"Fikri, ajak istrimu ke kamarnya. Jelaskan padanya yang sebenarnya. Sudah saatnya dia tahu!" "Tapi, Bu ..." "Sudah, sana!" Bentak Ibu lalu Mas Fikri menggandengku keluar tapi kutepis, aku berjalan cepat ke kamar.Sampai di kamar, setelah Mas Fikri menutup pintu kamar, kuhampiri Mas Fikri, "Sekarang, jelaskan padaku, Mas, siapa Kartika?!" "Tenang dulu, Tiara. Iya aku akan jelaskan tapi kamu tenangkan diri dulu, ya. Kamu berbaring dulu. Ingat ada buah cinta kita di perut kamu. Aku nggak pengin terjadi apa-apa dengannya. Kita bicara baik-baik." Mas Fikri memegang bahuku lalu menuntunku ke ranjang. Aku duduk di ranjang. Kusandarkan kepala yang terasa berat pada headboard yang diganjal bantal oleh Mas Fikri. Aku diam menahan gejolak dan tangis yang dari tadi mengguncang batinku seolah bisa merasakan firasat akan apa yang diceritakan Mas Fikri.Mas Fikri duduk di tepi ranjang di sebelahku sambil mengusap kepalaku dengan linangan airmata. Entah airmata buaya atau air mata sungguhan. Kute
"Jadi menurut Mas Fikri, aku yang bersalah, Mas?!""Tentu saja tidak, Ra Seandainya aku tahu kamu akan hamil, ini semua tidak perlu terjadi. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Percayalah, secepatnya aku akan ceraikan Kartika. Biarlah anakku dan Kartika diurus Kartika. Kita fokus mengurus bayi kita. Kamu mau kan memaafkan aku?"Janji Mas Fikri membuat batinku kembali berkecamuk, bimbang antara mundur atau bertahan. Keputusanku tadi yang begitu bulat untuk menuntut cerai tiba-tiba memudar berganti sebuah harapan bahwa rumah tanggaku akan kembali baik-baik saja. Kami pasti bisa melupakan semuanya dan akan berbahagia menyambut buah hati kami. Sebuah impian yang begitu indah.Tapi bagaimana mungkin aku lupa dengan perlakuan Mas Fikri pada Kartika di ruang bersalin, di gazebo dan di ranjang tadi. Sorot mata Mas Fikri bukan hanya tersirat nafsu tapi juga cinta. Entah hanya sekedar cinta seorang kakak pada adiknya atau cinta seorang suami pada istrinya. Tapi yang jelas, sorot mata itu menyaya
Dan hari ini akhirnya aku punya kesempatan untuk mengambil diary itu. Kartika, Ibu dan anak-anak sedang ke posyandu. Bergegas aku membuka kamar Kartika tapi ternyata terkunci rapat. Untunglah kamar Ibu tidak terkunci. Masih sangat ingat di kamera pengintai, Mas Fikri bisa masuk ke kamar Kartika melalui kamar Ibu.Setelah masuk ke kamar Ibu atau lebih tepatnya kamar anak-anak Kartika karena semua anak Kartika tidur di sini, aku mulai mencari pintu itu di dinding pembatas kamar Ibu dan Kartika. Tak terlihat ada pintu. Cuma ada kaca tinggi seukuran pintu. Apa ini pintunya. Aku mencoba mendorongnya. Dan ternyata benar kaca ini terbuka. Tidak seperti pintu biasa yang engselnya di pinggir. Pintu kaca ini engselnya di atas bagian tengah. Sehingga kalau dibuka separo ke kamar Ibu, separo ke kamar Kartika. Sama sekali tak terlihat seperti pintu. Dasar laki-laki penipu, demi bisa tidur dengan Kartika sampe dibela belain bikin pintu unik ini. Setelah masuk ke kamar Kartika, aku buru-buru meng
Kuhentikan membaca. Batinku hancur berkeping keping. Ternyata aku bukan perempuan pertama yang dia sentuh. Pantas saja di malam pertama kami dulu dia sudah lihai sekali membahagianku. Dengan terisak, kukuatkan hati untuk melanjutkan membaca lagi. Lembar-lembar berikutnya, Kartika banyak menceritakan kebersamaannya dengan Mas Fikri. Mereka resmi berpacaran diam-diam tanpa sepengetahuan Ibu. Dan aku yakin foto-foto yang terpasang di album yang dulu kulihat adalah foto-foto mereka setelah resmi berpacaran. Mereka pun ternyata berkali kali mengulangi perbuatan laknat itu di kamar Kartika. Bahkan Mas Fikri sering menyelinap tidur di kamar Kartika tanpa sepengetahuan ibunya. Seolah mereka pasangan suami istri.Astaghfirullah Al Adzim ... Aku seperti tidak percaya, Mas Fikri sanggup melakukan perbuatan nista itu. Inikah kamu yang asli, Mas. Sampai pada halaman setelah sebulan kemudian. ***Jakarta, 30 April 2009Hancur sudah masa depanku. Sebuah kenyataan aku telah hamil di saat belum
Setelah diboyong suamiku ke rumahnya, malamnya pertama kali aku harus melayani suamiku yang ternyata begitu bringas. Membuatku kewalahan karena semalam utuh dia menyerangku tanpa henti. Mungkin karena pertama kali dia menyentuh perempuan dan dia juga tidak tahu tentang kehamilanku. Janinku yang baru berusia 5 minggu seperti berontak karena aksi brutalnya. Perutku mengalami kontraksi hebat. Dan paginya aku mengalami pendarahan. Akhirnya janinku luruh tanpa bisa dicegah dan aku pun harus di kuret. Tangisku tak berhenti kehilangan buah cintaku dengan Mas Fikri walaupun masih berwujud gumpalan. Lalu untuk apa aku menikah kalau akhirnya harus kehilangan anakku. Aku begitu membenci suamiku yang kuanggap sudah melenyapkan janin ini, bersikeras menuntutnya untuk menceraikanku berharap bisa kembali pada Mas Fikri.Tapi dengan sabarnya, dia menghadapi dan merawatku. Bahkan dia tidak marah setelah mengetahui aku hamil. Dan dia juga tidak pernah mempermasalahkan mahkotaku yang sudah terkoyak.
Tak bisa dipungkiri aku sangat bahagia dengan rencana Ibu. Aku yakin Mas Fikri juga pasti bahagia. Bersamaku pasti dia akan mendapatkan banyak anak. Mimpi di masa remaja kami akan terwujud.Tapi dugaanku salah. Ternyata Mas Fikri menolak mentah-mentah permintaan Ibu. Dia tidak mau menikahiku karena tidak mau menyakiti Mbak Tiara. Sakit mendengarnya ... Ternyata posisiku di hatinya sudah tergantikan. Aku sangat kecewa. Tapi itu tak lama karena pada akhirnya aku dan Mas Fikri menikah walaupun bagi Mas Fikri itu keterpaksaan. Tapi aku begitu yakin, dalam waktu dekat bisa menjeratnya dalam pelukanku kembali.Setelah ijab qobul, malamnya ketika kami akan melakukan hubungan suami istri tiba-tiba Mas Fikri mendorong tubuhku."Maaf, Kartika, aku belum bisa." "Kenapa, Mas? Mas Fikri tidak mau mengulangi betapa dulu kita sangat bergairah?""Sekarang keadaan kita tidak sama lagi, Kartika. Aku sudah punya Tiara. Aku tidak tega mengkhianati Tiara. Maaf, kalau malam ini aku mengecewakanmu," ucapn
"Bukannya begitu, Ra. Aku harus mempersiapkan Kartika dulu untuk siap menjadi single parent dengan 4 anak balita yang salah satunya anakku. Aku masih punya hati nurani, Ra. Mana mungkin aku tega meninggalkan mereka begitu saja!""Tidak tega apa karena sangat mencintainya?! Cinta pertama memang susah dilupakan. Iya, kan, Mas?!" "Maksudnya?""Sudahlah, Mas. Bagiku sudah jelas sekarang. Mas Fikri lebih tega padaku daripada Kartika! Jadi kalau begitu kita yang akan bercerai!""Ra, jangan begitu. Aku cuma minta waktu. Jangan besok. Aku janji akan menceraikan Kartika tapi jangan besok! Tolong, Ra, tolong mengerti keadaanku!""Mas Fikri yang tidak mengerti Keadaanku! Bagaimana sakitnya dikhianati dan ditipu suami sendiri!""Aku tidak mengkhianati dan menipumu, Ra. Pernikahanku dengan Kartika itu bukan kehendakku!""Tinggalkan aku, Mas. Keluar dari kamar ini!" "Ra, maafkan aku.""Keluar, Mas! Dan ingat kalau besok Mas Fikri tidak menceraikan Kartika, aku yang akan keluar dari rumah ini!" T
"Aku pengin dipijit. Kakiku pegal sekali, Mas." Aku merajuk manja sambil memegangi kaki."Ih, tumben nih istriku yang satu ini manja amat.""Ya sudah kalau nggak mau, sana! Sana! Pergi ke ketiak Kartika sana!""Iya, iya, mulai deh ... nggak usah mancing-mancing. Ayo kamu berbaring biar kupijit.""Aku pun berbaring dan dipijit Mas Fikri tapi baru 1 kaki yang dipijit dia terlihat terus menguap." "Ra, habis minum susu kok ngantuk berat ya. Benar kata Kartika, katanya kalau habis minum susu pasti teler." Awas saja kamu Kartika, akan kukasih pelajaran sudah memberiku obat tidur.Dan sekejap, Mas Fikri sudah terkapar di sampingku tak ingat apa-apa. Saatnya aku akan lihat keadaan Kartika di handphoneku.Dia tampak sedang bersolek di depan kaca memakai lingerie warna merah. Menantang sekali. Dasar perempuan penggoda. Penampilannya seperti pelac** saja. Ternyata selama ini dia yang sengaja memberiku obat tidur di susu supaya bisa menguasai Mas Fikri. Sekarang rasakan, Kartika, senjata makan
"Nih, ada yang kangen sama ayahnya," ucapku sambil mengarahkan layar pada perutku."Maksudnya, Ra?""Iya, roket yang Mas Putra luncurkan ternyata ajaib, tepat sasaran. Benihnya jadi, Mas." "Maksudmu kamu hamil, Ra?" Aku mengangguk sambil menunjukkan testpack dengan berurai airmata. Mata Mas Fikri langsung berkaca kaca, setelah itu menangis sesenggukan, "Secepat ini, Ra?""Iya, Mas, aku juga seperti tidak percaya. Ini hanya karena kebesaranNya.""Alhamdulillah ya Allah, begitu cepat Engkau berikan anugrah indah ini pada kami." Tubuh Mas Putra kemudian meluruh bersujud syukur. Setelah itu kami hanya bisa sama-sama menatap layar dengan mata basah, "Ra, aku pengin meluk kamu. Aku besok pagi pulang, ya." Aku mengangguk bahagia."Kira-kira itu roket yang pas kuluncurkan di mana ya, Ra, yang berhasil jadi. Feelingku kok pas di camping di pantai. Rasanya beda soalnya.""Sok yakin, Mas, hanya Allah yang tahu. Yang terpenting, semoga aku dan bayi kita diberi keselamatan dan kesehatan ya, Mas
And Aubrey was her name,(Dan Aubrey adalah namanya,)A not so very ordinary girl or name.(Nama dan gadis yang biasa saja)But who’s to blame?(Tapi siapa yang harus disalahkan?)For a love that wouldn’t bloom(Untuk cinta yang tidak akan mekar)For the hearts that never played in tune.(Untuk hati yang tak pernah dimainkan selaras.)Like a lovely melody that everyone can sing,(Seperti melodi indah yang gampang dinyanyikan oleh setiap orang,)Take away the words that rhyme it doesn’t mean a thing.(Dengan lirik yang kurang bermakna)But God I miss the girl,(Tapi Tuhan aku rindu gadis itu,)And I’d go a thousand times around the world just to be(Dan aku akan berkeliling dunia seribu kali untuk)Closer to her than to me.(Lebih dekat dengannya daripada denganku sendiri.)And Aubrey was her name,(Dan Aubrey adalah namanya,)I never knew her, but I loved her just the same,(Aku tidak pernah mengenalnya, tapi aku mencintainya sama saja)I loved her name.(aku mencintai namanya.)Wis
Ditipu Mertua dan Suami Extra part 4 "Ayo, Ra, jawab, jangan bikin aku penasaran." "Mandi dulu, ah." Aku beranjak dari duduk berniat melarikan diri tapi tanganku langsung dicekal Mas Putra."Eits, jangan harap kamu bisa melarikan diri sebelum menjawab pertanyaanku. Duduk!""Maksa banget, sih, Mas.""Kamu kan senengnya dipaksa paksa gini. Nikah sama aku pun harus dipaksa.""Lebih enak yang dipaksa dipaksa, sih," jawabku yang akhirnya mengalah duduk di samping Mas Putra sambil melingkarkan tangan di pinggungnya dan melabuhkan kepala di bahunya. Mas Putra pun akhirnya juga melingkarkan tangannya di pinggangku. Sudah tidak peduli dengan orang sekitar, kami menikmati senja di tepi pantai layaknya orang yang sedang kasmaran."Ayo, Ra, ceritakan. Aku siap menerima kenyataan pahit.""Malam itu, setelah pernikahan kami, Mas Rasyid menuntutku untuk menjadi istri seutuhnya. Dia melepas kerudungku, Mas. Lalu bibirnya ... Bibirnya mengecup ....""Bibirmu?" Sahut Mas Putra cepat."Bukan tapi k
Kami pun mengikuti Kartika masuk ke dalam rumah lalu membuka kamar Ibu. Terlihat Ibu terbaring dengan badan yang kurus kering sama dengan Kartika. Mendengar pintu di buka Ibu langsung bangun, menatapku tajam lalu bangkit dari ranjang menghampiri kami dengan dada yang naik turun. "Pembunuh! Kamu pembunuh cucuku!" Teriaknya menakutkan. Ternyata dia masih bisa mengenaliku. "Gara-gara kamu, aku tidak punya cucu! Kembalikan cucuku! Beri aku cucu!" Ibu mengambil gelas yang ada di atas meja."Rasakan ini pembunuh! Matilah kau!" Tiba-tiba Ibu mengayunkan gelas itu mengarah padaku. Untunglah Mas Putra buru-buru menarik tubuhku lalu menutup pintu kamar. Setelahnya terdengar suara gelas pecah yang dilempar ke pintu kemudian disusul teriakan Ibu yang melengking."Buka pintunya! Aku akan membunuh perempuan itu! Bukaaa!" "Tiara, sepertinya untuk saat ini kita tidak bisa berdamai dengan mantan mertuamu itu. Sangat berbahaya buat diri kamu.""Iya, Mas, aku juga takut. Kita pulang saja.""Maaf, Mb
Ditipu mertua dan suami Extra part 3Setelah meninggalkan penjara, kami pun menuju kontrakan Kartika, "Gimana nih kesan yang habis ketemu mantan?" ledeknya sambil menyetir."Biasa saja." "Yang bener? Kata orang, yang pertama itu tak terlupakan.""Yang pertama tapi kalau menyakitkan buat apa diingat ingat.""Sakit pertama aja tapi selanjutnya memabukkan, kan.""Ih, apa sih, Mas Putra, nggak nyambung. Hatiku, Mas, yang sakit. Ngeres aja pikirannya." "Ha ha ha ... sekarang mikir ngeres nggak masalah, kan sudah ada tempat pelampiasan."Tanganku sudah melayang bersiap memukul lengannya tapi dengan spontan dicekal Mas Putra lalu ditaruh di pahanya dengan tangan kanan masih pegang setir."Geser rada ke sini, Ra, dudukmu." "Mau ngapain? Fokus, Mas, lagi nyetir nanti nabrak lagi." "Sudah, sini, mo dapat pahala, nggak?" Aku pun akhirnya manut menggeser dudukku mendekat padanya, "Sudah, nih, terus suruh ngapain?""Elus-elus." Tanganku yang digenggamnya di pahanya di geser lebih ke kanan.N
Besoknya, akhirnya kita terbang ke Jakarta. Sampai di rumah Mas Fikri, ibu mertuaku menyambut dengan hangat. Lengkaplah kebahagiaanku. Akhirnya aku punya mertua idaman yang begitu menyayangiku tidak seperti mertuaku dulu. Mengingatnya seperti diiris iris lagi."Selamat datang di rumahmu yang baru, Tiara," sambut Ibu sambil memelukku."Kok rumahku, Bu? Ini rumah Ibu, kan?""Ini rumah Fikri. Hasil kerja keras Fikri jadi ini otomatis rumahmu. Ibu dan Tia hanya numpang di sini.""Ibu jangan begitu. Ini rumah putra Ibu, Ibu yang lebih berhak.""Nggak, Nduk. Kamu istri Fikri. Kamu yang lebih berhak.""Sudah, sudah, kenapa kalian jadi rebutan rumah. Kalau nggak ada yang mengakui biarin nanti diakui istri kedua saja.""Hus! Amit-amit! Jangan sampai kamu menduakan Tiara ya, Fikri. Awas saja, bakalan Ibu pecat jadi anak!""Bercanda, Bu, mana mungkin anak Ibu yang baik ini sanggup menyakiti perempuan yang dengan susah ngedapetinnya. Memperjuangkannya saja butuh waktu hampir 20 tahun.""Nah itu
"Bukan. Itu murni Rekayasa Allah, Ra. Nasib baik berpihak padaku. Aku selalu berdoa untuk didekatkan denganmu jika kamu jodohku dan jauhkan bila bukan jodohku. Dan ternyata Allah terus mendekatkan kita. Makanya aku terus berjuang untuk mendapatkan kamu, Ra, karena yakin kamulah jodohku." ucapnya sambil menggenggam tanganku dan menatapku syahdu, terasa berdesir desir. "Tuh, kan, pegangan tangan begini aja nyetrum nih, Ra. Ada yang bangun," lirihnya sambil mengedipkan satu matanya."Nggak! Mati air!" teriakku."Dasar airnya nggak bisa diajak kompromi. Ya sudahlah, nggak usah pegang-pegang tangan. Ayo dilanjutin ceritamu!""Seminggu sekali setiap hari Sabtu Mas Fikri ke Yogya menemuiku. Walaupun sudah berkali kali kuusir tetap nekat, Mas. Dan setelah menceraikan Kartika dia berani beraninya melamarku. Membawa ibu dan saudara saudaranya. Ibunya sampai memohon mohon agar aku mau rujuk. Katanya hanya aku yang bisa memberinya cucu karena Kartika sudah tidak bisa memberinya cucu." "Kenapa?"
"Tiara! Kok keluar, sih. Ini shower gimana?""Halah, modus, kan, Mas Fikri? Mau minta nambah lagi, kan, di kamar mandi?" "Otakmu tuh yang ngeres. Beneran ini shower mati!""Ya sudah Mas Fikri pakai handuk dulu!""Iya, udah, istriku yang cantik. Buru sini!"Aku pun masuk ke kamar mandi lagi dengan siaga 1 takut diisengin Mas Fikri. Saat kunyalakan shower, ternyata benar shower mati. Tak keluar setetes air pun."Yah, mati air berarti ini, Mas. Tampungan pasti juga sudah habis buat nyuci piring acara resepsi tadi malam.""Terus gimana, Ra? Mana kudu mandi junub lagi. Butuh air banyak ini.""Di lantai bawah ada kamar mandi yang ada baknya kok, Mas. Kita mandi di sana, yuk. Semoga airnya masih penuh.""Udah pada bangun belum, ya, Ra? Malu tahu subuh-subuh mandi keramas. Ayo, Ra, temenin." "Punya urat malu juga, Mas?" ledekku yang dibalas Mas Fikri dengan mendorong kepalaku. Sambil membawa handuk, kami mengendap endap menuruni tangga takut ngebangunin yang lain. Dan aman, lantai bawah ma
"Oh iya, Ra, Adam mana? Dari ijab qobul tadi aku belum lihat Adam. Pasti sekarang dia sudah besar ya, sudah bisa jalan.""Ceritanya panjang, Mas. Adam ...." Mengingat Adam, airmataku luruh tak terbendung. Mas Fikri merengkuh tubuhku, "Sudah, sudah, kalau pertanyaanku hanya membuat kamu sedih begini tidak usah kamu ceritakan sekarang, Ra. Aku tidak ingin kebahagiaan kita hari ini rusak dengan kesedihanmu. Nanti saja ceritanya kalau kamu sudah siap, ya." Usapan Dokter Fikri di punggung akhirnya bisa meredakan kesedihanku, begitu nyaman dalam pelukan suami. Setelah mandi keramas, Dokter Fikri mengajakku sholat bersama. Bahagia sekali rasanya akhirnya aku punya seorang imam idaman hati. Tak henti mengucap syukur atas anugrahNya hari ini. Semoga ini adalah jodoh terakhirku sampai jannahMu ya Allah. "Gara-gara nafsu sampai lupa belum ngedoain istri, main seruduk aja ya, Ra. Sini kudoain dulu." Selesai sholat Dokter Fikri meraih kepalaku. Lalu seuntai doa ia lirihkan tepat di depan dah