Dadaku berdenyut pedih. Mengingat pakaian mereka yang teronggok di lantai kamar itu. Juga kerlingan manja Mas Baja untuk sang putri konglomerat. Bahkan, kami belum pernah melakukannya di sana. Satu malam pun, aku belum pernah menginap di rumah itu. Namun, perempuan dengan mulut bar-bar, yang katanya Bos Besar bisa dengan nyaman bersama Mas Baja mengembangkan layar cinta. Apa jangan-jangan semua ada hubungannya dengan ibu mertua? Apa beliau yang mengaturnya? Kuhela napas sejenak untuk menghalau sesak. Jika dipikirkan lebih dalam memang tampak ada keterkaitan. Terlebih di momen itu tidak ada ibu dan juga Akila. Apa mungkin pertemuan keluarga besar baru dilakukan? Membahas hubungan mereka yang akan berlanjut ke pernikahan? “Kamu baik-baik saja, Amira?” Bos Teo sudah berada di belakangku. Dari derup langkahnya aku bisa tahu.“Baik, Pak. Saya baik-baik saja,” jawabku. Meski rasanya kepala mau pecah juga tubuh kian terasa lemah.“Apa perlu saya antar keluar?”“Tidak, Pak. Tidak usah. Say
Bertahan dalam sebuah hubungan yang sudah tidak sehat hanya akan membuatku semakin tersesat. Namun, memutuskan mengakhiri sebuah ikatan pernikahan tentu akan meninggalkan konsekuensi tersendiri. Karena melepas sesuatu tak akan semudah saat menerimanya.Jika ditanya apa aku baik-baik saja? Jawabannya jelas tidak. Keadaan ini memaksaku untuk kuat menopang beban berat seorang diri. Dulu ... aku menerima Mas Baja dengan tangan terbuka. Menyambutnya yang secara nyata memberi cinta. Tepat saat aku nyaris terjatuh dalam sebuah jurang. Apa jadinya jika malaikat penyelamatmu sendiri berbalik arah melukai? Tentu sakit itu tak terperi.Bukan, bukan hanya soal cinta saja yang menjadi persoalan. Pernikahan kami sudah membuahkan hasil. Sudah menghadirkan satu malaikat kecil. Mahika Akila Baja- nama yang dipilihkan Mas Baja untuk putri kami. Mahika dalam bahasa sansekerta adalah bentuk lain dari bumi. Sedang Akila kebahagiaan juga kehormatan. Putri kami adalah tempat yang memberi kebahagiaan untuk pe
Getar ponsel membangunkanku. Mengembalikan kembali kesadaran. Buru-buru aku meraihnya. “Ya. Gimana, Mar?” tanyaku sembari duduk.Amira! Kamu lupa kalau nitipin Ibu ke Mas Arhab? Udah jam berapa ini? Suara Martia terdengar panik. Kulihat sebentar layar ponsel untuk mengecek penanda waktu. Sudah pukul empat sore dan aku terlelap selama itu. Mati, aku!“Aku benar-benar lupa, Mar. Aduh gimana ini?”Lah, payah kamu, Mir. Mas Arhab WA aku nanyain kira-kira kamu balik jam berapa?“Iya. Tadi pagi aku bilang bakal balik siang. Tapi ini udah jam empat, Mar. Aku gak mungkin berani buat balik,” terangku. Empat jam waktu perjalanan dan menjelang malam terlalu berbahaya.Ya udah, WA dulu gih, apa gimana. Bilang kamu gak bisa balik. Nanti biar aku yang jagain ibu kamu. Dengan baik hati Martia menawari.“Gak ngrepotin, Mar?”Dah gak apa-apa, Mir.“Serius?”Iya. Dah sana kabarin Mas Arhab dulu. Kasihan dia jadi tahanan kamu.“Kabarin? Pakai apa?” tanyaku polos.Ya pakai WA, lah. Dia kan gak punya n
Manusia memang bisa berencana. Namun, hasil dari setiap rencana itu tetap hak prerogratif dari Sang Pemilik Semesta. Menikah, tinggal di kota dengan segala akses kemudahan dan memiliki buah hati adalah rencana awalku sebagai seorang perempuan. Terbersit pun tidak dalam benakku, jika dalam kurun waktu itu aku akan menempuh jalan cerita yang berbeda. Aku tahu kepergian Mas Baja bersama wanita itu sudah digariskan. Aku juga paham jika tiada satu hal pun yang luput dari campur tangan Tuhan. Namun, hatiku tetap tak mampu menerima dengan lapang kejadian yang silih berganti datang bak godam yang memukul keras kepala. Memaksa pusat kendali kesadaran itu berpikir terus menerus untuk mencari jalan terbaik. Menjadi lemah serta pasrah atau melawan untuk menang. Katanya hidup adalah pilihan. Aku belum yakin akan memilih yang mana.Tumpukan baju itu kupungut satu per satu. Sebuah koper berukuran sedang di lemari terpaksa kukeluarkan. Tak ada lagi yang perlu ditangisi juga sesali. Semua berakhir
Teka teki kehidupan setiap manusia tidak pernah bisa terjawab dengan cara sederhana. Segalanya tampak rumit dan selalu menuntut usaha lebih dalam hal penyelesaian. Meski masih menjadi rahasia, aku tetap percaya jika jawaban dari teka teki hidup yang kujalani ini sebenarnya ada. Hanya butuh waktu terbaik untuk sampai pada masa itu.Yang hidup harus tetap hidup. Yang mati tetap akan ada di hati. Apapun yang akan terjadi nanti hidup tetap harus di jalani.Setelah semalam merenung, kuputuskan mengambil beberapa langkah ke belakang serta menyingkir dari kebisiangan yang ada. Saat mendengarkan ulang rekaman suara Akila yang terdengar gembira dengan tante cantik itu di sisinya, aku pun mantap untuk fokus pada kesembuhan ibu terlebih dahulu. Karena membagi konsentrasi dalam situasi seperti ini rentan menimbulkan ketidaksatabilan diri. Aku tetap harus menjaga marwah hidup yang telah kutempuh. Sebagai bentuk penghargaan atas perjalanan panjang yang melelahkan. Koper berukuran sedang yang s
"Ibu! Ibu udah sadar?" tanyaku saat melepas pelukan dari tubuhnya. Ibu mengangguk lemah. Sontak aku mengukir senyum diiringi dengan air mata yang keluar tiba-tiba. "Alhamdulillah, Bu, Alhamdulillah." Kupandangi wajah ibu yang masih tampak sayu."Amira panggil dokter dulu ya, Bu," ujarku ingin segera melaporkan kondisi ibu. Ibu menggeleng. Beliau justru memintaku untuk tetap duduk di sisi ranjang miliknya. Aku pun mengurungkan niat. "Sini aja. Temenin Ibu," ucapnya masih dengan napas yang tersengal. Kesadaran ibu bak oase yang menyegarkan dahaga. Setelah beberapa hari menanti, separuh hatiku terasa lega. Setidaknya ada harapan untuk kesembuhan total ibu dalam perawatan ini. "Iya, Bu. Iya." Aku kembali duduk di kursi. Memegang tangannya serta mengusapkan pada wajah. Alhamdulillah."Akila. Akila mana?" tanya Ibu setelah menyapukan pandangan ke arah lain.Deg!Akila? Harus kujawab apa pertanyaan itu? Jantungku seakan diremas. Tak menyangka ibu justru merindukan cucunya. Aku pun mem
Tak butuh waktu lama untuk menemukan kerudung pesanan ibu. Setelah memastikan kualitas serta harganya sesuai dengan uang yang kubawa, aku kembali ke rumah sakit. Ibu sedang duduk dengan tubuhnya tersandar pada tempat tidur khusus pasien itu. Selang oksigen di hidungnya juga sudah tidak terpasang. Sepertinya perawat datang dan membantu ibu melakukannya. "Ini Amira dah bawa kerudungnya, Bu," ujarku seraya melangkah ke sisi tempat tidur ibu.Ibu hanya mengangguk. Tatapannya masih saja kosong. Seperti orang yang benar-benar menantikan sesuatu. "Warna tosca, Bu. Ibu suka, 'kan?" Kurentangkan jilbab model bergo itu. Berharap ibu bisa menerima dengan senang. "Makasih, Mir." Aku tersenyum puas. "Amira pakaikan, ya, Bu?" Ibu pun mengangguk. Segera kupakaikan kerudung itu. Ibu tampak sangat cantik. "Ibu udah makan?" tanyaku saat ekor mata menangkap makanan khas rumah sakit di meja. Pasti perawat membawakannya. Kali ini ibu menggeleng."Mau Amira suapi, Bu?" tanyaku seraya menjangkah pirin
Kupu-kupu berterbangan di padang bungaMenggelepak indah tubuhnyaSilih berganti mencari tempat ternyaman untuk disinggahiMeski sejuta bunga itu memesonakan mataTak semua menjadi pilihan untuknya mencecap nektarAku tahu ini bukan yang pertama untukkuAku juga pernah merasakan jatuh cinta sebelumnyaNamun, getar yang terjadi kian menjadi setiap hariAmira ... Aku memang tak bisa menjanjikan bahagia akan terus menyertai cinta Aku juga belum tentu mampu memberikan semua yang kamu mau kelakNamun, aku akan terus mencintaimu. Karena hadirmu buatku seperti bumi yang merindukan hujan setelah kemarau panjangKau ... membuatku kembali berani menjalani hidup dan mendulang harapanSalam kenalBaja***Aku tersenyum membaca puisi itu. Mas Baja meletakkan pada buket lili yang ia pesankan khusus untukku. Langsung di tempatku bekerja.Pernikahan Mas Arhab sudah berlalu satu pekan. Ternyata ia ikut tinggal di rumah istrinya di luar jawa. Masih belum ada penjelasan dan kata putus di antara kami be
Riuh tepuk tangan itu menjadi awal proses akuisisi BaRlie oleh Aditama Group. Tanpa negosiasi yang alot dan terjadi seperti cuma-cuma. Teo yang nampak kebingungan hanya bisa mengikuti arahan Pak Rama saat diminta maju ke depan mendampingi Bu Hana.“Ini pemilik sebenarnya Aditama Group. Pewaris tunggal Almarhum Pak Aditama. Meski dulu, Aditama Group dibangun bersama papa saya, nyatanya dialah yang menikmati hasilnya sampai hari ini. Awalnya saya malas dan ragu melepaskan semua ini bahkan saya ada niat jahat ingin merebutnya dari anak kecil ini. Tapi, ada satu orang yang membuat saya takjub sampai-sampai menghilangkan rasa benci saya pada keluarga Aditama. Dia adalah Amira, istri dari Pak Teo ini yang sekaligus adik saya saat kami bekerja di sebuah lembaga bimbingan belajar. Kegigihannya membuat saya tak sampai hati melukai orang-orang terdekatnya. Pak Teo, anda harus berterima kasih pada istri anda,” ujar Bu Hana pada Teo di atas panggung di depan semua orang. “Baik, Bu.”“Sekarang sud
Ini pertama kalinya aku ke Bali bersama Teo. Meski Teo memiliki resto di sana dan kerap bolak balik Jakarta Bali aku tidak pernah ikut. Sebenarnya aku sedikit berat meninggalkan Akila dan Ibu tapi karena ibu mengizinkan dan tetap akan di Jakarta sampai aku pulang, akhirnya aku pun berangkat."Deg degan?" tanya Teo saat pesawat yang kami tumpangi mulai mengudara."Sedikit," jawabku sambil melirik ke arah jendela di mana aku bisa melihat ke bawah dan memang cukup menakutkan."Santai saja. Nanti juga nyaman kok," balas Teo sambil mengeratkan genggamannya. "Adek aman, kan?""Aman."Dan benar sekali perjalanan Jakarta Bali ini tidak terasa. Aku juga tidak tidur seperti saat melakukan perjalanan darat. Mungkin karena ini pertama kali jadi tidak nyaman untuk tidur di pesawat.Sesampainya di bandara kami disambut oleh manajer dari resto milik Teo. Memang selain datang untuk menghadiri undangan Bu Hanania, Teo berencana melakukan cekhing ke resto juga."Selamat siang, Pak dan Ibu. Selamat data
Aku tidak mengerti mengapa Teo memintaku ikut ke Bali. Penjelasannya pun terasa tak masuk akal. Tapi, Teo bersikeras menyampaikan aku harus ikut."Tapi aku sedang hamil. Apa tidak masalah naik pesawat?""Kita konsul dulu sama Dokter Adara. Atau kamu WA tanya.""Tapi kenapa mendadak sekali? Kenapa harus lusa?""Ini penting, Ra. Sangat penting. Nanti aku jelaskan saat kita udah berangkat."Teo mulai menyiapkan koperku. Dia membuka lemari dan berusaha memilih baju-baju yang akan aku kenakan. Rasanya aneh sekali."Nah, itu sudah datang orangnya," kata Teo setelah mendengar seruan dari Mbak Dewi. "Biar tunggu di bawah, Mbak!" jawab Teo."Kamu manggil siapa emangnya?""Ayo kita turun dulu," ajak Teo seraya menarik tanganku. Aku pun pasrah karena aku sendiri tidak mengerti detail yang akan disampaikan Teo. Aku hanya berusaha percaya. Itu yang bisa kulakukan. Sesampainya di ruang tamu aku jelas terkejut melihat siapa yang duduk di sofa."Dokter," ucapku."Saya jadwalkan cek di rumah sekalian
POV Teo"Kita harus berangkat sekarang jika tidak ingin terlambat, Pak.""Berangkat ke mana? Maksudnya apa, Pak Rama?" Aku masih belum terlalu paham dengan situasi yang baru saja dijelaskan Pak Rama. Bagaimana mungkin Raline menjual perusahaan sementara kondisinya seperti itu?Pak Rama pun menyodorkan beberapa file salinan dari apa saja yang sudah dikerjakan Baja dan Raline akhir-akhir ini. "Ini sebagian kecil, Pak. Sisanya saya ....""Sebentar. Ini benar, Pak?" tanya Arhab tiba-tiba yang mengenali nama pihak kedua dalam perjanjian itu."Benar, Pak Arhab. Ibu Hanania yang akan menjadi kunci dalam akuisisi ini.""Aku bilang apa. Dokter itu aku pernah meihatnya bersama Hana," terang Arhab padaku.Kini aku mengangguk setuju. Pasti ada sesuatu. "Kamu tau dia di mana, Hab?" "Bali, Pak. Bu Hana stay di bali selama ini," jawab Pak Rama seperti sudah memastikan semuanya."Kita berangkat hari ini. Cari tiket terdekat," ujarku yang langsung dijawab dengan anggukan Pak Rama.Tok! Tok! Tok!Ses
POV TeoApa yang belum pernah kudapatkan di dunia ini? Segala macam kemewahan dan kenikmatan hidup bisa dibilang sudah pernah kurasakan. Akan tetapi, tidak ada yang semenggembirakan ini. Mendengar detak jantung makhluk kecil yang masih bersembunyi di rahim mamanya membuatku tak bisa berhenti merasakan euforia yang susah sekali untuk kujabarkan.Aku tidak salah mendengar. Kata Dokter Adara janin atau nanti akan disebut sebagai bayi milik kami sehat tanpa kurang suatu apa. Detak jantungnya normal, pertumbuhannya juga sesuai dengan usia kandungan mamanya. Bahkan tadi dia bergerak-gerak lincah seakan menyapa papa mamanya mengabarkan kalau dia baik-baik saja. Lucu sekali. Ini lebih mengharukan dibandingkan memenangkan tender manapun. Dan lihatlah aku, Teodorus Liem Aditama dalam kurun waktu kurang dari satu tahun akan menjadi seorang papa."Ibu dan kandungannya sehat. Semuanya normal dan berkembang sesuai usianya. Ini hasil print outnya ya," ujar Dokter Adara sambil menyerahkan hasil cetak
Tamu tak diundang itu cukup mengejutkanku. Bagaimana bisa tanpa rasa sungkan dia datang seraya menyapa ibu dengan ramah."Apa-apaan? Kenapa bisa nyamper ke sini?" tanya Teo saat kami sudah bertiga di ruang tamu."Udah ketemu belum sama pemilik saham-saham itu?" Aku pun melirik sekilas ke arah mereka saat meletakkan minum yang dibuatkan Mbak Dewi. Walau awalnya enggan, karena ada ibu di rumah mana bisa kami menolak kedatangan mantan kepala desa itu."Aku bilang mau cuti sehari. Pak Rama aja paham. Lo enggak?" timpal Teo. Mereka nampak akrab tidak seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya."Makasih, Mir," ujar Mas Arhab malah menanggapi sikapku dibanding pertanyaan Teo."Istri gue, Hab!""Iya paham."Aku menggeleng. Mereka berdua benar-benar aneh. Dari cara komunikasi hingga kedekatan mereka tampak lebih akrab."Nih aku bawa nama penting hari ini," ujar Arhab seraya menyodorkan layar ponselnya ke Teo.Aku yang duduk di sebelah Teo praktis bisa membaca dan melihat profil perempuan yang sed
Aku bisa merasakan sentuhan itu. Seperti sesuatu yang telah lama kurindu. Rupanya saat aku menoleh, Teo ada di belakangku. Tangannya melingkar di perutku."Kamu udah pulang?" tanyaku meyakinkan.Teo mengangguk. Dia semakin mengeratkan pelukan. Pulang satu kata yang cukup jarang kami gunakan. Seharusnya sejak awal kami memang menjadikan rumah ini sebagai tempat pulang bukan tempat singgah pelepas lelah. Setelah berbalik, kuamati wajahnya yang tampak tak terawat. Seperti foto yang dikirimkan Mas Arhab, Teo tampak berantakan. Kubelai lembut pipinya, dan aku bisa merasakan kulitnya yang kasar."Maaf," ujarnya. Saat aku memandanginya penuh dia berujar maaf."Kenapa?""Maaf karena tak pernah memberimu kabar."Aku tersenyum kecil. Dari mana dia paham perihal kabar? Apa dia sudah menyadari sikapnya yang kadang keterlaluan? Aku pun mengangguk."Maaf sudah membuatku khawatir," imbuhnya. "Aku suami yang tidak tahu diri."Buru-buru aku menggeleng. Tentang suami yang tak tahu diri aku kurang setuj
Pov TeoBerkas-berkas itu terus menumpuk bahkan setelah aku membaca dan menandatanganinya. Pak Rama bilang ini baru di kantor utama belum yang di cabang perusahaan. Banyak sekali pekerjaan rumah yang harus kubereskan dan sialnya si pelaku dari timbulnya masalah besar ini sudah pergi ke neraka. Sesuatu yang sangat amat tidak sesuai dengan harapanku. Seharusnya Baja tidak semudah itu meregang nyawa. Harusnya cecuruk itu membayar semua perbuatannya. Kini berkas-berkas ini serasa tak penting lagi karena aku tidak bisa menghukum pelakunya. Data-data yang kukumpulkan bersama Pak Rama pun menguap begitu saja. Baru aku akan meremas semua berkas ini saking kesalnya pintu kantor terbuka."Maaf, Pak. Ada tamu," ujar sekretaris yang berjaga di luar. Aku masih belum ingat siapa namanya."Saya bilang tidak mau menerima tamu hari ini. Kamu lupa?""Mohon maaf, Pak. Beliau memaksa dan katanya penting.""Lebih penting mana dengan perintah saya!" sentakku. Aku sedang tidak mau diganggu.Lalu muncul satu
“Mama tidak mau ada kekacauan di Aditama group. Mama pengen Aditama group bisa langgeng sampai cucu-cucu mama.” Mata Mama Ajeng berkaca. Beliau memintaku untuk mendekat. “Nanti kalau papanya sudah tua, sudah waktunya istirahat, dia yang bakal gantiin papanya. Kamu sedang mengandung calon pewaris Aditama Group, Mir. Kamu harus kuat dan jangan sampai omongan orang di luar mempengaruhi kamu. Jangan sampai kamu sama Teo goyah. Janji sama Mama, ya.” Kali ini Mama Ajeng tampak bersungguh-sungguh.Aku tidak mungkin menggeleng dengan keadaan Mama Ajeng yang semakin hari semakin memburuk. Selepas kepergian Papa, mau tidak mau Mama Ajeng perlu mengurus banyak hal. Di saat Teo sempat tidak mau bergabung dengan keluarga dan perusahaan, pastilah Mama Ajeng memikirkannya sendirian.“Iya, Ma. Amira janji Amira bakal damping Teo terus.” Hanya itu yang bisa kuucapkan. Meski masih dibalut dengan banyak keraguan. Setidaknya di depan Mama Ajeng aku perlu menjadi istri yang tidak membebani keluarga suami