Tirta berkata dengan tak berdaya, "Kak Polisi, sekarang masih sedang terapi. Kenapa kamu malah pakai baju? Kalau jarumnya terjatuh satu, semuanya jadi sia-sia. Kalau nggak, kamu tahan saja dulu."Begitu perasaan itu melanda, Susanti tidak bisa lagi menahannya. Namu, Tirta sudah bilang bahwa jarumnya tidak boleh jatuh satu pun. Setelah beberapa saat, Susanti akhirnya tidak tahan lagi dan celananya basah tanpa sadar.Susanti merasa sangat malu, tetapi gejolak dalam hatinya sangat kuat. Setelah beberapa menit, dia akhirnya tidak tahan lagi dan jatuh pingsan. Tirta menghela napas tak berdaya. Setelah sekian lama, akhirnya dia bisa mencabut jarumnya dan meletakkan Susanti ke ranjang."Katanya wanita terbuat dari air, sepertinya ungkapan itu ada benarnya."Begitu terbangun, Susanti merasa sangat malu. Lantaran tak berdaya, dia akhirnya bersembunyi di dalam selimut. Tirta yang sudah sering menghadapi situasi seperti ini terlihat sangat tenang."Kak, coba lihat, apakah kondisinya sudah membaik
"Jadi pacarmu? Kalau nggak mau, kamu mau menangkapku? Kak, bisa nggak kamu lebih masuk akal? Aku bukannya melakukan kejahatan besar." Tirta merasa kebingungan. Dia juga bukannya tidak suka terhadap Susanti. Susanti memang cantik, kekurangannya satu-satunya juga sudah disembuhkan oleh Tirta. Kini, dia adalah wanita cantik yang sempurna.Namun, Susanti adalah seorang polisi. Tirta tidak ingin berpacaran dengan polisi. Jika sampai ketahuan berselingkuh, bukankah dia akan dihabisi Susanti?"Nggak masuk akal gimana? Kamu kira aku ingin menjadikanmu pacarku? Kalau bukan karena kamu sudah melihat seluruh tubuhku ....""Kak, sudah kubilang bukan, aku ini dokter. Aku nggak membedakan pria atau wanita di sini. Kalau memang nggak mau, aku lepas pakaianku untuk kamu lihat. Kita anggap impas saja ya?" tanya Tirta.Sambil berbicara, Tirta telah hampir melepas pakaiannya."Nggak bisa! Cepat pakai kembali pakaianmu! Pria melihat wanita dan wanita melihat pria itu berbeda! Sebelum mengobatiku tadi, kam
Mendengar hal itu, Susanti jadi semakin malu. Dia berteriak marah, "Pergi sana! Pergi!"Setelah payudaranya disembuhkan, tubuh Susanti jadi tampak semakin menawan."Ini klinikku, aku berhak untuk tinggal di sini. Kalaupun kamu mau menangkapku, tetap saja nggak ada hak untuk mengusirku," balas Tirta dengan tak acuh. Dia memang ingin membuat Susanti jengkel agar Susanti tidak menyuruhnya Tirta untuk menjadi pacarnya lagi."Oke, aku pakai ini. Aku akan keluar sekarang juga dan nggak akan pernah datang mencarimu lagi!" Susanti menangis karena kesal. Air matanya berderai dengan deras. Saat mengenakan pakaian itu, Tirta masih tetap berdiri di tempatnya."Aku mau pakai baju, apa kamu nggak bisa menghindar dulu?" tanya Susanti.Tirta mencibir, "Lagi pula aku sudah melihat semuanya, apa bedanya aku keluar atau nggak?""Oke, terserah kamu saja. Lihat saja sampai puas. Suatu hari nanti kamu akan menyesal!" maki Susanti sambil menggertakkan giginya. Dia berhenti menangis, lalu membuka selimutnya d
Tirta langsung menggendongnya dengan erat. Wajah Nabila telah merah padam saat berkata, "Tirta, kamu jangan terburu-buru. Ini masih di klinikmu, gawat kalau sampai ada yang melihatnya ....""Nggak masalah, Kak. Aku sudah kunci pintunya, nggak akan ada yang bisa masuk. Kak Nabila, kamu berbalik dan sedikit membungkuk ...." Tirta sudah tidak bisa mendengar apa yang dikatakan Nabila. Dia merasa kegirangan dan segera membalikkan badan Nabila, lalu membuat kedua tangannya bertopang dan membungkukkan badan membelakanginya."Kak Nabila cantik sekali. Aku nggak bisa puas melihatnya!" Mata Tirta telah membelalak.Nabila merasa malu dan kesal. "Tirta, jangan lakukan di sini ya? Kalau nggak, nanti malam aku akan pergi mencarimu." Nabila benar-benar malu saat ini. Selain itu, ini adalah pertama kalinya berhubungan badan dengan pria. Tentu saja hatinya merasa sangat panik."Kak Nabila, kamu terlalu cantik. Aku nggak sanggup tahan lagi! Aku pasti akan memperlakukanmu dengan baik kelak!" Saat ini, Ti
"Aku sedang ada urusan penting. Dengan sikapmu ini, kamu mau datang berobat atau mau merampok?" ujar Tirta dengan kesal."Apa maksudmu merampok? Apa kamu tahu siapa nona kami ini? Sehelai rambutnya saja lebih berharga dari nyawamu!" teriak pria paruh baya itu. Sepasang matanya terbelalak dengan mengerikan."Di matamu, nyawaku nggak berharga? Hehe, karena kalian merendahkanku, sebaiknya kalian nggak perlu datang berobat denganku saja. Silakan cari dokter lain!"Melihat sikap pria itu yang tidak hormat padanya, tentunya Tirta juga tidak akan tinggal dia. Dia langsung tersenyum sinis, lalu hendak berbalik masuk ke klinik lagi.Dede langsung menghalanginya."Dede, kamu minggir dulu. Nggak boleh tidak sopan sama dokter!" bentak wanita muda itu, lalu berbungkuk minta maaf pada Tirta. Wanita ini kelihatannya berusia 24 atau 25 tahun.Rambutnya yang bergelombang terurai di dada dan pundaknya, dipadukan dengan wajah dan auranya yang elegan. Tubuhnya juga sangat indah, lekukannya sangat jelas da
Dede tidak ingin dipermalukan seperti ini."Berkelahi denganmu? Lupakan saja. Bahkan kalau aku mengalah sekalipun, kamu nggak akan bisa menang," jawab Tirta sambil mengedikkan bahunya. Kini Tirta sudah banyak meniduri wanita, kekuatan fisiknya tidak bisa dibandingkan dengan manusia biasanya. Tidak berlebihan jika mengatakan bahwa Tirta kini sanggup menghancurkan sebuah batu dengan tangan kosong."Jangan banyak bicara. Aku harus menghabisimu hari ini!" Dede benar-benar naik pitam dipermalukan seperti ini oleh seorang pemuda kampungan. Setelah berteriak keras, dia langsung menyerbu ke arah Tirta.Bruk!Tirta tidak mengalah sama sekali. Hanya dengan sekali tendangan, tubuh Dede telah terpelanting hingga beberapa meter jauhnya. Dengan kondisi tubuh Dede, dia bahkan tidak sanggup berdiri sama sekali."Kalau memang nggak bisa menang, akui saja. Kenapa malah bilang aku menyerang diam-diam?" ujar Tirta dengan tenang."Kamu ... akan kuhabisi kamu!" teriak Dede dengan jengkel. Baru saja dia hend
Mendengar perkataan Naura, Tirta terkejut sejenak. Wali kota mengelola semua desa dan kota kecil di sekitarnya, bahkan sampai daerah penting di kota ini. Tidak mungkin dibandingkan dengan kepala desa biasa seperti Agus. Bagi seorang warga biasa seperti Tirta, status wali kota benar-benar merupakan posisi yang tidak terjangkau.Tirta tidak pernah menyangka bahwa Naura, putri wali kota, akan berlutut di depannya."Nona, Anda ini putri yang sangat berharga. Kenapa berlutut pada orang desa seperti dia ini? Cepat berdiri!" Dede ketakutan melihat Naura berlutut di hadapan Tirta. Dia buru-buru ingin segera memapah Naura."Kalau dia bisa menolong ayahku, aku rela berlutut padanya. Memangnya putri wali kota berhak merendahkan semua orang? Kalaupun dokter ajaib nggak mau mengobati ayahku nanti, aku hanya akan menganggap ini sebagai permintaan maaf. Nggak memalukan sama sekali," balas Naura dengan tegas.Dede kehabisan kata-kata melihat sikap Naura."Nona Naura, kamu berdiri dulu. Aku bisa ikut p
Dede juga merasa bahwa Tirta hanya bermimpi bisa mendapatkan vila seperti ini."Untuk apa repot-repot? Kalau kamu bisa menyembuhkan ayahku, vila ini bisa kuberikan padamu sebagai hadiah," ujar Naura yang berdiri di sampingnya."Nona, waktu itu kamu menghabiskan 10 miliar untuk membeli vila ini! Bukankah biaya pengobatan ini terlalu mahal?" protes Dede sambil mengernyit."Nggak usah, Nona Naura. Aku masih punya uang untuk membangun vila. Sebaiknya kamu cepat bawa aku temui pasien saja. Hari sudah mau malam, aku masih harus kembali ke desa untuk tidur," balas Tirta dengan ekspresi datar setelah melirik Dede sekilas.Naura merasa agak terkejut. Tirta malah menolak vila senilai puluhan miliar ini begitu saja? Tampaknya, kepribadian pria ini lumayan bagus. Tanpa sadar, penilaian Naura terhadap Tirta jadi semakin tinggi."Baiklah, kalau begitu silakan ikut aku." Naura tidak tahu bahwa Tirta telah memiliki aset ratusan miliar. Puluhan miliar tidak berarti apa pun baginya. Setelah berkeliling
Mendengar ucapan Simon, Diego sama sekali tidak takut. Dia malah menghina Simon, "Apa? Orang sepertimu mau melenyapkan Keluarga Bazan? Bahkan, Keluarga Purnomo yang paling berkuasa di ibu kota provinsi juga nggak berani bicara seperti itu!"Diego melanjutkan, "Kamu memang pandai membual! Kamu lagi mimpi, ya? Apa perlu aku bangunkan kamu?"Camila tidak bisa menahan emosinya lagi. Dia langsung membeberkan identitas Simon. Camila berbicara dengan Diego dengan ekspresi sinis, "Orang kampungan, Simon itu cucu kandung sesepuh dalam dunia pemerintahan, Yahsva Unais! Dia itu penerus dan calon pemimpin Keluarga Unais!"Camila menambahkan, "Keluarga Bazan yang kamu banggakan itu nggak ada apa-apanya bagi Simon. Kalau kamu berani macam-macam lagi, Keluarga Bazan akan didepak dari ibu kota provinsi!""Apa? Dia itu cucu kandung Pak Yahsva? Nggak mungkin! Jangan kira kalian bisa takut-takuti aku!" timpal Diego.Diego menegaskan, "Aku nggak percaya dia itu Simon Unais! Pak Simon tinggal di ibu kota n
Kaki Diego gemetaran saking kagetnya. Setelah tersadar, dia mengepalkan tangannya dengan erat dan berteriak kepada sopir, "Kamu buta, ya? Apa kamu bisa menyetir? Kamu nggak lihat ada orang di depan?"Namun, sopir itu mengabaikan Diego. Dia malah berkata kepada pria dan wanita muda di kursi belakang dengan ekspresi panik, "Tuan Simon, Nona Camila, orang ini yang tiba-tiba keluar dari mobil. Aku nggak sengaja buat kalian kaget ...."Camila menyergah, "Kalau dia tiba-tiba keluar dari mobil, kamu langsung tabrak dia saja! Kalau Simon terluka, kamu nggak akan mampu menebus kesalahanmu!"Camila memang memiliki paras yang cantik dan postur tubuh yang bagus, tetapi ternyata dia sangat galak. Bahkan, dia hanya melirik Diego dengan dingin. Sikapnya benar-benar arogan.Sopir tidak berani melawan. Dia segera berucap sembari menunduk, "Iya, Nona Camila. Aku memang salah. Kalau lain kali ada kejadian seperti ini lagi, aku pasti langsung tabrak orangnya."Sikap Camila langsung berubah begitu melihat
Melihat respons Tirta dan Ayu, Fakhri menanggapi dengan ekspresi terkejut, "Aku kira Pak Tirta sudah tahu. Mungkin Bella nggak beri tahu kalian karena ada alasannya. Nanti setelah sampai di kediaman Keluarga Purnomo, Pak Tirta langsung tanya Bella saja.""Oke. Nanti aku tanya Bu Bella alasannya setelah sampai di kediaman Keluarga Purnomo," timpal Tirta.Sebenarnya Tirta merasa gelisah. Dia bukan tidak ingin bertunangan dengan Bella, tetapi hal ini terlalu mendadak. Jadi, Tirta tidak bisa menerimanya.Bahkan, Tirta berpikir kemungkinan Bella menghadapi masalah sehingga dia buru-buru ingin bertunangan dengannya. Itulah sebabnya Bella tidak memberi tahu Tirta masalah tunangan terlebih dahulu.Sementara itu, Ayu yang mendengar kabar pertunangan Tirta merasa kalut. Dia tidak tahu harus merasa senang atau sedih. Ayu tidak banyak bicara di sepanjang perjalanan.....Tak lama setelah Tirta dan lainnya pergi, mobil Diego yang rusak baru keluar dari jalan tol dengan perlahan. Sepertinya mesin mo
Bella berkata dengan antusias, "Nggak usah. Ayahku sudah utus bawahannya untuk menunggumu di setiap pintu keluar tol. Kamu langsung bilang kamu keluar dari tol mana, biar aku suruh orang untuk jemput kalian."Tirta menyahut, "Bu Bella, aku keluar dari tol di kota bagian timur.""Oke, kamu tunggu sebentar. Kamu cari tempat untuk hentikan mobilmu dulu. Aku segera suruh bawahan jemput kamu," timpal Bella.Selesai bicara, Bella langsung mengakhiri panggilan telepon. Sementara itu, Tirta menghentikan mobilnya di tepi jalan.Beberapa menit kemudian, belasan mobil Rolls-Royce berwarna hitam berhenti di depan mobil Tirta. Sekumpulan mobil mewah ini menarik perhatian orang-orang.Pintu mobil Rolls-Royce yang berada di paling depan dibuka. Seorang pria paruh baya yang parasnya mirip dengan Darwan turun dari mobil. Dia menghampiri Tirta dan bertanya, "Apa kamu ini Pak Tirta?"Tirta turun dari mobil, lalu menyahut seraya tersenyum, "Benar, aku Tirta. Apa kamu diutus Keluarga Purnomo?"Fakhri mempe
Beberapa menit kemudian, mereka sudah sampai di ibu kota provinsi. Tampak banyak gedung tinggi dan jalanan dipadati mobil. Pemandangannya sangat indah.Namun, Ayu tidak berminat untuk menikmati pemandangannya. Dia malah berpesan kepada Tirta dengan ekspresi cemas, "Tirta, lain kali kita abaikan saja kalau menghadapi masalah seperti ini lagi. Anggap saja kita nggak dengar omongan mereka. Aku takut kamu gegabah dan melakukan hal yang akibatnya fatal."Tirta menimpali, "Bibi, aku paham maksudmu. Aku juga nggak ingin memukul orang. Tapi, bukan kita yang cari masalah. Kita juga nggak bisa menghindari masalah yang tiba-tiba muncul."Tirta melanjutkan, "Kalau kita mengalah, orang lain akan merasa kita gampang ditindas. Tindakan mereka juga makin keterlaluan. Bibi, coba kamu pikirkan. Bukannya Elvi dan keluarganya juga begitu?"Tirta meneruskan, "Kita melawan orang yang menindas kita agar ke depannya kita nggak ditindas lagi. Sekarang aku baru paham terkadang kita harus melawan terlebih dulu s
Ekspresi Tirta sangat dingin. Dia turun dari mobil, lalu menghampiri Jayed dan bertanya dengan sinis, "Kalian mau buat aku nggak bisa keluar dari ibu kota provinsi selamanya?"Jayed menyahut dengan ekspresi sombong, "Benar, kamu nggak tuli, 'kan? Apa kamu tahu identitas Kak Diego? Bahkan anak gubernur juga menghormati Kak Diego.""Jayed, untuk apa kamu bicara panjang lebar dengannya? Biarpun kamu beri tahu dia identitasku, orang kampungan seperti dia nggak akan paham kehebatanku," timpal Diego dengan ekspresi sinis.Tirta sudah bosan menghadapi orang-orang yang arogan seperti ini. Dia membalas, "Kalian memang hebat! Tapi, apa kalian tahu anak gubernur sangat takut kepadaku?"Tirta menampar Jayed dengan kuat. Jayed mengerang, lalu marah-marah, "Dasar berengsek! Beraninya orang kampungan sepertimu memukulku! Kamu bosan hidup, ya?"Jayed menambahkan, "Biarpun aku menghabisimu, aku juga nggak akan dipenjara! Paling-paling aku cuma perlu bayar sedikit kompensasi."Ekspresi Jayed tampak beng
Malam itu, Tirta dan Farida bercinta dengan intens. Farida tidak berpengalaman. Ditambah lagi, Farida harus mengurus kebun buah setelah Tirta pergi ke ibu kota provinsi. Jadi, Tirta berusaha mengendalikan dirinya.Sebelum pergi ke ibu kota provinsi, Tirta memberikan kartu bank yang diberikan Irene kepada Farida. Di dalam rekening itu ada uang sekitar 80 miliar. Uang itu cukup untuk biaya mengurus kebun buah. Sisanya adalah gaji yang diberikan Tirta untuk Farida.Awalnya, Tirta berencana turun tangan mengarahkan bawahan untuk menanam labirin obat. Namun, Tirta harus pergi ke ibu kota provinsi. Jadi, dia terpaksa menyerahkan tugas ini kepada Nia dan Farida.Untung saja, Nia mempunyai peta yang digambar Tirta dengan detail. Seharusnya dia dan Farida bisa membereskannya.....Setelah Ayu bangun, Tirta langsung membawanya ke ibu kota provinsi. Kali ini, Tirta sudah tahu jalannya karena sebelumnya dia pernah pergi.Hanya saja, entah kenapa hari ini jalanan sangat macet. Sebenarnya mereka bis
Tubuh Farida lemas. Tirta memeluk Farida lebih erat sembari berucap, "Kamu tidur di kamar paling ujung di lantai 3 saja."Farida bergumam, "Nggak masalah. Kamu ... tidur di mana?"Farida bersandar di bahu Tirta. Dada Farida yang berisi menempel di lengan Tirta. Setelah berpikir sejenak, Tirta baru menyahut, "Aku tidur di kamar sebelah saja. Panggil aku kalau ada masalah."Alasan utamanya adalah kondisi Ayu dan Melati tidak separah Farida. Jadi, Tirta mengkhawatirkan Farida. Kalau tidak, sebenarnya malam ini Tirta ingin tidur bersama Ayu dan Melati.Farida merangkul lengan Tirta dan berkata seraya memejamkan mata, "Oke. Tirta, aku ingin ... menanyakan sesuatu padamu .... Aku mau tahu ... pemikiranmu ...."Tirta membalas, "Kak Farida mau tanya apa? Langsung tanya saja."Farida bergumam, "Aku mau tanya ... waktu itu kamu bilang mau bertanggung jawab padaku. Apa kamu serius? Kamu nggak bohong, 'kan?"Langkah Tirta terhenti. Dia menimpali dengan serius, "Nggak, Kak Farida. Aku serius. Aku m
Tidak ada yang menanggapi ucapan Tirta. Dia bergumam, "Sepertinya mereka semua mabuk berat."Tirta menggendong Agatha yang kondisinya paling parah ke lantai 3. Dia meletakkannya di tempat tidur yang mereka gunakan untuk bercinta semalam.Kemudian, Tirta juga meletakkan Susanti di tempat tidur itu. Agatha dan Susanti sudah tidak sadarkan diri. Mereka tidur sambil berpelukan.Untung saja, tadi sore Ayu dan lainnya sudah memasang seprai pada tempat tidur di setiap kamar. Tirta menyelimuti Susanti dan Agatha.Saat Tirta turun ke lantai bawah lagi, dia melihat Farida berjalan sempoyongan ke kamar mandi. Tirta segera menghampiri Farida, lalu memapahnya dan bertanya, "Kak Farida, kamu mau muntah, ya?"Farida menyahut, "Nggak ... aku nggak mau muntah. Aku cuma mau buang air kecil .... Kamu nggak boleh ikut aku masuk ...."Farida yang mabuk tampak menggoda. Tirta takut Farida jatuh. Dia membalas, "Kak Farida, aku juga nggak ingin ikut kamu masuk. Tapi, sekarang kamu mabuk berat."Tirta menambah