Mama Ajeng sangat syok mendengar informasi dari Arga tentang kebakaran di pabrik. Beliau nyaris tak sadarkan diri."Papa, papa," lirih Mama.Segera Teo mendekat. "Mama baik-baik, aja?""Papa, ini yang dikhawatirkan papa. Ini sudah terjadi."Teo terdiam. Mungkin, mendiang papa aditama sudah memperkirakan ini semua. Sehingga meminta Teo kembali aktif di perusahaan keluarga. "Kamu harus melakukan sesuatu, Teo. Kamu tidak boleh mengabaikan ini. Jika kamu tidak bergerak, bisa-bisa Aditama Group hilang. Apa yang dibangun papa kamu dengan susah payah tidak akan lagi ada."Aku terdiam. Ucapan Mama Ajeng ada benarnya. Nyatanya urusan bisnis, perusahaan serta aset tak sesederhana itu. Sudah pasti banyak orang yang ingin menguasai. Teo yang memang dari awal memiliki peran pasti punya andil yang besar."Kita ke sana aja, Teo. Kita pastikan dulu," ucap Gea.Teo tampak bingung. Ia melihatku ragu. Ia sudah berjanji bahwa kami tidak sampai menginap di sini."Amira sama Akila biar menginap di sini,"
Berita tentang kebakaran itu cukup cepat menyebar. Bahkan di saat aku izin tidak masuk, beberapa teman menghubungi menanyakan tentang kebenarannya. Sebagian kecil aku balas dengan singkat serta memohon doa agar dimudahkan semua. Ada juga yang tidak kubalas sama sekali.Nomor tak dikenal.[Kamu tidak izin lagi, kan? Satu hari saja kan?]Kuabaikan pesan itu sejak dari kemarin siang.Nomor tak dikenal.[Seharusnya kalau izin langsung ke pimpinan. Tidak melalui Haris begini. Kamu baik-baik saja, kan, Mir?]Andai dia bukan orang penting di kantor sudah kublokir kontaknya. Akan tetapi aku tidak bisa melakukannya. Terpaksa kudiamkan saja sampai pesan-pesan itu tertimpa dengan pesan serta panggilan lainnya.[Martia: Kau dan Bos baik-baik saja kan?]Bisa kubayangkan wajah Martia saat bertanya. Pasti dia sangat khawatir.[Martia: Aku sedang di rumah ibumu. Kalau mau ngobrol telpon saja.]Sebuah balasan Ya kukirimkan lalu menekan icon panggilan untuk nomor Martia."Halo, Mar. Kamu lagi di tempat
Kedatangan Mas Baja mengacaukan hariku. Tiba-tiba rasa mual itu terus menyerang bahkan saat aku sudah sampai di kantor."Pake minyak angin po, Mbak? Apa hotcare?" ucap Arun yang sejak tadi melihatku bolak balik kamar mandi."Aku gak bawa, Run.""Bentar, aku ambilin punyaku, Mbak." Arun kembali ke meja kerjanya. Membuka laci lalu mengambil hotcare miliknya dan menyerahkannya padaku. "Olesin di kening, Mbak. Ujung kanan sama kiri.""Ya, Run, makasih," jawabku sambil mengerjakan saran darinya."Mbak Amira masuk angin apa gimana? Kalau emang belum sembuh mending izin aja, Mbak.""Gak enak aku, Run kalau izin terus. Ini udah mendingan sih setelah kemarin istirahat di rumah.""Tapi udah priksa?""Udah, Run.""Ya udah jangan kecapean dulu, Mbak.""Iya, Run. Ini kok sepi ya. Pada kemana?" tanyaku saat merasa teman kerja tidak menempati meja mereka masing-masing."Tadi diajak Pak Arhab meeting, Mbak. Yang senior aja.""Oh, makanya kamu juga gak ikut?"Arun mengangguk-angguk. "Ya gini lah, Mbak
Pov TeoAku tahu betul masalah semacam ini pasti akan muncul. Untuk itu aku menghindarinya bagaimanapun caranya. Sayang, keterbatasanku sebagai manusia membuatku tidak mampu melakukan segalanya."Ulah siapa?" tanyaku lagi pada Arga. Setelah mengantar Amira pulang, aku memfokuskan diri menangani kebakaran. Aku memutuskan membahas ini di resto baru bersama Arga dan Gea."Pak Baja, Bos.""Kamu yakin?"Arga mengambil tabnya untuk kemudian menunjukkan padaku. "Dia ….""Betul, Pak. Bagian manajemen yang memesan ini.""Apa tujuan mereka?" tanyaku tak percaya.Tiba-tiba Gea datang dengan membawa beberapa berkas. "Kamu harus lihat ini, Teo. Ini gila," ujar Gea seraya mendekat padaku. "Banyak transaksi mencurigakan dari akun perusahaan. Bahkan ada aliran dana ke bank belanda.""Belanda katamu?" tanyaku sambil memeriksa berkas-berkas itu. "House production?"Gea mengangguk-angguk. "Ini cangkang perusahaan milik Raline. Belum resmi mereka beroperasi tapi mereka sudah dapat transfer dana sebesar i
"Ada yang ingin bertemu denganmu," ucap Mas Arhab setelah pintu lift tertutup."Siapa, Pak?""Aku," jawab Mas Arhab seraya menatapku iba. Ia tampak begitu sedih. "Maksud, Bapak?""Seharusnya aku mengejarmu, Mir. Seharusnya aku tak membiarkanmu pergi dari desa. Seharusnya …."TinggggggggSuara pintu lift yang terbuka menyelamatkan kami dari perasaan canggung ini. Buru-buru aku melangkah demi menghindari ucapan Mas Arhab yang semakin entah."Arga?" kataku tak percaya."Aku cuma nganter, Mbak. Kebetulan aku ada kontaknya Pak Arhab juga," terang Arga. Ia tampak bingung."Emangnya siapa yang mau ketemu aku?""Orangnya di dalem, Mbak. Masuk aja." Arga mempersilakanku untuk masuk ke ruangan Mas Arhab. Aku yang bingung, melirik Mas Arhab."Pake aja. Kalau udah nanti kabarin aku," ujar Mas Arhab.Seketika perasaanku tak menentu. Siapa yang ingin bertemu? "Ini beneran?"Mas Arhab mengangguk. "Aku keluar bentar sama Arga," terangnya."Aku ikut, Mas."Aku pun dibuat bingung dengan tingkah Arga
Entah berapa lama aku terdiam di ruangan pimpinan ini. Meluapkan kumpulan sesak yang sejak lama kutahan. Aku juga tak ingat kapan terakhir kali perasaan perih seperti ini menjumpai. Yang pasti aku tidak bisa menahannya lagi meski ini di kantor. Ucapan Gea dan Pak Rama pada intinya bermuara pada perpisahanku dengan Teo. Hanya itu yang mereka butuhkan. Tapi, di sisi lain kata-kata Gea ada benarnya.Benarkah Mas Baja senekat itu? Atau ini hanya skenario agar aku menjauhi Teo? Seketika semua terasa asing dan memberatkan. Kupukul-pukul sendiri dada yang terus berdenyut nyeri. Bagaimana semua ini bisa terjadi? Apa yang harus kulakukan sekarang?[Nomorku. Gea]Dari pop up notifikasil aku bisa membacanya. Gea tak hanya mengirim satu pesan melainkan beberapa. Kucoba memberanikan diri untuk mengetuknya namun tiba-tiba ponselku bergetar."Udah belum, Mir?" Suara Mas Arhab yang tanpa mengucapkan salam terlebih dahulu menyadarkanku."Mas Arhab dari tadi nunggu?""Udah lumayan pegel, Mir. Di d
Pov AuthorTeo bukanlah pria bodoh yang tidak tahu apa-apa. Ia jelas sudah mengamati gerak gerik bawahannya beberapa hari ini. Setelah banyaknya rapat dan agenda perusahaan menyita waktunya, ia tersadar belum memberi kabar pada Amira."Kamu dari mana, Ga?" tanya Teo setelah Arga kembali ke kantor. "Emmmm tadi diminta nemenin Mbak Gea ambil berkas, Bos," jawab Arga gugup. Ia tak pandai berbohong."Berkas apa?" Teo yang sudah tahu tentang gelagat aneh Arga berusaha mendesak."Berkas soal investigasi kebakaran kemarin. Ternyata masih ada yang kelewat.""Boleh aku lihat?" Kini Teo tak mau kalah. Selagi Gea belum masuk ia ingin menggali lebih banyak."Emmm, anu Bos tadi dibawa ….""Ga, ini apaan di tasku?" tanya Gea tiba-tiba. Ia membawa berkas yang dirapikan di snelhecter."Aaa itu, Bos. Itu yang tadi saya ambil," kata Arga menutupi kebohongannya. Ia meraih berkas yang disodorkan Gea.Teo pun mengangguk. Meski menaruh kecurigaan, dia menutupinya. Dia tak serta merta menuduh Gea maupun Ar
Awalnya aku ingin pergi sejauh mungkin ke tempat di mana tak ada seorang pun bisa menemukanku. Tapi anehnya langkahku justru terhenti di tempat ini. Adakah tempat yang bisa kutuju? Benarkah aku menyerah hanya karena mereka meminta? Beberapa panggilan juga pesan yang masuk ke ponselku, tak ku hiraukan sama sekali. Tetes demi tetes air mata berjatuhan. Menghangat di pipi kiri dan kanan. Tidak seharusnya aku seperti ini."Maaf, Mbak. Sudah dari tadi anda di sini. Anda tidak akan pulang?" Seorang perempuan berjilbab cukup lebar menegurku. "Maaf, apakah sudah waktunya tutup?"Perempuan itu menggeleng. "Belum, Mbak. Hanya saja sejak tadi anda tidak menyentuh makanan anda. Saya bertanya-tanya kenapa bisa begitu."Mataku beralih melihat sup yang tadinya hangat sudah dingin. Nasi beserta pelengkapnya juga masih rapi."Banyak orang datang ke sini hanya untuk melamun memang, Mbak. Tapi saya selalu menegur mereka. Seharusnya makanan tak dibiarkan dingin begitu saja. Kami menyajikannya dengan