Melihat tidak ada seorang pun yang mau membantunya memohon maaf kepada Tirta, hati Camila kembali dipenuhi kebencian dan ketidakpuasan.Namun, situasi tidak berpihak padanya. Jika dia tidak mengikuti apa yang diminta Tirta, kemungkinan besar dia akan kehilangan statusnya sebagai pacar Simon. Dengan berat hati, dia akhirnya menelepon kakeknya, Mahib, Kepala Keluarga Arshad."Cucu kesayanganku, sebelumnya Simon meneleponku dan minta posisi penerus Keluarga Arshad diberikan kepadamu. Ada apa? Kenapa tiba-tiba ingin mengembalikan posisi itu kepada sepupumu?" tanya Mahib dengan heran setelah mendengar permintaannya."Kakek, sebenarnya ini permintaan Simon. Simon bilang, setelah mempertimbangkan dengan matang, aku nggak punya bakat dalam bisnis. Dia merasa lebih baik aku fokus menjadi istri yang mendukungnya saja. Kakek turuti saja," sahut Camila dengan lirih. Dia takut mengatakan yang sebenarnya karena malu."Haha, Simon memang sangat cerdas!" Mahib tertawa. "Dalam waktu singkat, dia sudah
Saat itu, Tirta yang sedang makan melirik sekilas tulisan Camila di kertas. Dia mendengus ringan, lalu menegur."Kamu ...." Camila hampir saja melempar kertas dan pena di tangannya. Dadanya pun naik turun karena menahan emosi."Kenapa? Kalau merasa permintaanku terlalu berlebihan, kamu boleh nggak melakukannya," jawab Tirta sambil mengangkat alis dengan tenang.Tirta belum lupa bagaimana Camila merendahkan dan menekan Bella sebelumnya. Menurut Tirta, permintaannya ini masih terbilang mudah."Nggak berlebihan, permintaanmu sama sekali nggak berlebihan. Aku akan menulisnya, aku akan menulis dengan baik," kata Camila dengan suara getir sambil menahan keinginan untuk mengamuk.Namun, ketika melihat tatapan dingin Simon yang menyapu dirinya, Camila hanya bisa memaksakan senyuman pahit dan menunduk kembali untuk menulis.Setelah menulis lebih dari seratus kali, lengannya sudah terasa pegal. Camila hampir tidak bisa memegang pena lagi. Meskipun ini hanya kata-kata sederhana, bagi seorang gadi
Di bawah bujukan Tirta dan Bella, Ayu akhirnya tidak memedulikan Camila lagi dan kembali duduk di meja makan.'Camila, Camila, lihat sikapmu ini. Gimana aku bisa terus menyukaimu? Setelah upacara pertunangan Pak Tirta dan Bu Bella selesai, sebaiknya kita putus saja!'Melihat perilaku Camila, Simon merasa sangat marah dan diam-diam mengambil keputusan dalam hatinya.Camila tentu tidak menyadari apa yang sedang dipikirkan Simon. Dia sibuk menghapus air mata dan kembali menunduk menulis. Dalam hati, dia terus membayangkan bagaimana caranya membalas dendam kepada Bella dan Tirta atas penghinaan yang dialaminya hari ini.Saat ini, Darwan merapikan pakaiannya, lalu berdiri dan menunjuk dua kursi kayu cendana yang sudah dipersiapkan tidak jauh dari sana. Dia berkata kepada Ayu, "Bu Ayu, pertunangan Tirta dan Bella nggak berjalan lancar karena kejadian siang tadi. Ini sungguh tak terduga dan disayangkan.""Namun, di negeri kita ada pepatah yang mengatakan bahwa hal baik seringkali diiringi rin
"Dasar bodoh, kita 'kan baru saja tunangan. Masa kamu nggak bisa bilang sesuatu yang manis untuk buat aku senang?" keluh Bella sambil melirik Tirta dengan kesal."Aku lihat kamu sudah sangat senang sekarang. Seharusnya nggak perlu aku gombali lagi, 'kan? Tapi, kalau kamu ingin dengar, aku bisa mengatakannya," sahut Tirta sambil tersenyum nakal."Dasar kamu ini! Kamu cuma bisa menggodaku! Kalau kamu menggodaku lagi lain kali, aku nggak akan meladenimu lagi!" Bella berpura-pura merajuk.Begitu ucapan itu dilontarkan, Tirta sontak memeluk Bella dengan erat. Kemudian, dia langsung mencium bibir lembut Bella! Rasa manis itu membuat Tirta tak kuasa mengeratkan pelukannya lagi!"Um …." Bella terkejut dengan aksi mendadak Tirta. Jantungnya berdegup kencang, tetapi dia juga merasa agak kesal dalam hatinya.Bella tidak menyangka Tirta berani menciumnya di depan publik, bahkan di hadapan Darwan! Dia secara naluriah ingin mendorong Tirta, tetapi teknik ciuman Tirta yang begitu lihai membuatnya ter
Sebelum suara Tirta menghilang sepenuhnya, sosoknya sudah melesat cepat keluar. Kecepatannya begitu luar biasa hingga Ayu mengira dirinya salah lihat. Dengan nada mengeluh, dia berkata, "Tirta ini benaran nggak tahu malu!""Haha, ini urusan anak muda. Kita nggak perlu ikut campur. Aku sudah menyuruh orang menyiapkan kamarmu. Setelah makan, sebaiknya kamu istirahat lebih awal," ujar Darwan sambil tertawa ringan.Setelah itu, Ayu dan Darwan kembali ke meja makan untuk melanjutkan santapan mereka....."Eh, Tirta, kenapa kamu mengikutiku? Bukankah kamu masih makan?" Bella awalnya ingin kembali ke kamarnya untuk menenangkan diri dari perasaan gugup dan malu. Namun, dia tiba-tiba melihat Tirta mengikutinya. Dia merasa agak kaget sekaligus senang."Aku nggak makan lagi," jawab Tirta sambil bergegas mendekat. Kemudian, dia langsung memeluk pinggang Bella yang ramping dan tersenyum."Uh ... kamu baru makan sedikit hari ini. Kalau nggak makan, nanti kamu lapar lho!" Bella merasa canggung sehing
"Bukannya kamu pernah bilang akan memperlakukanku dengan baik seumur hidupmu? Sekarang kamu malah mengabaikan semua kenangan kita cuma karena Tirta ...." Camila masih belum mau menyerah. Dia menggenggam lengan Simon lebih erat, memohon dengan suara pilu."Diam! Aku tanya, sudah berapa banyak kamu menulis? Jawab pertanyaanku!" Simon tiba-tiba merasa sangat muak. Dia mengempaskan tangan Camila dengan kasar."Aku ... aku sudah tulis lebih dari 430 kali ...." Camila langsung menangis dengan sedih, merasa sangat tertekan."Kalau begitu, masih kurang 9.500 kali lagi. Lanjutkan saja. Setelah siap, ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu." Simon menghela napas panjang, terlihat agak ragu.Melihat ekspresi Simon, Camila tiba-tiba merasa gembira. 'Simon pasti kasihan padaku. Dia pasti punya alasan tersendiri kenapa memperlakukanku seperti ini. Dia sebenarnya masih peduli padaku! Kalau nggak, dia nggak mungkin menemaniku di sini. Dia pasti menungguku selesai menulis, lalu dia akan minta maaf dan
"Hm ... Tirta, jangan. Aku ... aku belum siap ...." Tidak peduli bagaimana Bella memohon, dia tidak akan terlepas dari cengkeraman Tirta.Tirta menunjukkan teknik ciumannya yang tak tertandingi, membuat tubuh Bella melemas. Seketika, Bella hanya bisa bersandar di pelukan Tirta, membiarkan Tirta melakukan apa pun sesuka hati.Tirta mencium dengan panas sambil melirik. Kemudian, dia melihat bibir Bella yang sangat merah akibat ciumannya. Bella seperti akan meleleh di pelukannya.Setelah merasa sudah cukup, Tirta akhirnya mengakhiri ciumannya. Dengan napas berat dan tatapan linglung, Bella berkata, "Tirta, tubuhmu panas sekali ...."Terakhir kali Tirta melihat Bella seperti ini saat berada di hotel Kota Barlin. Saat itu, Bella minum obat dari Resnu. Untungnya, Tirta menyadarinya dengan cepat sehingga membantu Bella meredakan efek obat itu. Bahkan, dia sempat mengambil sedikit keuntungan dari Bella."Aku juga merasa tubuhku panas sekali. Sepertinya aku nggak tahan lagi, bantu aku redakan p
"Eh? Apa caraku melafalkan mantra salah? Apa teknik ini palsu?" gumam Tirta yang kebingungan.Setelah selesai melafalkan mantra, Tirta tidak bisa menghilang ataupun menembus dinding. Dia mencari dalam ingatannya, lalu dia baru paham. Ternyata Tirta baru memasuki tingkat pembentukan energi. Dia hanya bisa mengerahkan salah satu teknik.Selain itu, Tirta bukan hanya harus melafalkan mantra. Dia juga harus fokus untuk mengerahkan energi spiritual di bagian perutnya. Tirta harus menggunakannya secara bersamaan agar bisa efektif."Kalau begitu, aku coba Teknik Menghilang dulu biar bisa beri Bibi kejutan," ucap Tirta. Sesudah membuat keputusan, dia melafalkan mantra sesuai cara dalam ingatannya.Kemudian, Tirta melihat tubuhnya menghilang. Hanya saja, sebagian besar energi spiritual dalam tubuhnya langsung terkuras."Lain kali aku nggak boleh menguras energi spiritualku lagi. Seharusnya hasilnya sama kalau aku menggunakan energi perak," gumam Tirta.Tirta sangat antusias, lalu dia membuka pi
Tirta menunggu sampai Selina berjalan keluar dari taman bunga kompleks tempat Idris tinggal. Dengan begitu, mereka berdua sudah menjauh dari pandangan Anton dan Yuli.Tirta baru maju dan berkata seraya memeluk Selina, "Bu Selina, aku tahu kamu pasti pergi bukan karena dipanggil atasan. Apa kamu punya masalah? Kamu bisa ceritakan padaku.""Aku nggak punya masalah. Pak Tirta, aku cuma ingin pulang untuk mengurus kasus. Selain itu, aku sudah merasa sangat bangga bisa mengenal tokoh hebat sepertimu. Aku nggak mau terus tinggal di sini dan mengganggu Pak Tirta," sahut Selina.Selina memohon, "Pak Tirta, tolong lepaskan aku. Kita berdua nggak punya hubungan apa pun. Kita lupakan masalah yang sudah berlalu."Mata Selina memerah. Dia berbicara sambil terisak dan ingin melepaskan Tirta.Sementara itu, Tirta yang merasa tidak berdaya mendesah dan menimpali, "Bu Selina, aku sudah paham. Kamu pasti merasa aku cuma berpura-pura dan mempermainkan perasaanmu setelah kamu tahu latar belakangku. Jadi,
Selain itu, perasaan Selina campur aduk saat melihat Tirta. Melihat ekspresi mereka yang terkejut, Idris tertawa dan bertanya, "Apa Pak Tirta nggak pernah beri tahu kalian?"Idris membatin, 'Pak Tirta sangat hebat. Biarpun nggak ada Pak Saba, Pak Tirta bisa mendekati petinggi negara yang lain asalkan dia mau.'Sayangnya, Idris sudah berjanji kepada Tirta tidak akan mengungkapkan kehebatannya. Kalau tidak, Idris akan menjadi pelindung Tirta dan memamerkan kehebatannya.Yuli masih merasa antusias. Bahkan, dia sangat bangga hingga memandangi Tirta seraya tersenyum lebar dan menjawab, "Nggak. Pak Tirta, kenapa kamu nggak beri tahu kami hal sepenting ini?"Sekarang Tirta terpaksa harus mengakuinya. Dia berdeham, lalu menanggapi dengan ekspresi tenang, "Karena aku merasa hal seperti ini nggak perlu diumbar. Aku juga nggak ingin memanfaatkan status Pak Saba untuk bertindak semena-mena."Kenyataannya memang seperti itu. Tirta tidak pernah berinisiatif mengatakan dirinya adalah saudara Saba.Yu
Tirta tertawa licik, lalu membalas, 'Oke. Kak, aku akan pergi. Nanti malam jangan berpikiran untuk menghabisiku lagi.'Kemudian, Tirta keluar dengan perasaan gembira. Dia melihat Idris yang antusias sedang duduk tegak sambil mengobrol dengan Marila, Yuli, dan Selina.Begitu Tirta keluar, Idris langsung berhenti bicara. Dia berdiri, lalu menyambut Tirta, "Pak Tirta ...."Yuli juga menghampiri Tirta dan menimpali sembari tersenyum, "Pak Tirta, apa kita bisa bicara sebentar? Ada yang ingin kutanyakan padamu.""Ada apa? Tentu saja boleh," sahut Tirta.Yuli sangat senang melihat Tirta menyetujui permintaannya. Dia segera menarik Tirta kembali ke kamar. Namun, sebelum Yuli membawa Tirta masuk ke kamar, Anton yang keberatan menghentikan Yuli, "Aduh, berhenti! Yuli, kamu gila, ya? Kenapa kamu nggak langsung bertanya pada Pak Tirta di sini saja? Untuk apa kamu bawa dia ke kamar? Kamu kira ini rumahmu?"Anton berucap pada Tirta dengan ekspresi canggung, "Pak Tirta, begini. Ibunya Susanti ingin
Namun, bagian tubuh yang telah dipijat oleh Tirta terasa hangat dan nyaman, membuat Idris sangat rileks."Sudah beres. Pak Idris, masalahmu berasal dari kelelahan berkepanjangan ditambah dengan faktor bawaan, menyebabkan kondisi tubuhmu lebih lemah dari orang lain, makanya sulit menghasilkan sperma.""Dengan metode kedokteran barat, masalah seperti ini sangat sulit ditangani, bahkan sering kali tak terdeteksi.""Tapi di tanganku, ini bukan masalah besar. Kalau kondisi tubuh istrimu juga memungkinkan, aku jamin malam ini kamu bisa langsung tepat sasaran."Saat mengatakan itu, alis Tirta tiba-tiba berkerut. Dia baru teringat satu hal. Dia sudah berhubungan intim dengan begitu banyak wanita, tetapi sejauh ini belum ada satu pun yang hamil."Wah, terima kasih banyak, Pak Tirta! Kalau aku dan istriku benar-benar bisa punya anak, aku pasti akan undang kamu ke acara syukuran!"Idris yang tenggelam dalam euforia itu sama sekali tidak menyadari ekspresi aneh di wajah Tirta. Dia sangat bersyukur
"Pak Idris, kalau memang ada sesuatu, lebih baik berdiri dan bicarakan saja. Selama bukan hal yang melanggar nurani dan hukum, aku pasti akan bantu." Melihat keadaan itu, Tirta hanya bisa menghela napas dengan pasrah."Benarkah? Kamu benaran bersedia membantuku, tanpa mengungkit kesalahan masa lalu? Tapi, permintaanku ini .... Aku ingin kamu membantuku dan istriku agar bisa punya seorang anak.""Kami sudah menikah 20 tahun, sampai sekarang belum juga punya keturunan. Aku dan istriku sudah pergi ke rumah sakit di seluruh negeri, tapi nggak ada yang bisa menemukan penyebab pastinya ...."Idris akhirnya berdiri dari lantai, tetapi suaranya masih penuh emosi dan sedikit tidak percaya. Dia merasa Tirta yang seperti dewa hidup pasti sulit didekati dan tak mudah diajak bicara. Itu sebabnya, sikapnya terhadap Tirta sangat sungkan."Kenapa nggak? Pak Idris, kamu dan Bu Marila sudah susah payah membantuku mencari Susanti. Aku tentu harus membantumu semaksimal mungkin.""Lagi pula, sekalipun buka
Setelah itu, Yuli memperhatikan bahwa wajah Idris tampak agak canggung. Dia pun mengecilkan suaranya dan bertanya dengan hati-hati, "Pak Idris, suaraku terlalu keras sampai mengganggumu ya? Maaf banget ya, aku terlalu bersemangat, jadi nggak bisa kontrol diri.""Nggak, nggak. Bu Yuli, suaramu sama sekali nggak keras. Kamu nggak perlu mengkhawatirkanku. Selama Pak Tirta nggak merasa terganggu, aku nggak akan keberatan sedikit pun." Saat melihat dari ujung mata bahwa Tirta menoleh ke arahnya, Idris buru-buru melambaikan tangan sambil tertawa canggung."Benaran?" Yuli tampak semakin tidak percaya. Seorang gubernur bisa serendah hati ini? Apalagi dari nada bicara Idris, terlihat jelas bahwa dia sangat takut pada Tirta! Jangan-jangan Tirta punya latar belakang yang bahkan membuat seorang gubernur seperti Idris gentar?"Masih sempat ngobrol, nggak pikirin kondisi anak kita sekarang kayak gimana!" Sebelum Yuli sempat melanjutkan, Anton sudah menyela dengan nada kesal."Huh! Kalau anak kita ke
"Eh ...." Tirta sebenarnya tidak menyangka bahwa Marila bisa sekompetitif itu dalam hal seperti ini. Namun, dia tetap menatap tubuh Marila dari atas sampai bawah dengan serius, lalu berkata, "Marila, sebenarnya postur tubuhmu cenderung lembut dan anggun.""Ukuran sebesar jeruk bali itu sudah sangat cocok. Bakal terlihat indah, seimbang, alami, dan menambah pesona feminin. Kalau sebesar melon, malah akan kelihatan agak aneh.""Kalau sampai lebih besar dari melon, itu malah jadi nggak enak dipandang. Nggak perlu terlalu mengejar ukuran. Yang pas itu yang terbaik."Mendengar ucapan Tirta, Marila tanpa sadar melirik tubuhnya sendiri, lalu merasa yang dikatakan Tirta masuk akal. Namun, begitu teringat pada Shinta, dia merasa enggan.Dia bertanya, "Kalau begitu, kenapa Shinta yang lebih muda dariku bilang mau sebesar melon? Kalau dia sebesar itu, bukannya juga nggak seimbang?""Benar. Makanya, aku juga nggak pernah berniat bantu dia sampai sebesar melon. Umurnya masih muda, dia belum bisa me
"Tapi, Pak Tirta sudah bilang, setelah dia mengantar Bu Susanti pulang, dia akan pergi ke ibu kota sebentar." Marila sudah tidak begitu marah lagi. Lagi pula, Shinta adalah adik kandungnya.Dia berencana untuk segera menjelaskan semuanya kepada Tirta, agar Tirta tidak melihatnya dengan pandangan yang aneh di kemudian hari."Ah, begitu ya. Kalau begitu, aku nggak akan ke sana. Tapi, Kak, sekarang aku benar-benar penasaran. Bisa nggak kamu kasih tahu aku?" Nada suara Shinta yang penuh kekecewaan seketika berubah menjadi bersemangat, bahkan dia melontarkan pertanyaan dengan nada yang berlebihan."Apa itu?" Marila tanpa sadar membalas."Tapi, jangan marah ya. Aku cuma ingin tahu, aku 'kan belum kasih tahu Kak Tirta tentang permintaanmu, terus gimana dia bisa membantumu?" Suara Shinta penuh dengan rasa penasaran dan kegembiraan."Dasar anak nakal! Nanti kalau aku kembali ke ibu kota, lihat saja gimana aku akan memberimu pelajaran!" Marila merasa sangat malu dan marah, lalu langsung memutusk
Tirta baru menyadari bahwa kejadian tadi hanyalah sebuah kesalahpahaman!Awalnya, dia berniat untuk mengejar Marila dan menjelaskan semuanya atau mungkin meminta bantuan untuk mencari bahan obat atau jarum perak, lalu benar-benar memberikan perawatan pembesaran dada seperti yang diminta.Namun, saat dia melihat Marila berbalik dan masuk ke ruangan lain, lalu menutup pintu, Tirta pun tidak mengejar lagi."Hais .... Memalukan sekali. Semoga Marila bisa melupakan kejadian ini. Kalau nggak, pasti akan canggung setiap kali kami bertemu." Setelah merasakan kemanisan tadi, Tirta kembali ke kamar tempat Susanti beristirahat untuk melihatnya.Tentu saja, Tirta sudah terbiasa dengan situasi seperti ini, jadi dia merasa cukup tenang.Di sisi lain, saat Marila kembali ke kamarnya dengan penuh rasa malu, dia baru menyadari bahwa celananya ternyata sudah basah."Kapan ini terjadi? Kenapa aku nggak sadar? Gawat, Pak Tirta pasti menyadarinya! Gimana aku bisa menghadapi Pak Tirta sekarang ...." Marila