Berhenti bersikap seperti itu terhadapku!" kataku penuh penekanan.
Kemudian kembali menatap luasnya pantai di ujung sana dengan mulut mengerucut sebal.
"Maaf, Nyonya jika saya salah."
Kenapa dia harus bicara, aku sedang tidak ingin mendengarnya berkata apa pun itu.
"Nyonya."
"Diam! Aku tidak memintamu bicara," sungutku kesal tanpa menoleh ke arahnya. Entahlah, apakah sikapku ini benar. Aku hanya cemburu mendengar celotehnya mengenai keluarga kecilnya.
Hening. Hanya suara deburan ombak dan anak kecil yang berlarian bersama keluarganya di sekitar kami.
"Nyonya, boleh saya bertanya?"
"Apa?"
"Kenapa Nyonya di panggil dengan sebutan Nyonya, bukan Nona. Padahal setau saya Nyonya masih single."
"Apa perlu aku menjawab pertanyaan tidak berbobot seperti itu?"
"Tidak, Nyonya."
"Hubungan kita hanya sebatas sopir dan majikan. Jangan berpikir lebih dari itu, kalaupun aku mau bicara denganmu itu hanya hal-hal sewajarnya saja!" ucapku masih menatap deburan ombak di depan mata.
Aku tidak sanggup jika harus menatap ke dalam bola matanya, takut kembali terlena dan kembali jatuh ke jurang yang dalam saat menyadari dia hanya ada dalam angan.
Sebutan Nyonya sudah melekat dalam diriku. Sejak pertunganku batal sebelum kedua orang tuaku meninggal kecelakaan pesawat waktu itu. Aku tau pertunangan itu hanya untuk menyatukan dua perusahaan agar menjadi lebih besar, bukan untuk menyatukan dua hati yang saling mencintai.
Hasilnya, dua hari setelah acara pertunangan. Aku memergoki Holand minum dan tidur dengan wanita lain. Sejak saat itu aku menutup hatiku untuk pria kaya mana pun. Kalau pun ada yang mendekat itu bukan karena ketulusan cinta mereka, tapi hanya karena harta.
"Nyonya."
"Apa lagi?" bentakku kesal.
"Sudah sore, saatnya kita pulang. Bukankah, Nyonya ada pertemuan dengan rekan bisnis di restoran Jepang?"
Aku baru ingat, bergegas aku berdiri. Membersihkan sisa pasir yang masih menempel di bagian belakang dressku dengan tangan. Lalu begitu saja berjalan pergi meninggalkan Fajar yang tampak terburu-buru menyusul langkahku ke arah mobil.
***
"Bik Darmiii!!" teriakku pagi itu saat bersiap sarapan di meja.
Wanita yang sudah berpuluh tahun mengabdikan tenaganya pada keluargaku ini langsung berlari mendekat.
"Kenapa Nyonya?"
"Panggil semua orang ke sini!" Bi Darmi memencet tombol darurat sehingga semua pekerja yang ada di rumah ini berkumpul di meja makan.
Sepuluh orang berdiri rapi di samping meja makan yang panjang, meja makan ini seharusnya cukup untuk makan dua sampai tiga keluarga. Tapi, setiap hari aku selalu sendirian makan di sini, menyedihkan.
"Akhir-akhir ini kerja kalian tidak becus! Bi Darmi, kenapa bisa seperti ini?" Bi Darmi kebingungan, setelah menoleh ke kiri dan kanan Ia tertunduk lesu.
"Bi Darmi Kepala Asisten Rumah Tangga di rumah ini. Apa Bi Darmi jarang memeriksa pekerjaan mereka?" kataku lantang.
"Kamu, Pak Sopian! Lihat mobil yang biasa Bapak bawa. Kotor! Seperti tidak pernah di cuci, jangan males! Cuci mobil setiap hari." Pak Sopian meminta maaf.
"Jesica! Masakanmu akhir-akhir ini terlalu pedas! Kamu lupa saya memiliki riwayat penyakit asam lambung? Atau kamu sengaja?" bentakku melotot ke arahnya. Wanita berusaha 32 tahun itu menunduk dengan mata merah, takut di pecat.
"Yuli! Bagaimana kamu mencuci baju ini?" Aku menunjuk blazer warna putih yang kupakai. "Warna baju ini agak kekuningan. Baunya juga sedikit apek!" Dia menunduk mengucapkan kata maaf.
"Wilda! Lihat meja makan ini!" Aku membuka sedikit alasnya. "Meja ini berdebu! Bagaimana kalau debu dan kuman pada meja ini masuk ke makanan yang aku makan, dan aku jatuh sakit? Mau kamu tanggung jawab?" Bentakku sekali lagi. Dia mengatupkan kedua tangan di depan dada meminta maaf dengan linangan air mata.
"Pak Joko! lihat tanaman di depan itu, banyak yang layu! Rumputnya sudah mulai panjang! Urusin, jangan males!" teriakku pada tukang kebun.
"Begitu juga yang lainnya. Jangan abaikan pekerjaan kalian. Aku mau saat aku pulang nanti semua sudah beres!"
Brakk!!
Aku berdiri dan menggebrak meja dengan dua telapak tangan.
"Baik, Nyonya ...," jawab mereka serentak.
Aku melangkah meninggalkan ruang makan menuju ke depan. Sampai di depan, Fajar sudah membukakan pintu. Aku tidak langsung masuk ke mobil, berdiri di sisinya dan memperhatikan penampilannya sekilas.
"Ada apa Nyonya?" tanyanya.
"Pak Sopiannnnn!" teriakku yang membuat Pak Sopian berlari mendekat dari dalam rumah.
"Aku maunya sama Bapak, nggak mau sama Fajar."
Fajar yang mendengar itu langsung mendorong tubuhku masuk ke mobil dan menutup pintu dengan cepat. Kemudian sedikit berlari memutari kepala mobil dan duduk di belakang kemudi.
"Kamu apa-apaan? Saya mau sama Pak Sopian!" bentakku yang tak di pedulikannya.
Langsung saja Fajar menjalan mobil meninggalkan halaman rumah yang luas. Sementara Desi hanya diam tidak berani membela siapa-siapa. Aku kesal di buatnya. Aku masih sakit hati dengannya kemarin di pantai.
"Nyonya, saya mohon. Berhenti bersikap kekanak kanakan. Oma menitipkan Nyonya sama saya. Dia percaya sepenuhnya sama saya. Jadi saya tidak mungkin lari dari tanggung jawab saya, membiarkan Nyonya bersama Pak Sopian."
Aku mendengkus kesal.
***
Setelah melewati serangkaian pertemuan akhirnya kami pulang. Hanya ada hening di antara kami bertiga.
"Aku belum ingin pulang," kataku tiba-tiba malam itu setelah mengantar Desi.
"Lalu kita mau ke mana Nyonya?" tanya Fajar.
"Kita? Antarkan saja saya ke diskotik. Saya ingin bertemu salah seorang teman di sana." pintaku santai sambil memainkan gawai di tangan.
"Jangan ke diskotik, Nyonya."
"Siapa kamu ngatur-ngatur saya? Urusin saja anak dan istrimu di rumah!" Kataku santai sekilas melirik nya dari kaca di atas dashboard mobil ini.
Fajar diam saja. Ia mengantarku sampai di depan diskotik, setelah turun dari mobil aku memintanya pulang lebih dulu.
"Pulang sana!" Perintahku.
Baru saja berjalan beberapa langkah Fajar menghalangiku. Aku menatap wajahnya sinis kemudian mencoba minggir dari tubuhnya yang tegap, mencoba mencari celah untuk jalan maju ke depan. Tapi sia-sia, dia terus saja menghalangi langkah kakiku.
"Minggir!" teriakku dengan mata melotot.
"Nyonya ayo kita pulang," ucapnya dengan nada yang sangat lembut.
"Aku bilang minggir!" teriakku lebih kencang.
"Nyonya, tolong jangan paksa saya melakukan hal-hal nekat."
"Awas ya kalau kamu berani, cukup tadi pagi kamu mendorong saya masuk ke mobil dengan paksa." Kataku menunjuk wajahnya. "Minggir!" Teriakku mendorong tubuhnya. Akhirnya dia minggir.
Aku tersenyum berhasil melewati tubuh tegap itu, kemudian kembali berjalan hendak masuk ke diskotik. Tapi tiba -tiba Fajar terdengar sedikit berlari mendekatiku. Tanpa kusangka dia membopong tubuhku seperti mengangkat sekarung beras di bahunya.
"Lepaskan saya sopir bodoh! Lepaskan!" kataku berteriak memukul-mukul punggungnya bagian belakang.
"Maafkan saya Nyonya saya terpaksa melakukan ini." ucapnya seraya memasukkan tubuhku ke mobil.
Ish! Sial! Aku memukul jok yang ada di depanku.
"Lihat saja, besok kamu saya pecat Fajar, saya pecat!" teriakku nyaring tepat di telinganya. Pria di hadapanku ini terlihat santai mengenakan headset di telinga. Sedangkan aku terus nyerocos panjang lebar.
Sampai di depan sebuah Masjid Fajar menghentikan mobilnya.
"Nyonya, saya shalat Isya sebentar, ya. Mohon kiranya Nyonya mau menunggu. Atau mau ikut sholat bersama saya?" Aku melirik sinis tanpa menjawab.
Fajar tersenyum, membuka pintu mobil dan turun. Ia berjalan ke arah Masjid. Fajar menyapa orang-orang yang di temuinya di sana. Dengan seksama aku memperhatikan gerak-geriknya dari dalam sini. Terlihat Ia sudah berjalan masuk ke masjid setelah mengambil air wudhu. Kemudian dengan khusyuknya melakukan shalat.
Kenapa semakin hari dia semakin memesona. Malam itu, sebenarnya aku tidak serius ingin mengajaknya tidur. Aku hanya ingin melihat seberapa kuat iman pada dirinya. Ternyata dia pria yang sangat luar biasa. Aku hanya penasaran, kami bersama setiap saat, sikapnya juga lembut dan perhatian terhadapku. Aku pikir dia menyukaiku. Ternyata aku salah.
"Nyonya."
"Hehhh," sahutku reflek. Sapaannya membuyarkan lamunanku.
"Kita pulang, ya." Aku diam saja, menyelipkan rambut ke belakang telinga dan membuang pandangan ke luar jendela.
Mobil berjalan perlahan meninggalkan halaman masjid. Sesekali kulirik Fajar dari kaca spion, lalu aku akan gugup jika Ia mengetahui aku mencuri pandang. Seperti pencuri yang tertangkap basah.
"Nyonya, apa ada yang ingin di bicarakan?" tanyanya.
"Hemm hemmm, mengenai malam itu. Aku tidak serius ingin tidur denganmu. Ternyata imanmu kuat juga," sahutku datar. Fajar mengulum senyum.
Hanya seperti itu? Mengapa dia tidak menjawab. Membuatku malu saja.
"Hey, Pak sopir!" bentakku. "Beraninya kamu tidak merespon bicaraku?"
"Saya tau Nyonya. Pria mana yang tidak tergoda dengan kemolekan dan kecantikan tubuh Nyonya. Hanya saja, Ibu saya pernah berpesan. Jika ada hal-hal buruk yang mengusik pikiran cukup ingat wajahnya. Dengan seperti itu hal buruk akan pergi dengan sendirinya. Jadi saat itu, yang ada dalam pikiran dan hati saya hanya Ibu saya, untuk mengontrol hal-hal yang tidak baik."
"Jadi maksud kamu? Saya hal buruk itu?"
"Maaf, bukan seperti itu, maksud saya nafsu yang menguasi hati hal buruknya."
"Oh," sahutku singkat.
'Ternyata dia mengakui kemolekan dan kecantikan tubuhku' aku mengulum senyum, sekilas menatap matanya yang fokus melihat jalanan dari kaca spion, kemudian berpura-pura melihat keluar jendela saat Ia membalas tatapanku.
***
Malam itu, aku memutuskan untuk turun ke dapur karena merasa haus. Sebenarnya aku bisa saja menelpon salah satu ART di rumah ini. Tapi, lagi males teriak-teriak, lalu aku putuskan turun sendiri. Dengan mengenakan piyama tidur berwarna silver dan sandal tidur berhiaskan boneka kepala kucing, telapak kaki ini terlihat sangat menggemaskan. Rumah tampak sepi, mungkin karena jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam.
Saat melewati kamar Pak Sopian dan Fajar samar-samar aku seperti mendengar suara orang mengobrol. Karena penasaran aku menempelkan telinga ke daun pintu. Aku melewati kamar sopir jika ke dapur karena kamar mereka berada di tengah-tengah ruang keluarga dan dapur.
"Uang yang kemarin kurang? Dek, Mas belum gajian. Nanti Mas coba cari kerja tambahan, ya!"
Aku yakin itu suara Fajar, apa gaji yang selama ini kuberikan kurang? Lagi aku berusaha mendengar percakapannya.
"Oh obat-obatan Ibu abis? Nanti Mas usahakan,ya."
Sepertinya dia menelpon istrinya. Sudah jam segini ia belum tidur. Dia lupa besok pagi-pagi sekali mau mengantarku ke gedung kesenian. Baru saja aku berbalik badan hendak kembali ke dapur wajah seseorang mengagetkanku. Ia sudah berdiri di belakangku ikut melakukan hal yang sama, ikut menguping.
"Ya ampun! Pak Sopian, ngagetin aja!" bisikku takut di dengar Fajar.
"Ada apa Nyonya?" Aku mengamit tangan Pak Sopian ke dapur kemudian bertanya banyak hal seputar Fajar.
"Pak sopian coba ceritakan sedikit mengenai keluarga Fajar," pintaku karena Pak Sopian adalah orang yang membawa Fajar kerja ke sini satu tahun yang lalu.
"Jadi Nyonya, sebenarnya saya juga bingung dengan rumah tangga si Fajar itu. Dia dulu kerja sebagai TKI di Malaysia. Suatu hari dia mendadak pulang untuk menikah dengan Lestari, gadis yang kini jadi istrinya. Yang mengagetkan, Lestari melahirkan tujuh bulan setelah mereka menikah. Jadi saya bisa mengambil kesimpulan kalau Fajar pulang hanya untuk menyelamatkan nama Lestari karena hamil di luar nikah."
Aku serius mendengar penjelasan Pak Sopian.
"Jadi maksud Bapak? Itu bukan anaknya Fajar?"
"Bisa jadi seperti itu Nyonya. Terus saya mendengar isu kalau mereka juga tidur di kamar yang berbeda jika Fajar pulang ke desa? Lestari juga yang merawat Ibunya Fajar di rumah yang menderita stroke Nyonya."
"Jadi Ibunya Fajar sakit stroke?" Pak Sopian mengangguk. "Kenapa mereka tidur terpisah?" Kali ini Pak Sopian hanya mengangkat bahu.
Aku jadi penasaran dengan cerita Pak Sopian. Sebenarnya Lestari itu siapa? Mengapa Fajar mau melakukan hal seperti itu.
Hari ini Fajar ijin tidak masuk. Kenapa dia? Apa dia sakit? Pikiranku diliputi bebagai macam dugaan. Di rumah pun saat aku menanyakan pada orang-orang mereka bilang, ia keluar sejak pagi. Kemana dia?"Nyonya," sapa Arman.Aku yang sedang melamun berpangku dagu di buat agak kaget oleh suaranya."Oh, iya," sahutku langsung merubah posisi duduk tegap."Ini laporan penjualan perusahaan bulan ini, sesuai yang Nyonya minta tadi." Aku mengambil map yang diulurkannya kemudian membuka dan membacanya."Oke, kamu boleh keluar." Arman membungkuk lalu keluar ruangan.Hari ini aku datang ke perusahaan untuk meninjau penjualan. Dahiku mengerut melihat laporannya. Di sini tertulis bahwa laporan penjualan produk menurun drastis bulan ini, bahkan sampai 50℅. Usaha butik aman-aman saja, tapi usaha distribusi makanan ringan mengapa bisa seanjlok ini?Kutekan nomor telepon manager yang memegang perus
Saya tidak perlu dibela seperti itu Nyonya. Suatu saat saya akan besar kepala jika Nyonya selalu membela saya. Jika Nyonya ingin membela seseorang, bela karena kebenaran, jangan karena Nyonya suka dengan orang tersebut."Aku seperti tertampar mendengarnya. Aku memang sering marah-marah kepada pelayan di rumah, tidak jarang aku langsung memecat mereka saat mereka berbuat salah. Aku berdiri di hadapan Fajar, jarak kami cukup dekat. Kutatap matanya lekat, begitu pun dia. Ini pertama kalinya kami saling tatap, cukup lama. Lidahku kelu untuk membela diri. Apa yang harus kukatakan? Haruskah aku meminta maaf telah menolongnya?"Tidak bisakah hanya mengucapkan Terima kasih?" tanyaku dengan mata menyipit."Apa Nyonya pernah merasakan apa yang pelayan rasakan saat Nyonya mencaci mereka? Saat Nyonya memecat mereka, padahal mereka masih sangat membutuhkan pekerjaan itu. Apa Nyonya pernah mencari tahu tentang mereka, bagaimana keadaan keluarga mereka, anak mereka dan lain se
Dret ... drett ... drett ....Suara getaran ponsel di atas meja kerja cukup mengganggu konsentrasi pikiran. Kuhentikan kegiatanku dengan pena dan map lalu beralih mengambilnya. Mataku langsung berbinar saat melihat nama Oma yang tertera di layarnya. Langsung saja kutekan tombol hijau dan menempelkan benda pipih itu ke telinga."Omaaa! Aku rindu!" pekikku sebelum Oma sempat mengatakan apapun."Ish ish ish ish ... kenapa cucu Oma jarang telepon Oma sekarang? Sudah lupakah sama Oma?" tanyanya persis seperti neneknya upin di serial kartun yang berasal dari Malaysia."Emmm, jangan mentang-mentang sekarang tinggal di Malaysia Oma jadi terbawa cara bicara omanya upin ipin, ya!" rajukku yang disambut tawa berderai Oma di seberang sana."Oma masih cinta Indonesia, Sayang. Setelah urusan Oma selesai, Oma ingin langsung pulang, memeluk cucu Oma satu-satunya."
Cepat!" Mataku melotot."Iya .... " sahutnya lemas.Dengan langkah gontai Fajar memasuki rumah untuk membereskan semua barangnya. Aku tersenyum saat sosoknya menjauh dari pandangan. Sungguh aku tidak menyangka akan pergi ke sana dengan laki-laki yang aku suka. Doaku, semoga perjalanan kami menyenangkan***Untuk menuju pulau Maratua, kami harus menaiki pesawat tujuan Tanjung Redep (Berau) yang sebelumnya transit di Balikpapan, kemudian kami menuju Dermaga Berau untuk melanjutkan perjalanan dengan menaiki speedboat untuk menyebrang.Jarak tempuh dari Dermaga Berau menuju pulau Maratua sekitar 3 jam atau bisa lebih cepat bila ombak tidak tinggi. Kebetulan saat ini ombaknya sedang tidak tinggi, jadi kami sampai di Maratua kurang dari 3 jam.Maratua Paradise Resort memiliki 2 tipe kamar, yakni Beach Chalet dan Water Villa yang masing-masing jumlah kamarnya 12 dan 10. Untuk Beach Chalet, lokasinya ada di pinggiran pantai.
"Satu jam saja," pintaku menatap wajah itu lekat, sementara ia masih diam. "Fajar, please ... " Aku mengiba. Tampak ia menarik napas panjang, kemudian beranjak dan duduk di sisiku. "Makasih, ya," ucapku sembari menyandarkan kepala di bahunya.Entahlah, aku hanya merasa menemukan kedamaianku di bahu ini. Selanjutnya kami menikmati indahnya sinar temaram berdua, tanpa banyak bicara.***Tepat pukul 19.00 malam aku menuju ke pantai. Fajar hanya mengantarku ke tempat rapat, setelah itu ia kembali ke Villa. Sudah 30 menit kami berkumpul di pantai ini. Duduk di kursi seadanya sambil berkenalan antara satu sama lainnya. Ada Distributor dari Sumatera, ada yang dari pulau Jawa, ada juga yang dari Sulawesi dan lain sebagainya."Belum bisa di mulaikah, Pak Sigit?" tanyaku pada salah satu pembicara yang akan mengisi rapat kami nanti."Masih menunggu satu orang, Nyonya.""Oh." Aku mengangguk mengerti.Kusilang kan kaki, kemudian mengam
Aku duduk di tepi ranjang, membayangkan kejadian tadi pagi saat pura-pura pingsan. Mengapa Fajar marah? Apa dia marah hanya karena sebuah ciuman? Aku beranjak dan melangkah membuka pintu kamar, langsung terdengar suara angin dan deburan ombak yang saling bersahutan. Awan cerah berwarna kemerahan, hangatnya temaran senja masih bisa kurasakan, sungguh indah. Aku kembali melangkah menuju keluar, kemudian duduk di kursi kayu. Bersyukur Holand tidak datang ke sini. Ia pasti sedang asik duduk di bar sembari memperhatikan turis-turis yang juga nongkrong di sana. Fajar, apa dia ada di kamarnya? Apa dia masih marah? Aku memberanikan diri datang ke kamar itu, kemudian mematung saat sampai di depan pintu. Tanganku terangkat beberapa kali untuk mengetuk, tapi ragu. Aku berbalik hendak pergi, tapi tiba-tiba pintu itu terbuka. "Apa Anda butuh sesuatu, Nyonya?" tanyanya. Langkahku terhenti, aku menunduk dalam. Menggigit bibir bagian bawah. Ap
Fajar sedikit menoleh kemudian berbalik, mendekat ke arahku. Melihatnya bergerak maju reflek aku melangkah mundur. Tatapannya tajam menghujam jantung, hingga pinggangku menabrak nakas di samping ranjangnya. Fajar tak bergeming ia terus mendekat ke arahku. Matanya terus menatap mataku hingga bola mata kecoklatan itu bergerak-gerak ke kiri dan kanan seperti mencari sesuatu. Jujur saja situasi ini cukup membuatku takut. Kini ia tepat berada di hadapanku.Tatapannya lebih menusuk dari sebelumnya. Kembali bibir tipis itu tertawa kecil, tangannya terulur mengusap lembut pucuk kepalaku. Ia lalu berbisik. "Jika saya menyukai sesuatu saya akan berusaha sekuat tenaga untuk menjaganya. Bukan merusaknya, Nyonya." Ia semakin mendekat, tangan yang ada di atas kepalaku turun ke bawah, kemudian tubuhnya sedikit menjorok ke depan hingga membuat aroma maskulin tubuhnya tercium sempurna. Aku memejamkan mata. Berpikir, mungkin dia akan merengkuh dan memelukku.
Hening. Andai Mama ada di sini. Mataku berkilauan, dengan wajah yang sudah memanas. Membayangkan sekali lagi, andai saja sekarang Mama duduk di hadapanku, menatapku dengan penuh kasih, memberikan sejuta nasihatnya. Pasti aku tidak akan semenderita ini. Menghadapi setiap masalah pelik sendiri. Kutarik napas panjang, dan kembali menghembuskannya secara kasar. Aku menggelengkan kepala dan meremas rambutku sendiri. Kututup wajah dengan kedua tangan, dan berulang kali menarik napas, berusaha memberi kelonggaran hati yang terasa semakin sempit, sesak, dan terasa perih.... Tarikan napas panjang terahir di barengi air mata yang luruh ke pipi, menyisakan luka dan kerinduan yang kian menjadi. "Mama ..., " lirih kuucapkan kata itu. "Mama," sekali lagi bibirku berucap. Terbayang saat ia memeluk tubuh ini erat, mencium kening ini hangat, celotehnya saat aku pulang larut malam. Pada saat itu aku kesal dan marah, t
Inilah kehidupan rumah tangga kami. Panggilan Mas kusematkan, karena ia yang meminta. Aku pun protes, saat ia memanggilku dengan sebutan Nyonya. Kini ia memanggilku selalu dengan sebutan sayang. Rumor tentang kehamilanku di luar menikah pudar dengan sendirinya. Karena sampai sekarang, kami bahkan belum dikaruniai seorang anak.Oma kembali terbang ke Malaysia, karena sudah tenang aku telah menikah dengan orang yang tepat. Ia ingin fokus melewati hari tuanya di sana. Karena di sana, Oma memiliki banyak anak angkat yang ditampungnya di rumah. Anak-anak kurang beruntung yang dibuang para orang tuanya, atau sengaja ditinggalkan di suatu tempat. Butikku yang dipegang oleh Nissa, kini berganti brand. Jika dulu Ratu Collection, kini menjadi Muslimah Collection.***“Huekkk! Huekkk!” Pagi itu Fajar muntah-muntah, saat akan berangkat bekerja.“Mas, kamu tidak apa-apa? Kamu mungkin sakit, Mas. Muka kamu pucet. Izin saja, hari ini tidak usah kerja,” kataku khawatir. Aku memapah suamiku ini ke ranj
POV : Ratu Delisya Sampai di rumah, Fajar menyiapkan segala sesuatunya untuk memasak. Ia menghidupkan tungku perapian, dan meletakkan wajan penggorengan di atasnya. Setelah mengiris semua bumbu, dimasukkannya semua bumbu ke dalam minyak panas dalam wajan, kemudian mengaduk-aduknya. Aku memperhatikannya, berusaha merekam dalam otak cara Fajar memasak. Mungkin, suatu saat aku bisa mempraktikkannya.“Nyonya, tinggal diberi garam, ya,” kata Fajar, setelah memasukkan sayur kangkung yang sudah dipotong.“Tinggal masukin garem aja, kan?” tanyaku meyakinkan.“Iya. Coba Nyonya beri garam.” Aku mengambil satu bungkus garam halus yang baru saja kami beli dari pasar, kemudian membukanya. Tanpa ragu, aku memasukkan semuanya ke dalam sayuran yang sedikit layu dalam wajan.Tawa Fajar tersembur keluar. Apa aku melakukan kesalahan? Kenapa ia tertawa? “Ada yang salahkah?” tanyaku dengan dahi berkerut.“Nyonya tidak perlu memberi garam sebanyak itu. Satu sendok teh saja sudah cukup.” Fajar menggelengk
Berulang kali aku mencoba mengambil air dari sumur, tetapi selalu gagal. Bagaimana aku bisa mandi, kalau mengambil airnya saja kesusahan? Ingin meminta tolong Fajar, tetapi ia sedang keluar. Kesal sekali rasanya. Bagaimana aku bisa membuktikan pada Fajar, kalau aku perempuan yang layak baginya, sedangkan hanya menimba air seperti ini saja tidak bisa. Aku membuka kedua telapak tangan, dan kulitnya sudah kemerahan. “Nyonya mau mandi?” bisik Fajar di samping telinga. Ia sudah memeluk dari belakang.“Aku sudah mencoba, tetapi tetap tidak bisa menimba airnya.”Ia berdiri di hadapanku, dan memegang kedua telapak tangan ini. Ditiupnya telapak tanganku, kemudian mengecupnya lembut secara bergantian. Aku tersenyum melihatnya. “Jangan memaksakan diri, Nyonya. Biar aku yang melakukannya.”“Tapi ... aku ingin mencoba,” rengekku. Ia tersenyum. Fajar menuntunku mendekat ke bibir sumur, kemudian mengajariku menimba air. Ia berdiri di belakang tubuhku, dituntunnya tangan ini dan diajarinya cara men
Pagi-pagi, aku datang ke rumah Pakde Jaro untuk meminjam sepeda motor. Aku akan pergi ke pasar bersama Nyonya. Hari ini, ia ingin belajar banyak hal. Keinginannya sangat kuat, yakni ingin menjadi gadis desa yang aku suka. Padahal ia tak perlu melakukan semua itu hanya untuk menarik simpatiku, toh ... aku sekarang sudah sah menjadi miliknya. Setelah berjalan selama sepuluh menit, akhirnya aku sampai juga. Kebetulan Pakde Jaro dan keluarga sedang duduk di teras depan rumah.“Assalamu’alaikum.”“Wa’alaikumsalam,” jawab mereka serentak.Aku menyalami mereka satu per satu. Ada Pakde Jaro, Bude Iyem, dan anaknya. Kami mengobrol sebentar, bercerita banyak hal. Mereka juga menceritakan, kalau Lestari hidupnya sekarang sudah enak. Semenjak menikah dengan Priyo, Lestari diboyong ke rumah mertuanya yang besar dan kaya. Aku lega mendengarnya.“Kamu udah ke makan, Jar?” tanya Bude Iyem.“Belum, Bude. Mungkin lusa baru mau ke makan. Aku sedih sebenarnya, karena belum bisa memenuhi janjiku pada Ibu.
Aku berjalan ke warung yang jaraknya cukup jauh dari rumah, karena tidak ada apa pun di rumah untuk kami makan. Di warung hanya ada mi instan dan telur. Besok, rencananya baru mau pergi ke pasar untuk berbelanja. Dengan terpaksa, aku hanya membeli telur dan mi. Sampai di rumah, kuperiksa Nyonya di kamar. Namun, ia tidak ada. Ke mana Nyonya? Batinku bertanya.Aku menuju ke belakang, dan mendapati ia sedang berdiri di dekat sumur. “Nyonya mau apa?” tanyaku heran.“Fajar, aku mau mandi. Ini apa?” Aku melangkah mendekatinya. “Ini sumur. Kita mandinya di sini, Nyonya.”“Di ruang terbuka seperti ini?” tanyanya kaget.“Iya. Kita pakai kemban, Nyonya.”“Apa kemban?”Aku masuk ke dalam, mengambilkan kain yang biasa dipakai Lestari mandi. Tumpukan kain dan selimut masih tersusun rapi di rak kecil dalam kamar. Rak ini persis seperti rak sandal yang terbuat dari bambu, hanya setinggi pinggang orang dewasa. Kemudian aku kembali ke luar, dan menyerahkannya pada Nyonya. “Ini, Nyonya.” Nyonya menga
“Nyonya yakin?” tanyaku, saat mendengar ia ingin mencoba tinggal di desa selama satu minggu, di rumahku yang dulu.“Tentu saja, Fajar. Kenapa memangnya?” jawab perempuan yang telah sah menjadi istriku ini. Kini, ia sedang sibuk dengan laptop di meja, sementara aku duduk di sisi ranjang.“Nyonya, kamu tidak terbiasa. Aku takut, terjadi apa-apa denganmu nanti.”“Bukankah ada kamu yang menjagaku di sana?”“Nyonya ....” Aku bingung menjelaskan semuanya pada perempuan ini. Perempuan yang biasa dilayani segala sesuatunya, dan tidak pernah sama sekali hidup susah. Bagaimana bisa ia hidup di desa. “Nyonya, di sana tidak ada hotel. Tidak ada mall. Tidak ada jaringan.”“Fajar, aku hanya ingin membuktikan, kalau aku bisa menjadi perempuan impianmu.”“Tidak perlu, Nyonya. Toh, sekarang kita sudah menikah.”Nyonya tidak mendengarkan kata-kataku, sedangkan Jesi dan Bik Darmi tampak sibuk mengemasi baju dan barang-barang kami. Nyonya menelepon orang-orang kepercayaannya untuk mengurus butik serta us
“Apa? Ke kampung halamannya Fajar, Nyonya?” tanya Bik Darmi dengan wajah kaget luar biasa.“Nyonya yakin?” lanjut Jesi, juru masak di rumah ini.“Nyonya, nanti Nyonya digigit nyamuk di sana, gimana?” tambah Wilda seraya memelukku. Aku tertawa kecil. Kami duduk lesehan di depan TV membentang ambal, semua pelayan berkumpul di sini. Hanya Fajar yang tidak ada, ia belum pulang.“Nyonya, mau tinggal di mana?” tanya Yuli, bagian cuci dan setrika pakaian.“Tanya satu-satu kenapa?” Aku merengut. “Kalian pasti tidak percaya, aku akan nekat pergi ke sana, tinggal di rumah Fajar yang lama. Aku yakin, aku bisa menjadi perempuan idaman Fajar.” Aku mendongak yakin.“Baru juga setengah hari, pasti Nyonya minta pulang. Aku yakin seribu persen,” ucap Pak Joko tukang kebun.“Apalagi rumah Fajar jelek, Nyonya. Lantai masih tanah. Pasarnya tradisional, dan jauh. Jalanan di sana becek dan jelek,” sambung Pak Sopian.“Nyonya, jangan ke sana. Nanti Nyonya gatal-gatal. Nyonya pasti tidak tahan,” kata Wilda
POV : Fajar Suharjho“Nyonya, sudah pukul 05.00 pagi. Kita salat Subuh berjamaah, yuk!” ajaknya mengusap-usap kepalaku. Aku membuka mata, kemudian sedikit menyipit melihat ke arah jam. “Iya, Fajar,” sahutku, kemudian beringsut turun dari ranjang. Fajar langsung menuju ke kamar mandi. Setelahnya giliran aku yang membersihkan diri, dan mengambil wudu. “Nyonya, sudah siap?” tanyanya, saat aku sudah berdiri di belakangnya memakai mukena.“Sudah.”Fajar memulai salat. Kami melakukannya dengan khusyuk. Bahkan sampai air mataku terjatuh, karena masih tidak menyangka suami yang aku idam-idamkan kini benar menjadi imamku.“Assalamu’alaiku warohmatullah. Assalamu’alaikum warohmatullah.”Kami sama-sama menengadahkan tangan saat berdoa, memohon rahmat dan keberkahan untuk pernikahan ini, dan memohon ampun atas semua salah serta khilaf di masa lalu. Selesai berdoa, Fajar menoleh ke belakang dan menyodorkan tangannya. Saat aku mencium punggung tangan itu, tanpa kusangka sebelah tangannya lagi me
Jam menunjukkan pukul 21.00 malam, aku sedang duduk di teras rumah menunggu kedatangan Fajar memakai piama panjang berwarna hijau lumut dan hijab instan berwarna hitam. Dari kejauhan, aku melihat pagar dibuka, dan Fajar sedikit berlari masuk ke halaman rumah. Aku berdiri menyambut kedatangannya. “Maaf, Nyonya. Apa saya terlalu malam?” tanyanya.“Tidak, Fajar. Ayo masuk, Oma sudah menunggumu.”Kami berjalan beriringan ke kamar Oma di lantai dua. Yuli dan Bik Darmi sedikit terpekik, saat berpapasan dengan kami di ruang tamu, ketika akan menaiki anak tangga ke atas.“Masyaallah, Fajar. Kamu apa kabar?” teriak Yuli sedikit berlari menghampirinya.“Alhamdulillah baik, Mbak,” sahutnya tersenyum ramah.“Kamu makin ganteng aja,” sambung Bik Darmi. Fajar langsung mengambil punggung tangan perempuan setengah baya itu, dan menciumnya dengan takzim. “Terima kasih, Bik,” sahut Fajar singkat.“Nanti aja kangen-kangenannya. Oma lagi pengin ketemu Fajar,” ucapku sembari tersenyum. Kemudian kami men