Tawa Shifra seketika menggelegar memenuhi ruangan. Tapi air matanya masih deras mengalir membasahi pipi. Dia seperti menjadi orang lain yang tak dikenali. Kadang cekikikan, kadang histeris dan sesekali menagis. Tangannya bergerak cemas meremas-remas ujung pakaian atau hijabnya. Gerak matanya pun tak fokus, ke sana kemari tak tenang."Meninggal, heu? Di mana makamnya? Apa kamu menemukan jasadnya, hah?!" kekeh Shifra berdiri berkacak pinggang dengan gaya slengekan seperti orang mabuk. Kepalanya terangkat menantang tapi manik netranya tak jelas ke arah mana? Tak berani menatap tepat di dua bola mata pria di hadapannya.Javaz hanya bisa menggeleng dan terus mendekap Ezra yang mulai tak nyaman. Bayi itu menggeliat dan meronta merasa terkungkung tak bebas bergerak."Shifra, istighfar! Istighfar, Sayaaang!" lirih pria itu melepaskan dekapan dan bayi itu merangkak mendekati kaki ibunya.Javaz pasrah dengan menunduk tajam, berusaha bangkit dan duduk berselonjor.'Allah ... mengapa semua ini E
Pekikan dua orang wanita beda usia terdengarenggema di dua ruangan yang berbeda di rumah itu. Entah sejak kapan keduanya sampai dan langsung masuk begitu saja.Ezra hampir saja terguling bersama kursi roda Javaz yang berhasil ditahan oleh Zora. Kedua tak sampai terbentur ke lantai, tangan kanan adik perempuan Javaz itu menyangga kepala bayi dan satunya menahan kursi yang sudah miring.Sementara itu di dapur, kondisi Baron sama kacaunya. Dia merebus langsung ASIP beku ke panci, padahal ada microwave di sana. Belum berpengalaman dan tak pernah melakukan pekerjaan yang didominasi kaum ibu itu pun menjadi alasannya melakukan kesalahan.Bu Manisah tertawa geli sekali dan mengganti ASIP yang baru untuk Ezra yang masih belum berhenti menangis. Baron hanya meringis dan menggaruk tengkuknya salah tingkah menatap istri dari almarhum Pak Joko dengan penuh rasa bersalah.Meski sedikit panik tapi kemudian setelah semua teratasi, Ezra sudah mendapatkan apa yang diinginkannya. Bisa didekap dan dibar
"Suami? Kamu Javaz? Suami Shifra?" dia menggeleng dan beringsut mundur.Javaz mengangguk antusias dengan senyuman merekah. Berharap Shifra kembali mengingatnya dan sembuh perlahan."Lalu, di mana Mas El? Kenapa jadi Kamu suami Shifra? Apa Kamu mengerjaiku seperti dulu?"Javaz menggeleng kuat memegang dua bahu Shifra dan menatap matanya lekat."Lihatlah! Kita-" Kalimatnya terpotong saat melihat jari manis Shifra yang diangkatnya memiliki dua cincin."Kenapa ada dua? Sejak kapan?" desis Javaz dengan pilu.Cincin yang disematkan waktu itu berjajar dengan cincin pernikahan yang diberikan Elzien untuk Shifra. Dia memakainya lagi entah sejak kapan.Pria itu membentang jarak, mundur dengan menunduk tajam. Sakit menghunjam jantungnya, Shifra menyimpan dilema dan kerumitan dalam hidupnya. Javaz benar-benar bisa gila juga jika menghadapi kenyataan siapa sebenarnya yang diingat istrinya sebagai suami. Terlalu rumit di matanya, tak menyangka takdir Shifra sungguh sangat berliku."Shifra nggak bis
"Apa itu Elzien? Atau hanya sebuah kebetulan mirip?" gumamnya menatap kepergian sang Dokter yang berbelok di lorong."Mungkin pasien di Rumah Sakit lain yang memang mirip. Mustahil Elzien selamat dan ini sudah dua tahun dari kecelakaan. Kalau pun ditemukan mungkin sudah tak bernyawa lagi," lanjutnya lagi kembali menerima kenyataan bahwa kakaknya memang sudah tiada.*******Javaz kembali fokus memandangi Shifra yang terlelap dari balik kaca. Perempuan itu bahkan tak lagi berhijab, tak lagi ingat apalagi mengerjakan kewajiban pada Tuhannya. Melihat kenyataan seperti ini, hatinya kembali dirundung rasa bersalah. Andai tak terhasut oleh Haribawa, andai tak melakukan perbuatan bia dab itu.Waktu tak bisa diputar kembali."Apakah ada ampunan untukku, Ya Allah?" gumamnya diteruskan dengan ucapan istighfar berkali-kali. Di sudut matanya sudah bertumpuk cairan bening yang siap menetes. Javaz segera mengusapnya. Menetralkan kembali pernapasannya. Lalu mundur dan menjalankan kurji roda elektrik
"KAKAAAK!?" pekik Zora menatap Javaz yang membuka pintu kamar mandi dengan bath robe menutub tubuhnya.Satu tangannya terbalut perban dan yang lain mengacak rambut dengan handuk kecil."Apa yang kalian lakukan di kamarku?" ulangnya memincingkan mata pada dua pria yang kembali berdiri dari lantai setelah terjengkang saat dia membuka pintu."Ma-af, Pak! Mbak Zo-""Sudah sudah! Maaf jadi merepotkan Pak Edi dan Mang Ujang! Kak Javaz kenapa tadi berteriak? Dan apa yang terjadi?" serobot Zora mengibaskan tangan pada dua sekuriti lalu menyipitkan mata pada sang kakak.Javaz menggedikkan bahu dan tersenyum tipis."Bikin jantungan aja, deh!" omel Zora memukul punggung kakaknya."Kami permisi, Pak, Mbak Zora!" Pak Edi dan Mang Ujang mengangguk pamitan pada Javaz lalu Zora bergantian."Kenapa tangannya?!" ketus perempuan yang menggendong Ezra itu menatap tangan Javaz."Nggak kenapa-napa! Dah kuobati sendiri." balasnya datar dan melanjutkan menyisir rambutnya."Keluar dulu sana! Mau ganti, nih!""
"Apa artinya Kak Jav harus pergi juga? Gimana nasib Ezra?" tanya Zora membuat Javaz menggeleng dan menunduk."Bukan itu maksudku, Ra! Yang kutakutkan adalah Elzien kembali, dia masih hidup di tolong seseorang lalu hilang ingatan atau koma atau disekap dan sengaja disembunyikan, entahlah," Pria yang baru saja kembali dari masjid itu melepaskan peci dan mengacak rambutnya frustasi."Kita sewa detektif? Kalo orang biasa kemungkinan terlacak, sangat kecil. Kamu taulah, Kak?"Javaz mengangguk dan tampak berpikir keras. Jemarinya mengetuk meja dengan gusar. Andai benar masih hidup, dan Shifra masih dalam keadaan tak sehat akalnya. Maka apa yang akan terjadi tak bisa dibayangkannya.Pun sama andai sudah meninggal, akankah Shifra masih bisa menerima keadaan statusnya dengan Javaz dan juga Ezra?*******"Keenan! Bantu Kakak?!" teriak seorang pria sekitar 40 tahunan menggendong tubuh penuh darah di kepala dan luka hampir merata."Ya Tuhan! Apa yang terjadi, Kak?" Perempuan yang sedang santai d
"Apa kamu masih ada hubungannya dengan keluarga pasienku di Rumah Sakit Jiwa itu? Kalian mirip sekali?" gumam Keenan saat meneliti semua alat yang terpasang di tubuh pria yang telah dua tahun dirawatnya secara pribadi di rumah.Selama dua tahun Keenan pulang pergi seminggu sekali ke Kota untuk bertugas sebagai dokter di salah satu Rumah Sakit Jiwa. Lalu mengambil cuti dua atau tiga hari untuk merawat pria yang diselamatkan kakaknya, tanpa sepengetahuan siapa pun.Ken dikabarkan ikut ke Kota bersama Keenan, sedangkan Keenan sendiri pulang pergi ke kampung saat malam sudah larut. Tetangga dan warga kampungnya menganggap kediaman Ken dan Keenan kosong tak berpenghuni. Semua lampu dibiarkan menyala siang dan malam. Rerumputan dan semak belukar dibiarkan tumbuh liar di sekitar rumah. Kedua kakak beradik itu benar-benar rapi menyembunyikan pria yang diberitakan dimangsa binatang buas itu."Kak, kita harus kembalikan dia pada keluarganya. Dia-dia Elzien Kagendra
-- Jangan takut kehilangan cinta seorang makhluk. Tapi takutlah jika kehilangan cinta dari-Nya. Pemilik Cinta Agung, Allah-Tuhan Yang Maha Pemberi Cinta --Pemeriksaan terhadap Javaz, Zora dan Shifra dilakukan bertahap dan bergantian. Ketiganya menjalaninya secara terpisah dan ditangani beberapa dokter ahli lainnya, tak hanya dokter Keenan. Ezra sendiri tetap dirawat Zora ditambah pengasuh yang sudah profesional dari Pusat Penyedia Pelayanan Pengasuhan Tumbuh Kembang Ibu dan Anak.Sementara itu, Elzien yang sudah berangsur pulih kondisi fisiknya, diajarkan duduk. Bertahap, menyentuh dan memegang peralatan makannya sendiri. Ken sangat telaten membimbing dan menuntun El layaknya seorang kakak pada adiknya. Seorang ayah oada anaknya sendiri."Terima kasih, Kak! Tanpa Kak Ken mungkin aku sudah benar-benar akan berpisah dengan Shifra, istriku. Padahal baru saja aku merasa menjadi seorang suami seutuhnya kemarin. Lalu aku harus pergi meninggalkannya. Semoga dia masih menungguku dengan setia.