Mega mengernyit, "Masalah itu nggak ada hubungannya denganmu, kamu adalah korban.""Terima kasih Bu Mega atas penghiburannya.""Jadi kamu masih mencintai mantan calon suamimu?"Aku sibuk mengukur ukuran pelanggan berikutnya dan menjawab sekedarnya, "Nggak, aku hanya ingin fokus pada karirku sekarang."Baru saja selesai bicara, muncul sosok pria bertubuh tinggi dan ramping dari arah tangga.Tadinya aku tidak terlalu memperhatikannya, hingga seseorang menyapanya, "Billy, kami mengganggu kamu bekerja?""Nggak, aku sudah selesai kerja," jawabnya dengan suara rendah yang begitu jernih, mengingatkanku pada pria yang memberiku sapu tangan di hari pernikahan kemarin, yaitu Billy Solene.Suaranya tetap sama, tenang dan jernih, seolah mampu menembus keramaian tanpa kehilangan kejelasannya.Mendengar suaranya, aku secara reflek menoleh, barulah aku melihat jelas wajahnya.Berbeda dari sekilas pandangan yang kulihat saat pernikahan kemarin. Ternyata putra kedua dari Keluarga Solene sangat muda dan
"Iya," jawabku sambil mengangguk, tidak berani lagi menatap matanya.Angel berdiri di sampingku, menatapku dengan tatapan penuh rasa ingin tahu dan sedikit menggoda, seolah-olah dia juga menyadari ada sesuatu yang aneh."Pak Billy, silakan angkat tangan sejajar dengan bahu," ujarku dengan sopan sambil mengambil pita ukur yang lebih panjang.Billy berdiri di depanku dan aku berjalan ke belakangnya. Saat mengangkat tangan, baru kusadari bahwa tinggi badannya hampir 190 cm.Untungnya, aku sendiri 172 cm. Jika lebih pendek, aku pasti akan kesulitan dan mungkin harus naik ke bangku untuk mengukurnya.Dia sangat kooperatif, sehingga aku bisa menyelesaikan pengukuran bagian atas tubuhnya dengan lancar.Saat tiba giliran mengukur lingkar pinggang dan pinggul, aku jadi ragu.Haruskah aku mengukurnya dari depan atau dari belakang?Yang lebih aneh lagi, para wanita yang sebelumnya masih berbincang dan bercanda, kini tiba-tiba terdiam. Semua mata tertuju ke arahku.Seketika, aku merasa gugup. Tanp
Bahkan melalui kain, aku bisa merasakan ototnya yang kuat dan berisi.Aku memperkirakan secara kasar, raso pinggang ke pinggulnya sekitar 0,8. Dengan bahu lebar, pinggul sempit. serta tinggi badan dan kaki yang panjang, proporsinya hampir sempurna, bisa menyaingi model profesional."Angel, sudah dicatat semua?" tanyaku sambil menoleh ke asistenku, mencoba mencairkan suasana yang sedikit canggung."Sudah, sudah dicatat semua."Aku mengangguk, merapikan alat-alat ukur, lalu bertanya satu per satu pada pelanggan tentang preferensi mereka.Ada yang suka model ketat, ada yang lebih nyaman dengan model longgar. Untuk gaun wanita yang lebih tua cenderung memilih model panjang, sedangkan yang lebih muda lebih suka yang pendek.Aku mencatat semua detail ini di tablet agar nantinya bisa merancang desain yang sesuai keinginan mereka.Setelah semuanya selesai, waktu sudah menjelang siang.Mega mengundang kami untuk makan siang bersama, tapi aku merasa tidak enak dan segera mencari alasan bahwa mas
Dia berhenti, berbalik menatapku sambil memberi isyarat padaku.Aku masih sedikit kaku, menatapnya sekilas, "Kamu pelangganku, pelanggan itu raja ... ""Tapi aku lebih suka menjadi manusia biasa saja."Jawabannya yang santai dan humoris membuatku tak bisa menahan tawa, suasaha hatiku pun lebih rileks, "Baiklah kalau begitu.""Terima kasih sudah repot-repot hari ini, sampai jumpa," ujar Billy, sikapnya benar-benar elegan, setiap kata yang diucapkannya terasa menyenangkan di telinga.Setelah mengucapkan selamat tinggal padaku, dia bahkan sempat berpesan pada sopirnya, "Pak Sunar, hati-hati di jalan ya, pastikan Bu Nora dan asistennya sampai dengan selamat.""Baik, Pak Billy."Billy mengangguk padaku dengan senyuman ringan, lalu berbalik dan masuk ke Audi A8 yang pintunya sudah terbuka sejak tadi.Aku cukup terkejut.Dengan kekayaan dan statusnya yang luar biasa, ternyata mobil pribadinya hanya Audi A8?Tak heran Keluarga Solene dikenal rendah hati dan misterius.Dalam perjalanan menuruni
Apa?Aku tertegun sejenak, lalu tertawa sinis, "Dewita, kamu nggak pura-pura lagi akhirnya?"Selama ini, dia selalu berpura-pura polos, lemah dan menyedihkan.Bahkan setiap kali aku dihina, dipukul atau dihukum dengan keras, dia akan berlagak membelaku, seolah berhati lembut dan baik.Akhirnya dia berhenti berpura-pura sekarang."Apa maksudmu? Aku memang selalu begini, hanya kamu saja yang iri padaku," jawab Dewita seenaknya."Sudahlah, aku malas berdebat. Sampaikan ke Steve, jangan sampai ingkar janji jam dua siang nanti. Susah payah dapat jadwal, kalau dia batal lagi, prosesnya bakal tertunda berbulan-bulan."Aku hendak menutup telepon, tapi Dewita buru-buru menahanku."Nora, belakangan ini Steve pergi mencarimu, 'kan?"Nada suaranya menjadi tajam, langsung menyebut nama pria itu tanpa sebutan kakak, terdengar jelas rasa cemburunya.Aku tersenyum samar, menyadari mereka sedang bertengkar. Bukannya simpati, aku malah merasa puas, "Iya, dia memang datang mencariku, lalu kenapa?""Dasar
Sari jelas sedang menahan emosi dan aku kebetulan menjadi sasaran pelampiasannya. Dia langsung melampiaskan semua kemarahannya padaku."Aku telepon Steve, dia yang tinggalkan ponselnya di sana, lalu Dewita yang mengangkatnya, itu salahku?" Aku juga kesal dan langsung membalas, "Jangan selalu emosian begitu, hati-hati nanti karmanya malah jatuh berkali lipat ke putrimu.""Nora Tira! Kejam sekali kamu!" teriak Sari dengan marah sampai suaranya serak, "Kalau berani, jangan pernah sakit seumur hidupmu!"Aku tak ada niat berdebat dengannya. Dengan datar, aku berkata, "Aku memang bukan sengaja, mana kutahu kalau Steve tinggalkan ponselnya di kamar ... ""Steve itu adik iparmu sekarang, nggak bisakah kamu menjaga jarak dengannya? Kenapa nggak suruh orang lain saja yang menyampaikannya? Aku tahu kamu masih belum bisa lupakan dia, makanya diam-diam mendekatinya lagi! Untungnya Dewita memergokimu!""Apa? Aku sudah mencoba menjelaskan, tapi malah diputarbalikkan dan diserang seperti ini?Amarahku
Memang benar, sejak kecil keadaanku sangat sulit.Seberapa kaya pun Keluarga Tira, itu tidak ada hubungannya denganku.Bagiku, sebutan putri Keluarga Tira, hanyalah sebuah nama saja.Meskipun merek pakaian yang kudirikan berkembang cukup baik, usianya masih baru, hanya beberapa tahun. Semua uang yang kudapat habis untuk renovasi vila itu."Ya sudah, kita bahas lagi nanti kalau kamu sudah pulang. Aku nggak akan ambil keuntungan darimu. Lagipula, kalau Dewita tahu, dia pasti akan ribut denganku lagi."Usai mengatakan itu, aku langsung menutup telepon tanpa menunggu jawabannya.Perasaanku kacau, aku duduk di dalam mobil, menatap pintu kantor catatan sipil dengan perasaan tidak puas.Tiba-tiba, ponselku berbunyi, sebuah pesan masuk dari Steve.[Tenang saja Nora, aku nggak akan biarkan Dewita tahu soal ini. Kamu sudah banyak berkorban untukku, anggap saja ini kompensasi dariku.]Saat membaca pesannya, mataku mulai berkaca-kaca.Ternyata pria brengsek ini masih punya sedikit hati nurani.Nam
Benar-benar hukum alam, orang jahat akan dipermainkan oleh yang lebih jahat."Aku juga merasa begitu, tapi Dewita begitu licik, paling pintar mengendalikan pria. Begitu amarahnya reda, dia tinggal berlagak menyedihkan, mengucapkan beberapa kata manis dan dalam sekejap Steve pasti luluh.""Biar saja, semoga mereka terjebak bersama selamanya," sahutku tulus.Wenny menatapku sekilas dengan raut ragu, "Kamu yakin? Kalau Steve berbalik minta maaf dan mau balikan, kamu benar-benar bisa menolak?"Aku langsung menegaskan dengan wajah serius, "Tentu saja! Dia sudah memperlakukanku dengan begitu hina, kalau aku masih mau balik dengannya, aku pasti akan jadi bahan tertawaan semua orang. Mereka pasti mengira aku tergila-gila dengan pria itu.""Lagipula ... kamu juga bilang, dia balik juga bukan karena masih mencintaiku, tapi lebih karena dia sadar bahwa aku lebih bernilai dibanding Dewita. Ditambah lagi, aku ini penyelamat nyawanya."Akhirnya, aku benar-benar memahami satu hal, Steve tidak mencint
Meskipun aku tidak menyukai mereka sekeluarga, bagaimanapun dia adalah orang yang lebih tua, demi kesopanan, aku tetap tersenyum dan menyapa, "Halo, tante.""Nora, jadi kamu benar-benar sudah bersama Pak Billy? Dia nggak tahu kamu itu janda? Statusmu ini jelas ... ""Ibu, bukan janda, dia bahkan belum resmi cerai dengan kakak! Kalau sekarang bersama Pak Billy, itu namanya selingkuh!"Ujar Stefi dengan wajah penuh penghinaan dan kemarahan, lalu menggerutu, "Ada apa sih dengan Pak Billy? Kok bisa tertarik dengannya? Selain cantik, apa lagi yang bisa dibanggakan?"Aku bahkan belum mengucapkan satu kata pun, tapi mereka sudah menempelkan label selingkuh padaku. Benar-benar tidak masuk akal.Aku tertawa sinis, "Stefi, otak itu hal yang bagus, sayangnya kamu nggak punya. Kalau kamu mau tahu siapa yang sebenarnya selingkuh, bagaimana kalau kita tanya orang-orang di sini?"Saat itu, peristiwa pernikahan konyol itu sudah jadi bahan tertawaan di seluruh kota. Semua orang tahu kalau Keluarga Joan
Namun, di hadapan Jeff saat ini, situasinya tidak memungkinkan. Aku hanya bisa mencari kesempatan lain.Melihat aku sangat canggung, Billy segera membantuku keluar dari situasi ini, "Ayo, para tamu hampir semua sudah datang, pesta bakalan segera dimulai."Aku mengikuti Billy memasuki aula pesta dan sekali lagi mendapat pemahaman baru tentang arti sebenarnya dari kekuasaan dan status sosial.Di dalam Vila Solene terdapat sebuah bangunan bergaya barat tiga lantai yang berdiri sendiri. Bangunan ini memiliki aula pesta besar, ruang konferensi multifungsi dan klub rekreasi. Banunan ini terpisah dari bangunan utama rumahnya, Sehingga dapat memberikan tingkat privasi yang sangat baik bagi pemiliknya.Dekorasi seluruh bangunan tampak sederhana, tetapi sangat berkelas. Bahkan hiasan yang terlihat sepele pun merupakan koleksi seni bernilai tinggi.Saat ini, aula pesta sudah penuh dengan tamu. Suasana meriah dengan obrolan santai dan tawa para tamu yang jelas berasal dari kalangan atas.Aku melih
"Bagaimana kamu menjelaskannya?""Bilang saja nggak ada apa-apa di antara kita. Aku nggak tidur denganmu, kamu juga nggak tidur denganku.""Kamu, seorang gadis menjelaskan hal seperti ini? Bukankah itu malah membuatku terlihat lebih tidak berani bertanggung jawab?""Aku ... " Aku hampir putus asa, malu bukan main dan bertanya, "Jadi harus bagaimana?"Saat kami sedang pusing memikirkan solusi, tiba-tiba terdengar suara seseorang, "Billy, kudengar kamu keluar khusus untuk menjemput tamu penting. Putri keluarga mana yang begitu kamu hormati?"Aku menoleh ke arah suara itu. Dari belakang Billy, seorang pria tinggi dan gagah melangkah mendekat. Aura karismatiknya terpancar jelas.Sebelum Billy berbalik, ekspresinya sudah semakin rumit."Datang juga orangnya," gumam Billy pelan.Mataku membelalak.Apa? Jadi dia ... Jeff Yosi?Aku tidak mengenalnya.Bagaimanapun, Keluarga Yosi dan Keluarga Solene berada di tingkat yang sama, sedangkan Keluarga Tira jelas berbeda kelas, kami tidak pernah berhu
"Nggak, nggak! Bukan ... " Aku buru-buru melambaikan tangan, melangkah lebih cepat ke depan, tapi tetap saja tak bisa menahan diri untuk melirik Billy beberapa kali.Dalam hati, aku berdoa semoga saja orang yang mengendarai Bentley malam itu bukan Jeff.Sayangnya, doaku tidak terkabul.Melihat ekspresiku yang aneh dan tampak ragu-ragu, setelah berpikir sejenak, Billy bertanya, "Kamu bertemu Jeff akhir-akhir ini?"Begitu mendengar pertanyaannya, aku langsung paham.Aaaa ... aku ingin lenyap saja dari dunia ini!"Jadi ... apa yang Pak Jeff bilang padamu?" tanyaku pasrah, memutuskan untuk menghadapinya secara langsung.Billy menyipitkan matanya sedikit, lalu menampilkan ekspresi yang sulit dijelaskan, seperti malu tapi juga geli."Maksudmu ... tentang pertengkaranmu dengan Steve? Kamu bilang sudah tidur denganku dan bukan hanya sekali?"Aku langsung tersandung dan hampir saja terjatuh."Hati-hati!" Untung saja Billy sigap menarik lenganku.Wajahku langsung panas membara, sekujur tubuhku t
Aku berputar beberapa kali di depan cermin dan merasa cukup puas dengan penampilanku.Tiba-tiba, ponselku berdering. Aku mengambilnya dan melihat nama Billy Solene di layar."Halo, Pak Billy.""Nora, sekitar sepuluh menit lagi, sopir bakal tiba di depan apartemenmu.""Iya, aku sudah siap juga, bakal turun sebentar lagi," jawabku dengan ringan, lalu menambahkan dengan sedikit sungkan, "Benar-benar merepotkanmu harus mengirim sopir untuk menjemputku.""Nggak masalah, jalanan di pegunungan kurang aman di malam hari. Karena aku yang mengundangmu, tentu aku juga harus memastikan keselamatanmu."Sikapnya selalu begitu penuh perhatian dan detail, seolah tak pernah meninggalkan celah.Setelah menutup telepon, aku memasukkan ponsel ke dalam tas, lalu mengecek kembali apakah aku sudah membawa lipstik dan bedak. Setelah memastikan semuanya beres, aku pun berangkat.Di sepanjang perjalanan, perasaanku melambung, tegang sekaligus penuh ekspektasi,Saat ini, aku sudah melupakan semua keraguan yang s
Aku baru sadar, tidak heran Steve terlihat begitu lesu dan muram, wajahnya pun tampak pucat."Nora, tolong bantu Dewita. Semua kesalahan di masa lalu itu ulah kami, Aku minta maaf padamu, ya? Kumohon, kasihanilah dia, pergi ke rumah sakit dan bantu dia ... "Sari maju dan meraih tanganku dengan erat. Gerakannya yang tiba-tiba itu sampai membuat anjingku terkejut dan melompat mundur ke belakangku.Keningku semakin berkerut, aku menatap Sari sambil tertawa dingin dalam hati."Benar-benar langka, tak kusangka aku bisa mendengar permintaan maaf darimu dalam hidup ini," kataku dengan nada menyindir."Aku minta maaf padamu, Nora. Aku bakal turuti apapun yang kamu mau, asal kamu mau selamatkan Dewita. Bagaimanapun, dia itu adik kandungmu, dia itu manusia yang hidupnya berharga ... " ujar Sari mulai menangis, tampak benar-benar tidak rela kehilangan putrinya.Sebagai seorang ibu, dia memang terlihat sangat menyayangi anaknya. Dewita pun bisa dibilang beruntung dalam hal ini.Namun, pikiranku m
Tak disangka, ternyata Billy juga mengetahuinya.Hal ini membuat suasana jadi agak canggung, terutama karena aku berbohong pada Billy, mengatakan bahwa aku sudah tidur dengan pria di hadapanku ini, bahkan berkali-kali. Memikirkan itu saja sudah membuat lidahku nyaris kelu."Ehm ... dia nggak mau cerai denganku, jadi aku hanya bisa mengajukan gugatan ke pengadilan. Sidangnya akan digelar tanggal 6 bulan depan," ujarku menjelaskan, merasa sedikit bersalah dan tidak berani menatap Billy."Tanggal 6 bulan depan? Masih ada setengah bulan.""Iya, ini sudah sesuai jadwal dari pengadilan, jadi nggak ada pilihan lain.""Iya, nggak perlu terburu-buru," ujarnya menenangkanku, lalu menambahkan, "Tapi dalam kasus gugatan cerai, biasanya sidang pertama itu mediasi, jadi kemungkinan besar nggak akan langsung dikabulkan. Biasanya harus menunggu enam bulan untuk mengajukan gugatan kedua, barulah hakin cenderung mengabulkan perceraian.""Iya, pengacaraku juga sudah mengatakan hal yang sama. Aku harus be
Aku tidak bisa menemukan kata yang tepat untuk menggambarkan diriku sendiri, hanya benar-benar malu sampai tidak bisa mengangkat kepala di depannya.Billy melihat betapa malunya aku, seolah ingin mencari lubang untuk bersembunyi. Dengan sangat sopan, dia menghiburku, "Sesekali bersenang-senang dengan teman-teman itu hal yang baik. Bisa melepaskan rasa penat dan stres di hati. Lagipula, soal kejadian malam itu, selain aku, nggak ada orang lain yang tahu. Jadi tenang saja, aku akan merahasiakannya."Kalimat terakhir itu diucapkannya dengan nada bercanda dan di matanya seperti ada sedikit ... keakraban yang samar.Aku menatapnya dengan ekspresi canggung dan membeku.Beberapa saat kemudian, rasa canggung itu semakin menjadi-jadi, pipiku terasa panas seperti terbakar.Jantungku kembali berdebar kencang dan pikiranku mulai berkelana ke arah yang tidak seharusnya.Insting wanita membertahuku bahwa ada sesuatu yang tidak biasa dalam hubungan kami, benar-benar tidak biasa.Tapi, aku tidak bisa
Wajahku terasa semakin panas.Orang mabuk muntah itu menjijikkan, baunya juga tidak enak.Dan dia, seorang pria kaya raya yang terbiasa hidup bersih dan elegan, malah harus mengurus aku yang muntah-muntah?!Tidak heran saat aku bangun keesokan paginya, tempat sampah sudah bersih.Ternyata dia yang membersihkannya malam itu."Aku baru sadar saat sampai di rumah, tapi ... aku nggak berani meneleponmu. Hari ini malah merepotkanmu, kamu sampai repot-repot mengantarnya ke sini," katanya santai, sepertinya tidak sadar betapa malunya aku saat ini.Kata-kata itu seolah menggelitik saraf kecanggunganku. Aku menatapnya dengan bingung dan bertanya polos, "Kamu ... nggak berani meneleponku?"Billy tersenyum, matanya seakan bersinar dan wajahnya terlihat agak malu."Iya, aku takut kalau kamu melihat jam tangan itu, kamu bakal mengira aku sengaja meninggalkannya sebagai alasan untuk menghubungimu lagi. Sebelumnya, sepertinya ada kesalahpahaman antara kita, hubungan kita juga jadi agak renggang, jadi