula utama. Mereka mulai bertanya kepala polisi yang berjaga di depan, Niko."Kapan atasan kalian keluar? Cuma menyerahkan penjahat, sepertinya nggak perlu terlalu lama, 'kan?" Yang berbicara adalah Ladim. Dia menerima banyak hadiah dari Karsa. Ketika ada masalah, dia tentu harus turun tangan."Huh, Bu Susanti sedang sibuk dan nggak punya waktu untuk bertemu dengan kalian. Kalian bisa kembali saja. Lagian, para penjahat itu ditangkap di wilayah kami. Tanpa izin dari Bu Susanti, aku nggak akan melepaskan mereka!"Niko jelas bisa merasakan bahwa mereka datang dengan niat buruk. Makanya, dia mendengus dan berkata dengan kesal."Hehe, memang benar kalian yang tangkap, tapi mereka semua berasal dari Kota Hamza. Jadi, sudah seharusnya diserahkan ke Kepolisian Kota Hamza untuk diproses. Kalian nggak punya hak untuk bernegosiasi denganku. Suruh atasan kalian keluar dan