Acara makan malam yang berlangsung seketika membuatku kenyang tanpa perlu menyantap hidangan. Bagaimana tidak sedari tadi Mas Baja terus-terusan menatap sinis ke arahku dengan wajah tak sukanya. Sekadar memegang sendok dan garpu saja membuatku kesulitan. "Cuekin aja. Natap ke aku biar dia gak berani lirik kamu."Aku menoleh. Bos Teo yang dari tadi pun hanya diam rupanya memperhatikan."Nah, gitu lebih baik.""Dih, pede amat, Bos. Lagian mana bisa orang dia di depan gitu.""Ya, kamu gak usah liat depan, lah.""Terus lihat mana? Belakang?" ujarku kesal. Ingin melempar garpu kecil ini rasanya."Udah dibilang ke samping aja, kok. Kaya gini.""Ntar leher saya terkilir, Bos, kalau ke samping terus gini.""Hmmm. Banyak protes." Bos Teo pun berdiri. Menggeser piringnya, lalu mengangkat kursi dan meletakkannya tepat berhadapan denganku. Tubuhnya membelakangi pelaminan."Kalau gini gak kelihatan lagi, 'kan?" selorohnya dengan senyum yang dibuat sedemikian rupa hingga tak kuasa membuatku ikut t
"Sejak kapan jadian sama Teo? Waktu masih di pabrik?" cibirnya yang terdengar jelas dengan tawa sumbang setelah intonasi tanda tanya.Jadian? What the meaning of Jadian? Ingin kuberteriak rasanya kalau ini hanya sandiwara. Tetapi jelas tidak mungkin."Oh, hanya pura-pura? Settingan?" kekeh Raline yang entah kenapa terdengar jelas kalau dia sedang mengejek. Beruntung aku sedang tidak melihat wajahnya."Teo itu adik angkatku. Hanya selisih satu tahun. Aku tahu betul gimana seleranya. Kamu? Jelas gak masuk sama sekali. Pasti ini hanya akal-akalan buat ngelabuhi Mama, Papa, 'kan?" Adik angkat. Tidak ada hubungan darah. Boleh memiliki rasa suka dan tidak masalah jika menjalin hubungan. Mungkin, Bos Teo memang menyukai Raline tapi terhalang dengan hubungan keluarga itu."Tidak perlu meladeni kemauannya, Amira. Tidak berpengaruh sama sekali dengan hubunganku dan Mas Baja. Terlalu buang-buang waktu untuk sekadar cemburu sama kalian."See? Membuat mereka cemburu? Nol besar itu. Tidak ada niat
Pagi hari aku sudah siap dengan outfit semi formal. Hari ini adalah hari terakhirku bekerja. Aku berniat akan melakukan yang terbaik untuk hari ini. Esoknya baru aku akan pulang ke rumah ibu. Pintu utama kamar kos kubuka dengan hati riang gembira. Bersiap menyambut hari bahagia."Bwaaaaaa!" sebuah kejutan mengagetkanku."Astaghfirulloh, Bos. Ngapain?!" Bos Teo terbahak melihatku yang nyaris saja mati mendadak karena ulahnya."Hahahaha! Kena juga.""Mau bikin saya mati, Bos?" ucapku sembari mengurut dada."Lama amat kamu. Ini sudah jam tujuh lewat." Bos Teo dengan pakaian formal orang kantoran melihat jam di pergelangan tangan kanannya."Baru jam tujuh pas, Bos. Belum lebih walau satu detik. Saya gak akan telat buat masuk kantor.""Tetap saja lama. Saya nunggu dari jam enam tiga puluh.""Nunggu? Ngapain nunggu, Bos?" "Kamu gak jadi ambil berkas?" tanyanya dengan kening mengernyit. Seperti sengaja menampakan ekpresi bahwa berkas itu terkesan tidak penting."Maksud, Bos?""Berkas ijaza
"Sudah lama, Mir?""Lumayan, Pak. Ada dua jam lebih.""Ya sudah ayo pindah ke ruangan saya." Pak Ginanjar membawa sejumlah berkas sembari mengedikan dagu. "Baik, Pak."Ruangan Pak Ginanjar berada tak jauh dari ruangan Bos Teo. Ada di tengah-tengah. Dengan pelan aku berjalan untuk sampai ke sana."Beneran mau ngalamar kerja lagi kamu? Gak tahu malu banget, sih!" seru Mbak Ripka yang baru keluar dari ruangannya. Dia bisa dengan jelas melihatku.Aku hanya tersenyum seraya mengangguk. Menanggapi omongannya sangat tidak perlu."Heh! Gak punya telinga, ya?!""Amira, cepat masuk!" seru Pak Ginanjar dari dalam. Aku semakin tersenyum sembari mengangguk dalam pada Mbak Ripka. Pembalasan yang terasa sempurna.Tok! Tok! Tok!"Langsung duduk aja, Mir.""Ya, Pak." Pak Ginanjar membuka lemari berkas di dekat meja kerjanya lalu mengambil satu buah map berwarna coklat dan berjalan ke arah kursi kerjanya. Di ruangan Pak Ginanjar tidak ada satu set kursi tamu seperti ruangan Bos Teo."Gimana kabar kam
"Stop Tante? Bagaimana bisa?" tanyaku tak tahu menahu soal hal itu."Ayo kita bicarakan di luar." Tante Mutia melihat wajah Bu Nunik sebentar.Aku mengangguk. Namun, sebelum itu aku menatap neneknya Akila sebentar. Satu tembok paling kuat sudah runtuh. Beliau orang yang selalu menentangku untuk membawa Akila. Beliau yang paling gencar membuat penolakan atas niat baikku, sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Kalau tubuhnya seringkih itu harusnya semua jauh lebih mudah. Sudah kuniatkan dalam hati untuk melawan mereka. Membalas perbuatan semua orang yang pernah melukaiku. Sekarang rencana itu menguap begitu saja. Bahkan anehnya ada sedikit keprihatinan yang ikut datang bersamaan saat aku menatapnya. Bagaimanapun juga perempuan ini sayang dengan darah dagingku sendiri. "Akila sini aja, Bu. Mau jagain Nenek." Aku mengulas senyum lalu mengusap rambutnya. Akila sejak awal memang dekat dengan neneknya. Saat aku bekerja setiap hari Mas Baja menitipkan Akila pada neneknya. Mungkin waktu yang dih
Pov Teo***Namanya Amira tanpa kepanjangan apa-apa. Perempuan berusia sekitar 26 tahun dengan rambut sebahu dan perawakan kecil. Tingginya paling sekitar 152 cm. Kulitnya kuning langsat dengan bibir tipis serta hidung pesek. Dari standar kecantikan wanita pada umumnya, jelas dia biasa saja.Aku mengenalnya tak sengaja saat dia kebetulan terhubung dengan kisah Raline dan Baja. Dia adalah istri sah dari kekasih orang yang kucintai. Hubungan rumit yang menyebabkan mereka mengakhiri biduk rumah tangga. Awalnya aku biasa saja. Tidak berminat membantunya sama sekali. Namun, sikap bodoh serta polosnya cukup mengusikku.Saat dengan yakin ia memilih pergi dari pabrik karena permintaan Raline. Meski dia bisa menghindari pemecatan itu kalau saja mau bicara denganku. Dia justru kabur entah ke mana selama beberapa minggu. Aku mencaritahu lewat Pak Ginanjar dan rupanya ia bertahan di desa tempatnya tinggal.Rasa-rasanya semua yang berkaitan dengan Amira berputar di sekelilingku. Mulai dari pabrik
Bos Teo membukakan pintu mobil untuk kami. Entah apa yang ada dalam pikiranku sampai berani meminta beliau mengantar. Yang pasti aku ingin cepat sampai rumah untuk sekadar mengusir gundah."Mau ke mana, Bos?" tanya Arga yang tiba-tiba muncul begitu saja. Mungkin dia habis mengisi perut di tempat lain."Nah, kebetulan datang. Ayo ikut saya," jawab Bos Teo."Ke mana, Bos?" "Udah ikut aja." Bos Teo melempar kunci mobil pada Arga yang sudah pasti tidak bisa mengelak. Mana ada bawahan berani membantah."Eh, saya belum matiin komputer, Bos," ujar Arga ragu. Pasti ia harus mencari alasan agar terbebas dari permintaan Bos Teo ini."Biar Ajiz yang matiin." Bos Teo mengedikan dagu. Meminta Arga segera membuka akses pintu mobil. Dengan cepat Arga mengangguk, mengambil alih untuk perjalanan kali ini.Aku menggandeng tangan Akila seraya masuk ke mobil Bos Teo. Beruntung ada Arga dalam perjalanan kali ini. Setidaknya aku tidak harus berduaan dalam arti lain dengan Bos Teo.Desaku berada di luar da
Rumah menjadi sangat ramai dengan kedatangan kami berempat. Ibu tak henti mengulas senyum saat candaan demi candaan dilontarkan Arga dan Bos Teo. Tiba waktunya kumandang adzan maghrib terdengar. Menginterupsi keceriaan ruangan sederhana ini.Akila sudah berganti pakaian. Aku demi menghormati Arga dan Bos Teo memilih tidak untuk membersihkan diri dulu. Arga bilang lepas maghrib akan bertolak kembali ke kota. Itu artinya setelah Ibu menghidangkan menu makan malam, mereka akan berpamitan."Kamu beneran mau resign?" tanya Bos Teo saat aku sedang menata piring di atas meja. Arga mengambil air wudu sedangkan dirinya hanya berdiri di gawang pintu.Aku mengangguk lemah. Sejak awal pekerjaanku di tempat Bos Teo terjadi bukan karena mauku. Tiba-tiba saja membantunya agar lunas utang dua belas juta."Gak mau nyoba di pabrik lagi?" Aktivitasku terhenti sebentar. Pabrik? "Iya. Pabrik lama, Amira. Kamu tahu kan aku sekarang Bos besarnya." Senyum kebanggan atas pencapaian diri terpancar di wajahn
Riuh tepuk tangan itu menjadi awal proses akuisisi BaRlie oleh Aditama Group. Tanpa negosiasi yang alot dan terjadi seperti cuma-cuma. Teo yang nampak kebingungan hanya bisa mengikuti arahan Pak Rama saat diminta maju ke depan mendampingi Bu Hana.“Ini pemilik sebenarnya Aditama Group. Pewaris tunggal Almarhum Pak Aditama. Meski dulu, Aditama Group dibangun bersama papa saya, nyatanya dialah yang menikmati hasilnya sampai hari ini. Awalnya saya malas dan ragu melepaskan semua ini bahkan saya ada niat jahat ingin merebutnya dari anak kecil ini. Tapi, ada satu orang yang membuat saya takjub sampai-sampai menghilangkan rasa benci saya pada keluarga Aditama. Dia adalah Amira, istri dari Pak Teo ini yang sekaligus adik saya saat kami bekerja di sebuah lembaga bimbingan belajar. Kegigihannya membuat saya tak sampai hati melukai orang-orang terdekatnya. Pak Teo, anda harus berterima kasih pada istri anda,” ujar Bu Hana pada Teo di atas panggung di depan semua orang. “Baik, Bu.”“Sekarang sud
Ini pertama kalinya aku ke Bali bersama Teo. Meski Teo memiliki resto di sana dan kerap bolak balik Jakarta Bali aku tidak pernah ikut. Sebenarnya aku sedikit berat meninggalkan Akila dan Ibu tapi karena ibu mengizinkan dan tetap akan di Jakarta sampai aku pulang, akhirnya aku pun berangkat."Deg degan?" tanya Teo saat pesawat yang kami tumpangi mulai mengudara."Sedikit," jawabku sambil melirik ke arah jendela di mana aku bisa melihat ke bawah dan memang cukup menakutkan."Santai saja. Nanti juga nyaman kok," balas Teo sambil mengeratkan genggamannya. "Adek aman, kan?""Aman."Dan benar sekali perjalanan Jakarta Bali ini tidak terasa. Aku juga tidak tidur seperti saat melakukan perjalanan darat. Mungkin karena ini pertama kali jadi tidak nyaman untuk tidur di pesawat.Sesampainya di bandara kami disambut oleh manajer dari resto milik Teo. Memang selain datang untuk menghadiri undangan Bu Hanania, Teo berencana melakukan cekhing ke resto juga."Selamat siang, Pak dan Ibu. Selamat data
Aku tidak mengerti mengapa Teo memintaku ikut ke Bali. Penjelasannya pun terasa tak masuk akal. Tapi, Teo bersikeras menyampaikan aku harus ikut."Tapi aku sedang hamil. Apa tidak masalah naik pesawat?""Kita konsul dulu sama Dokter Adara. Atau kamu WA tanya.""Tapi kenapa mendadak sekali? Kenapa harus lusa?""Ini penting, Ra. Sangat penting. Nanti aku jelaskan saat kita udah berangkat."Teo mulai menyiapkan koperku. Dia membuka lemari dan berusaha memilih baju-baju yang akan aku kenakan. Rasanya aneh sekali."Nah, itu sudah datang orangnya," kata Teo setelah mendengar seruan dari Mbak Dewi. "Biar tunggu di bawah, Mbak!" jawab Teo."Kamu manggil siapa emangnya?""Ayo kita turun dulu," ajak Teo seraya menarik tanganku. Aku pun pasrah karena aku sendiri tidak mengerti detail yang akan disampaikan Teo. Aku hanya berusaha percaya. Itu yang bisa kulakukan. Sesampainya di ruang tamu aku jelas terkejut melihat siapa yang duduk di sofa."Dokter," ucapku."Saya jadwalkan cek di rumah sekalian
POV Teo"Kita harus berangkat sekarang jika tidak ingin terlambat, Pak.""Berangkat ke mana? Maksudnya apa, Pak Rama?" Aku masih belum terlalu paham dengan situasi yang baru saja dijelaskan Pak Rama. Bagaimana mungkin Raline menjual perusahaan sementara kondisinya seperti itu?Pak Rama pun menyodorkan beberapa file salinan dari apa saja yang sudah dikerjakan Baja dan Raline akhir-akhir ini. "Ini sebagian kecil, Pak. Sisanya saya ....""Sebentar. Ini benar, Pak?" tanya Arhab tiba-tiba yang mengenali nama pihak kedua dalam perjanjian itu."Benar, Pak Arhab. Ibu Hanania yang akan menjadi kunci dalam akuisisi ini.""Aku bilang apa. Dokter itu aku pernah meihatnya bersama Hana," terang Arhab padaku.Kini aku mengangguk setuju. Pasti ada sesuatu. "Kamu tau dia di mana, Hab?" "Bali, Pak. Bu Hana stay di bali selama ini," jawab Pak Rama seperti sudah memastikan semuanya."Kita berangkat hari ini. Cari tiket terdekat," ujarku yang langsung dijawab dengan anggukan Pak Rama.Tok! Tok! Tok!Ses
POV TeoApa yang belum pernah kudapatkan di dunia ini? Segala macam kemewahan dan kenikmatan hidup bisa dibilang sudah pernah kurasakan. Akan tetapi, tidak ada yang semenggembirakan ini. Mendengar detak jantung makhluk kecil yang masih bersembunyi di rahim mamanya membuatku tak bisa berhenti merasakan euforia yang susah sekali untuk kujabarkan.Aku tidak salah mendengar. Kata Dokter Adara janin atau nanti akan disebut sebagai bayi milik kami sehat tanpa kurang suatu apa. Detak jantungnya normal, pertumbuhannya juga sesuai dengan usia kandungan mamanya. Bahkan tadi dia bergerak-gerak lincah seakan menyapa papa mamanya mengabarkan kalau dia baik-baik saja. Lucu sekali. Ini lebih mengharukan dibandingkan memenangkan tender manapun. Dan lihatlah aku, Teodorus Liem Aditama dalam kurun waktu kurang dari satu tahun akan menjadi seorang papa."Ibu dan kandungannya sehat. Semuanya normal dan berkembang sesuai usianya. Ini hasil print outnya ya," ujar Dokter Adara sambil menyerahkan hasil cetak
Tamu tak diundang itu cukup mengejutkanku. Bagaimana bisa tanpa rasa sungkan dia datang seraya menyapa ibu dengan ramah."Apa-apaan? Kenapa bisa nyamper ke sini?" tanya Teo saat kami sudah bertiga di ruang tamu."Udah ketemu belum sama pemilik saham-saham itu?" Aku pun melirik sekilas ke arah mereka saat meletakkan minum yang dibuatkan Mbak Dewi. Walau awalnya enggan, karena ada ibu di rumah mana bisa kami menolak kedatangan mantan kepala desa itu."Aku bilang mau cuti sehari. Pak Rama aja paham. Lo enggak?" timpal Teo. Mereka nampak akrab tidak seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya."Makasih, Mir," ujar Mas Arhab malah menanggapi sikapku dibanding pertanyaan Teo."Istri gue, Hab!""Iya paham."Aku menggeleng. Mereka berdua benar-benar aneh. Dari cara komunikasi hingga kedekatan mereka tampak lebih akrab."Nih aku bawa nama penting hari ini," ujar Arhab seraya menyodorkan layar ponselnya ke Teo.Aku yang duduk di sebelah Teo praktis bisa membaca dan melihat profil perempuan yang sed
Aku bisa merasakan sentuhan itu. Seperti sesuatu yang telah lama kurindu. Rupanya saat aku menoleh, Teo ada di belakangku. Tangannya melingkar di perutku."Kamu udah pulang?" tanyaku meyakinkan.Teo mengangguk. Dia semakin mengeratkan pelukan. Pulang satu kata yang cukup jarang kami gunakan. Seharusnya sejak awal kami memang menjadikan rumah ini sebagai tempat pulang bukan tempat singgah pelepas lelah. Setelah berbalik, kuamati wajahnya yang tampak tak terawat. Seperti foto yang dikirimkan Mas Arhab, Teo tampak berantakan. Kubelai lembut pipinya, dan aku bisa merasakan kulitnya yang kasar."Maaf," ujarnya. Saat aku memandanginya penuh dia berujar maaf."Kenapa?""Maaf karena tak pernah memberimu kabar."Aku tersenyum kecil. Dari mana dia paham perihal kabar? Apa dia sudah menyadari sikapnya yang kadang keterlaluan? Aku pun mengangguk."Maaf sudah membuatku khawatir," imbuhnya. "Aku suami yang tidak tahu diri."Buru-buru aku menggeleng. Tentang suami yang tak tahu diri aku kurang setuj
Pov TeoBerkas-berkas itu terus menumpuk bahkan setelah aku membaca dan menandatanganinya. Pak Rama bilang ini baru di kantor utama belum yang di cabang perusahaan. Banyak sekali pekerjaan rumah yang harus kubereskan dan sialnya si pelaku dari timbulnya masalah besar ini sudah pergi ke neraka. Sesuatu yang sangat amat tidak sesuai dengan harapanku. Seharusnya Baja tidak semudah itu meregang nyawa. Harusnya cecuruk itu membayar semua perbuatannya. Kini berkas-berkas ini serasa tak penting lagi karena aku tidak bisa menghukum pelakunya. Data-data yang kukumpulkan bersama Pak Rama pun menguap begitu saja. Baru aku akan meremas semua berkas ini saking kesalnya pintu kantor terbuka."Maaf, Pak. Ada tamu," ujar sekretaris yang berjaga di luar. Aku masih belum ingat siapa namanya."Saya bilang tidak mau menerima tamu hari ini. Kamu lupa?""Mohon maaf, Pak. Beliau memaksa dan katanya penting.""Lebih penting mana dengan perintah saya!" sentakku. Aku sedang tidak mau diganggu.Lalu muncul satu
“Mama tidak mau ada kekacauan di Aditama group. Mama pengen Aditama group bisa langgeng sampai cucu-cucu mama.” Mata Mama Ajeng berkaca. Beliau memintaku untuk mendekat. “Nanti kalau papanya sudah tua, sudah waktunya istirahat, dia yang bakal gantiin papanya. Kamu sedang mengandung calon pewaris Aditama Group, Mir. Kamu harus kuat dan jangan sampai omongan orang di luar mempengaruhi kamu. Jangan sampai kamu sama Teo goyah. Janji sama Mama, ya.” Kali ini Mama Ajeng tampak bersungguh-sungguh.Aku tidak mungkin menggeleng dengan keadaan Mama Ajeng yang semakin hari semakin memburuk. Selepas kepergian Papa, mau tidak mau Mama Ajeng perlu mengurus banyak hal. Di saat Teo sempat tidak mau bergabung dengan keluarga dan perusahaan, pastilah Mama Ajeng memikirkannya sendirian.“Iya, Ma. Amira janji Amira bakal damping Teo terus.” Hanya itu yang bisa kuucapkan. Meski masih dibalut dengan banyak keraguan. Setidaknya di depan Mama Ajeng aku perlu menjadi istri yang tidak membebani keluarga suami