Cepat!" Mataku melotot.
"Iya .... " sahutnya lemas.
Dengan langkah gontai Fajar memasuki rumah untuk membereskan semua barangnya. Aku tersenyum saat sosoknya menjauh dari pandangan. Sungguh aku tidak menyangka akan pergi ke sana dengan laki-laki yang aku suka. Doaku, semoga perjalanan kami menyenangkan
***
Untuk menuju pulau Maratua, kami harus menaiki pesawat tujuan Tanjung Redep (Berau) yang sebelumnya transit di Balikpapan, kemudian kami menuju Dermaga Berau untuk melanjutkan perjalanan dengan menaiki speedboat untuk menyebrang.
Jarak tempuh dari Dermaga Berau menuju pulau Maratua sekitar 3 jam atau bisa lebih cepat bila ombak tidak tinggi. Kebetulan saat ini ombaknya sedang tidak tinggi, jadi kami sampai di Maratua kurang dari 3 jam.
Maratua Paradise Resort memiliki 2 tipe kamar, yakni Beach Chalet dan Water Villa yang masing-masing jumlah kamarnya 12 dan 10. Untuk Beach Chalet, lokasinya ada di pinggiran pantai. Sedangkan Water Villa, adalah yang paling diincar turis karena lokasinya berada di atas laut.
Inilah Water Villa di Maratua Paradise Resort."Fajar, Indah bukan?" tanyaku dari balik tubuhnya yang kekar.
"Sangat, Nyonya." Aku tersenyum mendengar jawaban itu.
Kala itu, boat yang kami naiki berlabuh di Dermaga Maratua Paradise Resort. Dermaga yang cukup luas, tersedia toilet, bar dan juga teras untuk bersantai. Bersama Haji Mahdi, pemandu dari Derawan Paradise, saya dan rombongan diajak mengintip kamar-kamar di atas laut itu.
"Water Villa ini tempat favorit loh. Bisa langsung berenang di dermaga dan banyak penyu yang terlihat dari kamar," kata Pak Mehdi. Kami semua mengangguk mengerti.
10 Kamar Water Villa ini, 3 kamar kasurnya twin dan 7 kamar kasurnya king size. Kamarnya cukup luas, dilengkapi kamar mandi yang memiliki bathtub dan shower. Kamar-kamarnya pun memiliki teras, sebagai tempat untuk bersantai.
Keindahan laut biru jernih di Maratua sangat menghipnotis mata siapa pun yang memandangnya. Lebih istimewa lagi, di pulau ini kita dapat menemukan resort dengan bangunan khas seperti di Maladewa. Satu kata untuk tempat ini, luar biasa! Kerenn!
"Silakan ke sini, Nyonya." Pemandu mengarahkan karena aku yang berjalan paling depan. Aku tersenyum dan mengikuti arahannya.
Kami memesan penginapan di atas air dengan kamar yang memiliki akses langsung ke laut. Suasana di Pulau Maratua ini masih relatif tenang, cocok bagi para wisatawan sepertiku yang ingin menyegarkan pikiran dan menjauh sejenak dari kebisingan di ibukota.
Setelah melihat-lihat sejenak, kami menuju kamar kami masing-masing, ada 10 orang yang bersama kami saat ini. Aku dan Fajar, juga tujuh perwakilan Distributor lainnya dan satu orang dari Supplier. Aku merebahkan tubuhku di pembaringan melepas penat.
"Fajar," panggilku seraya beringsut duduk.
"Iya, Nyonya." jawab Fajar sekedarnya, karena ia sedang sibuk membereskan semua barangku.
"Coba kita memesan satu kamar saja, ya." Reflek ia langsung menoleh ke arahku dengan wajah kesal.
"Nyonya, jangan gila?" sahutnya singkat kemudian kembali sibuk dengan kegiatannya.
Tawaku tersembur melihat ekspresi wajahnya. "Just kidding Fajar, i'm not seriously," sambungku sembari tertawa dan kembali berbaring di ranjang.
"Kalau begitu saya permisi Nyonya, semua barang nyonya sudah saya bereskan."
Aku menarik tangannya yang membuat dia menghentikan langkah.
"Di mana kamarmu?"
"Di samping kamar ini, Nyonya."
"Oh, oke!" sahutku seraya melepas tangan.
Fajar beranjak dan keluar dari kamar. 'Ada-ada saja, Fajar Fajar, takut banget sama aku.' batinku yang menimbulkan segaris senyum di bibir ini.
***
Aku baru saja terjaga dari tidurku kemudian melangkah keluar Villa menikmati indahnya lautan. Kutatap sekeliling. Di belakang Water Villa ini, terlihat pantai berpasir putih dan deretan pohon kelapa. Nanti malam kami akan mengadakan rapat terbuka di sana. Semua orang yang kutemui adalah rekan bisnis yang baru. Hanya satu orang yang kukenal, Pak Saiful. Orang dari Supplier tempat kami bekerja sama.
"Nyonya, apa Anda membutuhkan sesuatu?"
Suara yang sangat kukenal terdengar dari belakang tubuhku. Aku langsung berbalik ke arah Villa, karena sebelumnya menghadap ke lautan. Fajar sudah berdiri di sana, memakai celana pendek berwarna cream dan kaus oblong berwarna putih.
"Sudah istirahat?"
Fajar mendekat beberapa langkah, tangannya terulur menyelipkan rambutku yang tersibak menutupi sebagian wajah karena derasnya angin dari arah lautan. Kemudian senyum manis itu menghiasi wajah tampannya.
"Sudah, Nyonya."
Aroma parfumnya menggelitik indra penciuman. Aku melangkah menuju tempat duduk di depan Villa ini.
"Fajar, ayo duduk sini," ajakku. Ia mendekat dan duduk di hadapan. "Aku sengaja keluar Villa di sore hari untuk melihat sinar temaram senja." Fajar hanya tersenyum mendengar ucapanku.
Tidak berapa lama matahari nampak turun di peraduan, sinar temaramnya yang indah sangat kunantikan. Aku menikmati sinar kuning kemerahan itu untuk beberapa saat kemudian menoleh ke arah Fajar. Ia pun sedang asik menikmati indahnya pemandangan ini.
"Fajar."
"Iya, Nyonya?" Ia menoleh ke arahku.
"Aku butuh sesuatu."
"Apa Nyonya?"
"Aku butuh pundakmu." Fajar menatapku dengan tatapan yang, entah.
"Satu jam saja," pintaku menatap wajah itu lekat, sementara ia masih diam. "Fajar, please ... " Aku mengiba. Tampak ia menarik napas panjang, kemudian beranjak dan duduk di sisiku. "Makasih, ya," ucapku sembari menyandarkan kepala di bahunya.Entahlah, aku hanya merasa menemukan kedamaianku di bahu ini. Selanjutnya kami menikmati indahnya sinar temaram berdua, tanpa banyak bicara.***Tepat pukul 19.00 malam aku menuju ke pantai. Fajar hanya mengantarku ke tempat rapat, setelah itu ia kembali ke Villa. Sudah 30 menit kami berkumpul di pantai ini. Duduk di kursi seadanya sambil berkenalan antara satu sama lainnya. Ada Distributor dari Sumatera, ada yang dari pulau Jawa, ada juga yang dari Sulawesi dan lain sebagainya."Belum bisa di mulaikah, Pak Sigit?" tanyaku pada salah satu pembicara yang akan mengisi rapat kami nanti."Masih menunggu satu orang, Nyonya.""Oh." Aku mengangguk mengerti.Kusilang kan kaki, kemudian mengam
Aku duduk di tepi ranjang, membayangkan kejadian tadi pagi saat pura-pura pingsan. Mengapa Fajar marah? Apa dia marah hanya karena sebuah ciuman? Aku beranjak dan melangkah membuka pintu kamar, langsung terdengar suara angin dan deburan ombak yang saling bersahutan. Awan cerah berwarna kemerahan, hangatnya temaran senja masih bisa kurasakan, sungguh indah. Aku kembali melangkah menuju keluar, kemudian duduk di kursi kayu. Bersyukur Holand tidak datang ke sini. Ia pasti sedang asik duduk di bar sembari memperhatikan turis-turis yang juga nongkrong di sana. Fajar, apa dia ada di kamarnya? Apa dia masih marah? Aku memberanikan diri datang ke kamar itu, kemudian mematung saat sampai di depan pintu. Tanganku terangkat beberapa kali untuk mengetuk, tapi ragu. Aku berbalik hendak pergi, tapi tiba-tiba pintu itu terbuka. "Apa Anda butuh sesuatu, Nyonya?" tanyanya. Langkahku terhenti, aku menunduk dalam. Menggigit bibir bagian bawah. Ap
Fajar sedikit menoleh kemudian berbalik, mendekat ke arahku. Melihatnya bergerak maju reflek aku melangkah mundur. Tatapannya tajam menghujam jantung, hingga pinggangku menabrak nakas di samping ranjangnya. Fajar tak bergeming ia terus mendekat ke arahku. Matanya terus menatap mataku hingga bola mata kecoklatan itu bergerak-gerak ke kiri dan kanan seperti mencari sesuatu. Jujur saja situasi ini cukup membuatku takut. Kini ia tepat berada di hadapanku.Tatapannya lebih menusuk dari sebelumnya. Kembali bibir tipis itu tertawa kecil, tangannya terulur mengusap lembut pucuk kepalaku. Ia lalu berbisik. "Jika saya menyukai sesuatu saya akan berusaha sekuat tenaga untuk menjaganya. Bukan merusaknya, Nyonya." Ia semakin mendekat, tangan yang ada di atas kepalaku turun ke bawah, kemudian tubuhnya sedikit menjorok ke depan hingga membuat aroma maskulin tubuhnya tercium sempurna. Aku memejamkan mata. Berpikir, mungkin dia akan merengkuh dan memelukku.
Hening. Andai Mama ada di sini. Mataku berkilauan, dengan wajah yang sudah memanas. Membayangkan sekali lagi, andai saja sekarang Mama duduk di hadapanku, menatapku dengan penuh kasih, memberikan sejuta nasihatnya. Pasti aku tidak akan semenderita ini. Menghadapi setiap masalah pelik sendiri. Kutarik napas panjang, dan kembali menghembuskannya secara kasar. Aku menggelengkan kepala dan meremas rambutku sendiri. Kututup wajah dengan kedua tangan, dan berulang kali menarik napas, berusaha memberi kelonggaran hati yang terasa semakin sempit, sesak, dan terasa perih.... Tarikan napas panjang terahir di barengi air mata yang luruh ke pipi, menyisakan luka dan kerinduan yang kian menjadi. "Mama ..., " lirih kuucapkan kata itu. "Mama," sekali lagi bibirku berucap. Terbayang saat ia memeluk tubuh ini erat, mencium kening ini hangat, celotehnya saat aku pulang larut malam. Pada saat itu aku kesal dan marah, t
Sepulang dari makan malam, kuselonjorkan kaki dan bersandar di kepala ranjang. Mencoba mencermati setiap kalimat yang terucap dari bibir tipis itu. 'Tunggu dulu, bukankah Fajar sempat bilang jika dia menyukai sesuatu, dia akan menjaganya, bukan malah merusaknya?' Aku langsung duduk menegakkan punggung. 'Apa mungkin ... Fajar juga menyukaiku?' Ish! Tentu saja dia akan menjagaku. Bukankah aku bosnya. Kembali kusandarkan punggung di kepala ranjang. Aku menerka-nerka tentang perasaan Fajar terhadapku.Tidak menutup kemungkinan ia pun menyukaiku. Aku tersenyum sendiri saat ingat bagaimana cara ia menuntun jemariku ke mushola itu, menghapus air mataku dengan lembut, dan yang tidak bisa kulupakan saat ia berkata, aku adalah gadis yang baik. Lagi, bibir ini menyungging senyum mengingat semua itu. Aku menutup wajahku sendiri dengan bantal sembari tertawa gemas. Mungkinkah aku jatuh cinta? Yang aku tahu selam
"Dia, tanggung jawabku, Nyonya." Aku memejamkan mataku, geram.'Bukan jawaban itu yang aku harapkan, Pak Sopir tampan.' Batinku kesal."Nyonya.""Ya?" sahutku pura-pura tersenyum simpul saat menoleh ke arahnya."Bukankah kita berteman? Apa tidak apa-apa aku menceritakan semua ini kepada, Nyonya?"Aku tersenyum tipis, mengulurkan tangan, dan menunjukkan jari kelingking padanya. Fajar tersenyum dan menautkan jari kelingking kami berdua."Tak masalah. Kita berteman!" Aku berucap mantap.***Hari ini jadwalnya snorkeling bersama teman-teman lainnya. Aku memilih menunggu mereka di pinggiran Villa bersama Bu Aida, salah satu direktur Distributor dari Sulawesi. Holand berulang kali melambaikan tangan, mengajak aku berenang. Meskipun aku sangat ingin, tapi aku tidak mau melakukannya. Aku takut kulit dan wajahku terbakar."Dek, kamu melamun aja," tegur Bu Aida. Aku hanya tersenyum tipis menanggapi sapaannya. "Kamu suk
Tubuhku terus menggeliat. Sebisa mungkin berusaha terlepas dari bajingan ini. Setelah tenagaku hampir habis, aku memejamkan mata, tangis semakin menjadi.'Ya, Allah ... Fajar, di mana kamu? Tolong aku, Fajar. Tolong aku .... ' batinku merintih diiringi linangan air mata.Tok ... tok ... tok ....Terdengar suara pintu diketuk oleh seseorang. Holand tampak kaget dan menoleh ke sumber suara.“Dek, Dek Ratu. Ini Bu Aida! Gimana, masih sakit nggak perutnya?” teriak Bu Aida dari luar.Holand menatapku tajam. "Ratu, jangan coba-coba bicara apapun. Jika Kau berani memberitahu Bu Aida soal ini, aku bisa berbuat hal yang lebih kejam dari ini.” Ia langsung melepas sumpalan di mulutku.“Kenapa, Bu?” Terdengar suara Fajar juga ada di depan pintu kamar ini.'Alhamdulillah, ya Allah.' Batinku mengucap syukur.“Begini, tadi Dek Ratu bilang perutnya sakit, karena khawatir j
Aku mengangguk setuju. Fajar bergegas pergi ke luar mencari makanan. Kepayahan aku berusaha duduk dan turun dari ranjang, mencari ponsel yang sempat terjatuh saat terkejut dengan kedatangan Holand. Dengan lemah aku menapakkan kaki ke lantai kayu di Villa ini.Sialnya ponsel tidak sengaja terinjak dan pecah. Aku menunduk untuk mengambil ponsel yang sudah pecah itu, kemudian malah tersungkur hingga tubuhku terjerembab. Perutku semakin perih, nyeri pada dada semakin menusuk. Aku menggeliat di lantai menahan sakit yang kian menyiksa, aku meringkuk miring sembari meremas perut ini.“Akh!” pekikku meringis menahan sakit.Suara dernyit pintu terdengar, kemudian pintu itu terbuka."MasyaAllah Nyonya!" pekiknya langsung berlari menghampiri.Fajar membawa sebuah mangkok di tangan. Kupejamkan mata sembari menggigit bibir ini, perih. Diletakkannya mangkuk ke atas nakas kemudian mengangkat tubuhku ke ranjang. Di tariknya selimut sa
Inilah kehidupan rumah tangga kami. Panggilan Mas kusematkan, karena ia yang meminta. Aku pun protes, saat ia memanggilku dengan sebutan Nyonya. Kini ia memanggilku selalu dengan sebutan sayang. Rumor tentang kehamilanku di luar menikah pudar dengan sendirinya. Karena sampai sekarang, kami bahkan belum dikaruniai seorang anak.Oma kembali terbang ke Malaysia, karena sudah tenang aku telah menikah dengan orang yang tepat. Ia ingin fokus melewati hari tuanya di sana. Karena di sana, Oma memiliki banyak anak angkat yang ditampungnya di rumah. Anak-anak kurang beruntung yang dibuang para orang tuanya, atau sengaja ditinggalkan di suatu tempat. Butikku yang dipegang oleh Nissa, kini berganti brand. Jika dulu Ratu Collection, kini menjadi Muslimah Collection.***“Huekkk! Huekkk!” Pagi itu Fajar muntah-muntah, saat akan berangkat bekerja.“Mas, kamu tidak apa-apa? Kamu mungkin sakit, Mas. Muka kamu pucet. Izin saja, hari ini tidak usah kerja,” kataku khawatir. Aku memapah suamiku ini ke ranj
POV : Ratu Delisya Sampai di rumah, Fajar menyiapkan segala sesuatunya untuk memasak. Ia menghidupkan tungku perapian, dan meletakkan wajan penggorengan di atasnya. Setelah mengiris semua bumbu, dimasukkannya semua bumbu ke dalam minyak panas dalam wajan, kemudian mengaduk-aduknya. Aku memperhatikannya, berusaha merekam dalam otak cara Fajar memasak. Mungkin, suatu saat aku bisa mempraktikkannya.“Nyonya, tinggal diberi garam, ya,” kata Fajar, setelah memasukkan sayur kangkung yang sudah dipotong.“Tinggal masukin garem aja, kan?” tanyaku meyakinkan.“Iya. Coba Nyonya beri garam.” Aku mengambil satu bungkus garam halus yang baru saja kami beli dari pasar, kemudian membukanya. Tanpa ragu, aku memasukkan semuanya ke dalam sayuran yang sedikit layu dalam wajan.Tawa Fajar tersembur keluar. Apa aku melakukan kesalahan? Kenapa ia tertawa? “Ada yang salahkah?” tanyaku dengan dahi berkerut.“Nyonya tidak perlu memberi garam sebanyak itu. Satu sendok teh saja sudah cukup.” Fajar menggelengk
Berulang kali aku mencoba mengambil air dari sumur, tetapi selalu gagal. Bagaimana aku bisa mandi, kalau mengambil airnya saja kesusahan? Ingin meminta tolong Fajar, tetapi ia sedang keluar. Kesal sekali rasanya. Bagaimana aku bisa membuktikan pada Fajar, kalau aku perempuan yang layak baginya, sedangkan hanya menimba air seperti ini saja tidak bisa. Aku membuka kedua telapak tangan, dan kulitnya sudah kemerahan. “Nyonya mau mandi?” bisik Fajar di samping telinga. Ia sudah memeluk dari belakang.“Aku sudah mencoba, tetapi tetap tidak bisa menimba airnya.”Ia berdiri di hadapanku, dan memegang kedua telapak tangan ini. Ditiupnya telapak tanganku, kemudian mengecupnya lembut secara bergantian. Aku tersenyum melihatnya. “Jangan memaksakan diri, Nyonya. Biar aku yang melakukannya.”“Tapi ... aku ingin mencoba,” rengekku. Ia tersenyum. Fajar menuntunku mendekat ke bibir sumur, kemudian mengajariku menimba air. Ia berdiri di belakang tubuhku, dituntunnya tangan ini dan diajarinya cara men
Pagi-pagi, aku datang ke rumah Pakde Jaro untuk meminjam sepeda motor. Aku akan pergi ke pasar bersama Nyonya. Hari ini, ia ingin belajar banyak hal. Keinginannya sangat kuat, yakni ingin menjadi gadis desa yang aku suka. Padahal ia tak perlu melakukan semua itu hanya untuk menarik simpatiku, toh ... aku sekarang sudah sah menjadi miliknya. Setelah berjalan selama sepuluh menit, akhirnya aku sampai juga. Kebetulan Pakde Jaro dan keluarga sedang duduk di teras depan rumah.“Assalamu’alaikum.”“Wa’alaikumsalam,” jawab mereka serentak.Aku menyalami mereka satu per satu. Ada Pakde Jaro, Bude Iyem, dan anaknya. Kami mengobrol sebentar, bercerita banyak hal. Mereka juga menceritakan, kalau Lestari hidupnya sekarang sudah enak. Semenjak menikah dengan Priyo, Lestari diboyong ke rumah mertuanya yang besar dan kaya. Aku lega mendengarnya.“Kamu udah ke makan, Jar?” tanya Bude Iyem.“Belum, Bude. Mungkin lusa baru mau ke makan. Aku sedih sebenarnya, karena belum bisa memenuhi janjiku pada Ibu.
Aku berjalan ke warung yang jaraknya cukup jauh dari rumah, karena tidak ada apa pun di rumah untuk kami makan. Di warung hanya ada mi instan dan telur. Besok, rencananya baru mau pergi ke pasar untuk berbelanja. Dengan terpaksa, aku hanya membeli telur dan mi. Sampai di rumah, kuperiksa Nyonya di kamar. Namun, ia tidak ada. Ke mana Nyonya? Batinku bertanya.Aku menuju ke belakang, dan mendapati ia sedang berdiri di dekat sumur. “Nyonya mau apa?” tanyaku heran.“Fajar, aku mau mandi. Ini apa?” Aku melangkah mendekatinya. “Ini sumur. Kita mandinya di sini, Nyonya.”“Di ruang terbuka seperti ini?” tanyanya kaget.“Iya. Kita pakai kemban, Nyonya.”“Apa kemban?”Aku masuk ke dalam, mengambilkan kain yang biasa dipakai Lestari mandi. Tumpukan kain dan selimut masih tersusun rapi di rak kecil dalam kamar. Rak ini persis seperti rak sandal yang terbuat dari bambu, hanya setinggi pinggang orang dewasa. Kemudian aku kembali ke luar, dan menyerahkannya pada Nyonya. “Ini, Nyonya.” Nyonya menga
“Nyonya yakin?” tanyaku, saat mendengar ia ingin mencoba tinggal di desa selama satu minggu, di rumahku yang dulu.“Tentu saja, Fajar. Kenapa memangnya?” jawab perempuan yang telah sah menjadi istriku ini. Kini, ia sedang sibuk dengan laptop di meja, sementara aku duduk di sisi ranjang.“Nyonya, kamu tidak terbiasa. Aku takut, terjadi apa-apa denganmu nanti.”“Bukankah ada kamu yang menjagaku di sana?”“Nyonya ....” Aku bingung menjelaskan semuanya pada perempuan ini. Perempuan yang biasa dilayani segala sesuatunya, dan tidak pernah sama sekali hidup susah. Bagaimana bisa ia hidup di desa. “Nyonya, di sana tidak ada hotel. Tidak ada mall. Tidak ada jaringan.”“Fajar, aku hanya ingin membuktikan, kalau aku bisa menjadi perempuan impianmu.”“Tidak perlu, Nyonya. Toh, sekarang kita sudah menikah.”Nyonya tidak mendengarkan kata-kataku, sedangkan Jesi dan Bik Darmi tampak sibuk mengemasi baju dan barang-barang kami. Nyonya menelepon orang-orang kepercayaannya untuk mengurus butik serta us
“Apa? Ke kampung halamannya Fajar, Nyonya?” tanya Bik Darmi dengan wajah kaget luar biasa.“Nyonya yakin?” lanjut Jesi, juru masak di rumah ini.“Nyonya, nanti Nyonya digigit nyamuk di sana, gimana?” tambah Wilda seraya memelukku. Aku tertawa kecil. Kami duduk lesehan di depan TV membentang ambal, semua pelayan berkumpul di sini. Hanya Fajar yang tidak ada, ia belum pulang.“Nyonya, mau tinggal di mana?” tanya Yuli, bagian cuci dan setrika pakaian.“Tanya satu-satu kenapa?” Aku merengut. “Kalian pasti tidak percaya, aku akan nekat pergi ke sana, tinggal di rumah Fajar yang lama. Aku yakin, aku bisa menjadi perempuan idaman Fajar.” Aku mendongak yakin.“Baru juga setengah hari, pasti Nyonya minta pulang. Aku yakin seribu persen,” ucap Pak Joko tukang kebun.“Apalagi rumah Fajar jelek, Nyonya. Lantai masih tanah. Pasarnya tradisional, dan jauh. Jalanan di sana becek dan jelek,” sambung Pak Sopian.“Nyonya, jangan ke sana. Nanti Nyonya gatal-gatal. Nyonya pasti tidak tahan,” kata Wilda
POV : Fajar Suharjho“Nyonya, sudah pukul 05.00 pagi. Kita salat Subuh berjamaah, yuk!” ajaknya mengusap-usap kepalaku. Aku membuka mata, kemudian sedikit menyipit melihat ke arah jam. “Iya, Fajar,” sahutku, kemudian beringsut turun dari ranjang. Fajar langsung menuju ke kamar mandi. Setelahnya giliran aku yang membersihkan diri, dan mengambil wudu. “Nyonya, sudah siap?” tanyanya, saat aku sudah berdiri di belakangnya memakai mukena.“Sudah.”Fajar memulai salat. Kami melakukannya dengan khusyuk. Bahkan sampai air mataku terjatuh, karena masih tidak menyangka suami yang aku idam-idamkan kini benar menjadi imamku.“Assalamu’alaiku warohmatullah. Assalamu’alaikum warohmatullah.”Kami sama-sama menengadahkan tangan saat berdoa, memohon rahmat dan keberkahan untuk pernikahan ini, dan memohon ampun atas semua salah serta khilaf di masa lalu. Selesai berdoa, Fajar menoleh ke belakang dan menyodorkan tangannya. Saat aku mencium punggung tangan itu, tanpa kusangka sebelah tangannya lagi me
Jam menunjukkan pukul 21.00 malam, aku sedang duduk di teras rumah menunggu kedatangan Fajar memakai piama panjang berwarna hijau lumut dan hijab instan berwarna hitam. Dari kejauhan, aku melihat pagar dibuka, dan Fajar sedikit berlari masuk ke halaman rumah. Aku berdiri menyambut kedatangannya. “Maaf, Nyonya. Apa saya terlalu malam?” tanyanya.“Tidak, Fajar. Ayo masuk, Oma sudah menunggumu.”Kami berjalan beriringan ke kamar Oma di lantai dua. Yuli dan Bik Darmi sedikit terpekik, saat berpapasan dengan kami di ruang tamu, ketika akan menaiki anak tangga ke atas.“Masyaallah, Fajar. Kamu apa kabar?” teriak Yuli sedikit berlari menghampirinya.“Alhamdulillah baik, Mbak,” sahutnya tersenyum ramah.“Kamu makin ganteng aja,” sambung Bik Darmi. Fajar langsung mengambil punggung tangan perempuan setengah baya itu, dan menciumnya dengan takzim. “Terima kasih, Bik,” sahut Fajar singkat.“Nanti aja kangen-kangenannya. Oma lagi pengin ketemu Fajar,” ucapku sembari tersenyum. Kemudian kami men