Di bawah serangan Tirta yang bertubi-tubi, kedua orang itu akhirnya tidak tahan lagi. Gigi Putro sampai hanya tersisa beberapa buah.Aina memohon ampun, "Aku akan minta maaf! Tolong berhenti memukulku! Aku bisa mati kalau begini!"Rasa sakit pada sekujur tubuh Aina membuatnya hampir jatuh pingsan. Tirta berujar, "Kalau begitu, cepat berlutut dan minta maaf."Karena tidak berdaya, Putro dan Aina hanya bisa menerima penghinaan ini. Mereka berlutut dan meminta maaf kepada Melati. "Melati, maafkan kami. Kami sudah salah. Kami nggak seharusnya menindasmu."Melati mengernyit sambil menatap penampilan keduanya yang menyedihkan. Akan tetapi, Tirta berhasil membalas penghinaan yang dirasakannya.Melati melambaikan tangannya dan berujar, "Sudahlah. Tirta, mereka sudah minta maaf. Biarkan masalah ini berlalu. Jangan sampai ada korban."Tirta pun mengangguk. Kemudian, dia merobek pakaian Aina hingga membuat wanita itu menjerit ketakutan, "Ah!"'Dasar sok suci,' batin Tirta saat melihatnya. Sebenar
Tirta bisa semarah itu karena perlakuan Putro terhadap Melati. Dengan kata lain, Melati memiliki posisi penting di hati Tirta.Melati menggenggam tangan Tirta dengan bahagia. Dia membantu Tirta meniup tangannya sambil bertanya, "Tanganmu sakit nggak? Pukulanmu sangat keras tadi."Tirta mengangguk dan menyahut, "Tentu saja sakit. Soalnya mukanya tebal sekali. Aku jadi harus mengerahkan tenaga besar."Ketika mendengar ejekan Tirta itu, Putro yang berbaring di lantai pun merasa makin gusar. Namun, sekujur tubuhnya terasa sakit sehingga dia tidak bisa melakukan apa-apa.Sementara itu, para bos yang diserang oleh Tirta tentu tidak akan diam begitu saja. Aksa segera mengambil tisu untuk menahan luka di kepalanya. Dia sampai meringis kesakitan."Pak Putro, kita nggak pernah menderita kerugian sebesar ini. Berani sekali bocah tengik seperti itu menginjak-injak harga diri kita. Kita nggak boleh diam begitu saja!" ujar Aksa. Bos lainnya segera menyetujui."Benar, Pak. Kita semua terluka parah ga
"Kenapa Kak Nabila? Kamu nggak enak badan?" tanya Tirta dengan tatapan yang agak aneh. Wajah Nabila tampak bersemu merah. Kedua matanya terlihat berseri-seri dengan pesona yang sulit untuk diungkapkan."Mau kuperiksa nggak?" Awalnya Tirta tidak berpikir ke arah lain. Bagaimanapun, dia baru saja selesai memukul orang sehingga suasana hatinya masih belum reda.Beberapa wanita lainnya tidak menyadari bahwa Nabila dan Tirta masih belum keluar dari mobil. Atau mungkin mereka memang sudah mengetahuinya dan diam-diam merasa kecewa.Wajah Nabila terasa sangat panas. Dia menarik kedua tangan Tirta dan meletakkannya di depan dadanya. Tirta merasakan sensasi yang lembut di ujung jarinya.Saat ini cuaca agak panas, sehingga kaus yang dikenakan Nabila lumayan tipis. Begitu meletakkan tangannya ke dada Nabila, seketika terasa wangi semerbak dan sensasi yang mengejutkan."Aku ... memang merasa kurang nyaman, tapi di bagian ini ...," kata Nabila sambil menggerakkan kedua kakinya yang ramping dan jenja
Udara di dalam mobil dipenuhi dengan hasrat yang menggelora dan membuat mereka teringat kembali dengan kenangan awal. Erangan Nabila yang pelan dan memukau itu bergema di dalam sana. Namun pada saat ini, gerakan Tirta tiba-tiba terhenti.Nabila kebingungan. Padahal mereka sudah sampai sejauh ini, seharusnya Tirta langsung menyetubuhinya. Semangat Tirta sangat membara. Wajahnya yang beringas itu tampak seperti binatang buas yang hendak melahap mangsanya.Tidak mungkin hasrat Tirta tiba-tiba bisa padam. Nabila memicingkan matanya sambil menggerakkan tubuhnya dengan kesal."Tirta jahat, kamu mau menindasku lagi ya? Padahal sudah sampai begini, kamu ini benar-benar menyebalkan ...."Tirta tiba-tiba teringat dengan sesuatu dan berkata, "Jangan buru-buru, kita main yang lebih unik."Tirta menaikkan celananya dan berlari masuk ke klinik. Beberapa saat kemudian, dia kembali dengan buru-buru dan wajah kegirangan. "Nih, pakai ini."Ternyata dia membawakan beberapa pakaian dalam seksi yang dibeli
"Ah ...."Kalau bukan karena mobil ini memiliki peredam suara yang sangat baik, mungkin teriakan Nabila yang dahsyat ini telah menarik perhatian banyak orang. Mobil itu terus berguncang dengan frekuensi yang kadang cepat dan kadang melambat.Setelah beberapa saat, Nabila tidak mampu lagi menahan serangan Tirta. Tubuhnya terasa lemas dan terkulai di kursi. Di dalam mobil, semuanya tampak berantakan. Tubuh Nabila masih gemetaran dengan mata yang setengah terpejam.Lantaran telah menghabiskan banyak tenaga dan stamina, Nabila tidak bisa bertahan lagi dan perlahan-lahan tertidur lelap. Tirta kemudian memeluk Nabila yang hampir pingsan."Aku bahkan belum mengeluarkan tenaga, sudah pingsan begitu saja?" Mengenang kembali klimaks yang baru saja dirasakannya, Tirta merasa hanyut dalam kenikmatan. Kali ini, Nabila bersikap sangat patuh dan kooperatif. Sepertinya, gadis ini telah menahan diri sepanjang perjalanan. Hanya saja, Tirta masih belum merasa puas. Dia membantu Nabila mengenakan pakaian
Melati mengeluarkan desahan manja. "Pelan-pelan, dong. Bukan milik sendiri, jadi nggak sayang ya? Dasar ...." Meski mulutnya menegur Tirta, tubuh Melati justru bersandar ke dada Tirta. Wajahnya menunjukkan ekspresi penuh harap. Meskipun Melati tidak mengucapkan sepatah kata pun, sikapnya sudah menyampaikan semuanya.Tirta yang masih belum sepenuhnya puas setelah bersama Nabila, mana mungkin bisa menolak inisiatif Melati? Tirta segera mengeluarkan pakaian tempurnya. "Tadi pertarungannya belum selesai. Gimana kalau kita yang lanjutkan?" tanyanya sambil memberikan pakaian tempur yang sebelumnya tidak dipakai Nabila. Sekarang, pakaian itu akan berguna.Melati merasa malu dan berkata dengan ragu, "Harus pakai ini? Kalau begitu, gimana kalau kita kembali ke dalam rumah? Biar kupakai untukmu ...."Wajah Melati merah padam. Dia tahu bahwa mengenakan pakaian tempur itu akan membuat Tirta semakin bersemangat. Rasanya ... pasti akan sangat luar biasa. Namun, Tirta hanya menggelengkan kepalanya.
"Hehe, nggak apa-apa, Bi. Nggak akan ada yang datang. Tenang saja!" Melihat Ayu yang menghampiri mereka, Tirta tersenyum licik. "Kebetulan, Kak Melati sudah nggak sanggup bertahan lagi. Bibi, nanti mohon bantuannya ya," ujar Tirta.Tentu saja Ayu mengerti apa yang dimaksud Tirta. Dia tersipu sambil berdecak, "Cih, jangan mimpi.Meski begitu, kedua wanita tetap menurut saat Tirta membawa mereka kembali ke klinik. Setelah menutup pintu, Tirta memojokkan Melati dan Ayu. Ayu yang telah mengikuti pertempuran sengit bersama Melati dan Tirta, kini tak lagi merasa malu. Sebaliknya, dia lebih menikmati kenyamanan yang dirasakannya."Hehe, hari ini kalian berdua nggak akan bisa keluar lagi," kata Tirta sambil mengambil beberapa pakaian dalam seksi. "Bibi, kamu juga pakai ini."Ayu mengeluarkan desahan manja. Dia tampak agak kesal, tetapi akhirnya menyerah pada nasibnya. Lagi pula jika bukan karena menghormati sahabatnya, Ayu dan Tirta yang tidak punya hubungan apa pun sedari awal, pasti sudah la
"Apa?" Tirta terpaku sejenak sebelum akhirnya sadar kembali. Dia sama sekali tidak menyangka Arum akan menanyakan pertanyaan seperti itu.Tirta menyeringai bangga dan berkata, "Nggak, ko. Mana mungkin capek kalau hal beginian? Mau bertarung sepuluh hari sepuluh malam pun, aku nggak akan capek."Arum menutup mulutnya dengan terkejut, "Serius? Itu ... sepertinya nggak mungkin."Arum tahu bahwa pria sering melebih-lebihkan dalam hal seperti ini. Namun, dia mendengar langsung suara-suara yang terjadi semalam. Melihat Tirta yang masih penuh semangat dan tampak begitu bertenaga, Arum mulai merasa Tirta tidak sedang membual. Ini benar-benar mengejutkan dan luar biasa.Melihat lingkaran hitam yang tebal di bawah mata Arum, Tirta memperingatkan, "Oh ya, Arum, sekarang Nabila belum tahu tentang hubunganku dengan Ayu dan Melati. Jadi tolong jangan sampai keceplosan, terutama jangan sampai Nabila tahu, ya."Dengan wajah tersipu, Arum meletakkan tangan kecilnya di depan mulutnya dan mengangguk pela
"Pak Idris, kalau memang ada sesuatu, lebih baik berdiri dan bicarakan saja. Selama bukan hal yang melanggar nurani dan hukum, aku pasti akan bantu." Melihat keadaan itu, Tirta hanya bisa menghela napas dengan pasrah."Benarkah? Kamu benaran bersedia membantuku, tanpa mengungkit kesalahan masa lalu? Tapi, permintaanku ini .... Aku ingin kamu membantuku dan istriku agar bisa punya seorang anak.""Kami sudah menikah 20 tahun, sampai sekarang belum juga punya keturunan. Aku dan istriku sudah pergi ke rumah sakit di seluruh negeri, tapi nggak ada yang bisa menemukan penyebab pastinya ...."Idris akhirnya berdiri dari lantai, tetapi suaranya masih penuh emosi dan sedikit tidak percaya. Dia merasa Tirta yang seperti dewa hidup pasti sulit didekati dan tak mudah diajak bicara. Itu sebabnya, sikapnya terhadap Tirta sangat sungkan."Kenapa nggak? Pak Idris, kamu dan Bu Marila sudah susah payah membantuku mencari Susanti. Aku tentu harus membantumu semaksimal mungkin.""Lagi pula, sekalipun buka
Setelah itu, Yuli memperhatikan bahwa wajah Idris tampak agak canggung. Dia pun mengecilkan suaranya dan bertanya dengan hati-hati, "Pak Idris, suaraku terlalu keras sampai mengganggumu ya? Maaf banget ya, aku terlalu bersemangat, jadi nggak bisa kontrol diri.""Nggak, nggak. Bu Yuli, suaramu sama sekali nggak keras. Kamu nggak perlu mengkhawatirkanku. Selama Pak Tirta nggak merasa terganggu, aku nggak akan keberatan sedikit pun." Saat melihat dari ujung mata bahwa Tirta menoleh ke arahnya, Idris buru-buru melambaikan tangan sambil tertawa canggung."Benaran?" Yuli tampak semakin tidak percaya. Seorang gubernur bisa serendah hati ini? Apalagi dari nada bicara Idris, terlihat jelas bahwa dia sangat takut pada Tirta! Jangan-jangan Tirta punya latar belakang yang bahkan membuat seorang gubernur seperti Idris gentar?"Masih sempat ngobrol, nggak pikirin kondisi anak kita sekarang kayak gimana!" Sebelum Yuli sempat melanjutkan, Anton sudah menyela dengan nada kesal."Huh! Kalau anak kita ke
"Eh ...." Tirta sebenarnya tidak menyangka bahwa Marila bisa sekompetitif itu dalam hal seperti ini. Namun, dia tetap menatap tubuh Marila dari atas sampai bawah dengan serius, lalu berkata, "Marila, sebenarnya postur tubuhmu cenderung lembut dan anggun.""Ukuran sebesar jeruk bali itu sudah sangat cocok. Bakal terlihat indah, seimbang, alami, dan menambah pesona feminin. Kalau sebesar melon, malah akan kelihatan agak aneh.""Kalau sampai lebih besar dari melon, itu malah jadi nggak enak dipandang. Nggak perlu terlalu mengejar ukuran. Yang pas itu yang terbaik."Mendengar ucapan Tirta, Marila tanpa sadar melirik tubuhnya sendiri, lalu merasa yang dikatakan Tirta masuk akal. Namun, begitu teringat pada Shinta, dia merasa enggan.Dia bertanya, "Kalau begitu, kenapa Shinta yang lebih muda dariku bilang mau sebesar melon? Kalau dia sebesar itu, bukannya juga nggak seimbang?""Benar. Makanya, aku juga nggak pernah berniat bantu dia sampai sebesar melon. Umurnya masih muda, dia belum bisa me
"Tapi, Pak Tirta sudah bilang, setelah dia mengantar Bu Susanti pulang, dia akan pergi ke ibu kota sebentar." Marila sudah tidak begitu marah lagi. Lagi pula, Shinta adalah adik kandungnya.Dia berencana untuk segera menjelaskan semuanya kepada Tirta, agar Tirta tidak melihatnya dengan pandangan yang aneh di kemudian hari."Ah, begitu ya. Kalau begitu, aku nggak akan ke sana. Tapi, Kak, sekarang aku benar-benar penasaran. Bisa nggak kamu kasih tahu aku?" Nada suara Shinta yang penuh kekecewaan seketika berubah menjadi bersemangat, bahkan dia melontarkan pertanyaan dengan nada yang berlebihan."Apa itu?" Marila tanpa sadar membalas."Tapi, jangan marah ya. Aku cuma ingin tahu, aku 'kan belum kasih tahu Kak Tirta tentang permintaanmu, terus gimana dia bisa membantumu?" Suara Shinta penuh dengan rasa penasaran dan kegembiraan."Dasar anak nakal! Nanti kalau aku kembali ke ibu kota, lihat saja gimana aku akan memberimu pelajaran!" Marila merasa sangat malu dan marah, lalu langsung memutusk
Tirta baru menyadari bahwa kejadian tadi hanyalah sebuah kesalahpahaman!Awalnya, dia berniat untuk mengejar Marila dan menjelaskan semuanya atau mungkin meminta bantuan untuk mencari bahan obat atau jarum perak, lalu benar-benar memberikan perawatan pembesaran dada seperti yang diminta.Namun, saat dia melihat Marila berbalik dan masuk ke ruangan lain, lalu menutup pintu, Tirta pun tidak mengejar lagi."Hais .... Memalukan sekali. Semoga Marila bisa melupakan kejadian ini. Kalau nggak, pasti akan canggung setiap kali kami bertemu." Setelah merasakan kemanisan tadi, Tirta kembali ke kamar tempat Susanti beristirahat untuk melihatnya.Tentu saja, Tirta sudah terbiasa dengan situasi seperti ini, jadi dia merasa cukup tenang.Di sisi lain, saat Marila kembali ke kamarnya dengan penuh rasa malu, dia baru menyadari bahwa celananya ternyata sudah basah."Kapan ini terjadi? Kenapa aku nggak sadar? Gawat, Pak Tirta pasti menyadarinya! Gimana aku bisa menghadapi Pak Tirta sekarang ...." Marila
Saat itu, hati Tirta dipenuhi kebingungan dan detak jantungnya juga tak terkendali. Meskipun dada Marila datar, dia tetaplah seorang wanita!Perut putih mulusnya datar, kulitnya sehalus giok, ekspresinya yang malu-malu tampak menggoda. Semuanya membuat hati Tirta bergetar tanpa bisa dikendalikan!"Pak Tirta, tentu saja maksudku ... maksudku ...." Melihat Tirta hanya bengong tanpa melakukan apa-apa, bahkan menatapnya dengan heran, wajah Marila semakin merah. Namun, dia benar-benar malu untuk mengatakan permintaannya secara langsung.Jadi, dia hanya melirik pelan ke arah dadanya, berharap Tirta bisa mengerti maksudnya."Bu Marila, kamu ingin aku bantu ... bantu ... apa ya?" Tirta salah paham dan cukup kaget. Pikirannya mulai liar. Bukannya Marila itu tipe yang kalem? Masa iya wanita ini memintanya memijat dadanya? Mungkin dia merasa kurang nyaman jika melakukannya sendiri?"Benar, Pak Tirta. Aku memang ingin kamu bantu aku .... Tolong segera dimulai ya ...." Melihat Tirta tampak ragu, Ma
"Ada apa sih, Kak? Kok suaramu kayak lagi ngumpet-ngumpet gitu? Jangan-jangan Paman nggak dengarin nasihat Kakek lagi ya?" Suara ceria Shinta terdengar dari seberang telepon, dengan nada penuh rasa penasaran."Bukan soal Paman ...." Marila menahan rasa gugup dan malu dalam dirinya, lalu berbisik pelan, "Aku cuma mau tanya, waktu itu gimana caranya kamu buat Pak Tirta bantuin kamu besarin payudara?""Apa? Kakak bicara apa sih? Suaramu kecil banget, aku nggak dengar jelas ...." Shinta terdengar makin bingung.Wajah Marila pun langsung merah padam. Dia terpaksa mengulangi ucapannya dengan suara lebih keras, meskipun merasa malu. "Aku bilang, aku mau tanya, gimana caranya kamu bisa buat Pak Tirta bantu kamu besarin payudara ....""Hahaha! Wah, kamu ini ya! Aku benar-benar nggak nyangka! Waktu itu kamu marahin aku habis-habisan, sekarang kamu malah mau besarin juga!""Yah ... sebenarnya sih aku bisa saja kasih tahu, tapi kamu harus minta maaf dulu sama aku. Kalau suasana hatiku baik, aku bi
Ternyata setelah Shinta kembali ke ibu kota, Marila mulai menyadari ada yang aneh dengan perubahan di tubuh adiknya itu, khususnya di area payudara.Meskipun biasanya tertutupi pakaian dan tidak mudah terlihat oleh orang luar, Marila dan Shinta adalah kakak beradik. Tentu saja mereka kerap bersentuhan secara fisik.Suatu kali, Marila tanpa sengaja menyentuh tubuh Shinta dan terkejut mendapati payudara adiknya yang dulu rata telah berubah menjadi seperti buah pir besar!Karena itu, Marila curiga bahwa Shinta diam-diam melakukan operasi pembesaran payudara. Dia langsung memarahi sang adik habis-habisan.Shinta yang masih berjiwa muda dan sensitif, tentu tidak terima dituduh macam-macam tanpa alasan. Akhirnya, mereka bertengkar. Dalam perdebatan itu, Shinta keceplosan.Dari situ, Marila baru tahu bahwa Tirta memiliki kemampuan medis yang begitu ajaib! Melihat adiknya kini justru lebih "berisi" dibanding dirinya, Marila langsung merasa tertekan dan minder.Dia pun bertekad, kalau suatu har
Marila takut Tirta kehabisan kesabaran, jadi dia menunjuk ke arah sebuah gedung tinggi di pusat kota."Maaf sudah merepotkanmu. Oh ya, sebelumnya kamu sempat bilang ingin minta bantuanku, 'kan? Nanti setelah aku selesai menenangkan Susanti, aku pasti bantu kamu ...."Tirta melirik Susanti yang sedang tertidur di pelukannya, lalu mengangguk pelan. Dia seperti teringat sesuatu dan menoleh ke arah Marila. Namun, sebelum Tirta selesai bicara, Marila segera menyela dengan ekspresi agak canggung."Pak Tirta, urusanku nggak mendesak! Kamu bisa fokus dulu merawat Bu Susanti. Kalau nanti benar-benar sudah ada waktu luang, baru cari aku."Saat mengatakan itu, Marila tanpa sadar menunduk. Wajahnya pun terlihat agak malu dan pipinya sedikit memerah."Ya sudah kalau begitu." Melihat reaksi Marila, Tirta pun tak memperpanjang pembicaraan. Dia berkata ingin beristirahat sebentar, padahal sebenarnya dia masuk dalam kondisi meditasi untuk berbicara dengan Genta.'Kak Genta, lihat deh, pemandangan di Pr