"Duh, Gusti, Ra ... Ra. Lha kamu bersama dia itu tidak tahu kalau dia kakak kelas kita?" Mata Ratih mendelik."Kakak kelas?! Kakak kelas yang mana, Tih?""Putra, Ra. Fikri Haikal Putra. Kakak kelas tepat di atas kita waktu SMP. Dia sering main ke kelas kita, kok. Kan dia naksir berat sama kamu dulu tapi kamu tolak mentah-mentah.""Putra, si culun berkacamata tebal itu?! Kamu jangan bercanda, Tih. Nggak mungkin dia Mas Putra. Beda, Tih." "Sekarang ganteng, ya. Beda banget sama waktu SMP. Dokter lagi," goda Ratih sambil mengulum senyum.Aku masih bengong menatap dengan seksama laki-laki yang sedang main gitar dan nyanyi di panggung. Tak ada lagi kacamata tebalnya. Sisa-sisa culunnya juga nggak kelihatan. Tubuh gempalnya pun sudah berubah tinggi tegap penuh kharismatik. Susah dipercaya kalau itu dia."Sayangnya waktu SMA dia tidak satu sekolah lagi sama kita karena orangtuanya pindah ke Jakarta. Makanya lama tak terdengar khabar Mas Putra. Baru pas acara reuni Akbar tahun kemarin dia k
POV Fikri"Kartika, nggak ada gunanya kamu terpuruk dan seperti orang gila begini! Kamu harus bangkit. Jangan berlarut larut maratapi kepergian Rania. Kamu bisa mendapatkan anak lagi sebanyak yang kamu mau!" Nasehat Ibu yang tak digubris Kartika."Pergiii! Jangan ganggu aku dan Rania! Pergiii! Aku mau Rania! Aku hanya mau Rania!" Dia terus berteriak meraung raung sambil mendekap guling yang dia anggap Rania."Kita tidak akan terpisah, Rania. Ibu akan menjagamu," lirihnya sambil mengusap usap guling itu.Setelah kepergian Rania, Kartika terguncang hebat. Sudah sebulan ia mengurung diri di kamar. Tidak mau mengurus anak-anak bahkan dirinya sendiri. Setiap ada yang mendekatinya dia berteriak teriak tak terkendali. Mengamuk, membanting apa saja yang ada di dekatnya. Kasihan Ibu, selain harus merawat anak-anak juga harus merawat Kartika yang seperti anak kecil lagi. Kami berbagi tugas. Sebelum berangkat kerja, aku yang memandikan anak-anak juga memandikan Kartika. Kartika pun terpaksa kup
Sambil melihat kanan kiri, Ibu meraih tanganku "Fikri, kamu tidak cari Tiara?" tanya Ibu pelan seperti takut kedengeran Kartika yang sedang memandikan si bungsu."Tumben, Ibu peduli Tiara," jawabku heran."Bukan Tiara yang Ibu peduliin tapi cucu Ibu satu satunya yang ada diperutnya. Cari dia, Fikri. Bawa dia pulang. Tiara harus melahirkan di rumah ini. Kita ambil anaknya setelah itu kau boleh ceraikan dia." Perintah Ibu yang entah aku bisa menjalankannya atau tidak.Yang jelas aku tidak pernah menginginkan bercerai dengan Tiara. Aku masih sangat mencintainya. Aku masih terus menghubungi Mbak Arum, berharap Tiara mengabari Mbak Arum tentang keberadaannya walaupun sampai saat ini belum ada Khabar."Dia belum mengabari Mbak, Fikri. Memangnya ada apa dengan kalian?" tanya Mbak Arum di telepon."Tidak ada apa-apa, Mbak Arum. Hanya sedikit salah paham.""Tidak mungkin Tiara pergi dari rumah sampai 3 bulan kalau cuma sedikit salah paham. Cerita sama Mbak, ada apa?""Sudah ya, Mbak. Fikri ma
Setelah apa yang terjadi denganku di Surabaya, kuakui, berada di pelukan Mas Fikri, aku seperti menemukan kembali tempat yang aman dan nyaman. Dari tadi malam, aku memang pengin dipeluk.Sejenak aku larut dalam pelukannya. Sampai aku tersadar Mas Fikri yang sekarang bukan Mas Fikriku yang dulu. Kulepas pelukannya mundur menjauhinya sambil menyeka airmata. Aku harus jadi Tiara yang kuat tak boleh terlihat lemah.Dan setelah kupikir matang-matang akhirnya aku memutuskan untuk ikut Mas Fikri pulang ke Jakarta. Bukan untuk kembali padanya tapi untuk menyelesaikan semua urusanku dengannya. Selain itu aku juga pengin menepi dari semua permasalahanku dengan Mbak Arum dan Mas Angga. Aku ketakutan diganggu Mas Angga lagi. Setelah kejadian tadi malam pasti dia akan mencariku lagi, aku yakin.Dikereta, aku chat Dokter Rasyid, mengabari kalau aku minta libur mengajar untuk sementara waktu. Untunglah anak-anak sudah selesai ulangan akhir semester.[Kok mendadak, Bu Tiara? Tidak pengin ketemu ana
"Anda siapa? Mau apa kesini?" tanya wanita itu sambil menatapku curiga."Justru saya yang tanya, anda siapa? Kenapa ada di dalam rumah saya?" Aku pun gantian mendelik menatapnya curiga, jangan-jangan ini gundik barunya Mas Fikri."Jangan ngaku-ngaku! Ini rumah saya!""Eh, situ yang ngaku-ngaku. Ini rumah saya! Nih buktinya, saya punya kuncinya. Memang rumah ini sudah lama kosong tapi ini masih rumah saya." "Sebentar, anda siapanya Pak Fikri?" "Saya istri sahnya Pak Fikri. Tapi sebentar lagi cerai jadi tenang saja. Saya nggak kaget kalau dia punya gundik baru, sudah biasa. Tapi saya nggak rela gundiknya menempati rumah ini. Jadi silahkan anda pergi dari sini!" "Gundik apa?! Saya bukan gundiknya Pak Fikri! Anda salah paham." "Lalu kamu siapanya Mas Fikri sampai diijinkan tinggal di rumah ini sama Mas Fikri.""Belum ada sebulan, suami saya membeli rumah ini dari Pak Fikri," jawabnya yang membuatku terperanjat."Dijual? Rumah ini dijual?!" "Iya, Bu. Suami saya teman kerjanya Pak Fikr
Ck ... ck ... ck ... Kartika benar-benar pintar sekali bermain sandiwara bak artis papan atas. Kenapa dia tidak jadi artis sinetron saja. Bahkan dia sengaja kencing di lantai kamar sambil tertawa cekikikan. Orang stress. Lalu dia buru-buru kembali duduk dengan tatapan kosong ketika Ibu dan Mas Fikri masuk. Terlihat Ibu mengepel lantai yang kena kencing Kartika. Setelah kejadian itu, Mas Fikri tampak rajin memakaikan Kartika pampers. Acting Kartika memerankan peran sebagai bayi sukses mengelabui Mas Fikri.Dan video berikutnya ... apa yang dilakukan Ibu? Ibu tampak merias wajah Kartika yang duduk pasrah dengan tatapan kosong, menyisir rambutnya lalu mencopot pampers Kartika dan dengan susah payah memakaikan lingerie di tubuh Kartika. Kemudian Ibu mengikat tangannya.Setelah Ibu meninggalkan kamar, Kartika tampak tersenyum penuh kemenangan. Dia kemudian mematut matut di depan kaca, tersirat kepuasan di wajahnya lalu dia duduk kembali di ranjang. Tak berapa lama Mas Fikri datang. Tata
"Beres pokoknya, Mbak. Secepatnya Mbak Tiara bisa dapat map itu dan segera bisa buka les. Udah mateng nih, Mbak, masakanku. Sudah, sana Mbak Tiara ke depan. Biar Kartika siapin makannya di meja makan." "Eh, nggak usah, Kartika. Aku ngambil sendiri sekarang saja. Keburu lapar bayinya yang di perut." Tak akan kuberi kesempatan dia menaruh racun di makananku.Raut wajah Kartika tampak beda, terlihat sedih. Mungkin dia ingat bayinya saat aku menyebut bayi.Setelah mengambil Nasi di magic com lalu menyendok sayuran yang masih nangkring di kompor dan mengambil ayam goreng yang juga masih nangkring di atas wajan, aku pun lanjut menikmati makan di gazebo taman belakang.Aku bisa membaca wajah Kartika walaupun dia berusaha menutupi. Ada rasa kesal dan kecewa di wajahnya.Malamnya, saat makan malam pun, aku tetap waspada. Ada yang mencurigakan ketika Kartika menyediakan sayur dan lauk di mangkok dan piring tersendiri untukku. "Mbak, ini lauk dan sayur punya Mbak Tiara aku sendiriin ya, soalny
Aku harus tega. Aku harus memperjuangkan kebahagiaanku sendiri. Segera kumasukkan semua berkas yang dibutuhkan ke tas yang sudah aku siapkan. Handphoneku berdering. Setelah memasukkan tas ke lemari, gegas aku menjawab panggilan di handphone."Assalamu'alaikum, Mbak Tiara. Ini Tia, Mbak. Temen 1 kost di Surabaya.""Wa'alaikumsalam. Tia! Apa khabar? Mbak Kangen." "Sama. Tia juga kangen. Aku lagi mudik ke Jakarta, nih, Mbak, liburan. Pengin ketemu Mbak Tiara. Boleh nggak aku main ke rumah?""Boleh banget, entar kujapri alamatku, ya. Aku tunggu kedatanganmu, Tia." "Makasih, Mbak Tiara." "Telepon dari siapa, Ra?" Tiba-tiba Mas Fikri sudah ada di hadapanku, menatap curiga, bikin kaget saja."Bukan urusan, Mas Fikri!""Ra, aku nanya baik-baik, lho. Kamu jawabnya ketus begitu! Aku ini suamimu, Ra. Tolong hargai aku!" Bentaknya yang kuacuhkan.Aku menarik selimut dan pura-pura memejamkan mata. Tiba-tiba dengan kasar Mas Fikri menarik selimutku, menatapku nanar dengan dada yang naik turun.
"Nih, ada yang kangen sama ayahnya," ucapku sambil mengarahkan layar pada perutku."Maksudnya, Ra?""Iya, roket yang Mas Putra luncurkan ternyata ajaib, tepat sasaran. Benihnya jadi, Mas." "Maksudmu kamu hamil, Ra?" Aku mengangguk sambil menunjukkan testpack dengan berurai airmata. Mata Mas Fikri langsung berkaca kaca, setelah itu menangis sesenggukan, "Secepat ini, Ra?""Iya, Mas, aku juga seperti tidak percaya. Ini hanya karena kebesaranNya.""Alhamdulillah ya Allah, begitu cepat Engkau berikan anugrah indah ini pada kami." Tubuh Mas Putra kemudian meluruh bersujud syukur. Setelah itu kami hanya bisa sama-sama menatap layar dengan mata basah, "Ra, aku pengin meluk kamu. Aku besok pagi pulang, ya." Aku mengangguk bahagia."Kira-kira itu roket yang pas kuluncurkan di mana ya, Ra, yang berhasil jadi. Feelingku kok pas di camping di pantai. Rasanya beda soalnya.""Sok yakin, Mas, hanya Allah yang tahu. Yang terpenting, semoga aku dan bayi kita diberi keselamatan dan kesehatan ya, Mas
And Aubrey was her name,(Dan Aubrey adalah namanya,)A not so very ordinary girl or name.(Nama dan gadis yang biasa saja)But who’s to blame?(Tapi siapa yang harus disalahkan?)For a love that wouldn’t bloom(Untuk cinta yang tidak akan mekar)For the hearts that never played in tune.(Untuk hati yang tak pernah dimainkan selaras.)Like a lovely melody that everyone can sing,(Seperti melodi indah yang gampang dinyanyikan oleh setiap orang,)Take away the words that rhyme it doesn’t mean a thing.(Dengan lirik yang kurang bermakna)But God I miss the girl,(Tapi Tuhan aku rindu gadis itu,)And I’d go a thousand times around the world just to be(Dan aku akan berkeliling dunia seribu kali untuk)Closer to her than to me.(Lebih dekat dengannya daripada denganku sendiri.)And Aubrey was her name,(Dan Aubrey adalah namanya,)I never knew her, but I loved her just the same,(Aku tidak pernah mengenalnya, tapi aku mencintainya sama saja)I loved her name.(aku mencintai namanya.)Wis
Ditipu Mertua dan Suami Extra part 4 "Ayo, Ra, jawab, jangan bikin aku penasaran." "Mandi dulu, ah." Aku beranjak dari duduk berniat melarikan diri tapi tanganku langsung dicekal Mas Putra."Eits, jangan harap kamu bisa melarikan diri sebelum menjawab pertanyaanku. Duduk!""Maksa banget, sih, Mas.""Kamu kan senengnya dipaksa paksa gini. Nikah sama aku pun harus dipaksa.""Lebih enak yang dipaksa dipaksa, sih," jawabku yang akhirnya mengalah duduk di samping Mas Putra sambil melingkarkan tangan di pinggungnya dan melabuhkan kepala di bahunya. Mas Putra pun akhirnya juga melingkarkan tangannya di pinggangku. Sudah tidak peduli dengan orang sekitar, kami menikmati senja di tepi pantai layaknya orang yang sedang kasmaran."Ayo, Ra, ceritakan. Aku siap menerima kenyataan pahit.""Malam itu, setelah pernikahan kami, Mas Rasyid menuntutku untuk menjadi istri seutuhnya. Dia melepas kerudungku, Mas. Lalu bibirnya ... Bibirnya mengecup ....""Bibirmu?" Sahut Mas Putra cepat."Bukan tapi k
Kami pun mengikuti Kartika masuk ke dalam rumah lalu membuka kamar Ibu. Terlihat Ibu terbaring dengan badan yang kurus kering sama dengan Kartika. Mendengar pintu di buka Ibu langsung bangun, menatapku tajam lalu bangkit dari ranjang menghampiri kami dengan dada yang naik turun. "Pembunuh! Kamu pembunuh cucuku!" Teriaknya menakutkan. Ternyata dia masih bisa mengenaliku. "Gara-gara kamu, aku tidak punya cucu! Kembalikan cucuku! Beri aku cucu!" Ibu mengambil gelas yang ada di atas meja."Rasakan ini pembunuh! Matilah kau!" Tiba-tiba Ibu mengayunkan gelas itu mengarah padaku. Untunglah Mas Putra buru-buru menarik tubuhku lalu menutup pintu kamar. Setelahnya terdengar suara gelas pecah yang dilempar ke pintu kemudian disusul teriakan Ibu yang melengking."Buka pintunya! Aku akan membunuh perempuan itu! Bukaaa!" "Tiara, sepertinya untuk saat ini kita tidak bisa berdamai dengan mantan mertuamu itu. Sangat berbahaya buat diri kamu.""Iya, Mas, aku juga takut. Kita pulang saja.""Maaf, Mb
Ditipu mertua dan suami Extra part 3Setelah meninggalkan penjara, kami pun menuju kontrakan Kartika, "Gimana nih kesan yang habis ketemu mantan?" ledeknya sambil menyetir."Biasa saja." "Yang bener? Kata orang, yang pertama itu tak terlupakan.""Yang pertama tapi kalau menyakitkan buat apa diingat ingat.""Sakit pertama aja tapi selanjutnya memabukkan, kan.""Ih, apa sih, Mas Putra, nggak nyambung. Hatiku, Mas, yang sakit. Ngeres aja pikirannya." "Ha ha ha ... sekarang mikir ngeres nggak masalah, kan sudah ada tempat pelampiasan."Tanganku sudah melayang bersiap memukul lengannya tapi dengan spontan dicekal Mas Putra lalu ditaruh di pahanya dengan tangan kanan masih pegang setir."Geser rada ke sini, Ra, dudukmu." "Mau ngapain? Fokus, Mas, lagi nyetir nanti nabrak lagi." "Sudah, sini, mo dapat pahala, nggak?" Aku pun akhirnya manut menggeser dudukku mendekat padanya, "Sudah, nih, terus suruh ngapain?""Elus-elus." Tanganku yang digenggamnya di pahanya di geser lebih ke kanan.N
Besoknya, akhirnya kita terbang ke Jakarta. Sampai di rumah Mas Fikri, ibu mertuaku menyambut dengan hangat. Lengkaplah kebahagiaanku. Akhirnya aku punya mertua idaman yang begitu menyayangiku tidak seperti mertuaku dulu. Mengingatnya seperti diiris iris lagi."Selamat datang di rumahmu yang baru, Tiara," sambut Ibu sambil memelukku."Kok rumahku, Bu? Ini rumah Ibu, kan?""Ini rumah Fikri. Hasil kerja keras Fikri jadi ini otomatis rumahmu. Ibu dan Tia hanya numpang di sini.""Ibu jangan begitu. Ini rumah putra Ibu, Ibu yang lebih berhak.""Nggak, Nduk. Kamu istri Fikri. Kamu yang lebih berhak.""Sudah, sudah, kenapa kalian jadi rebutan rumah. Kalau nggak ada yang mengakui biarin nanti diakui istri kedua saja.""Hus! Amit-amit! Jangan sampai kamu menduakan Tiara ya, Fikri. Awas saja, bakalan Ibu pecat jadi anak!""Bercanda, Bu, mana mungkin anak Ibu yang baik ini sanggup menyakiti perempuan yang dengan susah ngedapetinnya. Memperjuangkannya saja butuh waktu hampir 20 tahun.""Nah itu
"Bukan. Itu murni Rekayasa Allah, Ra. Nasib baik berpihak padaku. Aku selalu berdoa untuk didekatkan denganmu jika kamu jodohku dan jauhkan bila bukan jodohku. Dan ternyata Allah terus mendekatkan kita. Makanya aku terus berjuang untuk mendapatkan kamu, Ra, karena yakin kamulah jodohku." ucapnya sambil menggenggam tanganku dan menatapku syahdu, terasa berdesir desir. "Tuh, kan, pegangan tangan begini aja nyetrum nih, Ra. Ada yang bangun," lirihnya sambil mengedipkan satu matanya."Nggak! Mati air!" teriakku."Dasar airnya nggak bisa diajak kompromi. Ya sudahlah, nggak usah pegang-pegang tangan. Ayo dilanjutin ceritamu!""Seminggu sekali setiap hari Sabtu Mas Fikri ke Yogya menemuiku. Walaupun sudah berkali kali kuusir tetap nekat, Mas. Dan setelah menceraikan Kartika dia berani beraninya melamarku. Membawa ibu dan saudara saudaranya. Ibunya sampai memohon mohon agar aku mau rujuk. Katanya hanya aku yang bisa memberinya cucu karena Kartika sudah tidak bisa memberinya cucu." "Kenapa?"
"Tiara! Kok keluar, sih. Ini shower gimana?""Halah, modus, kan, Mas Fikri? Mau minta nambah lagi, kan, di kamar mandi?" "Otakmu tuh yang ngeres. Beneran ini shower mati!""Ya sudah Mas Fikri pakai handuk dulu!""Iya, udah, istriku yang cantik. Buru sini!"Aku pun masuk ke kamar mandi lagi dengan siaga 1 takut diisengin Mas Fikri. Saat kunyalakan shower, ternyata benar shower mati. Tak keluar setetes air pun."Yah, mati air berarti ini, Mas. Tampungan pasti juga sudah habis buat nyuci piring acara resepsi tadi malam.""Terus gimana, Ra? Mana kudu mandi junub lagi. Butuh air banyak ini.""Di lantai bawah ada kamar mandi yang ada baknya kok, Mas. Kita mandi di sana, yuk. Semoga airnya masih penuh.""Udah pada bangun belum, ya, Ra? Malu tahu subuh-subuh mandi keramas. Ayo, Ra, temenin." "Punya urat malu juga, Mas?" ledekku yang dibalas Mas Fikri dengan mendorong kepalaku. Sambil membawa handuk, kami mengendap endap menuruni tangga takut ngebangunin yang lain. Dan aman, lantai bawah ma
"Oh iya, Ra, Adam mana? Dari ijab qobul tadi aku belum lihat Adam. Pasti sekarang dia sudah besar ya, sudah bisa jalan.""Ceritanya panjang, Mas. Adam ...." Mengingat Adam, airmataku luruh tak terbendung. Mas Fikri merengkuh tubuhku, "Sudah, sudah, kalau pertanyaanku hanya membuat kamu sedih begini tidak usah kamu ceritakan sekarang, Ra. Aku tidak ingin kebahagiaan kita hari ini rusak dengan kesedihanmu. Nanti saja ceritanya kalau kamu sudah siap, ya." Usapan Dokter Fikri di punggung akhirnya bisa meredakan kesedihanku, begitu nyaman dalam pelukan suami. Setelah mandi keramas, Dokter Fikri mengajakku sholat bersama. Bahagia sekali rasanya akhirnya aku punya seorang imam idaman hati. Tak henti mengucap syukur atas anugrahNya hari ini. Semoga ini adalah jodoh terakhirku sampai jannahMu ya Allah. "Gara-gara nafsu sampai lupa belum ngedoain istri, main seruduk aja ya, Ra. Sini kudoain dulu." Selesai sholat Dokter Fikri meraih kepalaku. Lalu seuntai doa ia lirihkan tepat di depan dah