"Dulu Ibu selalu bilang sama bapak kamu untuk berhati-hati. Jangan sampai bermain api terlebih bapak memiliki seorang putri. Apa jadinya jika putri kami nantinya juga merasakan hal yang sama. Tapi, bapak kamu gak peduli. Seolah tidak ada hukum karma lagi di dunia." Ibu menjeda. Mengingat momen kebersamaan yang juga menyakitkan bersama Bapak. Sebelumnya Ibu tak pernah terbuka padaku."Bapak tak pernah mau mendengarkan. Hingga akhirnya kami memutuskan bercerai. Pedih, Mir. Teramat pedih. Ibu tahu meski itu keputusan yang terbaik. Tapi, tetap saja berpisah setelah menjalin hubungan lama, setelah mengetahui seluk beluk pasangan kita terasa sangat menyakitkan." Ibu menghela napas. Mengumpulkan energi untuk kembali berbicara."Maafkan Ibu, Mir. Maafkan Ibu. Karena kamu terlahir dari seorang Ibu yang tak bisa memberikan keutuhan keluarga. Seorang ibu yang tak mampu mengangkat derajat putrinya." Aku pun menggeleng. Menolak ucapan ibu segera. "Nggak, Bu. Enggak. Ibu gak boleh bilang begitu."
Martia menautkan kedua alis. Menyadari siapa laki-laki yang mengucap salam tadi. Aku dan Martia pun menuju ruang tamu."Ini, Mir pesanannya," ujar Mas Arhab dengan membawa satu kardus minuman gelas merek ternama."Loh, kok, bisa Mas Arhab yang nganter?" Martia jauh lebih penasaran dibandingkan aku."Tadi Kang Asep lagi mau nganter pas saya lewat depan warung. Tapi ada yang beli juga. Rame, Mar. Jadi aku kasih bantuan." Aku dan Martia saling pandang. Alasan dari Mas Arhab sedikit tidak masuk di akal kami berdua. Warung Martia tak mungkin seramai itu."Oh, gitu. Ya udah makasih, Mas." Martia pun mengangguk."Eh ... ada Pak Lurah? Ngapain bawa kardus begitu, Pak?" tanya salah satu rombongan teman ibu. Mas Arhab hanya mengulas senyum."Jeng, Jeng Setia, ini dicari Arhab lho!" serunya agar terdengar sampai kamar ibu di ruang tengah.Aku dan Martia menggeleng. Repot sudah ketemu ibu-ibu model seperti ini. Bisa menimbulkan banyak kesalahpahaman. Mas Arhab tampak tak peduli. Ia meletakkan ka
Malam membayang menggantikan siang. Di tempat aku dilahirkan dan besar dengan perjuanga, langit malam terasa lebih gelap. Tak ada gemintang serta bulan yang memberi cahaya. Gemerlap lampu penerangan khas kota pun tak tampak. Semua terasa begitu sunyi. Di tempat ini mati tak mau hidup pun susah. Kompor dua tungku itu kunyalakan. Membuat telur dadar dengan isi seadanya untuk kami berdua. Setiap hari saat di kota, jika tidak ada waktu untuk memasak aku bisa membelinya asal ada uang. Di desa, mau punya banyak uang pun layanan semacam itu tak ada. Praktis memasak sendiri menjadi pilihan terbaik. Kuaduk dua telur ayam yang sudah masuk dalam mangkuk sembari menambahkan garam, lalu nenuangnya ke dalam minyak panas. Malam hari jika ibu lapar, siapa yang akan menyiapkan? Malam hari jika ibu butuh bantuan, siapa yang akan mengulurkan tangan? Anganku berkelana jauh. Kepulan asap pastinya akan sampai di kamar ibu. Tembok yang terlalu tinggi membuat asap itu berkumpul serta menempel di mana-mana
"Mir, bangun, Mir!" Ibu mengguncang tubuhku."Jam berapa, Bu? Masih pagi, kan?" Aku tetap memejamkan mata."Iya, baru subuh. Tapi ada yang ngucap salam, Mir. Dari tadi juga ketuk pintu."Aku pun menggeliat. "Ah, Bu, yang bener. Jangan buat Amira takut deh." "Beneran. Tuh, dengerin.""Assalamu'alaikum. Assalamualaikum!"Keningku mengernyit. Suara itu terdengar seperti suara manusia. Bukan hantu yang gentayangan di waktu subuh."Masa tamu, Bu?" tanyaku setelah mendudukkan diri. Mengumpulkan kesadaran."Dah sana cek dulu. Sekalian kamu solat subuh." Ibu menyingkap selimut. Beliau juga bersiap untuk bangun."Ya, Bu." Meski masih ngantuk, aku tetap berjalan menuju pintu utama rumah. "Assalamualaikum, Assalamualaikum!""Waalaikumsalam. Ya, sebentar!" Tanganku meraih kenop pintu lalu membukanya. "Pasti baru bangun, ya, Mbak. Sampai saya harus teriak berkali-kali," ujar seorang lelaki yang terlihat lebih muda dariku."Eh, He.""Kalau subuh tuh, jangan kesiangan, Mbak. Nanti rezekinya dipat
Setelah memastikan uang pinjaman dari Martia cukup, aku mulai memilah baju-bajuku yang masih berada di dalam koper. Tidak semua kubawa untuk perjalanan kali ini. Beberapa potong baju kusisakan di lemari kamar masa kecilku. Semua masih sama. Dipan dan kasur belum diganti sejak SMP sampai saat ini. Dulu sempat aku ingin membelikan yang baru. Namun, Ibu menolaknya.“Biar ada sejarahnya, Mir. Biar anak kamu juga tahu rasanya tidur di kasur yang tidak empuk,” gurau Ibu kala itu.“Tapi kasihan Akila, Bu. Takutnya gak nyaman.” Aku masih ingin menunjukkan bahwa setelah menikah hidupku berkecukupan. Bahkan mampu membelikan banyak barang yang belum bisa terbeli oleh ibu.“Ya gak gitu, Mir. Kalau mau yang nyaman kan bisa di kamar depan. Khusus buat Baja kalau semisal di sini terasa sempit buat kalian bertiga. Toh, di sana juga spring bed-nya baru, ‘kan?” Ibu mengingatkan tentang kamar depan. Sebuah kamar hasil sekat di ruang tamu.“Iya, deh. Bilang aja ibu gak mau Amira repot beli ini itu. Gitu,
Hari berikutnya aku berangkat lebih pagi. Setelah melakukan dua rakaat subuh dan menerima bekal sarapan yang ibu buatkan. Kesehatan ibu benar-benar cepat. Mungkin berada di rumahnya, beraktivitas dan menghirup udara segar di desa, membuat tubuhnya semakin bugar. Orang tua kadang memang demikian. Kesehatannya sejalan dengan apa yang dipikirkan.“Amira pamit, ya, Bu. Ibu kalau ada apa-apa telepon Amira saja. HP butut udah normal lagi, Bu.” Aku sudah selesai memanaskan motor matic merah dan bersiap berangkat.“Iya, Mir. Kamu juga jangan lupa kabari ibu kalau sudah sampai. Kebiasaan kamu kan gak pernah ngasih kabar.” Ekspresi wajah ibu tampak datar.“He, maaf, Bu.”“Ya sudah sana berangkat. Hati-hati, ya. Salam buat Akila kalau kamu sudah bisa ketemu sama dia.”“Ya, Bu. Pasti.” Kucium punggung tangan ibu takzim seraya meminta restu. Mengucap salam kemudian.Perjalanan pagi kali ini akan terasa berbeda. Jika beberapa waktu lalu aku berjalan dengan membawa segudang masalah, kali ini aku mem
Aku terkesiap. Sejenak hanyut dalam kalimat yang dilontarkan Mas Arhab. Tidak. Tidak bisa kamu memutuskan dengan buru-buru Amira. Ingat tujuan yang sudah kamu tetapkan sebelum berniat kembali ke kota. Kamu harus lurus memenuhi prinsip itu. Bisikan kuat di telinga kanan membawaku dalam kesadaran penuh. Segera aku mengulas senyum pada Mas Arhab yang wajahnya tampak memerah. "Mas, aku berangkat dulu, ya. Janjian sama seseorang sebelum jam makan siang. Takutnya terlambat," ujarku seraya berdiri. Merapikan meja minimarket dari botol air mineral yang telah kosong."Eh, ketemu siapa, Mir? Suami kamu?" Mas Arhab tampak ingin memastikan sesuatu. Selepas menaruh sampah itu pada tempatnya, aku pun mengangguk untuk bisa mengakhiri obrolan tak bertepi ini."Oh, gitu. Ya udah hati-hati, Mir. Pastikan kamu ingat pesanku, ya," tegasnya.Kusunggingkan senyum. Lantas mengangguk lemah. Mengenakan kembali jaket tebal dan sarung tangan. Mau sebaik apa pun dia saat ini, dia pernah mematahkan hatimu, A
Mobil Bos Teo melaju di jalanan kota. Aku yang belum tahu lokasi makan siang, terpaksa membuntutinya dengan kecepatan yang kusesuaikan. Sepanjang perjalanan aku menebak sendiri apa yang akan menjadi pekerjaanku nanti. Semoga pekerjaan yang ditawarkan Bos Teo nantinya tidak melenceng dari kualifikasi yang kupunya. Menjadi admin perusahaan atau hal-hal yang masih berkaitan dengan administrasi, tentu aku bisa. Kalau bidang lain, tak yakin bisa kulakukan atau tidak.Mobil Bos Teo berbelok ke arah kanan dari jalanan utama. Menepi sedikit dari keriuhan kota. Tidak terlalu jauh. Bos Teo pun memasuki gerbang yang terbuka dan memarkirkan mobilnya di area parkir yang disediakan pemilik bangunan. Aku melakukan hal yang sama. Halaman restoran terlihat cukup luas. Dikelilingi tanaman hijau yang menyejukkan mata. Kurapikan baju beserta rambut. Melangkah menuju tempat Bos Teo berdiri. "Ayo!" seru Bos Teo. Lagi aku membuntuti langkahnya. Rupanya bangunan berlantai dua di depan hanya sebagai paga
Riuh tepuk tangan itu menjadi awal proses akuisisi BaRlie oleh Aditama Group. Tanpa negosiasi yang alot dan terjadi seperti cuma-cuma. Teo yang nampak kebingungan hanya bisa mengikuti arahan Pak Rama saat diminta maju ke depan mendampingi Bu Hana.“Ini pemilik sebenarnya Aditama Group. Pewaris tunggal Almarhum Pak Aditama. Meski dulu, Aditama Group dibangun bersama papa saya, nyatanya dialah yang menikmati hasilnya sampai hari ini. Awalnya saya malas dan ragu melepaskan semua ini bahkan saya ada niat jahat ingin merebutnya dari anak kecil ini. Tapi, ada satu orang yang membuat saya takjub sampai-sampai menghilangkan rasa benci saya pada keluarga Aditama. Dia adalah Amira, istri dari Pak Teo ini yang sekaligus adik saya saat kami bekerja di sebuah lembaga bimbingan belajar. Kegigihannya membuat saya tak sampai hati melukai orang-orang terdekatnya. Pak Teo, anda harus berterima kasih pada istri anda,” ujar Bu Hana pada Teo di atas panggung di depan semua orang. “Baik, Bu.”“Sekarang sud
Ini pertama kalinya aku ke Bali bersama Teo. Meski Teo memiliki resto di sana dan kerap bolak balik Jakarta Bali aku tidak pernah ikut. Sebenarnya aku sedikit berat meninggalkan Akila dan Ibu tapi karena ibu mengizinkan dan tetap akan di Jakarta sampai aku pulang, akhirnya aku pun berangkat."Deg degan?" tanya Teo saat pesawat yang kami tumpangi mulai mengudara."Sedikit," jawabku sambil melirik ke arah jendela di mana aku bisa melihat ke bawah dan memang cukup menakutkan."Santai saja. Nanti juga nyaman kok," balas Teo sambil mengeratkan genggamannya. "Adek aman, kan?""Aman."Dan benar sekali perjalanan Jakarta Bali ini tidak terasa. Aku juga tidak tidur seperti saat melakukan perjalanan darat. Mungkin karena ini pertama kali jadi tidak nyaman untuk tidur di pesawat.Sesampainya di bandara kami disambut oleh manajer dari resto milik Teo. Memang selain datang untuk menghadiri undangan Bu Hanania, Teo berencana melakukan cekhing ke resto juga."Selamat siang, Pak dan Ibu. Selamat data
Aku tidak mengerti mengapa Teo memintaku ikut ke Bali. Penjelasannya pun terasa tak masuk akal. Tapi, Teo bersikeras menyampaikan aku harus ikut."Tapi aku sedang hamil. Apa tidak masalah naik pesawat?""Kita konsul dulu sama Dokter Adara. Atau kamu WA tanya.""Tapi kenapa mendadak sekali? Kenapa harus lusa?""Ini penting, Ra. Sangat penting. Nanti aku jelaskan saat kita udah berangkat."Teo mulai menyiapkan koperku. Dia membuka lemari dan berusaha memilih baju-baju yang akan aku kenakan. Rasanya aneh sekali."Nah, itu sudah datang orangnya," kata Teo setelah mendengar seruan dari Mbak Dewi. "Biar tunggu di bawah, Mbak!" jawab Teo."Kamu manggil siapa emangnya?""Ayo kita turun dulu," ajak Teo seraya menarik tanganku. Aku pun pasrah karena aku sendiri tidak mengerti detail yang akan disampaikan Teo. Aku hanya berusaha percaya. Itu yang bisa kulakukan. Sesampainya di ruang tamu aku jelas terkejut melihat siapa yang duduk di sofa."Dokter," ucapku."Saya jadwalkan cek di rumah sekalian
POV Teo"Kita harus berangkat sekarang jika tidak ingin terlambat, Pak.""Berangkat ke mana? Maksudnya apa, Pak Rama?" Aku masih belum terlalu paham dengan situasi yang baru saja dijelaskan Pak Rama. Bagaimana mungkin Raline menjual perusahaan sementara kondisinya seperti itu?Pak Rama pun menyodorkan beberapa file salinan dari apa saja yang sudah dikerjakan Baja dan Raline akhir-akhir ini. "Ini sebagian kecil, Pak. Sisanya saya ....""Sebentar. Ini benar, Pak?" tanya Arhab tiba-tiba yang mengenali nama pihak kedua dalam perjanjian itu."Benar, Pak Arhab. Ibu Hanania yang akan menjadi kunci dalam akuisisi ini.""Aku bilang apa. Dokter itu aku pernah meihatnya bersama Hana," terang Arhab padaku.Kini aku mengangguk setuju. Pasti ada sesuatu. "Kamu tau dia di mana, Hab?" "Bali, Pak. Bu Hana stay di bali selama ini," jawab Pak Rama seperti sudah memastikan semuanya."Kita berangkat hari ini. Cari tiket terdekat," ujarku yang langsung dijawab dengan anggukan Pak Rama.Tok! Tok! Tok!Ses
POV TeoApa yang belum pernah kudapatkan di dunia ini? Segala macam kemewahan dan kenikmatan hidup bisa dibilang sudah pernah kurasakan. Akan tetapi, tidak ada yang semenggembirakan ini. Mendengar detak jantung makhluk kecil yang masih bersembunyi di rahim mamanya membuatku tak bisa berhenti merasakan euforia yang susah sekali untuk kujabarkan.Aku tidak salah mendengar. Kata Dokter Adara janin atau nanti akan disebut sebagai bayi milik kami sehat tanpa kurang suatu apa. Detak jantungnya normal, pertumbuhannya juga sesuai dengan usia kandungan mamanya. Bahkan tadi dia bergerak-gerak lincah seakan menyapa papa mamanya mengabarkan kalau dia baik-baik saja. Lucu sekali. Ini lebih mengharukan dibandingkan memenangkan tender manapun. Dan lihatlah aku, Teodorus Liem Aditama dalam kurun waktu kurang dari satu tahun akan menjadi seorang papa."Ibu dan kandungannya sehat. Semuanya normal dan berkembang sesuai usianya. Ini hasil print outnya ya," ujar Dokter Adara sambil menyerahkan hasil cetak
Tamu tak diundang itu cukup mengejutkanku. Bagaimana bisa tanpa rasa sungkan dia datang seraya menyapa ibu dengan ramah."Apa-apaan? Kenapa bisa nyamper ke sini?" tanya Teo saat kami sudah bertiga di ruang tamu."Udah ketemu belum sama pemilik saham-saham itu?" Aku pun melirik sekilas ke arah mereka saat meletakkan minum yang dibuatkan Mbak Dewi. Walau awalnya enggan, karena ada ibu di rumah mana bisa kami menolak kedatangan mantan kepala desa itu."Aku bilang mau cuti sehari. Pak Rama aja paham. Lo enggak?" timpal Teo. Mereka nampak akrab tidak seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya."Makasih, Mir," ujar Mas Arhab malah menanggapi sikapku dibanding pertanyaan Teo."Istri gue, Hab!""Iya paham."Aku menggeleng. Mereka berdua benar-benar aneh. Dari cara komunikasi hingga kedekatan mereka tampak lebih akrab."Nih aku bawa nama penting hari ini," ujar Arhab seraya menyodorkan layar ponselnya ke Teo.Aku yang duduk di sebelah Teo praktis bisa membaca dan melihat profil perempuan yang sed
Aku bisa merasakan sentuhan itu. Seperti sesuatu yang telah lama kurindu. Rupanya saat aku menoleh, Teo ada di belakangku. Tangannya melingkar di perutku."Kamu udah pulang?" tanyaku meyakinkan.Teo mengangguk. Dia semakin mengeratkan pelukan. Pulang satu kata yang cukup jarang kami gunakan. Seharusnya sejak awal kami memang menjadikan rumah ini sebagai tempat pulang bukan tempat singgah pelepas lelah. Setelah berbalik, kuamati wajahnya yang tampak tak terawat. Seperti foto yang dikirimkan Mas Arhab, Teo tampak berantakan. Kubelai lembut pipinya, dan aku bisa merasakan kulitnya yang kasar."Maaf," ujarnya. Saat aku memandanginya penuh dia berujar maaf."Kenapa?""Maaf karena tak pernah memberimu kabar."Aku tersenyum kecil. Dari mana dia paham perihal kabar? Apa dia sudah menyadari sikapnya yang kadang keterlaluan? Aku pun mengangguk."Maaf sudah membuatku khawatir," imbuhnya. "Aku suami yang tidak tahu diri."Buru-buru aku menggeleng. Tentang suami yang tak tahu diri aku kurang setuj
Pov TeoBerkas-berkas itu terus menumpuk bahkan setelah aku membaca dan menandatanganinya. Pak Rama bilang ini baru di kantor utama belum yang di cabang perusahaan. Banyak sekali pekerjaan rumah yang harus kubereskan dan sialnya si pelaku dari timbulnya masalah besar ini sudah pergi ke neraka. Sesuatu yang sangat amat tidak sesuai dengan harapanku. Seharusnya Baja tidak semudah itu meregang nyawa. Harusnya cecuruk itu membayar semua perbuatannya. Kini berkas-berkas ini serasa tak penting lagi karena aku tidak bisa menghukum pelakunya. Data-data yang kukumpulkan bersama Pak Rama pun menguap begitu saja. Baru aku akan meremas semua berkas ini saking kesalnya pintu kantor terbuka."Maaf, Pak. Ada tamu," ujar sekretaris yang berjaga di luar. Aku masih belum ingat siapa namanya."Saya bilang tidak mau menerima tamu hari ini. Kamu lupa?""Mohon maaf, Pak. Beliau memaksa dan katanya penting.""Lebih penting mana dengan perintah saya!" sentakku. Aku sedang tidak mau diganggu.Lalu muncul satu
“Mama tidak mau ada kekacauan di Aditama group. Mama pengen Aditama group bisa langgeng sampai cucu-cucu mama.” Mata Mama Ajeng berkaca. Beliau memintaku untuk mendekat. “Nanti kalau papanya sudah tua, sudah waktunya istirahat, dia yang bakal gantiin papanya. Kamu sedang mengandung calon pewaris Aditama Group, Mir. Kamu harus kuat dan jangan sampai omongan orang di luar mempengaruhi kamu. Jangan sampai kamu sama Teo goyah. Janji sama Mama, ya.” Kali ini Mama Ajeng tampak bersungguh-sungguh.Aku tidak mungkin menggeleng dengan keadaan Mama Ajeng yang semakin hari semakin memburuk. Selepas kepergian Papa, mau tidak mau Mama Ajeng perlu mengurus banyak hal. Di saat Teo sempat tidak mau bergabung dengan keluarga dan perusahaan, pastilah Mama Ajeng memikirkannya sendirian.“Iya, Ma. Amira janji Amira bakal damping Teo terus.” Hanya itu yang bisa kuucapkan. Meski masih dibalut dengan banyak keraguan. Setidaknya di depan Mama Ajeng aku perlu menjadi istri yang tidak membebani keluarga suami