Hari yang dijanjikan oleh Mas Arhab pun tiba. Aku dan Akila bersiap satu jam sebelumnya. Setelah obrolan di sore hari pembahasan tentang jalan-jalan yang dimaksudkan Mas Arhab berlanjut sampai di aplikasi pesan. Aku tak kuasa untuk menolak.Sore di hari minggu menjadi janji temu. Aku memilih menunggu di rumah Martia yang memang lebih mudah akses jalan rayanya. Kebetulan rumahku sedikit masuk ke dalam area perkampungan. Baju terbaik yang ada di lemari kukenakan untuk mengawali pertemuan baik ini. Memang masih ada batasan di mana aku belum resmi bestatus sebagai janda, namun aku keluar hanya demi menghormati ajakan orang yang dulu pernah menjadi kekasih hati walau sebentar."Cieee mau celebek sama mantan," ujar Martia begitu aku sampai setelah berjalan kaki sekitar lima belas menit."Apaan, sih, Mar. Ini juga karena dipaksa.""Dipaksa apa sama-sama suka? Udah lah ngaku aja kalau masih sayang."Aku buru-buru menggeleng. Martia selalu seperti itu. Bercanda tak kenal tempat. Ada Akila yan
Pov MartiaSekitar pukul enam pagi aku mulai mendorong rolliing door warung kelontong. Bersiap menjemput rezeki yang diberikan illahi. Bisa dibilang warung yang merupakan warisan dari orangtuaku ini cukup besar dan komplit. Tidak hanya menyediakan sembako dasar, tetapi juga bumbu-bumbu serta jajanan kesukaan anak-anak. Banyak warga yang menjadi langgananku, langganan belanja juga langganan utang. Meski begitu aku tetap bersyukur karena aku masih bisa bekerja meski di rumah saja.Selesai menata gas elpiji tiga kilogram juga beberapa barang yang memang di tempatkan di luar warung, serta menyapu lantai dan halaman depan aku bersiap menyambut pembeli pertama di pagi ini. Sialnya yang datang justru tiga serangkai yang hobinya meronce. Perlu digaris bawahi dalam hal ini bukan meronce bunga tapi meronce kata-kata. Aku cukup malas menyapa mereka dulu. Namun, bagaimanapun itu mereka bertiga adalah pembuka gerbang rezeki yang pertama di hari ini. Maka demi melancarkan aksi bekerja dengan pelay
Hari yang dijanjikan oleh pengadilan pun tiba. Sejak pagi aku sudah menitipkan Akila di tempat Tante Mutia. Lebih tepatnya aku memang berangkat dari sana karena menginap satu malam setelah dari desa.Outfit berwarna hitam dengan sentuhan warna putih di bagian sepatu kupilih untuk mendatangi sidang ketiga itu. Putusan terakhir akan kehidupan rumah tanggaku dan Mas Baja. Jujur aku sangat gugup. Jadi, saat memasuki gedung bertuliskan pengadilan agama itu aku sedikit ragu."Ayo, Mbak! Bentar lagi sidang mulai!" seru Ajiz yang rupanya datang lebih awal. Aku mengangguk. Mempercepat langkah untuk segera memasuki ruang itu. Dari sidang pertama aku tidak pernah menghadirinya. Kali ini Ajiz membujukku untuk tetap datang meski aku keberatan. Mejelis hakim mulai membuka sidang putusan perkara pernikahan aku dan Mas Baja. Beberapa hal disampaikan sebagai pengantar. Aku buta dalam hal semacam ini. Sejak awal gugatan Mas Baja aku juga tak didampingi oleh pengacara. Namun, di tengah agenda tiba-tib
Pov TeoDelft -NetherlandHari ini berita itu harusnya sudah sampai. Tentang kepergianku ke Belanda untuk sebuah kunjungan kerja. Pun tentang hasil putusan sidang untuk hak asuh anak mereka.Ya. Hanya 'mereka' bukan siapa-siapa. Tapi aku peduli sekali sampai-sampai mau memberikan rekaman itu. Awalnya aku kira hanya satu yang aku punya. Namun, setelah mengecek ulang di beberapa cctv pabrik, di luar perkiraanku sebelumnya.Aku yakin ini tak bermakna sama sekali. Sejak dulu aku tak berminat untuk membantu orang-orang yang tak memberiku manfaat apa-apa. Namun, entah mengapa hatiku tergerak saat itu berkaitan dengan Amira.Ah ... Amira namanya. Janda dengan satu putri. Mungkinkah?Jantungku terus berdetak ganjil. Bahkan sekarang saat aku tak berada di dekatnya. Memikirkan tentang perempuan itu membuat kecerdasanku tumpul seketika. Bagaimana tidak. Aku sampai sibuk mengurusi detail yang tak penting sama sekali."Teo!" sentak Raline saat membuka pintu penginapannya.Ya. Sekarang aku berada
Sudah satu minggu ini kami menginap di tempat tante Mutia. Aku masih belum menemukan kontrakan yang tepat untuk kutinggali bersama Akila. Tidak mungkin selamanya menumpang di kamar kecil di lantai dua itu.Kusibak selimut yang cukup menghangatkan badan di pagi ini. Musim kemarau membuat hawa dingin menyusup masuk sampai dalam kamar. Sejenak kulihat Akila yang meringkuk di sampingku memeluk guling. Selimutnya cukup berantakan. Aku tersenyum sendiri seraya menambahkan satu selimut untuknya. "Udah bangun, Mir? Mau lail?" Tante Mutia rupanya sudah bangun lebih awal. Beliau mungkin harus menyiapkan banyak hal."Udah, Tante. Ini gak bisa merem lagi," jawabku. "Lail sekalian, Mir, sama nunggu subuh. Doa yang banyak." Aku mengangguk kecil. Mungkin saran Tante Mutia bisa kulakukan sekalian untuk meredam perasaan aneh ini. "Baik, Tante."Sejak jam dua bahkan aku sudah terjaga. Semalam Arga memberitahu akan menjemput Bos Teo di bandara sekitar pukul delapan pagi. Arga juga mengajakku untuk
Aku sudah bilang pada Teo untuk tidak membuat acara lain setelah pinangannya padaku kala itu. Bagiku semua sudah lebih dari cukup. Tapi namanya Teo selalu mengejutkanku dengan berbagai macam cara."Ibu mana?" tanyanya begitu sampai di kontrakan."Di belakang," jawabku singkat. Kami sempat berdebat di ponsel beberapa saat lalu."Martia?""Jalan-jalan sama Akila."Teo mengangguk-angguk. Ia berjalan maju mendahuluiku tanpa mengindahkan peringatanku sejak awal."Masyaallah, Teo. Udah dateng?" tanya Ibu yang langsung sadar akan kedatangan Teo. Suaranya terdengar sampai teras rumah. Aku pun menutup pagar dengan malas sambil menyeret langkah, berat."Iya, Bu. Dari semalem mau ke sini tapi sama Amira gak dibolehin," adu Teo pada ibu. Seolah dia anak kesayangannya."Ya lagian baru balik dari Medan, Bu. Capek pasti," ujarku membela diri."Wes, wes gak apa-apa, Teo. Ndak usah repot-repot. Semalem Amira jemput pake taxi online." Ibu menerangkan kondisi kami."Maafin Teo ya, Bu."Ibu menggeleng. I
"Gimana? Udah oke?" tanya pria berbadan tinggi yang sudah satu tahun ini membantuku melakukan banyak hal."Oke, Bos."Dia melotot tajam. Sebal setiap aku memanggilnya lengkap seperti itu. Akan tetapi aku sering membantah dan tetap memanggilnya seperti itu."Di resto. Nggak enak," kilahku.Bos Teo merotasi matanya. Di resto yang baru akan dibuka ini hanya ada kami berdua. Namun, aku selalu berdalih itu."Iya. Iya, maaf. Habisnya nggak terbiasa," imbuhku."Harus dibiasakan. Masa iya ntar kita mau malam ...." Bos Teo mengerling.Kali ini gantian aku yang melotot. Menghentikan ucapannya."Malam-malam panjang panggilnya Bos terus. Nggak romantis, lah," lanjutnya. Tak jadi menggoda."Sejak kapan anda romantis?" tanyaku sinis. Selama dekat dengannya dia lebih banyak berteriak dan marah-marah setiap kali kerjaan tidak beres. Bahkan omelannya sudah seperti rapper ternama."Nglamar pakai resto buat hadiah nggak romantis?" bantahnya dengan mata mengerjap. Seperti tak nyaman dengan pertanyaannku
Rasanya cukup aneh melihat cincin itu tersemat di jari manisku. Setelah banyak hal yang kulalui tentunya. Dan hari ini pengajuan surat cuti menikah sudah kusiapkan. Aku tinggal menyerahkannya ke atasan sekaligus memberikan undangan pernikahan."Masuk!" seru Bu Hanania pimpinan akademi tempatku mengabdi. "Oh, Amira. Bagaimana?"Aku melangkah maju. Sebenarnya cukup aneh saat bicara dengan Bu Hana seformal ini karena kami nampak seumuran. Namun, beliau tetaplah atasan jadi rasa hormat dan patuh itu wajib ada."Saya mau izin Bu untuk minggu depan. Seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya.""Merrit?" tanya Bu Hana memastikannya.Aku mengangguk kecil. "Iya, Bu.""Kamu mantap untuk membuka lembaran baru Amira? After 3 taun?"Aku mengangguk lagi. "Ini undangan untuk Bu Hana."Bu Hana mengambil undangan itu seraya melihatnya takjub. "Ikut senang saya, Amira. Semoga berjalan sesuai rencana. Saya pastikan akan datang.""Amiin. Terima kasih, Bu.""Ya."Dan satu per satu urusan mulai terseles
Riuh tepuk tangan itu menjadi awal proses akuisisi BaRlie oleh Aditama Group. Tanpa negosiasi yang alot dan terjadi seperti cuma-cuma. Teo yang nampak kebingungan hanya bisa mengikuti arahan Pak Rama saat diminta maju ke depan mendampingi Bu Hana.“Ini pemilik sebenarnya Aditama Group. Pewaris tunggal Almarhum Pak Aditama. Meski dulu, Aditama Group dibangun bersama papa saya, nyatanya dialah yang menikmati hasilnya sampai hari ini. Awalnya saya malas dan ragu melepaskan semua ini bahkan saya ada niat jahat ingin merebutnya dari anak kecil ini. Tapi, ada satu orang yang membuat saya takjub sampai-sampai menghilangkan rasa benci saya pada keluarga Aditama. Dia adalah Amira, istri dari Pak Teo ini yang sekaligus adik saya saat kami bekerja di sebuah lembaga bimbingan belajar. Kegigihannya membuat saya tak sampai hati melukai orang-orang terdekatnya. Pak Teo, anda harus berterima kasih pada istri anda,” ujar Bu Hana pada Teo di atas panggung di depan semua orang. “Baik, Bu.”“Sekarang sud
Ini pertama kalinya aku ke Bali bersama Teo. Meski Teo memiliki resto di sana dan kerap bolak balik Jakarta Bali aku tidak pernah ikut. Sebenarnya aku sedikit berat meninggalkan Akila dan Ibu tapi karena ibu mengizinkan dan tetap akan di Jakarta sampai aku pulang, akhirnya aku pun berangkat."Deg degan?" tanya Teo saat pesawat yang kami tumpangi mulai mengudara."Sedikit," jawabku sambil melirik ke arah jendela di mana aku bisa melihat ke bawah dan memang cukup menakutkan."Santai saja. Nanti juga nyaman kok," balas Teo sambil mengeratkan genggamannya. "Adek aman, kan?""Aman."Dan benar sekali perjalanan Jakarta Bali ini tidak terasa. Aku juga tidak tidur seperti saat melakukan perjalanan darat. Mungkin karena ini pertama kali jadi tidak nyaman untuk tidur di pesawat.Sesampainya di bandara kami disambut oleh manajer dari resto milik Teo. Memang selain datang untuk menghadiri undangan Bu Hanania, Teo berencana melakukan cekhing ke resto juga."Selamat siang, Pak dan Ibu. Selamat data
Aku tidak mengerti mengapa Teo memintaku ikut ke Bali. Penjelasannya pun terasa tak masuk akal. Tapi, Teo bersikeras menyampaikan aku harus ikut."Tapi aku sedang hamil. Apa tidak masalah naik pesawat?""Kita konsul dulu sama Dokter Adara. Atau kamu WA tanya.""Tapi kenapa mendadak sekali? Kenapa harus lusa?""Ini penting, Ra. Sangat penting. Nanti aku jelaskan saat kita udah berangkat."Teo mulai menyiapkan koperku. Dia membuka lemari dan berusaha memilih baju-baju yang akan aku kenakan. Rasanya aneh sekali."Nah, itu sudah datang orangnya," kata Teo setelah mendengar seruan dari Mbak Dewi. "Biar tunggu di bawah, Mbak!" jawab Teo."Kamu manggil siapa emangnya?""Ayo kita turun dulu," ajak Teo seraya menarik tanganku. Aku pun pasrah karena aku sendiri tidak mengerti detail yang akan disampaikan Teo. Aku hanya berusaha percaya. Itu yang bisa kulakukan. Sesampainya di ruang tamu aku jelas terkejut melihat siapa yang duduk di sofa."Dokter," ucapku."Saya jadwalkan cek di rumah sekalian
POV Teo"Kita harus berangkat sekarang jika tidak ingin terlambat, Pak.""Berangkat ke mana? Maksudnya apa, Pak Rama?" Aku masih belum terlalu paham dengan situasi yang baru saja dijelaskan Pak Rama. Bagaimana mungkin Raline menjual perusahaan sementara kondisinya seperti itu?Pak Rama pun menyodorkan beberapa file salinan dari apa saja yang sudah dikerjakan Baja dan Raline akhir-akhir ini. "Ini sebagian kecil, Pak. Sisanya saya ....""Sebentar. Ini benar, Pak?" tanya Arhab tiba-tiba yang mengenali nama pihak kedua dalam perjanjian itu."Benar, Pak Arhab. Ibu Hanania yang akan menjadi kunci dalam akuisisi ini.""Aku bilang apa. Dokter itu aku pernah meihatnya bersama Hana," terang Arhab padaku.Kini aku mengangguk setuju. Pasti ada sesuatu. "Kamu tau dia di mana, Hab?" "Bali, Pak. Bu Hana stay di bali selama ini," jawab Pak Rama seperti sudah memastikan semuanya."Kita berangkat hari ini. Cari tiket terdekat," ujarku yang langsung dijawab dengan anggukan Pak Rama.Tok! Tok! Tok!Ses
POV TeoApa yang belum pernah kudapatkan di dunia ini? Segala macam kemewahan dan kenikmatan hidup bisa dibilang sudah pernah kurasakan. Akan tetapi, tidak ada yang semenggembirakan ini. Mendengar detak jantung makhluk kecil yang masih bersembunyi di rahim mamanya membuatku tak bisa berhenti merasakan euforia yang susah sekali untuk kujabarkan.Aku tidak salah mendengar. Kata Dokter Adara janin atau nanti akan disebut sebagai bayi milik kami sehat tanpa kurang suatu apa. Detak jantungnya normal, pertumbuhannya juga sesuai dengan usia kandungan mamanya. Bahkan tadi dia bergerak-gerak lincah seakan menyapa papa mamanya mengabarkan kalau dia baik-baik saja. Lucu sekali. Ini lebih mengharukan dibandingkan memenangkan tender manapun. Dan lihatlah aku, Teodorus Liem Aditama dalam kurun waktu kurang dari satu tahun akan menjadi seorang papa."Ibu dan kandungannya sehat. Semuanya normal dan berkembang sesuai usianya. Ini hasil print outnya ya," ujar Dokter Adara sambil menyerahkan hasil cetak
Tamu tak diundang itu cukup mengejutkanku. Bagaimana bisa tanpa rasa sungkan dia datang seraya menyapa ibu dengan ramah."Apa-apaan? Kenapa bisa nyamper ke sini?" tanya Teo saat kami sudah bertiga di ruang tamu."Udah ketemu belum sama pemilik saham-saham itu?" Aku pun melirik sekilas ke arah mereka saat meletakkan minum yang dibuatkan Mbak Dewi. Walau awalnya enggan, karena ada ibu di rumah mana bisa kami menolak kedatangan mantan kepala desa itu."Aku bilang mau cuti sehari. Pak Rama aja paham. Lo enggak?" timpal Teo. Mereka nampak akrab tidak seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya."Makasih, Mir," ujar Mas Arhab malah menanggapi sikapku dibanding pertanyaan Teo."Istri gue, Hab!""Iya paham."Aku menggeleng. Mereka berdua benar-benar aneh. Dari cara komunikasi hingga kedekatan mereka tampak lebih akrab."Nih aku bawa nama penting hari ini," ujar Arhab seraya menyodorkan layar ponselnya ke Teo.Aku yang duduk di sebelah Teo praktis bisa membaca dan melihat profil perempuan yang sed
Aku bisa merasakan sentuhan itu. Seperti sesuatu yang telah lama kurindu. Rupanya saat aku menoleh, Teo ada di belakangku. Tangannya melingkar di perutku."Kamu udah pulang?" tanyaku meyakinkan.Teo mengangguk. Dia semakin mengeratkan pelukan. Pulang satu kata yang cukup jarang kami gunakan. Seharusnya sejak awal kami memang menjadikan rumah ini sebagai tempat pulang bukan tempat singgah pelepas lelah. Setelah berbalik, kuamati wajahnya yang tampak tak terawat. Seperti foto yang dikirimkan Mas Arhab, Teo tampak berantakan. Kubelai lembut pipinya, dan aku bisa merasakan kulitnya yang kasar."Maaf," ujarnya. Saat aku memandanginya penuh dia berujar maaf."Kenapa?""Maaf karena tak pernah memberimu kabar."Aku tersenyum kecil. Dari mana dia paham perihal kabar? Apa dia sudah menyadari sikapnya yang kadang keterlaluan? Aku pun mengangguk."Maaf sudah membuatku khawatir," imbuhnya. "Aku suami yang tidak tahu diri."Buru-buru aku menggeleng. Tentang suami yang tak tahu diri aku kurang setuj
Pov TeoBerkas-berkas itu terus menumpuk bahkan setelah aku membaca dan menandatanganinya. Pak Rama bilang ini baru di kantor utama belum yang di cabang perusahaan. Banyak sekali pekerjaan rumah yang harus kubereskan dan sialnya si pelaku dari timbulnya masalah besar ini sudah pergi ke neraka. Sesuatu yang sangat amat tidak sesuai dengan harapanku. Seharusnya Baja tidak semudah itu meregang nyawa. Harusnya cecuruk itu membayar semua perbuatannya. Kini berkas-berkas ini serasa tak penting lagi karena aku tidak bisa menghukum pelakunya. Data-data yang kukumpulkan bersama Pak Rama pun menguap begitu saja. Baru aku akan meremas semua berkas ini saking kesalnya pintu kantor terbuka."Maaf, Pak. Ada tamu," ujar sekretaris yang berjaga di luar. Aku masih belum ingat siapa namanya."Saya bilang tidak mau menerima tamu hari ini. Kamu lupa?""Mohon maaf, Pak. Beliau memaksa dan katanya penting.""Lebih penting mana dengan perintah saya!" sentakku. Aku sedang tidak mau diganggu.Lalu muncul satu
“Mama tidak mau ada kekacauan di Aditama group. Mama pengen Aditama group bisa langgeng sampai cucu-cucu mama.” Mata Mama Ajeng berkaca. Beliau memintaku untuk mendekat. “Nanti kalau papanya sudah tua, sudah waktunya istirahat, dia yang bakal gantiin papanya. Kamu sedang mengandung calon pewaris Aditama Group, Mir. Kamu harus kuat dan jangan sampai omongan orang di luar mempengaruhi kamu. Jangan sampai kamu sama Teo goyah. Janji sama Mama, ya.” Kali ini Mama Ajeng tampak bersungguh-sungguh.Aku tidak mungkin menggeleng dengan keadaan Mama Ajeng yang semakin hari semakin memburuk. Selepas kepergian Papa, mau tidak mau Mama Ajeng perlu mengurus banyak hal. Di saat Teo sempat tidak mau bergabung dengan keluarga dan perusahaan, pastilah Mama Ajeng memikirkannya sendirian.“Iya, Ma. Amira janji Amira bakal damping Teo terus.” Hanya itu yang bisa kuucapkan. Meski masih dibalut dengan banyak keraguan. Setidaknya di depan Mama Ajeng aku perlu menjadi istri yang tidak membebani keluarga suami