Kupu-kupu berterbangan di padang bungaMenggelepak indah tubuhnyaSilih berganti mencari tempat ternyaman untuk disinggahiMeski sejuta bunga itu memesonakan mataTak semua menjadi pilihan untuknya mencecap nektarAku tahu ini bukan yang pertama untukkuAku juga pernah merasakan jatuh cinta sebelumnyaNamun, getar yang terjadi kian menjadi setiap hariAmira ... Aku memang tak bisa menjanjikan bahagia akan terus menyertai cinta Aku juga belum tentu mampu memberikan semua yang kamu mau kelakNamun, aku akan terus mencintaimu. Karena hadirmu buatku seperti bumi yang merindukan hujan setelah kemarau panjangKau ... membuatku kembali berani menjalani hidup dan mendulang harapanSalam kenalBaja***Aku tersenyum membaca puisi itu. Mas Baja meletakkan pada buket lili yang ia pesankan khusus untukku. Langsung di tempatku bekerja.Pernikahan Mas Arhab sudah berlalu satu pekan. Ternyata ia ikut tinggal di rumah istrinya di luar jawa. Masih belum ada penjelasan dan kata putus di antara kami be
Mas Arhab kembali mengulas senyum. "Kalau kamu jujur pasti Ibu bisa paham, Mir.""Permisi Mbak, ini tehnya." Penjual meletakkan minuman hangat itu di atas meja."Makasih, Bu," jawab kami bersamaan."Jangan dikira ibu kamu tidak paham perihal masalah yang kamu hadapi. Bisa jadi setiap malam ibu kamu kepikiran. Namun, beliau berusaha menyembunyikan. Kadang orang tua kita itu sangat perasa. Ada masalah sedikit saja dengan anak-anaknya mereka tahu." Mas Arhab mengaduk teh hangat itu. Lalu menyeruputnya."Jangan berpikiran negatif dulu. Aku yakin ibu kamu akan paham." Aku mengamati teh hangat yang masih sedikit mengepulkan asap. Apa benar demikian? "Nasi gorengnya, Pak." Penjual kembali menjadi selingan obrolan kami. Aku mengulas senyum."Dimakan dulu, Mir." Mas Arhab menyingkirkan potongan cabe ke sisi piring."Lah, ngapain pesan yang pedas kalau masih gak suka cabe?" tanyaku. Setahuku Mas Arhab tidak bisa makan pedas."Biar nemenin kamu." Entah apa yang ada dalam pikirannya. Ia terus
"Dulu Ibu selalu bilang sama bapak kamu untuk berhati-hati. Jangan sampai bermain api terlebih bapak memiliki seorang putri. Apa jadinya jika putri kami nantinya juga merasakan hal yang sama. Tapi, bapak kamu gak peduli. Seolah tidak ada hukum karma lagi di dunia." Ibu menjeda. Mengingat momen kebersamaan yang juga menyakitkan bersama Bapak. Sebelumnya Ibu tak pernah terbuka padaku."Bapak tak pernah mau mendengarkan. Hingga akhirnya kami memutuskan bercerai. Pedih, Mir. Teramat pedih. Ibu tahu meski itu keputusan yang terbaik. Tapi, tetap saja berpisah setelah menjalin hubungan lama, setelah mengetahui seluk beluk pasangan kita terasa sangat menyakitkan." Ibu menghela napas. Mengumpulkan energi untuk kembali berbicara."Maafkan Ibu, Mir. Maafkan Ibu. Karena kamu terlahir dari seorang Ibu yang tak bisa memberikan keutuhan keluarga. Seorang ibu yang tak mampu mengangkat derajat putrinya." Aku pun menggeleng. Menolak ucapan ibu segera. "Nggak, Bu. Enggak. Ibu gak boleh bilang begitu."
Martia menautkan kedua alis. Menyadari siapa laki-laki yang mengucap salam tadi. Aku dan Martia pun menuju ruang tamu."Ini, Mir pesanannya," ujar Mas Arhab dengan membawa satu kardus minuman gelas merek ternama."Loh, kok, bisa Mas Arhab yang nganter?" Martia jauh lebih penasaran dibandingkan aku."Tadi Kang Asep lagi mau nganter pas saya lewat depan warung. Tapi ada yang beli juga. Rame, Mar. Jadi aku kasih bantuan." Aku dan Martia saling pandang. Alasan dari Mas Arhab sedikit tidak masuk di akal kami berdua. Warung Martia tak mungkin seramai itu."Oh, gitu. Ya udah makasih, Mas." Martia pun mengangguk."Eh ... ada Pak Lurah? Ngapain bawa kardus begitu, Pak?" tanya salah satu rombongan teman ibu. Mas Arhab hanya mengulas senyum."Jeng, Jeng Setia, ini dicari Arhab lho!" serunya agar terdengar sampai kamar ibu di ruang tengah.Aku dan Martia menggeleng. Repot sudah ketemu ibu-ibu model seperti ini. Bisa menimbulkan banyak kesalahpahaman. Mas Arhab tampak tak peduli. Ia meletakkan ka
Malam membayang menggantikan siang. Di tempat aku dilahirkan dan besar dengan perjuanga, langit malam terasa lebih gelap. Tak ada gemintang serta bulan yang memberi cahaya. Gemerlap lampu penerangan khas kota pun tak tampak. Semua terasa begitu sunyi. Di tempat ini mati tak mau hidup pun susah. Kompor dua tungku itu kunyalakan. Membuat telur dadar dengan isi seadanya untuk kami berdua. Setiap hari saat di kota, jika tidak ada waktu untuk memasak aku bisa membelinya asal ada uang. Di desa, mau punya banyak uang pun layanan semacam itu tak ada. Praktis memasak sendiri menjadi pilihan terbaik. Kuaduk dua telur ayam yang sudah masuk dalam mangkuk sembari menambahkan garam, lalu nenuangnya ke dalam minyak panas. Malam hari jika ibu lapar, siapa yang akan menyiapkan? Malam hari jika ibu butuh bantuan, siapa yang akan mengulurkan tangan? Anganku berkelana jauh. Kepulan asap pastinya akan sampai di kamar ibu. Tembok yang terlalu tinggi membuat asap itu berkumpul serta menempel di mana-mana
"Mir, bangun, Mir!" Ibu mengguncang tubuhku."Jam berapa, Bu? Masih pagi, kan?" Aku tetap memejamkan mata."Iya, baru subuh. Tapi ada yang ngucap salam, Mir. Dari tadi juga ketuk pintu."Aku pun menggeliat. "Ah, Bu, yang bener. Jangan buat Amira takut deh." "Beneran. Tuh, dengerin.""Assalamu'alaikum. Assalamualaikum!"Keningku mengernyit. Suara itu terdengar seperti suara manusia. Bukan hantu yang gentayangan di waktu subuh."Masa tamu, Bu?" tanyaku setelah mendudukkan diri. Mengumpulkan kesadaran."Dah sana cek dulu. Sekalian kamu solat subuh." Ibu menyingkap selimut. Beliau juga bersiap untuk bangun."Ya, Bu." Meski masih ngantuk, aku tetap berjalan menuju pintu utama rumah. "Assalamualaikum, Assalamualaikum!""Waalaikumsalam. Ya, sebentar!" Tanganku meraih kenop pintu lalu membukanya. "Pasti baru bangun, ya, Mbak. Sampai saya harus teriak berkali-kali," ujar seorang lelaki yang terlihat lebih muda dariku."Eh, He.""Kalau subuh tuh, jangan kesiangan, Mbak. Nanti rezekinya dipat
Setelah memastikan uang pinjaman dari Martia cukup, aku mulai memilah baju-bajuku yang masih berada di dalam koper. Tidak semua kubawa untuk perjalanan kali ini. Beberapa potong baju kusisakan di lemari kamar masa kecilku. Semua masih sama. Dipan dan kasur belum diganti sejak SMP sampai saat ini. Dulu sempat aku ingin membelikan yang baru. Namun, Ibu menolaknya.“Biar ada sejarahnya, Mir. Biar anak kamu juga tahu rasanya tidur di kasur yang tidak empuk,” gurau Ibu kala itu.“Tapi kasihan Akila, Bu. Takutnya gak nyaman.” Aku masih ingin menunjukkan bahwa setelah menikah hidupku berkecukupan. Bahkan mampu membelikan banyak barang yang belum bisa terbeli oleh ibu.“Ya gak gitu, Mir. Kalau mau yang nyaman kan bisa di kamar depan. Khusus buat Baja kalau semisal di sini terasa sempit buat kalian bertiga. Toh, di sana juga spring bed-nya baru, ‘kan?” Ibu mengingatkan tentang kamar depan. Sebuah kamar hasil sekat di ruang tamu.“Iya, deh. Bilang aja ibu gak mau Amira repot beli ini itu. Gitu,
Hari berikutnya aku berangkat lebih pagi. Setelah melakukan dua rakaat subuh dan menerima bekal sarapan yang ibu buatkan. Kesehatan ibu benar-benar cepat. Mungkin berada di rumahnya, beraktivitas dan menghirup udara segar di desa, membuat tubuhnya semakin bugar. Orang tua kadang memang demikian. Kesehatannya sejalan dengan apa yang dipikirkan.“Amira pamit, ya, Bu. Ibu kalau ada apa-apa telepon Amira saja. HP butut udah normal lagi, Bu.” Aku sudah selesai memanaskan motor matic merah dan bersiap berangkat.“Iya, Mir. Kamu juga jangan lupa kabari ibu kalau sudah sampai. Kebiasaan kamu kan gak pernah ngasih kabar.” Ekspresi wajah ibu tampak datar.“He, maaf, Bu.”“Ya sudah sana berangkat. Hati-hati, ya. Salam buat Akila kalau kamu sudah bisa ketemu sama dia.”“Ya, Bu. Pasti.” Kucium punggung tangan ibu takzim seraya meminta restu. Mengucap salam kemudian.Perjalanan pagi kali ini akan terasa berbeda. Jika beberapa waktu lalu aku berjalan dengan membawa segudang masalah, kali ini aku mem