Hari-hari akan terus berjalan dengan serentetan kesibukan. Tidak ada lagi yang perlu ditakutkan untuk saat ini. Semua akan terlewati jika aku tidak bersembunyi. Pakaian formal dengan outer sebagai pelengkap, kupilih hari ini. Aku tidak mau tampil biasa saja. Setelah menghabiskan malam dengan berbalas pesan dengan Arga, aku siap mendengarkan semua rencana Bos Teo di kantor. "Pagi Amira," sapa Bos Teo begitu aku sampai di meja kerja. Beliau sudah sibuk di depan leptopnya."Pagi, Bos." Segera kunyalakan komputer untuk menghindari banyak percakapan dengannya."Mata kamu sakit?" "Ya?" "Itu tumben ada yang beda," ucapnya dengan menunjuk ke arah matanya sendiri."Oh, ini. Biar gak pegel aja pas liat monitor, Bos.""Bukan untuk menyamarkan tangis, ya?" tanyanya dengan senyum mengejek.Sial. Sedetail itu Bos Teo memerhatikan. Aku pun mendudukkan diri dengan kesal."Selamat pagi semua," sapa Arga dengan menenteng tas kerjanya. "Pagi, Ga," jawabku tanpa melihatnya. "Pesanan saya sudah siap
"Apa yang harus kulakukan, Teo? Sampai-sampai membuatmu datang?" Raline membuka obrolan inti pertemuan ini. Bagaimanapun dia memang kunci utama dalam persetujuan kerjasama."Seperti yang kamu tahu, Raline. Aku datang untuk menawarkan kerjasama. Papamu sudah setuju. Hanya saja masih perlu persetujuanmu juga." Bos Teo tak mau kalah. Ia menimpali ucapan Raline dengan berani."Kerjasama yang mana? Tentang hidangan pernikahan atau bisnis kuliner?" Raline menyombongkan diri dengan mengangkat sebelah alisnya. Ia juga tersenyum simpul pada Mas Baja.Bos Teo mengulas senyum. Ia menoleh ke arah Arga. Meminta beberapa berkas yang sudah kami siapkan. Sama sekali tidak menghiraukan tatapan Mas Baja yang seakan siap memakannya. Aku bahkan menunduk. Nyaliku menciut."Kamu juga siapkan, Amira. Santai saja tidak perlu gugup begitu." Bos Teo mengulas senyum. Ia sama sekali tidak takut apa pun. Bahkan tangannya sudah menggenggam tanganku lagi. Sialnya kini tangan itu tepat berada di atas berkas. Tentu
Video itu mau dilihat dari segi mana pun menempatkan Mas Baja sebagai tersangka utama. Terlebih dia membuat kerusakan juga. Raline yang akan dirugikan jika video itu berhasil tersebar akan berpikir ulang. Ancaman Bos Teo mampu menggagalkan kesombongannya. Perlahan Raline menyingkirkan tangannya.Penandatanganan kerjasama restoran untuk vendor pernikahan terjadi dengan suka rela. Bos Teo tak perlu menjelaskan ulang. Raline dan Mas Baja sudah kalah. Mereka hanya bisa menahan kesal sembari bersiap keluar dari ruangan."Untuk bisnis kuliner aku mau langsung kamu yang ngurus. Gak usah libatin dua orang ini," ucap Raline sebelum akhirnya benar-benar pergi."Oke. Lusa aku main ke rumah. Sekalian silaturahmi sama Om," jawab Bos Teo santai. Ia tak terpengaruh dengan respons Mas Baja."Ayo kita pergi, Mas. Nanti ketinggalan pesawat!" ujar Raline seraya mengayunkan langkah meninggalkan ruangannya. Mas Baja mengekor di belakang. Saat seperti itu ia lebih mirip bawahan dari pada calon suami.Aku m
"Di sini?" tanya Mas Arhab begitu kami sampai di restoran. Memang cukup jauh dari tempat pertemuan kami tadi."Maaf, karena ini masih jam kerjaku. Aku gak bisa bolos gitu aja."Mas Arhab menatap ke sekeliling. Seperti memastikan apa tidak apa-apa berada di sana."Ayo!" seruku memimpin langkah.Perlahan Mas Arhab mengayunkan langkah juga. "Oke, gak masalah. Mari kita coba makanan di restoran kamu bekerja." Aku tersenyum tipis. Satu kali dayung dua pulau terlampaui. Tetap masuk jam kerja dan bisa bersamanya lebih lama. Begitu kiranya. Kami pun memasuki area restoran. Sengaja kupilih tempat yang tidak terlalu ramai sekaligus tidak jauh dari pintu utama. Aku harus bolak balik ke lantai dua."Mau pesan apa, Mas?" Buku menu kuambil sembari membaliknya."Ada rekomendasi?" Mas Arhab membaca satu per satu daftar menu dengan seksama. Nampaknya ia cukup bingung dalam menentukan pilihan."Ehmmmm apa ya. Aku juga gak begitu hapal." "Lah, katanya kamu kerja di sini, kok, gak paham." Mas Arhab mel
Tak kupikirkan lagi anak tangga yang akan kunaiki. Yang paling utama adalah cepat sampai ke rumah ibu mertua. Meski ada sedikit kegamangan. Perlukan aku menolongnya atau kuabaikan saja? Aku manusia biasa. Tentu naluri untuk menjadi jahat pernah terlintas.Segera aku menggeleng. Rasa kemanusiaan tetap harus dipertahankan. Aku hanya akan menjemput Akila setelah memastikan kondisi ibu mertua. Bukan untuk kembali ke rumah yang tak pernah mengizinkanku untuk singgah. Rumah tempatku mendulang luka.Semakin ke atas semakin kupercepat langkah. Buru-buru meraih kunci di tas kecil yang melingkar di tubuh. Benda kecil itu kugunakan untuk membuka pintu. Namun, saat gugup melanda apa-apa menjadi kacau. Biasanya bisa dibuka dalam satu gerakan saja tanpa perlu pengulangan. Kali ini percobaan ke tiga masih sulit juga."Susah amat," gumamku. Tak biasanya seperti ini. Pagi tadi saja masih mudah. "Ngapain, Mbak?" tanya Arga yang berjalan menaiki tangga. Rupanya Arga lebih lama sampai ke restoran diband
Mobil Bos Teo melaju dengan kecepatan penuh. Hingga tak butuh waktu lama kami susah sampai di depan pintu gerbang rumah ibu mertua. Aku langsung membuka pintu mobil dan melangkah keluar. Pintu gerbang yang menjulang tidak terkunci seperti biasa. Segera aku berlari untuk sampai lebih cepat. Tanpa peduli aku datang bersama atasan tertinggi di tempatku bekerja.Akila tengah duduk memeluk lutut di undakan menuju teras rumah. Gadis kecil itu tampak ketakutan dengan tangis yang berderai. Aku semakin berlari hingga bisa mendaratkan pelukan ke tubuh kecilnya."Akila, ini ibu, Nak. Kamu kenapa?" tanyaku segera. Kondisi Akila sangat memprihatinkan. Penampilannya berantakan."Nenek, Bu. Nenek pingsan," ucap Akila dengan tetap menangis. Tatapannya menyedihkan. Aku mengangguk paham. Kembali memeluknya agar lebih tenang. Sejenak kuusap punggungnya lalu melepas pelukan itu."Akila tunggu di sini sebentar. Ibu lihat nenek dulu, ya," ucapku seraya melongok ke arah dalam. Ada perih saat melihat ruanga
Ajiz beserta Tante Mutia datang setelah kami menunggu hampir satu jam. Aku yang memang belum bisa masuk ke ruang perawatan ibu mertua tidak bisa memberi kabar apa-apa untuk mereka."Makasih, Mbak. Makasih udah nolong Bude," ujarnya begitu sampai di depan kami."Ya, Jiz.""Makasih juga, Teo. Aku gak ngerti lagi kalau gak ada kalian tadi.""Its okay gak masalah, Jiz. Ibu kamu langsung ke ruang dokter?""Iya. Tadi langsung belok."Tante Mutia keluar dari ruangan itu setelah diajak berbincang sedikit dengan dokter. Beliau berjalan menghampiri kami."Makasih, Mir, udah bantuin neneknya Akila. Maafin Tante ya, ngrepotin kamu," ujarnya seraya mengulurkan tangan. Aku menerimanya."Gak apa-apa, Tante. Kebetulan tadi Amira lagi gak ada kerjaan jadi bisa langsung datang. Akila ngubungin Amira sambil nangis. Jadi, Akila pikir ada masalah di rumah.""Anak pintar," ujar Tante Mutia seraya mengusap rambutnya. "Nenek gimana, Bu?" tanya Akila melihatku. "Nenek sudah ditangani sama dokter, Akila. Seb
Suasana rumah Bos Teo cukup tenang. Tidak menunjukkan kalau di depan sana ada restoran yang selalu ramai dengan orang-orang. Mungkin tembok di rumah ini sangat tebal campuran semennya sampai benar-benar kedap suara. Aku memainkan ponsel berbodi pipih untuk mengusir kebosanan. Bos Teo dan Akila sudah seperti orang yang tidak tidur cukup lama. Bahkan ada yang mendengkur. Aku cukup geli menyaksikan itu.Kembali kufokuskan diri pada layar ponsel. Sebuah pemberitahuan masuk di sana. Senyumku pun merekah seketika.[Mas Arhab : Aku udah nyampe hotel. Kamu gimana?][Amira : Gimana apanya, Mas?]Pertanyaan dari Mas Arhab cukup ambigu. Aku sulit menjawabnya. Sejurus kemudian ponsel itu bergetar. Segera kugeser tombol terima panggilan agar getarnya tidak mengganggu Akila dan Bos Teo. Aku menutup layar itu dan berjalan pelan ke arah depan."Ya, Mas gimana?"Assalamualaikum, Amira.Aku lupa tidak mengucap salam. Mas Arhab mengingatkannya. Sedikit malu saat menyadari itu."Waalaikumsalam. Ya, gima