Waktu melesat seperti anak panah yang terlepas dari busurnya. Tepat mengenai sasaran saat dilakukan oleh seorang profesional. Hari pertama bekerja dengan segudang tanya pun terlewati begitu saja. Semua terasa lebih singkat karena tak ada ruang untukku bersedih. Kamar kos pemberian Bos Teo terus kutinggali hingga hari ke tujuh setelah aku kembali ke kota. Semalam Arga sudah menjelaskan terkait proposal pengajuan daftar menu untuk makan siang di perusahaan Aditama. Arga juga sudah resmi mengundurkan diri dari pekerjaannya di tempat lama. "Pagi, Mbak," sapanya saat aku datang ke ruang kerja. Bos Teo tidak memberiku kunci lagi. Beliau membuka kantor lebih pagi."Pagi, Ga," jawabku seraya menyalakan komputer."Mbak Amira sudah siap?" tanya Arga begitu aku duduk di kursi kerjaku. Seakan tak yakin aku bisa melakukannya."Siap gak siap tetap harus siap, 'kan, Ga?""Iya, deh. Ya udah print dulu proposal yang semalam aku kirim, Mbak. Jam sembilan nanti kita berangkat." Arga memerhatikan jam
Mas Baja benar-benar meninggalkan kami berdua di ruangan Pak Aditama. Arga yang berusaha mengejarnya tetap tak bisa mengubah keputusannya. "Anda boleh keluar, Mbak. Mohon maaf tidak sembarang orang bisa berada di sini." Sekretaris Pak Aditama datang menghampiri. Aku masih terduduk dengan setetes air lolos dari pelupuk mata."Baik, Mbak," ucapku seraya berdiri. Mendongak agar aliran air ini tak semakin banyak. Langkahku sedikit gontai menuju pintu saat akan keluar ruangan."Mbak Amira gak apa-apa?" tanya Arga begitu aku keluar dari ruangan itu. Dari napasnya yang terengah, pasti Arga berlari."Gak apa-apa, Ga. Sorry, ya." Ya. Aku menyesal. Kenapa pula masalah pribadiku tercampur dengan masalah perusahaan. Harusnya Arga bisa mendapatkan kesepakatan ini jika bukan karena hubunganku dengan Mas Baja."Gak apa-apa, Mbak. Besok kita coba lagi," ucap Arga sembari melangkah. Ia mengajakku untuk turun ke lantai satu."Besok?" tanyaku heran. Arga menganggguk. Tangannya menekan tombol lift untu
Perang Dunia II adalah sebuah peperangan yang terjadi antara kurun waktu 1 September 1936 sampai September 1945. Perang yang hampir melibatkan seluruh negara di dunia dan memberi dampak yang luar biasa. Konon manusia menjadi saling mencurigai dan membenci satu sama lain karena masa perang yang menghanguskan sebagian wilayah negara terdampak. Tidak hanya itu, efek psikologis sekaligus traumatik akibat kekejaman serta kekerasan yang dialami pada masa itu juga tak mudah dihilangkan. Membekas seumur hidup bagi korban perang.Ya. Seperti menjalani sebuah perang yang mengharuskan salah satu dari mereka untuk kalah. Begitulah pertempuranku dengan Mas Baja. Mungkin tidak hanya kami saja. Sebagian besar orang yang menikah, lalu memutuskan bercerai dengan cara tidak baik-baik akan mengalaminya. Sebuah mahligai pernikahan tak pernah sederhana. Semua kompleks dan komprehensif seiring waktu tempuh perjalanan pasangan tersebut. Meski setelah ini aku mendapatkan akta cerai dan Mas Baja berhasil me
"Jangan, Mbak!" sergah Arga saat aku akan menemui Mas Baja."Tapi, Ga," ucapku melihat tangan Arga yang lancang menyentuh tanganku."Tunggu sini dulu. Kita gak tahu apa yang akan Mas Baja lakukan. Cari aman, Mbak!" Arga bersikeras melarangku menemui Mas Baja. Aku pun menatapnya kesal."Woy Amira keluar kamu. Jangan main sembunyi-sembunyi seperti ini! Sama Teo juga. Keluar kalau berani! Jangan bisanya cuma nyuruh orang buat jadi pengacau!" Mas Baja terus berjalan. Ia berada di area tengah restoran yang cukup lapang. Tatapannya tidak jelas.Melihat wajahnya yang seperti orang kerasukan dengan tatapan menyalak buas membuatku menciut. Aku berniat bersembunyi di balik punggung Arga. "Diam di situ! Aku sudah melihatmu Amira!" teriak Mas Baja. Sepertinya pergerakanku terbaca.Sial. Kalau sudah begini apa iya aku tidak maju untuk menghadangnya? Terpaksa kuperlihatkan wajah yang tadi kusembunyikan di punggung Arga. Tak peduli tatapannya mengisyaratkan untuk jangan."Bisa ancur restoran kalau
"Aku lelah, Amira! Aku ingin semuanya cepat selesai. Bisa tidak kamu tidak mengganggu hidupku?!" Mas Baja memaksakan diri berbicara di sela kemarahannya. Ia tampak benci sekali karena aku nyaris terlibat dalam pernikahannya dengan Raline "Kamu pikir aku tidak, Mas? Aku juga ingin semuanya cepat berakhir. Aku juga lelah, Mas!" ucapku dengan mata yang terus berair. Batinku bahkan jauh lebih lelah dibandingkan raga yang masih terus bertahan dari gempuran masalah berkepanjangan."Kalau seperti itu kenapa kamu malah kembali ke kota? Kenapa kamu malah kerja sama Teo dan muncul di tempatku bekerja? Di Aditama Group! Kenapa, Amira?!" sentaknya dengan tangan memukul kembali stir mobil. Aku pun terperanjat. "Kamu lupa apa yang kamu tinggalkan setelah perceraian ini, Mas? Kamu lupa apa yang menjadi tanggung jawabmu dan belum kamu lunasi?" Sengaja kukais memorinya tentang masa saat kami masih tinggal satu rumah. Harusnya Mas Baja mengingatnya."Maksud kamu apa? Tanggung jawab apa, Amira?!" t
Sebuah sinar berhasil menembus ke kelopak mataku yang terpejam. Membuat aku terbangun dari tidur yang tak sebentar. "Maaf, aku gak bermaksud membangunkanmu." Bos Teo meletakkan telapak tangannya tepat di depan mataku. Menghalau sinar jingga yang sudah mulai turun."Eh, gak apa-apa, Bos." Refleks aku pun menggeser posisi. Tidak nyaman terlalu dekat dengan laki-laki yang belum lama kukenal ini. "Oke," ucapnya seraya menjaga jarak. Aku pun mengangguk sebagai bentuk penghormatan padanya yang merupakan atasanku di kantor. Sebenarnya agak kurang nyaman berada di dalam mobilnya dan hanya berdua. Terlebih Bos Teo sudah melihatku dalam kondisi terendah. Menangis karena pergumulan hidup yang cukup rumit."Santai saja, Amira. Lihat ke sebelah kirimu sekarang," perintahnya lembut. Biasanya Bos Teo selalu menggunakan volume suara kencang saat berbicara. Namun, tidak untuk kali ini. Aku pun menoleh ke sisi kaca mobil. Di mana ini? Apa aku sedang bermimpi? "Danau terdekat di daerah ini, Amira.
Hari-hari akan terus berjalan dengan serentetan kesibukan. Tidak ada lagi yang perlu ditakutkan untuk saat ini. Semua akan terlewati jika aku tidak bersembunyi. Pakaian formal dengan outer sebagai pelengkap, kupilih hari ini. Aku tidak mau tampil biasa saja. Setelah menghabiskan malam dengan berbalas pesan dengan Arga, aku siap mendengarkan semua rencana Bos Teo di kantor. "Pagi Amira," sapa Bos Teo begitu aku sampai di meja kerja. Beliau sudah sibuk di depan leptopnya."Pagi, Bos." Segera kunyalakan komputer untuk menghindari banyak percakapan dengannya."Mata kamu sakit?" "Ya?" "Itu tumben ada yang beda," ucapnya dengan menunjuk ke arah matanya sendiri."Oh, ini. Biar gak pegel aja pas liat monitor, Bos.""Bukan untuk menyamarkan tangis, ya?" tanyanya dengan senyum mengejek.Sial. Sedetail itu Bos Teo memerhatikan. Aku pun mendudukkan diri dengan kesal."Selamat pagi semua," sapa Arga dengan menenteng tas kerjanya. "Pagi, Ga," jawabku tanpa melihatnya. "Pesanan saya sudah siap
"Apa yang harus kulakukan, Teo? Sampai-sampai membuatmu datang?" Raline membuka obrolan inti pertemuan ini. Bagaimanapun dia memang kunci utama dalam persetujuan kerjasama."Seperti yang kamu tahu, Raline. Aku datang untuk menawarkan kerjasama. Papamu sudah setuju. Hanya saja masih perlu persetujuanmu juga." Bos Teo tak mau kalah. Ia menimpali ucapan Raline dengan berani."Kerjasama yang mana? Tentang hidangan pernikahan atau bisnis kuliner?" Raline menyombongkan diri dengan mengangkat sebelah alisnya. Ia juga tersenyum simpul pada Mas Baja.Bos Teo mengulas senyum. Ia menoleh ke arah Arga. Meminta beberapa berkas yang sudah kami siapkan. Sama sekali tidak menghiraukan tatapan Mas Baja yang seakan siap memakannya. Aku bahkan menunduk. Nyaliku menciut."Kamu juga siapkan, Amira. Santai saja tidak perlu gugup begitu." Bos Teo mengulas senyum. Ia sama sekali tidak takut apa pun. Bahkan tangannya sudah menggenggam tanganku lagi. Sialnya kini tangan itu tepat berada di atas berkas. Tentu
Riuh tepuk tangan itu menjadi awal proses akuisisi BaRlie oleh Aditama Group. Tanpa negosiasi yang alot dan terjadi seperti cuma-cuma. Teo yang nampak kebingungan hanya bisa mengikuti arahan Pak Rama saat diminta maju ke depan mendampingi Bu Hana.“Ini pemilik sebenarnya Aditama Group. Pewaris tunggal Almarhum Pak Aditama. Meski dulu, Aditama Group dibangun bersama papa saya, nyatanya dialah yang menikmati hasilnya sampai hari ini. Awalnya saya malas dan ragu melepaskan semua ini bahkan saya ada niat jahat ingin merebutnya dari anak kecil ini. Tapi, ada satu orang yang membuat saya takjub sampai-sampai menghilangkan rasa benci saya pada keluarga Aditama. Dia adalah Amira, istri dari Pak Teo ini yang sekaligus adik saya saat kami bekerja di sebuah lembaga bimbingan belajar. Kegigihannya membuat saya tak sampai hati melukai orang-orang terdekatnya. Pak Teo, anda harus berterima kasih pada istri anda,” ujar Bu Hana pada Teo di atas panggung di depan semua orang. “Baik, Bu.”“Sekarang sud
Ini pertama kalinya aku ke Bali bersama Teo. Meski Teo memiliki resto di sana dan kerap bolak balik Jakarta Bali aku tidak pernah ikut. Sebenarnya aku sedikit berat meninggalkan Akila dan Ibu tapi karena ibu mengizinkan dan tetap akan di Jakarta sampai aku pulang, akhirnya aku pun berangkat."Deg degan?" tanya Teo saat pesawat yang kami tumpangi mulai mengudara."Sedikit," jawabku sambil melirik ke arah jendela di mana aku bisa melihat ke bawah dan memang cukup menakutkan."Santai saja. Nanti juga nyaman kok," balas Teo sambil mengeratkan genggamannya. "Adek aman, kan?""Aman."Dan benar sekali perjalanan Jakarta Bali ini tidak terasa. Aku juga tidak tidur seperti saat melakukan perjalanan darat. Mungkin karena ini pertama kali jadi tidak nyaman untuk tidur di pesawat.Sesampainya di bandara kami disambut oleh manajer dari resto milik Teo. Memang selain datang untuk menghadiri undangan Bu Hanania, Teo berencana melakukan cekhing ke resto juga."Selamat siang, Pak dan Ibu. Selamat data
Aku tidak mengerti mengapa Teo memintaku ikut ke Bali. Penjelasannya pun terasa tak masuk akal. Tapi, Teo bersikeras menyampaikan aku harus ikut."Tapi aku sedang hamil. Apa tidak masalah naik pesawat?""Kita konsul dulu sama Dokter Adara. Atau kamu WA tanya.""Tapi kenapa mendadak sekali? Kenapa harus lusa?""Ini penting, Ra. Sangat penting. Nanti aku jelaskan saat kita udah berangkat."Teo mulai menyiapkan koperku. Dia membuka lemari dan berusaha memilih baju-baju yang akan aku kenakan. Rasanya aneh sekali."Nah, itu sudah datang orangnya," kata Teo setelah mendengar seruan dari Mbak Dewi. "Biar tunggu di bawah, Mbak!" jawab Teo."Kamu manggil siapa emangnya?""Ayo kita turun dulu," ajak Teo seraya menarik tanganku. Aku pun pasrah karena aku sendiri tidak mengerti detail yang akan disampaikan Teo. Aku hanya berusaha percaya. Itu yang bisa kulakukan. Sesampainya di ruang tamu aku jelas terkejut melihat siapa yang duduk di sofa."Dokter," ucapku."Saya jadwalkan cek di rumah sekalian
POV Teo"Kita harus berangkat sekarang jika tidak ingin terlambat, Pak.""Berangkat ke mana? Maksudnya apa, Pak Rama?" Aku masih belum terlalu paham dengan situasi yang baru saja dijelaskan Pak Rama. Bagaimana mungkin Raline menjual perusahaan sementara kondisinya seperti itu?Pak Rama pun menyodorkan beberapa file salinan dari apa saja yang sudah dikerjakan Baja dan Raline akhir-akhir ini. "Ini sebagian kecil, Pak. Sisanya saya ....""Sebentar. Ini benar, Pak?" tanya Arhab tiba-tiba yang mengenali nama pihak kedua dalam perjanjian itu."Benar, Pak Arhab. Ibu Hanania yang akan menjadi kunci dalam akuisisi ini.""Aku bilang apa. Dokter itu aku pernah meihatnya bersama Hana," terang Arhab padaku.Kini aku mengangguk setuju. Pasti ada sesuatu. "Kamu tau dia di mana, Hab?" "Bali, Pak. Bu Hana stay di bali selama ini," jawab Pak Rama seperti sudah memastikan semuanya."Kita berangkat hari ini. Cari tiket terdekat," ujarku yang langsung dijawab dengan anggukan Pak Rama.Tok! Tok! Tok!Ses
POV TeoApa yang belum pernah kudapatkan di dunia ini? Segala macam kemewahan dan kenikmatan hidup bisa dibilang sudah pernah kurasakan. Akan tetapi, tidak ada yang semenggembirakan ini. Mendengar detak jantung makhluk kecil yang masih bersembunyi di rahim mamanya membuatku tak bisa berhenti merasakan euforia yang susah sekali untuk kujabarkan.Aku tidak salah mendengar. Kata Dokter Adara janin atau nanti akan disebut sebagai bayi milik kami sehat tanpa kurang suatu apa. Detak jantungnya normal, pertumbuhannya juga sesuai dengan usia kandungan mamanya. Bahkan tadi dia bergerak-gerak lincah seakan menyapa papa mamanya mengabarkan kalau dia baik-baik saja. Lucu sekali. Ini lebih mengharukan dibandingkan memenangkan tender manapun. Dan lihatlah aku, Teodorus Liem Aditama dalam kurun waktu kurang dari satu tahun akan menjadi seorang papa."Ibu dan kandungannya sehat. Semuanya normal dan berkembang sesuai usianya. Ini hasil print outnya ya," ujar Dokter Adara sambil menyerahkan hasil cetak
Tamu tak diundang itu cukup mengejutkanku. Bagaimana bisa tanpa rasa sungkan dia datang seraya menyapa ibu dengan ramah."Apa-apaan? Kenapa bisa nyamper ke sini?" tanya Teo saat kami sudah bertiga di ruang tamu."Udah ketemu belum sama pemilik saham-saham itu?" Aku pun melirik sekilas ke arah mereka saat meletakkan minum yang dibuatkan Mbak Dewi. Walau awalnya enggan, karena ada ibu di rumah mana bisa kami menolak kedatangan mantan kepala desa itu."Aku bilang mau cuti sehari. Pak Rama aja paham. Lo enggak?" timpal Teo. Mereka nampak akrab tidak seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya."Makasih, Mir," ujar Mas Arhab malah menanggapi sikapku dibanding pertanyaan Teo."Istri gue, Hab!""Iya paham."Aku menggeleng. Mereka berdua benar-benar aneh. Dari cara komunikasi hingga kedekatan mereka tampak lebih akrab."Nih aku bawa nama penting hari ini," ujar Arhab seraya menyodorkan layar ponselnya ke Teo.Aku yang duduk di sebelah Teo praktis bisa membaca dan melihat profil perempuan yang sed
Aku bisa merasakan sentuhan itu. Seperti sesuatu yang telah lama kurindu. Rupanya saat aku menoleh, Teo ada di belakangku. Tangannya melingkar di perutku."Kamu udah pulang?" tanyaku meyakinkan.Teo mengangguk. Dia semakin mengeratkan pelukan. Pulang satu kata yang cukup jarang kami gunakan. Seharusnya sejak awal kami memang menjadikan rumah ini sebagai tempat pulang bukan tempat singgah pelepas lelah. Setelah berbalik, kuamati wajahnya yang tampak tak terawat. Seperti foto yang dikirimkan Mas Arhab, Teo tampak berantakan. Kubelai lembut pipinya, dan aku bisa merasakan kulitnya yang kasar."Maaf," ujarnya. Saat aku memandanginya penuh dia berujar maaf."Kenapa?""Maaf karena tak pernah memberimu kabar."Aku tersenyum kecil. Dari mana dia paham perihal kabar? Apa dia sudah menyadari sikapnya yang kadang keterlaluan? Aku pun mengangguk."Maaf sudah membuatku khawatir," imbuhnya. "Aku suami yang tidak tahu diri."Buru-buru aku menggeleng. Tentang suami yang tak tahu diri aku kurang setuj
Pov TeoBerkas-berkas itu terus menumpuk bahkan setelah aku membaca dan menandatanganinya. Pak Rama bilang ini baru di kantor utama belum yang di cabang perusahaan. Banyak sekali pekerjaan rumah yang harus kubereskan dan sialnya si pelaku dari timbulnya masalah besar ini sudah pergi ke neraka. Sesuatu yang sangat amat tidak sesuai dengan harapanku. Seharusnya Baja tidak semudah itu meregang nyawa. Harusnya cecuruk itu membayar semua perbuatannya. Kini berkas-berkas ini serasa tak penting lagi karena aku tidak bisa menghukum pelakunya. Data-data yang kukumpulkan bersama Pak Rama pun menguap begitu saja. Baru aku akan meremas semua berkas ini saking kesalnya pintu kantor terbuka."Maaf, Pak. Ada tamu," ujar sekretaris yang berjaga di luar. Aku masih belum ingat siapa namanya."Saya bilang tidak mau menerima tamu hari ini. Kamu lupa?""Mohon maaf, Pak. Beliau memaksa dan katanya penting.""Lebih penting mana dengan perintah saya!" sentakku. Aku sedang tidak mau diganggu.Lalu muncul satu
“Mama tidak mau ada kekacauan di Aditama group. Mama pengen Aditama group bisa langgeng sampai cucu-cucu mama.” Mata Mama Ajeng berkaca. Beliau memintaku untuk mendekat. “Nanti kalau papanya sudah tua, sudah waktunya istirahat, dia yang bakal gantiin papanya. Kamu sedang mengandung calon pewaris Aditama Group, Mir. Kamu harus kuat dan jangan sampai omongan orang di luar mempengaruhi kamu. Jangan sampai kamu sama Teo goyah. Janji sama Mama, ya.” Kali ini Mama Ajeng tampak bersungguh-sungguh.Aku tidak mungkin menggeleng dengan keadaan Mama Ajeng yang semakin hari semakin memburuk. Selepas kepergian Papa, mau tidak mau Mama Ajeng perlu mengurus banyak hal. Di saat Teo sempat tidak mau bergabung dengan keluarga dan perusahaan, pastilah Mama Ajeng memikirkannya sendirian.“Iya, Ma. Amira janji Amira bakal damping Teo terus.” Hanya itu yang bisa kuucapkan. Meski masih dibalut dengan banyak keraguan. Setidaknya di depan Mama Ajeng aku perlu menjadi istri yang tidak membebani keluarga suami