"Kamu?!" teriakku dengan mata melotot."Aha ... Akhirnya kita dipertemukan lagi. Itu artinya ..." Dia menghentikan ucapan, mengulum senyum sambil merapikan baju putihnya dan dengan gaya bicara yang berubah sok berwibawa mempersilahkanku duduk."Silahkan, Ibu ... Tiara, benar kan? Apa yang bisa kubantu?" Dia berusaha bersikap serius tapi tetap saja tatapan matanya membuatku jengah, kenapa dipertemukan dengan orang aneh ini terus. "Maaf, saya nggak jadi periksa!" Aku bangkit dari duduk dan berjalan menuju pintu. "Nggak sayang sudah ngantri panjang nggak jadi periksa? Anggap kita nggak kenal, nggak pernah ketemu. Tenang saja, Ibu Tiara, aku akan menjalankan tugasku dengan profesional. Ayo, saya periksa. Apa keluhannya?" teriak dokter aneh itu dari kursinya."Maaf, saya nggak bisa! Permisi." Buru-buru kubuka pintu dan meninggalkan ruangan itu menuju meja pendaftaran."Mbak, apa ada Dokter kandungan lain yang praktek hari ini?""Memangnya kenapa, Bu, dengan Dokter Fikri?" "Siapa, Mbak?!
"Bu Tiara, tunggu!" teriaknya tapi tak kugubris, buru-buru kutinggalkan tempat itu menuju ruang tunggu Dokter Rasyid.Sampai di ruang tunggu depan ruang praktek Dokter Rasyid, aku duduk sendirian. Sepertinya pasien Dokter Rasyid belum ada yang datang karena masih 2 jam an lagi. Untuk menghabiskan waktu iseng-iseng aku berselancar di dunia maya. Mengintip status teman-teman di akun sosial media. Jemariku berhenti mengusap layar ketika membaca status Mas Fikri."Selamat jalan bidadari kecil Ayah, surga menantimu ya, Nak."Apa yang terjadi dengan anak mereka? Dengan berdebar kuusap lagi layar handphone mengintip wall Kartika. Tapi tak ada status baru apapun. Status terakhirnya seminggu yang lalu yang memasang foto bayinya. Wall nya memang penuh dengan foto anak-anaknya. Aku memang masih tidak terima dengan pernikahan mereka dibelakangku. Tapi aku tidak pernah menginginkan bayi mereka kenapa napa. Dan akhirnya setelah lama menunggu, namaku dipanggil juga."Ibu Tiara, silahkan masuk!"
"Sarapan! Sarapan! Mbok pecel sudah datang!" teriak penghuni lantai bawah yang terdengar nyaring."Mbak Tiara, ayo ke bawah, beli sarapan." ajak Tia, mahasiswi sastra Inggris yang cantik jelita berasal dari Jakarta, penghuni kamar depan kamarku.Dengan riuh, semua penghuni atas menuruni tangga. Alhamdulillah, meskipun penghuni baru tapi mereka menerimaku dengan hangat. Mbok mbok penjual pecel sudah duduk lesehan di teras. Menggelar menu pecel lengkap di atas bakul yang terbuat dari anyaman bambu. Ada nasi, gendar, lontong, mie kuning, aneka gorengan, tempe gembus yang dibacem. Benar-benar bikin ngiler. Aku pun ikut ngantri berkerumun, riuh sekali."Mbok, saya pake gendar ya sama tempe gembus.""Saya pakai nasi ya, Mbok. Bumbu pecelnya jangan banyak- banyak.""Saya mie dikasih sambel pecel sama gorengan saja, Mbok."Setelah semua membawa sepincuk daun pisang berisi menu pecel, kami kembali menaiki tangga, lesehan di depan tv, menikmati sarapan bareng dengan saling bercanda. Aku yang
"Hai, Ketemu lagi untuk yang kelima kali! Memang ya kalau jodoh nggak bakal kemana." ucapnya seperti biasa, menyebalkan.Entah, aku juga bingung. Kenapa kami dipertemukan terus. Dan kenapa dia ke kost ini? Ketemu siapa? Daripada penasaran kutanya langsung saja padanya."Mencari siapa, Dok?" "Mencari Ibu Tiara. Orangnya nggak ada jadi saya pulang saja. Permisi, Bu Tiara." Pamitnya yang membuatku melongo, apa sih maksudnya, dasar orang aneh....Hari berganti hari, bulan pun berganti. Tak terasa 2 bulan sudah aku menjalani hari-hari yang baru di Surabaya dengan perut yang sudah mulai membuncit. Ukuran perutku tak sebesar wanita pada umumnya. Mungkin karena badanku yang mungil. Orang pasti mengira aku baru hamil muda padahal usia kehamilanku sudah hampir 5 bulan. Bajuku pun juga sudah mulai pada kesempitan. Akhirnya kubeli daster-daster yang longgar dan itu berarti aku tidak bisa menyembunyikan kehamilanku lagi dari anak anak kost. Berbagai pertanyaan mulai mereka lontarkan. Kujawa
"Jangan sok tahu ya, Dok. Darimana anda dapat semua itu?!""Itu tidak penting! Yang terpenting aku siap membantumu kapan pun dibutuhkan. Entah apa masalahmu tapi aku merasa kamu seperti tertekan. Terus Angga. Siapa Angga, Tiara? Kenapa dia ngaku-ngaku ayah bayimu?""Itu bukan urusan anda, Dok." Jawabku ketus, dia bukan siapa siapaku dan tidak pantas mengetahui apa-apa tentang diriku."Iya, maaf. Aku cuma nggak suka dia menyakitimu. Aku tahu tidak mudah hidup sendiri di kota sebesar ini apalagi kamu lagi hamil. Jangan sungkan kalau kamu butuh bantuan, ya." Aku tertunduk diam dan mobil sudah berhenti tepat di depan kostku. "Makasih, Dok, sudah mengantarkan saya.""Dibilangin panggil aku Fikri atau Mas Fikri jangan panggil Dokter. Kamu saja tidak mau jadi pasienku, ngapain panggil dokter." "Maaf, saya lebih nyaman memanggil Dokter." "Terserahlah! Ini kartu namaku. Kalau ada apa-apa atau Angga itu mengganggumu lagi hubungi saja nomor yang disitu. Tengah malam pun, aku siap bantu," uca
"Jangan lawan, Tiara! Percuma. Kekuatanmu tidak akan bisa mengalahkannya. Hadapi dengan ilmu," bisikan batinku."Baik, Mas. Baik! Aku menyerah! Aku akan melayani Mas Angga tanpa dipaksa. Tapi tolong ijinkan aku ke kamar mandi dulu. Aku pengin buang air kecil." "Ya sudah sana, kutunggu!" Dengan tubuh yang gemetar ketakutan aku buru-buru ke kamar mandi dengan berbalut selimut.Di dalam kamar mandi, dengan terisak aku mengumpulkan keberanian untuk melawan Mas Angga. Kutarik napas dalam-dalam, siap-siap bermain sandiwara. "Tolooong! Mas Angga, tolong!""Ada apa sih, Ra, teriak-teriak!" Buru-buru kututup mataku ketika melihat tubuh Mas Angga yang tanpa sehelai kain, menjijikkan."Itu, ada kecoak, Mas! Tiara jijik. Hiii!" "Mana?!" Mas Angga mulai masuk dalam kamar mandi sedangkan aku keluar kamar mandi. "Itu, Mas, di dekat lubang air." "Mana?! Nggak ada!""Ada, Mas. Tadi di situ. Cari di sekitar situ, Mas!" Saat Mas Angga sedang sibuk mencari kecoak, dengan cepat kutarik knop pintu la
Mobil berhenti di depan minimarket, " Ra, kamu nggak pa pa, kan? Kutinggal sebentar, ya."Dokter Fikri keluar dari mobil meninggalkanku masuk ke minimarket itu. Tak berapa lama dia sudah kembali ke mobil dengan menenteng plastik belanjaan. Kusandarkan kepala di jok lalu memalingkan tubuh dan wajah ke kiri menghadap kaca mobil. Aku ingin menangis sepuasnya tanpa terlihat olehnya. Menumpahkan semua beban berat di dada. "Ra, ini minum dulu," ucap Dokter Fikri sambil menyodorkan air mineral dan tisue yang bukan hanya selembar tapi sebungkus seolah tahu kalau tangisku masih lama berhenti. Kutolak air minumnya, nggak ada rasa haus dan lapar. Yang ada hanya rasa marah dan tidak terima pada keadaan. Aku hanya menarik beberapa lembar tisue dari bungkusnya."Minum, Ra. Nanti dehidrasi lho. Sudah berapa liter air yang kamu keluarkan dari matamu." Kugelengkan kepala sambil menahan jengkel, masih saja Dokter itu membercandaiku."Biar aku mati saja!" teriakku dengan tangis tersengal sengal."Mau
"Duh, Gusti, Ra ... Ra. Lha kamu bersama dia itu tidak tahu kalau dia kakak kelas kita?" Mata Ratih mendelik."Kakak kelas?! Kakak kelas yang mana, Tih?""Putra, Ra. Fikri Haikal Putra. Kakak kelas tepat di atas kita waktu SMP. Dia sering main ke kelas kita, kok. Kan dia naksir berat sama kamu dulu tapi kamu tolak mentah-mentah.""Putra, si culun berkacamata tebal itu?! Kamu jangan bercanda, Tih. Nggak mungkin dia Mas Putra. Beda, Tih." "Sekarang ganteng, ya. Beda banget sama waktu SMP. Dokter lagi," goda Ratih sambil mengulum senyum.Aku masih bengong menatap dengan seksama laki-laki yang sedang main gitar dan nyanyi di panggung. Tak ada lagi kacamata tebalnya. Sisa-sisa culunnya juga nggak kelihatan. Tubuh gempalnya pun sudah berubah tinggi tegap penuh kharismatik. Susah dipercaya kalau itu dia."Sayangnya waktu SMA dia tidak satu sekolah lagi sama kita karena orangtuanya pindah ke Jakarta. Makanya lama tak terdengar khabar Mas Putra. Baru pas acara reuni Akbar tahun kemarin dia k
"Nih, ada yang kangen sama ayahnya," ucapku sambil mengarahkan layar pada perutku."Maksudnya, Ra?""Iya, roket yang Mas Putra luncurkan ternyata ajaib, tepat sasaran. Benihnya jadi, Mas." "Maksudmu kamu hamil, Ra?" Aku mengangguk sambil menunjukkan testpack dengan berurai airmata. Mata Mas Fikri langsung berkaca kaca, setelah itu menangis sesenggukan, "Secepat ini, Ra?""Iya, Mas, aku juga seperti tidak percaya. Ini hanya karena kebesaranNya.""Alhamdulillah ya Allah, begitu cepat Engkau berikan anugrah indah ini pada kami." Tubuh Mas Putra kemudian meluruh bersujud syukur. Setelah itu kami hanya bisa sama-sama menatap layar dengan mata basah, "Ra, aku pengin meluk kamu. Aku besok pagi pulang, ya." Aku mengangguk bahagia."Kira-kira itu roket yang pas kuluncurkan di mana ya, Ra, yang berhasil jadi. Feelingku kok pas di camping di pantai. Rasanya beda soalnya.""Sok yakin, Mas, hanya Allah yang tahu. Yang terpenting, semoga aku dan bayi kita diberi keselamatan dan kesehatan ya, Mas
And Aubrey was her name,(Dan Aubrey adalah namanya,)A not so very ordinary girl or name.(Nama dan gadis yang biasa saja)But who’s to blame?(Tapi siapa yang harus disalahkan?)For a love that wouldn’t bloom(Untuk cinta yang tidak akan mekar)For the hearts that never played in tune.(Untuk hati yang tak pernah dimainkan selaras.)Like a lovely melody that everyone can sing,(Seperti melodi indah yang gampang dinyanyikan oleh setiap orang,)Take away the words that rhyme it doesn’t mean a thing.(Dengan lirik yang kurang bermakna)But God I miss the girl,(Tapi Tuhan aku rindu gadis itu,)And I’d go a thousand times around the world just to be(Dan aku akan berkeliling dunia seribu kali untuk)Closer to her than to me.(Lebih dekat dengannya daripada denganku sendiri.)And Aubrey was her name,(Dan Aubrey adalah namanya,)I never knew her, but I loved her just the same,(Aku tidak pernah mengenalnya, tapi aku mencintainya sama saja)I loved her name.(aku mencintai namanya.)Wis
Ditipu Mertua dan Suami Extra part 4 "Ayo, Ra, jawab, jangan bikin aku penasaran." "Mandi dulu, ah." Aku beranjak dari duduk berniat melarikan diri tapi tanganku langsung dicekal Mas Putra."Eits, jangan harap kamu bisa melarikan diri sebelum menjawab pertanyaanku. Duduk!""Maksa banget, sih, Mas.""Kamu kan senengnya dipaksa paksa gini. Nikah sama aku pun harus dipaksa.""Lebih enak yang dipaksa dipaksa, sih," jawabku yang akhirnya mengalah duduk di samping Mas Putra sambil melingkarkan tangan di pinggungnya dan melabuhkan kepala di bahunya. Mas Putra pun akhirnya juga melingkarkan tangannya di pinggangku. Sudah tidak peduli dengan orang sekitar, kami menikmati senja di tepi pantai layaknya orang yang sedang kasmaran."Ayo, Ra, ceritakan. Aku siap menerima kenyataan pahit.""Malam itu, setelah pernikahan kami, Mas Rasyid menuntutku untuk menjadi istri seutuhnya. Dia melepas kerudungku, Mas. Lalu bibirnya ... Bibirnya mengecup ....""Bibirmu?" Sahut Mas Putra cepat."Bukan tapi k
Kami pun mengikuti Kartika masuk ke dalam rumah lalu membuka kamar Ibu. Terlihat Ibu terbaring dengan badan yang kurus kering sama dengan Kartika. Mendengar pintu di buka Ibu langsung bangun, menatapku tajam lalu bangkit dari ranjang menghampiri kami dengan dada yang naik turun. "Pembunuh! Kamu pembunuh cucuku!" Teriaknya menakutkan. Ternyata dia masih bisa mengenaliku. "Gara-gara kamu, aku tidak punya cucu! Kembalikan cucuku! Beri aku cucu!" Ibu mengambil gelas yang ada di atas meja."Rasakan ini pembunuh! Matilah kau!" Tiba-tiba Ibu mengayunkan gelas itu mengarah padaku. Untunglah Mas Putra buru-buru menarik tubuhku lalu menutup pintu kamar. Setelahnya terdengar suara gelas pecah yang dilempar ke pintu kemudian disusul teriakan Ibu yang melengking."Buka pintunya! Aku akan membunuh perempuan itu! Bukaaa!" "Tiara, sepertinya untuk saat ini kita tidak bisa berdamai dengan mantan mertuamu itu. Sangat berbahaya buat diri kamu.""Iya, Mas, aku juga takut. Kita pulang saja.""Maaf, Mb
Ditipu mertua dan suami Extra part 3Setelah meninggalkan penjara, kami pun menuju kontrakan Kartika, "Gimana nih kesan yang habis ketemu mantan?" ledeknya sambil menyetir."Biasa saja." "Yang bener? Kata orang, yang pertama itu tak terlupakan.""Yang pertama tapi kalau menyakitkan buat apa diingat ingat.""Sakit pertama aja tapi selanjutnya memabukkan, kan.""Ih, apa sih, Mas Putra, nggak nyambung. Hatiku, Mas, yang sakit. Ngeres aja pikirannya." "Ha ha ha ... sekarang mikir ngeres nggak masalah, kan sudah ada tempat pelampiasan."Tanganku sudah melayang bersiap memukul lengannya tapi dengan spontan dicekal Mas Putra lalu ditaruh di pahanya dengan tangan kanan masih pegang setir."Geser rada ke sini, Ra, dudukmu." "Mau ngapain? Fokus, Mas, lagi nyetir nanti nabrak lagi." "Sudah, sini, mo dapat pahala, nggak?" Aku pun akhirnya manut menggeser dudukku mendekat padanya, "Sudah, nih, terus suruh ngapain?""Elus-elus." Tanganku yang digenggamnya di pahanya di geser lebih ke kanan.N
Besoknya, akhirnya kita terbang ke Jakarta. Sampai di rumah Mas Fikri, ibu mertuaku menyambut dengan hangat. Lengkaplah kebahagiaanku. Akhirnya aku punya mertua idaman yang begitu menyayangiku tidak seperti mertuaku dulu. Mengingatnya seperti diiris iris lagi."Selamat datang di rumahmu yang baru, Tiara," sambut Ibu sambil memelukku."Kok rumahku, Bu? Ini rumah Ibu, kan?""Ini rumah Fikri. Hasil kerja keras Fikri jadi ini otomatis rumahmu. Ibu dan Tia hanya numpang di sini.""Ibu jangan begitu. Ini rumah putra Ibu, Ibu yang lebih berhak.""Nggak, Nduk. Kamu istri Fikri. Kamu yang lebih berhak.""Sudah, sudah, kenapa kalian jadi rebutan rumah. Kalau nggak ada yang mengakui biarin nanti diakui istri kedua saja.""Hus! Amit-amit! Jangan sampai kamu menduakan Tiara ya, Fikri. Awas saja, bakalan Ibu pecat jadi anak!""Bercanda, Bu, mana mungkin anak Ibu yang baik ini sanggup menyakiti perempuan yang dengan susah ngedapetinnya. Memperjuangkannya saja butuh waktu hampir 20 tahun.""Nah itu
"Bukan. Itu murni Rekayasa Allah, Ra. Nasib baik berpihak padaku. Aku selalu berdoa untuk didekatkan denganmu jika kamu jodohku dan jauhkan bila bukan jodohku. Dan ternyata Allah terus mendekatkan kita. Makanya aku terus berjuang untuk mendapatkan kamu, Ra, karena yakin kamulah jodohku." ucapnya sambil menggenggam tanganku dan menatapku syahdu, terasa berdesir desir. "Tuh, kan, pegangan tangan begini aja nyetrum nih, Ra. Ada yang bangun," lirihnya sambil mengedipkan satu matanya."Nggak! Mati air!" teriakku."Dasar airnya nggak bisa diajak kompromi. Ya sudahlah, nggak usah pegang-pegang tangan. Ayo dilanjutin ceritamu!""Seminggu sekali setiap hari Sabtu Mas Fikri ke Yogya menemuiku. Walaupun sudah berkali kali kuusir tetap nekat, Mas. Dan setelah menceraikan Kartika dia berani beraninya melamarku. Membawa ibu dan saudara saudaranya. Ibunya sampai memohon mohon agar aku mau rujuk. Katanya hanya aku yang bisa memberinya cucu karena Kartika sudah tidak bisa memberinya cucu." "Kenapa?"
"Tiara! Kok keluar, sih. Ini shower gimana?""Halah, modus, kan, Mas Fikri? Mau minta nambah lagi, kan, di kamar mandi?" "Otakmu tuh yang ngeres. Beneran ini shower mati!""Ya sudah Mas Fikri pakai handuk dulu!""Iya, udah, istriku yang cantik. Buru sini!"Aku pun masuk ke kamar mandi lagi dengan siaga 1 takut diisengin Mas Fikri. Saat kunyalakan shower, ternyata benar shower mati. Tak keluar setetes air pun."Yah, mati air berarti ini, Mas. Tampungan pasti juga sudah habis buat nyuci piring acara resepsi tadi malam.""Terus gimana, Ra? Mana kudu mandi junub lagi. Butuh air banyak ini.""Di lantai bawah ada kamar mandi yang ada baknya kok, Mas. Kita mandi di sana, yuk. Semoga airnya masih penuh.""Udah pada bangun belum, ya, Ra? Malu tahu subuh-subuh mandi keramas. Ayo, Ra, temenin." "Punya urat malu juga, Mas?" ledekku yang dibalas Mas Fikri dengan mendorong kepalaku. Sambil membawa handuk, kami mengendap endap menuruni tangga takut ngebangunin yang lain. Dan aman, lantai bawah ma
"Oh iya, Ra, Adam mana? Dari ijab qobul tadi aku belum lihat Adam. Pasti sekarang dia sudah besar ya, sudah bisa jalan.""Ceritanya panjang, Mas. Adam ...." Mengingat Adam, airmataku luruh tak terbendung. Mas Fikri merengkuh tubuhku, "Sudah, sudah, kalau pertanyaanku hanya membuat kamu sedih begini tidak usah kamu ceritakan sekarang, Ra. Aku tidak ingin kebahagiaan kita hari ini rusak dengan kesedihanmu. Nanti saja ceritanya kalau kamu sudah siap, ya." Usapan Dokter Fikri di punggung akhirnya bisa meredakan kesedihanku, begitu nyaman dalam pelukan suami. Setelah mandi keramas, Dokter Fikri mengajakku sholat bersama. Bahagia sekali rasanya akhirnya aku punya seorang imam idaman hati. Tak henti mengucap syukur atas anugrahNya hari ini. Semoga ini adalah jodoh terakhirku sampai jannahMu ya Allah. "Gara-gara nafsu sampai lupa belum ngedoain istri, main seruduk aja ya, Ra. Sini kudoain dulu." Selesai sholat Dokter Fikri meraih kepalaku. Lalu seuntai doa ia lirihkan tepat di depan dah