Setelah diboyong suamiku ke rumahnya, malamnya pertama kali aku harus melayani suamiku yang ternyata begitu bringas. Membuatku kewalahan karena semalam utuh dia menyerangku tanpa henti. Mungkin karena pertama kali dia menyentuh perempuan dan dia juga tidak tahu tentang kehamilanku. Janinku yang baru berusia 5 minggu seperti berontak karena aksi brutalnya. Perutku mengalami kontraksi hebat. Dan paginya aku mengalami pendarahan. Akhirnya janinku luruh tanpa bisa dicegah dan aku pun harus di kuret. Tangisku tak berhenti kehilangan buah cintaku dengan Mas Fikri walaupun masih berwujud gumpalan. Lalu untuk apa aku menikah kalau akhirnya harus kehilangan anakku. Aku begitu membenci suamiku yang kuanggap sudah melenyapkan janin ini, bersikeras menuntutnya untuk menceraikanku berharap bisa kembali pada Mas Fikri.Tapi dengan sabarnya, dia menghadapi dan merawatku. Bahkan dia tidak marah setelah mengetahui aku hamil. Dan dia juga tidak pernah mempermasalahkan mahkotaku yang sudah terkoyak.
Tak bisa dipungkiri aku sangat bahagia dengan rencana Ibu. Aku yakin Mas Fikri juga pasti bahagia. Bersamaku pasti dia akan mendapatkan banyak anak. Mimpi di masa remaja kami akan terwujud.Tapi dugaanku salah. Ternyata Mas Fikri menolak mentah-mentah permintaan Ibu. Dia tidak mau menikahiku karena tidak mau menyakiti Mbak Tiara. Sakit mendengarnya ... Ternyata posisiku di hatinya sudah tergantikan. Aku sangat kecewa. Tapi itu tak lama karena pada akhirnya aku dan Mas Fikri menikah walaupun bagi Mas Fikri itu keterpaksaan. Tapi aku begitu yakin, dalam waktu dekat bisa menjeratnya dalam pelukanku kembali.Setelah ijab qobul, malamnya ketika kami akan melakukan hubungan suami istri tiba-tiba Mas Fikri mendorong tubuhku."Maaf, Kartika, aku belum bisa." "Kenapa, Mas? Mas Fikri tidak mau mengulangi betapa dulu kita sangat bergairah?""Sekarang keadaan kita tidak sama lagi, Kartika. Aku sudah punya Tiara. Aku tidak tega mengkhianati Tiara. Maaf, kalau malam ini aku mengecewakanmu," ucapn
"Bukannya begitu, Ra. Aku harus mempersiapkan Kartika dulu untuk siap menjadi single parent dengan 4 anak balita yang salah satunya anakku. Aku masih punya hati nurani, Ra. Mana mungkin aku tega meninggalkan mereka begitu saja!""Tidak tega apa karena sangat mencintainya?! Cinta pertama memang susah dilupakan. Iya, kan, Mas?!" "Maksudnya?""Sudahlah, Mas. Bagiku sudah jelas sekarang. Mas Fikri lebih tega padaku daripada Kartika! Jadi kalau begitu kita yang akan bercerai!""Ra, jangan begitu. Aku cuma minta waktu. Jangan besok. Aku janji akan menceraikan Kartika tapi jangan besok! Tolong, Ra, tolong mengerti keadaanku!""Mas Fikri yang tidak mengerti Keadaanku! Bagaimana sakitnya dikhianati dan ditipu suami sendiri!""Aku tidak mengkhianati dan menipumu, Ra. Pernikahanku dengan Kartika itu bukan kehendakku!""Tinggalkan aku, Mas. Keluar dari kamar ini!" "Ra, maafkan aku.""Keluar, Mas! Dan ingat kalau besok Mas Fikri tidak menceraikan Kartika, aku yang akan keluar dari rumah ini!" T
"Aku pengin dipijit. Kakiku pegal sekali, Mas." Aku merajuk manja sambil memegangi kaki."Ih, tumben nih istriku yang satu ini manja amat.""Ya sudah kalau nggak mau, sana! Sana! Pergi ke ketiak Kartika sana!""Iya, iya, mulai deh ... nggak usah mancing-mancing. Ayo kamu berbaring biar kupijit.""Aku pun berbaring dan dipijit Mas Fikri tapi baru 1 kaki yang dipijit dia terlihat terus menguap." "Ra, habis minum susu kok ngantuk berat ya. Benar kata Kartika, katanya kalau habis minum susu pasti teler." Awas saja kamu Kartika, akan kukasih pelajaran sudah memberiku obat tidur.Dan sekejap, Mas Fikri sudah terkapar di sampingku tak ingat apa-apa. Saatnya aku akan lihat keadaan Kartika di handphoneku.Dia tampak sedang bersolek di depan kaca memakai lingerie warna merah. Menantang sekali. Dasar perempuan penggoda. Penampilannya seperti pelac** saja. Ternyata selama ini dia yang sengaja memberiku obat tidur di susu supaya bisa menguasai Mas Fikri. Sekarang rasakan, Kartika, senjata makan
Matanya terbelalak, "Ini maksudnya apa? Susu yang aku kasih ke kamu ada obat tidurnya?!" "Iya, Mas! Aku tidak menyangka Mas Fikri tega melakukan itu! Mas Fikri mau membunuh bayi kita?! Iya, Mas?!" Aku beradegan sandiwara, akan kukuliti Kartika melalui Mas Fikri."Aku tidak mungkin melakukan itu, Ra. Kartika yang membuat susu itu. Aku hanya mengantarkannya padamu!" Mas Fikri bangkit dari duduknya menghampiri Kartika."Tolong kamu jelaskan, Kartika?! Apa yang kamu lakukan pada Tiara dan anakku?!""Mas Fikri percaya dengan Mbak Tiara?! Mbak Tiara bedrest, Mas. Dia tidak pernah kemana mana. Jadi bagaimana mungkin bisa ke laboratorium. Pasti itu semua rekayasa Mbak Tiara, Mas, untuk memisahkan kita." Dengan wajah ketakutan, masih saja dia mengumbar kebohongan untuk membela diri.Dia tidak tahu kalau aku lebih lihai. Susu yang dikasihkan Mas Fikri dulu kusimpan dan kukirim ke laboratorium melalui ojeg online. Aku sudah menghubungi pihak laboratorium. Teknologi komunikasi semakin memudahkan
POV Fikri Aku bersimpuh di kakinya, "Tiara, aku sudah menepati janji, kembalilah padaku. Aku mohon," Baru kali ini dadaku begitu sesak dan akhirnya aku menangis, sangat memalukan.Tapi Tiara terus berjalan ke taxi tanpa mempedulikanku. Aku mengejarnya. Memohon sekali lagi di depan pintu taxi, merendahkan diriku sendiri. "Tiara, aku mohon jangan pergi. Kita lupakan semuanya. Kita pulang ke rumah memulai hidup baru, menunggu kelahiran anak kita. Ayo,Tiara, kita pulang." Kutarik paksa lengannya.Tanpa sepatah kata, dia berusaha melawanku, melepaskan tangannya. Berkali kali dia mengusap pipinya yang basah dengan terisak isak. Aku sangat mengenal Tiara. Dia perempuan yang gampang memaafkan kecuali pada orang yang sangat ... sangat menyakitinya. Iya, luka yang kutorehkan memang terlalu dalam. "Tiara, maafkan aku, aku bersalah, aku menyesali semuanya," permohonan terakhirku yang tetap tak bisa menahannya.Tiara membuka pintu taxi dan masuk kedalam lalu taxi melesat kencang. Meninggalkank
Sambil mengemasi baju, aku terus mencoba menelepon Tiara tapi handphonenya tidak aktif. Aku yakin tujuannya Surabaya. Akan kususul dia. Setelah semua beres, buru-buru kutemui Ibu yang masih ada di ruang tengah bersama anak-anak."Ayah, mau kemana? Aku ikut!" Randi, Dimas, Vania mengakhiri aktivitas bermainnya setelah melihatku menggendong tas ransel."Randi, Dimas, Vania, ayah pergi sebentar. Ayah janji nanti pulang dibeliin mainan.""Mau kemana kamu, Fikri?" tanya Ibu."Aku mau nyusul Tiara, Bu.""Jangan bodoh, Fikri! Ngapain ngemis-ngemis sama dia! Kamu itu laki-laki yang punya harga diri! Dia sudah meninggalkanmu, tidak pantas kamu bela belain begitu! Ibu tidak mengijinkan kamu pergi!" "Tapi, Bu. Ada anakku di perut Tiara. Aku akan memperjuangkannya!""Soal anak itu gampang. Nanti kalau sudah lahir kita tinggal sewa pengacara, kita rebut hak asuhnya dari Tiara! Sekarang lebih baik kamu perjuangkan istri dan anak yang jelas-jelas ada di depan matamu, Fikri!" "Kartika bukan istriku
Lalu aku membuatkan dia susu di dot barunya, "Rania, sementara minumnya pakai ini dulu ya, sayang. Ibu lagi ngambek. Nanti kalau Ibu ngambeknya sudah sembuh, minum ASI ibu lagi." Pelan-pelan kumasukkan DOT di mulutnya. Pertama dia seperti asing, sempat menolak tapi lama-lama mau juga. Lega melihat susunya habis dan akhirnya Rania tertidur pulas. Saatnya aku akan berangkat kerja."Hari ini aku nitip Rania dulu ya, Bu. Dia sudah tidur di kamarku. Mau kutinggal kerja. Nanti coba aku cari baby sister untuk mengasuh Rania biar besok tidak merepotkan Ibu lagi." "Fikri, kenapa kamu bikin repot dirimu sendiri. Rujuk dengan Kartika dan kamu tidak perlu serepot ini!" "Maaf, Bu, Fikri tidak bisa!" ucapku yakin, aku tidak mau kalah dengan ancaman Kartika. Siang hari, handphoneku berdering. Ibu menelepon, suaranya tampak khawatir."Fikri! Rania muntah-muntah dan diare dari tadi pagi! Sekarang badannya lemas lunglai, pucat sekali. Kaki dan tangannya dingin, nafasnya juga seperti berat tersengal
"Nih, ada yang kangen sama ayahnya," ucapku sambil mengarahkan layar pada perutku."Maksudnya, Ra?""Iya, roket yang Mas Putra luncurkan ternyata ajaib, tepat sasaran. Benihnya jadi, Mas." "Maksudmu kamu hamil, Ra?" Aku mengangguk sambil menunjukkan testpack dengan berurai airmata. Mata Mas Fikri langsung berkaca kaca, setelah itu menangis sesenggukan, "Secepat ini, Ra?""Iya, Mas, aku juga seperti tidak percaya. Ini hanya karena kebesaranNya.""Alhamdulillah ya Allah, begitu cepat Engkau berikan anugrah indah ini pada kami." Tubuh Mas Putra kemudian meluruh bersujud syukur. Setelah itu kami hanya bisa sama-sama menatap layar dengan mata basah, "Ra, aku pengin meluk kamu. Aku besok pagi pulang, ya." Aku mengangguk bahagia."Kira-kira itu roket yang pas kuluncurkan di mana ya, Ra, yang berhasil jadi. Feelingku kok pas di camping di pantai. Rasanya beda soalnya.""Sok yakin, Mas, hanya Allah yang tahu. Yang terpenting, semoga aku dan bayi kita diberi keselamatan dan kesehatan ya, Mas
And Aubrey was her name,(Dan Aubrey adalah namanya,)A not so very ordinary girl or name.(Nama dan gadis yang biasa saja)But who’s to blame?(Tapi siapa yang harus disalahkan?)For a love that wouldn’t bloom(Untuk cinta yang tidak akan mekar)For the hearts that never played in tune.(Untuk hati yang tak pernah dimainkan selaras.)Like a lovely melody that everyone can sing,(Seperti melodi indah yang gampang dinyanyikan oleh setiap orang,)Take away the words that rhyme it doesn’t mean a thing.(Dengan lirik yang kurang bermakna)But God I miss the girl,(Tapi Tuhan aku rindu gadis itu,)And I’d go a thousand times around the world just to be(Dan aku akan berkeliling dunia seribu kali untuk)Closer to her than to me.(Lebih dekat dengannya daripada denganku sendiri.)And Aubrey was her name,(Dan Aubrey adalah namanya,)I never knew her, but I loved her just the same,(Aku tidak pernah mengenalnya, tapi aku mencintainya sama saja)I loved her name.(aku mencintai namanya.)Wis
Ditipu Mertua dan Suami Extra part 4 "Ayo, Ra, jawab, jangan bikin aku penasaran." "Mandi dulu, ah." Aku beranjak dari duduk berniat melarikan diri tapi tanganku langsung dicekal Mas Putra."Eits, jangan harap kamu bisa melarikan diri sebelum menjawab pertanyaanku. Duduk!""Maksa banget, sih, Mas.""Kamu kan senengnya dipaksa paksa gini. Nikah sama aku pun harus dipaksa.""Lebih enak yang dipaksa dipaksa, sih," jawabku yang akhirnya mengalah duduk di samping Mas Putra sambil melingkarkan tangan di pinggungnya dan melabuhkan kepala di bahunya. Mas Putra pun akhirnya juga melingkarkan tangannya di pinggangku. Sudah tidak peduli dengan orang sekitar, kami menikmati senja di tepi pantai layaknya orang yang sedang kasmaran."Ayo, Ra, ceritakan. Aku siap menerima kenyataan pahit.""Malam itu, setelah pernikahan kami, Mas Rasyid menuntutku untuk menjadi istri seutuhnya. Dia melepas kerudungku, Mas. Lalu bibirnya ... Bibirnya mengecup ....""Bibirmu?" Sahut Mas Putra cepat."Bukan tapi k
Kami pun mengikuti Kartika masuk ke dalam rumah lalu membuka kamar Ibu. Terlihat Ibu terbaring dengan badan yang kurus kering sama dengan Kartika. Mendengar pintu di buka Ibu langsung bangun, menatapku tajam lalu bangkit dari ranjang menghampiri kami dengan dada yang naik turun. "Pembunuh! Kamu pembunuh cucuku!" Teriaknya menakutkan. Ternyata dia masih bisa mengenaliku. "Gara-gara kamu, aku tidak punya cucu! Kembalikan cucuku! Beri aku cucu!" Ibu mengambil gelas yang ada di atas meja."Rasakan ini pembunuh! Matilah kau!" Tiba-tiba Ibu mengayunkan gelas itu mengarah padaku. Untunglah Mas Putra buru-buru menarik tubuhku lalu menutup pintu kamar. Setelahnya terdengar suara gelas pecah yang dilempar ke pintu kemudian disusul teriakan Ibu yang melengking."Buka pintunya! Aku akan membunuh perempuan itu! Bukaaa!" "Tiara, sepertinya untuk saat ini kita tidak bisa berdamai dengan mantan mertuamu itu. Sangat berbahaya buat diri kamu.""Iya, Mas, aku juga takut. Kita pulang saja.""Maaf, Mb
Ditipu mertua dan suami Extra part 3Setelah meninggalkan penjara, kami pun menuju kontrakan Kartika, "Gimana nih kesan yang habis ketemu mantan?" ledeknya sambil menyetir."Biasa saja." "Yang bener? Kata orang, yang pertama itu tak terlupakan.""Yang pertama tapi kalau menyakitkan buat apa diingat ingat.""Sakit pertama aja tapi selanjutnya memabukkan, kan.""Ih, apa sih, Mas Putra, nggak nyambung. Hatiku, Mas, yang sakit. Ngeres aja pikirannya." "Ha ha ha ... sekarang mikir ngeres nggak masalah, kan sudah ada tempat pelampiasan."Tanganku sudah melayang bersiap memukul lengannya tapi dengan spontan dicekal Mas Putra lalu ditaruh di pahanya dengan tangan kanan masih pegang setir."Geser rada ke sini, Ra, dudukmu." "Mau ngapain? Fokus, Mas, lagi nyetir nanti nabrak lagi." "Sudah, sini, mo dapat pahala, nggak?" Aku pun akhirnya manut menggeser dudukku mendekat padanya, "Sudah, nih, terus suruh ngapain?""Elus-elus." Tanganku yang digenggamnya di pahanya di geser lebih ke kanan.N
Besoknya, akhirnya kita terbang ke Jakarta. Sampai di rumah Mas Fikri, ibu mertuaku menyambut dengan hangat. Lengkaplah kebahagiaanku. Akhirnya aku punya mertua idaman yang begitu menyayangiku tidak seperti mertuaku dulu. Mengingatnya seperti diiris iris lagi."Selamat datang di rumahmu yang baru, Tiara," sambut Ibu sambil memelukku."Kok rumahku, Bu? Ini rumah Ibu, kan?""Ini rumah Fikri. Hasil kerja keras Fikri jadi ini otomatis rumahmu. Ibu dan Tia hanya numpang di sini.""Ibu jangan begitu. Ini rumah putra Ibu, Ibu yang lebih berhak.""Nggak, Nduk. Kamu istri Fikri. Kamu yang lebih berhak.""Sudah, sudah, kenapa kalian jadi rebutan rumah. Kalau nggak ada yang mengakui biarin nanti diakui istri kedua saja.""Hus! Amit-amit! Jangan sampai kamu menduakan Tiara ya, Fikri. Awas saja, bakalan Ibu pecat jadi anak!""Bercanda, Bu, mana mungkin anak Ibu yang baik ini sanggup menyakiti perempuan yang dengan susah ngedapetinnya. Memperjuangkannya saja butuh waktu hampir 20 tahun.""Nah itu
"Bukan. Itu murni Rekayasa Allah, Ra. Nasib baik berpihak padaku. Aku selalu berdoa untuk didekatkan denganmu jika kamu jodohku dan jauhkan bila bukan jodohku. Dan ternyata Allah terus mendekatkan kita. Makanya aku terus berjuang untuk mendapatkan kamu, Ra, karena yakin kamulah jodohku." ucapnya sambil menggenggam tanganku dan menatapku syahdu, terasa berdesir desir. "Tuh, kan, pegangan tangan begini aja nyetrum nih, Ra. Ada yang bangun," lirihnya sambil mengedipkan satu matanya."Nggak! Mati air!" teriakku."Dasar airnya nggak bisa diajak kompromi. Ya sudahlah, nggak usah pegang-pegang tangan. Ayo dilanjutin ceritamu!""Seminggu sekali setiap hari Sabtu Mas Fikri ke Yogya menemuiku. Walaupun sudah berkali kali kuusir tetap nekat, Mas. Dan setelah menceraikan Kartika dia berani beraninya melamarku. Membawa ibu dan saudara saudaranya. Ibunya sampai memohon mohon agar aku mau rujuk. Katanya hanya aku yang bisa memberinya cucu karena Kartika sudah tidak bisa memberinya cucu." "Kenapa?"
"Tiara! Kok keluar, sih. Ini shower gimana?""Halah, modus, kan, Mas Fikri? Mau minta nambah lagi, kan, di kamar mandi?" "Otakmu tuh yang ngeres. Beneran ini shower mati!""Ya sudah Mas Fikri pakai handuk dulu!""Iya, udah, istriku yang cantik. Buru sini!"Aku pun masuk ke kamar mandi lagi dengan siaga 1 takut diisengin Mas Fikri. Saat kunyalakan shower, ternyata benar shower mati. Tak keluar setetes air pun."Yah, mati air berarti ini, Mas. Tampungan pasti juga sudah habis buat nyuci piring acara resepsi tadi malam.""Terus gimana, Ra? Mana kudu mandi junub lagi. Butuh air banyak ini.""Di lantai bawah ada kamar mandi yang ada baknya kok, Mas. Kita mandi di sana, yuk. Semoga airnya masih penuh.""Udah pada bangun belum, ya, Ra? Malu tahu subuh-subuh mandi keramas. Ayo, Ra, temenin." "Punya urat malu juga, Mas?" ledekku yang dibalas Mas Fikri dengan mendorong kepalaku. Sambil membawa handuk, kami mengendap endap menuruni tangga takut ngebangunin yang lain. Dan aman, lantai bawah ma
"Oh iya, Ra, Adam mana? Dari ijab qobul tadi aku belum lihat Adam. Pasti sekarang dia sudah besar ya, sudah bisa jalan.""Ceritanya panjang, Mas. Adam ...." Mengingat Adam, airmataku luruh tak terbendung. Mas Fikri merengkuh tubuhku, "Sudah, sudah, kalau pertanyaanku hanya membuat kamu sedih begini tidak usah kamu ceritakan sekarang, Ra. Aku tidak ingin kebahagiaan kita hari ini rusak dengan kesedihanmu. Nanti saja ceritanya kalau kamu sudah siap, ya." Usapan Dokter Fikri di punggung akhirnya bisa meredakan kesedihanku, begitu nyaman dalam pelukan suami. Setelah mandi keramas, Dokter Fikri mengajakku sholat bersama. Bahagia sekali rasanya akhirnya aku punya seorang imam idaman hati. Tak henti mengucap syukur atas anugrahNya hari ini. Semoga ini adalah jodoh terakhirku sampai jannahMu ya Allah. "Gara-gara nafsu sampai lupa belum ngedoain istri, main seruduk aja ya, Ra. Sini kudoain dulu." Selesai sholat Dokter Fikri meraih kepalaku. Lalu seuntai doa ia lirihkan tepat di depan dah