Lalu aku membuatkan dia susu di dot barunya, "Rania, sementara minumnya pakai ini dulu ya, sayang. Ibu lagi ngambek. Nanti kalau Ibu ngambeknya sudah sembuh, minum ASI ibu lagi." Pelan-pelan kumasukkan DOT di mulutnya. Pertama dia seperti asing, sempat menolak tapi lama-lama mau juga. Lega melihat susunya habis dan akhirnya Rania tertidur pulas. Saatnya aku akan berangkat kerja."Hari ini aku nitip Rania dulu ya, Bu. Dia sudah tidur di kamarku. Mau kutinggal kerja. Nanti coba aku cari baby sister untuk mengasuh Rania biar besok tidak merepotkan Ibu lagi." "Fikri, kenapa kamu bikin repot dirimu sendiri. Rujuk dengan Kartika dan kamu tidak perlu serepot ini!" "Maaf, Bu, Fikri tidak bisa!" ucapku yakin, aku tidak mau kalah dengan ancaman Kartika. Siang hari, handphoneku berdering. Ibu menelepon, suaranya tampak khawatir."Fikri! Rania muntah-muntah dan diare dari tadi pagi! Sekarang badannya lemas lunglai, pucat sekali. Kaki dan tangannya dingin, nafasnya juga seperti berat tersengal
"Iya, Pak, ini akan kita beri susu formula terhidrolisa dulu semoga tubuhnya bisa menerima, tidak menimbulkan reaksi lain.""Bu, Ibu di sini dulu, ya, jagain Rania, Fikri mau pulang dulu membujuk Kartika untuk mau memberikan ASI nya.""Rujuk dengan Kartika, Fikri dan semua selesai, Rania sembuh! Jangan utamakan egomu. Pikirkan keselamatan anakmu!"Aku segera pergi. Sampai di rumah, kuhampiri Kartika yang sedang memompa ASI di kamar. Sepertinya ASI nya melimpah karena tidak diminumkan dan pasti itu sangat menyiksanya. Kata Kartika dulu bikin panas dingin badan."Kartika, sini hasil pompa ASI mu kuambil buat Rania. Dia sangat membutuhkannya.""Tak semudah itu, Mas. Kalau Mas Fikri menginginkan ASI ini, kita rujuk dulu.""Tolong, Kartika, jangan paksa aku untuk rujuk! Kamu itu Ibu macam apa?! Anakmu sedang berjuang antara hidup dan mati dan obatnya ASI mu!""Kenapa Mas Fikri juga sangat egois sekali! Mas Fikri juga tidak mau berkorban demi Rania! Kenapa Mas Fikri lebih memilih berkorban
Aku masuk ke dalam taxi tanpa menengok ke belakang. Suara mengiba Mas Fikri kuanggap angin lalu."Ayo jalan, Pak." perintahku pada sopir taxi."Mbak Tiara mau kemana kok tujuan ke Gambir?" Aku tersentak mendengar ucapan sopir itu. Kulihat dengan seksama wajahnya di spion dari kursi belakang."Rafli?!""Iya, Mbak, ini saya." "Bukannya kamu melaut?" "Nggak, Mbak. Profesi itu bagian dari sandiwara. Mulanya saya pengangguran. Lalu Pak Fikri menawariku pekerjaan yang tidak berat dengan imbalan yang sangat besar. Saya cuma disuruh main sandiwara berperan jadi istrinya Mbak Kartika. Dan Pak Fikri menjanjikan membelikan saya mobil second. Ini mobilnya, Mbak, akhirnya bisa saya gunakan untuk cari duit."Benar- benar permainan sandiwara yang sangat sempurna. Ternyata Mas Fikri seorang sutradara yang handal. Penipu ulung!"Saya tahu banyak tentang Pak Fikri dan Mbak Kartika, Mbak. Sebenarnya mereka itu ...""Sudah, Rafli, aku sudah tahu semuanya!" "Alhamdulillah, akhirnya Mbak Tiara tahu jug
Aku tersentak. Sepertinya dia tidak main-main. Tatapan mata laki-laki itu menjadi sangat menakutkan. Pelan-pelan aku mundur menjauh berniat lari kencang tapi tiba-tiba dia mencekal lenganku kuat."Mau lari kemana?!" Dia menarik paksa tanganku. Kulawan tapi dia terus menariknya sampai sebuah mobil taxi berhenti. Seorang laki-laki keluar, menghampiri kami dan mengambil travel bagku."Mau kamu bawa kemana istriku?! Lepaskan dia! Atau saya telepon polisi!" Teriak laki-laki itu sambil berusaha melepaskan cekalan laki-laki berandal itu dari tanganku lalu dia yang menarik tanganku sambil menyeret travel bag ku masuk ke mobil.Dengan tubuh yang masih gemetar ketakutan, aku duduk di samping laki-laki yang tak kukenal. Aku sadar, aku belum terlepas dari marabahaya. Entah apa tujuan laki-laki ini menolongku. "Ya Allah, lindungi hamba," doaku dengan dengan ketakutan sekaligus sedih.Baru hari pertama tanpa suami aku sudah diuji dengan ketakutan seperti ini bagaimana aku akan menjalani hari hari
"Kamar saya masih kosong kan, Mas?""Iya itu. Paling buat kalau ada tamu. Ya sudah kamu istirahat dulu sana. O iya, pintu kamarnya rusak nggak bisa dikunci. Gara-gara anak-anak mainan di dalam terus terkunci, kuncinya macet jadi kudobrak. Sampai sekarang belum dibenerin lagi.""Iya, Mas, nggak pa pa. Saya ke kamar dulu ya, Mas."Masuk ke kamar aku langsung terkapar karena kecapekan. Bangun pagi, badan rasanya remuk. Setelah sholat subuh yang sudah kesiangan, lalu mandi aku pun ke dapur niat pengin bikin sarapan sekalian buat Mas Angga. Tapi sampai di ruang makan, Mas Angga yang berpakaian kerja rapi sudah duduk di meja makan menikmati sarapan. "Sini, Ra, sarapan.""Wah, sudah ada nasi goreng. Mas Angga yang masak?" "Iya, dong, kan ada tamu istimewa. Katanya tamu adalah raja. Ayo sarapan sekalian sini nemenin Mas." "Makasih, Mas Angga." Kuambil piring lalu menyendok nasi goreng. Aku duduk di depan Mas Angga menikmati sarapan bersama.""Ada apa sebenarnya dengan kalian? Lagi berantem
"Kamu lupa, Ra? Tadi malam kita benar-benar menikmati malam yang sangat indah." ucapnya dengan mata masih tertutup lalu tertidur lagi."Itu tidak mungkin! Tiara tidak ingat apa-apa!" teriakku.Dengan melilit tubuhku memakai selimut, aku berlari ke kamar mandi. Mengguyur tubuhku yang terasa sangat kotor di bawah air shower dengan masih menangis meraung, tidak rela tubuhku disentuh laki-laki lain apalagi itu kakak ipar ku sendiri. Sangat menjijikkan. Dengan keras, kugosok gosok tubuhku dengan sabun."Ya Allah, kenapa semua ini harus terjadi padaku?! Kenapa?! Apa salahku sampai Engkau uji bertubi tubi?!" Aku mencoba mengingat apa yang terjadi semalam. Yang kuingat aku tertidur di sofa lalu Mas Angga membangunkanku. Dia membawa pizza, kami makan sama-sama sampai habis. Setelah itu aku merasa ada yang menjalar di sekujur tubuhku. Aku juga tak tahu itu apa. Tapi setelahnya aku tak ingat apa yang terjadi. Aku keluar kamar mandi, memunguti bajuku lalu mengambil baju bersih membawanya ke ka
"Kamu?!" teriakku dengan mata melotot."Aha ... Akhirnya kita dipertemukan lagi. Itu artinya ..." Dia menghentikan ucapan, mengulum senyum sambil merapikan baju putihnya dan dengan gaya bicara yang berubah sok berwibawa mempersilahkanku duduk."Silahkan, Ibu ... Tiara, benar kan? Apa yang bisa kubantu?" Dia berusaha bersikap serius tapi tetap saja tatapan matanya membuatku jengah, kenapa dipertemukan dengan orang aneh ini terus. "Maaf, saya nggak jadi periksa!" Aku bangkit dari duduk dan berjalan menuju pintu. "Nggak sayang sudah ngantri panjang nggak jadi periksa? Anggap kita nggak kenal, nggak pernah ketemu. Tenang saja, Ibu Tiara, aku akan menjalankan tugasku dengan profesional. Ayo, saya periksa. Apa keluhannya?" teriak dokter aneh itu dari kursinya."Maaf, saya nggak bisa! Permisi." Buru-buru kubuka pintu dan meninggalkan ruangan itu menuju meja pendaftaran."Mbak, apa ada Dokter kandungan lain yang praktek hari ini?""Memangnya kenapa, Bu, dengan Dokter Fikri?" "Siapa, Mbak?!
"Bu Tiara, tunggu!" teriaknya tapi tak kugubris, buru-buru kutinggalkan tempat itu menuju ruang tunggu Dokter Rasyid.Sampai di ruang tunggu depan ruang praktek Dokter Rasyid, aku duduk sendirian. Sepertinya pasien Dokter Rasyid belum ada yang datang karena masih 2 jam an lagi. Untuk menghabiskan waktu iseng-iseng aku berselancar di dunia maya. Mengintip status teman-teman di akun sosial media. Jemariku berhenti mengusap layar ketika membaca status Mas Fikri."Selamat jalan bidadari kecil Ayah, surga menantimu ya, Nak."Apa yang terjadi dengan anak mereka? Dengan berdebar kuusap lagi layar handphone mengintip wall Kartika. Tapi tak ada status baru apapun. Status terakhirnya seminggu yang lalu yang memasang foto bayinya. Wall nya memang penuh dengan foto anak-anaknya. Aku memang masih tidak terima dengan pernikahan mereka dibelakangku. Tapi aku tidak pernah menginginkan bayi mereka kenapa napa. Dan akhirnya setelah lama menunggu, namaku dipanggil juga."Ibu Tiara, silahkan masuk!"
"Nih, ada yang kangen sama ayahnya," ucapku sambil mengarahkan layar pada perutku."Maksudnya, Ra?""Iya, roket yang Mas Putra luncurkan ternyata ajaib, tepat sasaran. Benihnya jadi, Mas." "Maksudmu kamu hamil, Ra?" Aku mengangguk sambil menunjukkan testpack dengan berurai airmata. Mata Mas Fikri langsung berkaca kaca, setelah itu menangis sesenggukan, "Secepat ini, Ra?""Iya, Mas, aku juga seperti tidak percaya. Ini hanya karena kebesaranNya.""Alhamdulillah ya Allah, begitu cepat Engkau berikan anugrah indah ini pada kami." Tubuh Mas Putra kemudian meluruh bersujud syukur. Setelah itu kami hanya bisa sama-sama menatap layar dengan mata basah, "Ra, aku pengin meluk kamu. Aku besok pagi pulang, ya." Aku mengangguk bahagia."Kira-kira itu roket yang pas kuluncurkan di mana ya, Ra, yang berhasil jadi. Feelingku kok pas di camping di pantai. Rasanya beda soalnya.""Sok yakin, Mas, hanya Allah yang tahu. Yang terpenting, semoga aku dan bayi kita diberi keselamatan dan kesehatan ya, Mas
And Aubrey was her name,(Dan Aubrey adalah namanya,)A not so very ordinary girl or name.(Nama dan gadis yang biasa saja)But who’s to blame?(Tapi siapa yang harus disalahkan?)For a love that wouldn’t bloom(Untuk cinta yang tidak akan mekar)For the hearts that never played in tune.(Untuk hati yang tak pernah dimainkan selaras.)Like a lovely melody that everyone can sing,(Seperti melodi indah yang gampang dinyanyikan oleh setiap orang,)Take away the words that rhyme it doesn’t mean a thing.(Dengan lirik yang kurang bermakna)But God I miss the girl,(Tapi Tuhan aku rindu gadis itu,)And I’d go a thousand times around the world just to be(Dan aku akan berkeliling dunia seribu kali untuk)Closer to her than to me.(Lebih dekat dengannya daripada denganku sendiri.)And Aubrey was her name,(Dan Aubrey adalah namanya,)I never knew her, but I loved her just the same,(Aku tidak pernah mengenalnya, tapi aku mencintainya sama saja)I loved her name.(aku mencintai namanya.)Wis
Ditipu Mertua dan Suami Extra part 4 "Ayo, Ra, jawab, jangan bikin aku penasaran." "Mandi dulu, ah." Aku beranjak dari duduk berniat melarikan diri tapi tanganku langsung dicekal Mas Putra."Eits, jangan harap kamu bisa melarikan diri sebelum menjawab pertanyaanku. Duduk!""Maksa banget, sih, Mas.""Kamu kan senengnya dipaksa paksa gini. Nikah sama aku pun harus dipaksa.""Lebih enak yang dipaksa dipaksa, sih," jawabku yang akhirnya mengalah duduk di samping Mas Putra sambil melingkarkan tangan di pinggungnya dan melabuhkan kepala di bahunya. Mas Putra pun akhirnya juga melingkarkan tangannya di pinggangku. Sudah tidak peduli dengan orang sekitar, kami menikmati senja di tepi pantai layaknya orang yang sedang kasmaran."Ayo, Ra, ceritakan. Aku siap menerima kenyataan pahit.""Malam itu, setelah pernikahan kami, Mas Rasyid menuntutku untuk menjadi istri seutuhnya. Dia melepas kerudungku, Mas. Lalu bibirnya ... Bibirnya mengecup ....""Bibirmu?" Sahut Mas Putra cepat."Bukan tapi k
Kami pun mengikuti Kartika masuk ke dalam rumah lalu membuka kamar Ibu. Terlihat Ibu terbaring dengan badan yang kurus kering sama dengan Kartika. Mendengar pintu di buka Ibu langsung bangun, menatapku tajam lalu bangkit dari ranjang menghampiri kami dengan dada yang naik turun. "Pembunuh! Kamu pembunuh cucuku!" Teriaknya menakutkan. Ternyata dia masih bisa mengenaliku. "Gara-gara kamu, aku tidak punya cucu! Kembalikan cucuku! Beri aku cucu!" Ibu mengambil gelas yang ada di atas meja."Rasakan ini pembunuh! Matilah kau!" Tiba-tiba Ibu mengayunkan gelas itu mengarah padaku. Untunglah Mas Putra buru-buru menarik tubuhku lalu menutup pintu kamar. Setelahnya terdengar suara gelas pecah yang dilempar ke pintu kemudian disusul teriakan Ibu yang melengking."Buka pintunya! Aku akan membunuh perempuan itu! Bukaaa!" "Tiara, sepertinya untuk saat ini kita tidak bisa berdamai dengan mantan mertuamu itu. Sangat berbahaya buat diri kamu.""Iya, Mas, aku juga takut. Kita pulang saja.""Maaf, Mb
Ditipu mertua dan suami Extra part 3Setelah meninggalkan penjara, kami pun menuju kontrakan Kartika, "Gimana nih kesan yang habis ketemu mantan?" ledeknya sambil menyetir."Biasa saja." "Yang bener? Kata orang, yang pertama itu tak terlupakan.""Yang pertama tapi kalau menyakitkan buat apa diingat ingat.""Sakit pertama aja tapi selanjutnya memabukkan, kan.""Ih, apa sih, Mas Putra, nggak nyambung. Hatiku, Mas, yang sakit. Ngeres aja pikirannya." "Ha ha ha ... sekarang mikir ngeres nggak masalah, kan sudah ada tempat pelampiasan."Tanganku sudah melayang bersiap memukul lengannya tapi dengan spontan dicekal Mas Putra lalu ditaruh di pahanya dengan tangan kanan masih pegang setir."Geser rada ke sini, Ra, dudukmu." "Mau ngapain? Fokus, Mas, lagi nyetir nanti nabrak lagi." "Sudah, sini, mo dapat pahala, nggak?" Aku pun akhirnya manut menggeser dudukku mendekat padanya, "Sudah, nih, terus suruh ngapain?""Elus-elus." Tanganku yang digenggamnya di pahanya di geser lebih ke kanan.N
Besoknya, akhirnya kita terbang ke Jakarta. Sampai di rumah Mas Fikri, ibu mertuaku menyambut dengan hangat. Lengkaplah kebahagiaanku. Akhirnya aku punya mertua idaman yang begitu menyayangiku tidak seperti mertuaku dulu. Mengingatnya seperti diiris iris lagi."Selamat datang di rumahmu yang baru, Tiara," sambut Ibu sambil memelukku."Kok rumahku, Bu? Ini rumah Ibu, kan?""Ini rumah Fikri. Hasil kerja keras Fikri jadi ini otomatis rumahmu. Ibu dan Tia hanya numpang di sini.""Ibu jangan begitu. Ini rumah putra Ibu, Ibu yang lebih berhak.""Nggak, Nduk. Kamu istri Fikri. Kamu yang lebih berhak.""Sudah, sudah, kenapa kalian jadi rebutan rumah. Kalau nggak ada yang mengakui biarin nanti diakui istri kedua saja.""Hus! Amit-amit! Jangan sampai kamu menduakan Tiara ya, Fikri. Awas saja, bakalan Ibu pecat jadi anak!""Bercanda, Bu, mana mungkin anak Ibu yang baik ini sanggup menyakiti perempuan yang dengan susah ngedapetinnya. Memperjuangkannya saja butuh waktu hampir 20 tahun.""Nah itu
"Bukan. Itu murni Rekayasa Allah, Ra. Nasib baik berpihak padaku. Aku selalu berdoa untuk didekatkan denganmu jika kamu jodohku dan jauhkan bila bukan jodohku. Dan ternyata Allah terus mendekatkan kita. Makanya aku terus berjuang untuk mendapatkan kamu, Ra, karena yakin kamulah jodohku." ucapnya sambil menggenggam tanganku dan menatapku syahdu, terasa berdesir desir. "Tuh, kan, pegangan tangan begini aja nyetrum nih, Ra. Ada yang bangun," lirihnya sambil mengedipkan satu matanya."Nggak! Mati air!" teriakku."Dasar airnya nggak bisa diajak kompromi. Ya sudahlah, nggak usah pegang-pegang tangan. Ayo dilanjutin ceritamu!""Seminggu sekali setiap hari Sabtu Mas Fikri ke Yogya menemuiku. Walaupun sudah berkali kali kuusir tetap nekat, Mas. Dan setelah menceraikan Kartika dia berani beraninya melamarku. Membawa ibu dan saudara saudaranya. Ibunya sampai memohon mohon agar aku mau rujuk. Katanya hanya aku yang bisa memberinya cucu karena Kartika sudah tidak bisa memberinya cucu." "Kenapa?"
"Tiara! Kok keluar, sih. Ini shower gimana?""Halah, modus, kan, Mas Fikri? Mau minta nambah lagi, kan, di kamar mandi?" "Otakmu tuh yang ngeres. Beneran ini shower mati!""Ya sudah Mas Fikri pakai handuk dulu!""Iya, udah, istriku yang cantik. Buru sini!"Aku pun masuk ke kamar mandi lagi dengan siaga 1 takut diisengin Mas Fikri. Saat kunyalakan shower, ternyata benar shower mati. Tak keluar setetes air pun."Yah, mati air berarti ini, Mas. Tampungan pasti juga sudah habis buat nyuci piring acara resepsi tadi malam.""Terus gimana, Ra? Mana kudu mandi junub lagi. Butuh air banyak ini.""Di lantai bawah ada kamar mandi yang ada baknya kok, Mas. Kita mandi di sana, yuk. Semoga airnya masih penuh.""Udah pada bangun belum, ya, Ra? Malu tahu subuh-subuh mandi keramas. Ayo, Ra, temenin." "Punya urat malu juga, Mas?" ledekku yang dibalas Mas Fikri dengan mendorong kepalaku. Sambil membawa handuk, kami mengendap endap menuruni tangga takut ngebangunin yang lain. Dan aman, lantai bawah ma
"Oh iya, Ra, Adam mana? Dari ijab qobul tadi aku belum lihat Adam. Pasti sekarang dia sudah besar ya, sudah bisa jalan.""Ceritanya panjang, Mas. Adam ...." Mengingat Adam, airmataku luruh tak terbendung. Mas Fikri merengkuh tubuhku, "Sudah, sudah, kalau pertanyaanku hanya membuat kamu sedih begini tidak usah kamu ceritakan sekarang, Ra. Aku tidak ingin kebahagiaan kita hari ini rusak dengan kesedihanmu. Nanti saja ceritanya kalau kamu sudah siap, ya." Usapan Dokter Fikri di punggung akhirnya bisa meredakan kesedihanku, begitu nyaman dalam pelukan suami. Setelah mandi keramas, Dokter Fikri mengajakku sholat bersama. Bahagia sekali rasanya akhirnya aku punya seorang imam idaman hati. Tak henti mengucap syukur atas anugrahNya hari ini. Semoga ini adalah jodoh terakhirku sampai jannahMu ya Allah. "Gara-gara nafsu sampai lupa belum ngedoain istri, main seruduk aja ya, Ra. Sini kudoain dulu." Selesai sholat Dokter Fikri meraih kepalaku. Lalu seuntai doa ia lirihkan tepat di depan dah