"Selamat atas pernikahanmu, Raya.""Terima kasih!"Ponsel Alex tiba tiba berdering, dengan cepat pria bermata hazel itu melepas rangkulannya. Tak lama ia pamit menjauh sebentar, demi menjawab panggilan teleponnya. Meninggalkan Raya dan Dhani berdua."Kau sendirian, mas? Mana calon istrimu yang waktu itu bersamamu?" Sindir Raya beberapa saat kemudian.***"Aku sendiri, nunggu teman." Jawab Dhani gugup.Mata Raya menjelajahi sekitar, terlihat disana sebuah motor matic hitam yang terparkir tak jauh dari tempat Dhani berdiri. Tak lama, mata Raya juga memperhatikan sepatu kets yang dipakai Dhani. "Kau sepertinya belum melupakanku ya, Mas? Sepatu itu bukankah itu hadiah pemberianku? Kupikir kau akan membuang semua barang pemberianku setelah berselingkuh dengan anak bos mu yang kaya itu," Seringai mengejek di perlihatkan Raya pada Dhani."Itu ..." "Tenang, aku tak akan memintanya balik. Anggap saja itu kenang kenangan dariku. Lagipula, aku sudah tak butuh lagi barang bekas seperti itu, dij
[Siapa kau?]Tanya Raya setengah berbisik.[Raya, ini aku Stella.][Ada urusan apa kau menelponku?][Aku sengaja menelponmu, karena ingin mengajakmu bicara. Bisakah kau pergi keluar sebentar, aku menunggumu di cafetaria dua blok dari rumahmu] Ucap Stella membuat Raya spontan menoleh kearah suaminya.***Tangan Stella sedikit terangkat dan melambai ketika melihat Raya yang baru saja melangkahkan kakinya ke dalam cafe ini. Senyum tipis terbit di wajahnya seakan senang menyambut kedatangan Raya di tempat itu.Raya membalas lambaian tangan Stella sebentar dengan mengangkat sedikit tangannya, lalu berjalan menghampiri Stella yang duduk di pojok cafe ini."Hai!" Sapa Raya."Duduklah.""Aku yakin kau akan datang, Raya!" Balas Stella."Maaf, aku sedikit terlambat. Mbak.""Tak apa, panggil aku Stella saja," jawab Stella."Kau cukup berani, datang ke cafe ini sendirian saja, bagaimana jika ada wartawan disini?" Tanya Raya menyeringai."Apa tadi kau langsung mengenaliku?"Raya menggeleng. "Aku ha
"Jika begitu pilihanmu, maka, jangan salahkan aku jika suatu saat nanti Alex akan berpaling darimu.""Terserah kau saja. Aku tak peduli. Karena bagiku permintaan itu tidak masuk akal. Kurasa tidak ada lagi yang perlu kita dibicarakan. Aku mau pulang."Raya berdiri dari tempat duduknya, lalu segera membalikkan badannya, berlalu meninggalkan Stella yang masih memandangnya dengan sebuah senyuman sinis."Kau akan lihat bagaimana caraku mengambil Alex darimu, Raya, tak lama lagi kalian akan bercerai," gumam Stella ***Raya memandang Cincin Blue Saphire di jari manisnya. Cukup lama ia terdiam menatap cincin itu. Sesekali nampak ia mengelusnya lembut, sangat jelas jika ia sangat menyukai dan menyayangi cincin itu.Pertemuannya dengan Stella tiga hari lalu, masih menyisakan banyak tanya dan rasa takut didalam benaknya. Bukan tak mungkin ancaman Stella akan menjadi nyata. Karena sampai sekarang, Alex juga masih belum melupakannya.Raya masih terpaku, meski laptop dihadapannya menyala. Tetap s
"Kau berkata benar. Pernikahan kami tidak berdasarkan cinta. Meskipun aku berusaha keras, akan sia sia saja karena Alex sendiri tidak akan berpihak padaku. Mungkin sudah saatnya untuk belajar caranya melepaskan," Jawab Raya dengan seringai tipis di wajahnya."Apa rencanamu, Raya? Wajahmu seakan mengatakan jika kau sudah memiliki jalan keluarnya.""Tak ada." Raya menyahut dengan tatapan mata yang penuh arti.****Satu bulan berlalu sejak kedatangan Stella, perubahan sikap Alex sudah mulai terlihat jelas. Beberapa kali Raya melihat Alex pergi dari rumah menemui Stella tanpa bisa mencegahnya, membuat gadis itu hanya bisa menekan rasa kecewa.Siang ini entah mengapa ia melihat penampilan Alex sudah begitu rapi, Raya yakin jika suaminya akan pergi kembali menemui Stella. Sekali lagi, Raya terpaksa menelan kekecewaan, karena tetap tak bisa mencegahnya."Raya, aku pergi dulu. Jangan menungguku untuk makan malam, karena mungkin aku akan pulang terlambat." Terdengar suara Alex berpamitan padan
Arya menatap dalam ke arah manik mata Raya. Tak ada kebohongan disana. Meski untuk beberapa saat pemuda itu menyadari jika ada rasa cinta yang tumbuh di sinar mata gadis itu, tetap saja tak menggoyahkannya. Tampak tangan lebar itu mengepal seakan marah dan kesal melihat keadaan Raya saat ini."Kau tak akan menangis seperti ini lagi, Raya, mungkin ini sudah waktunya bagiku merampasmu dari tangan Alex." Bisik Arya hampir tak terdengar****Semburat jingga tampak di ujung langit, seolah pertanda berakhirnya kekuasaan Sang Surya hari ini, keperkasaannya di bumi mau tak mau harus digantikan kelembutan oleh Sang Dewi Malam.Perlahan, Sang Surya mulai tenggelam, didukung oleh langit terlihat sangat bersih tanpa adanya awan menutupinya, membuat mata Raya seakan terpukau dengan keindahannya."Kau berkata benar, mas. Sunset disini memang sangat bagus, terima kasih sudah mengajakku kesini," puji Raya."Jika kau ingin menikmatinya, kau bisa tinggal menelponku saja," balas Arya.Arya memandang waj
"Ehm, tunggu Raya! Apa aku bisa mengatakan sesuatu padamu?" Cegah Arya begitu melihat Raya hendak keluar dari mobil."Apa mas? Katakan saja. Kau terlihat begitu tegang." Tanya Raya."Apa kau bisa memberikan aku sedikit ruang di hatimu. Andai kita bertemu lebih dulu, apakah aku bisa mendapat sedikit perhatian darimu?"Raya terpaku, ia tak menyangka jika pemuda dihadapannya bisa berkata hal jujur seperti ini kepadanya. "Kau sudah pernah mengatakan hal ini padaku sebelumnya, mas!""Aku tahu, tapi kali ini aku ingin mendengar jawaban darimu.""A-aku masuk dulu, mas. Hati hatilah di jalan. Terima kasih sudah menemaniku hari ini." Ucap Raya mencoba menghindar."Aku akan tetap menunggu jawaban darimu, Raya." Ucapan Arya kembali membuat Raya hanya bisa mengulas senyum getir di wajahnya. Lalu, melambaikan tangannya sebelum membalik badan, meninggalkan Arya yang masih memandangnya penuh harap.****Dua minggu kemudian."Aku pergi dulu," pamit Raya pada Alex, ketika pemuda itu sedang asyik men
"Ah, dia menutup teleponnya. Dia pikir siapa dirinya?" Alex berdecak kesal.Mobil Ferarri merah itu kini melaju menuju kearah Serpong, wajah Alex masih terlihat kesal, entah mengapa ia memutuskan pergi kerumah ibunya."Awas saja kalau aku melihatnya ada di rumah mama. Akan kuhabisi dia nanti malam." Ucap Alex dengan seringai diwajahnya yang penuh arti.****Mobil Alex kini sudah berhenti di depan rumah ibunya, di Serpong, mata pemuda itu menelisik sekitar. Raut wajahnya terlihat kesal dengan bibir yang terus berdecak.Alex menyandarkan tubuhnya, lalu mencabut kunci mobilnya. Ia tak langsung keluar, tapi masih terpaku di belakang kemudi. Keningnya berkerut, seakan sedang memikirkan sesuatu."Akhirnya, sampai juga kemari," gumam Alex sambil menatap dalam kearah rumah keluarga Pak Bambang, tempat dimana ibunya tinggal sekarang.Dengan langkah malas, akhirnya Alex keluar dari mobilnya. Cuaca panas siang ini, seakan ikut membakar hatinya. Wajahnya masih nampak kesal, lalu berjalan menuju p
"Apa yang kau inginkan?""Sederhananya, aku ingin kita menghabiskan malam ini berdua. Aku ingin tidur denganmu disini," bisik Alex lembut ditelinga Raya.Ucapan Alex seketika membuat mata Raya terbelalak lebar. Helaan nafas Alex kini terdengar ditelinga Raya, karena jarak mereka yang sangat dekat. Membuat degup jantung Raya kini tidak menentu."Ada apa denganmu. Kenapa bertingkah aneh seperti ini?" Tanya Raya dengan tatapan mata penuh tanya.Alex tak menjawabnya. Tangan pemuda itu kini lembut membelai rambut panjang Raya lalu menyibaknya ke belakang, tampak leher jenjang Raya yang putih menggoda."A-apa yang ingin kau lakukan?" Tanya Raya gugup."Menikmati malam pertama kita yang tertunda."****"Pergil kau, Menjauh dariku!" Usir Raya spontan.Alex membaringkan tubuhnya diatas ranjang sambil melingkarkan tangannya di pinggang Raya. Untuk sesaat mereka diam ketika pandangan mata mereka saling bertemu."Apa kau sedang sakit?" tanya Raya sambil meletakkan salah satu telapak tangannya di
"Terima kasih kau sudah bekerja keras untukku selama ini, jika perasaanku sudah lebih baik. Aku akan segera kembali, saat itu kau ambil semua kontrak. Aku tak akan menolaknya." Ujar Stella lalu menutup teleponnya."Maaf, tapi yang kubutuhkan saat ini adalah menjauh, karena jika aku tetap melihat Alex dan Raya bersama, akan membuatku sulit untuk bertahan. Aku butuh waktu untuk melepas segala beban ini dan menerima semua kenyataan ini." Aku butuh ketenangan untuk menata hidupku kembali." Bisik Stella hampir tak terdengar.****Tiga minggu kemudian."Kau benar- benar akan pergi?" Tanya Alex pada Arya, kakak tirinya. Ia sengaja datang ke rumah keluarga Pak Bambang. Untuk memastikan ucapan ibunya yang mengatakan bahwa Arya akan berangkat ke Australia, awal bulan depan."Iya, aku sudah memutuskan untuk melanjutkan pendidikanku disana." Jelas Arya membenarkan pernyataan Alex."Kapan kau akan pergi?" "Minggu depan." Jawab Arya."Kau pergi bukan karena menyerah, bukan?""Anggap saja itulah a
Maaf, Kita Sudah MantanWajah mereka saling berhadapan satu sama lain, rona kemerahan nampak dipipi Raya, rasa malu membuat gadis itu memalingkan wajahnya, melihat sikap Raya yang masih malu, Alex membelai lembut pipi wanitanya."Aku ingin memiliki anak darimu, bisakah kita memulainya malam ini," goda Alex."Kau memang pria mes*m, entah mengapa aku bisa mencintaimu." Balas Raya tersenyum.***Tiga hari sudah Alex berada dirumah mertuanya, dan hari ini mereka akan kembali ke Jakarta, karena pekerjaan Alex yang sudah menunggu. Ada rasa haru ketika Bu Hartati melepas kepergian anak dan menantunya. Namun, setidaknya ia tak perlu khawatir lagi, karena Alex sudah berjanji akan menjaga dan membahagiakan putrinya seumur hidup.Tangan Bu Hartati melambai begitu Alphard hitam itu bergerak dan semakin menjauh, duduk dikursi belakang ada Alex yang berdampingan dengan Raya, sementara Pak Budi duduk dibelakang kursi kemudi. Perjalanan belasan jam akhirnya dilewati tanpa terasa karena rona bahagia
[Aku mencintai Raya. Tolong jangan mengganggunya lagi.]Kalimat itu terdengar sangat tegas diucapkan Alex. Membuat Arya mengerti jika ia tak akan pernah bisa bersaing dengan Alex. Ia pasrah jika akhirnya harus melepas Raya kembali pada Alex.Arya membuka laci meja kerjanya dan melirik pasport yang ada didalamnya. Tangannya kemudian meraih pasport itu dan menatapnya cukup lama."Mungkin sudah saatnya bagiku untuk mencari seseorang yang benar-benar bisa menerimaku." Lirihnya pelan.***Alphard hitam menepi tepat didepan pagar rumahnya. Deru mobil itu masih terdengar, tak lama nampak ada seorang pria yang keluar dari arah pintu kemudi, lalu berputar arah, mengeluarkan sebuah travel bag dan koper.Raya dan Bu Hartati masih memperhatikannya, sinar lampu tak cukup terang untuk melihat siapa gerangan yang baru saja keluar dari sana. Rasa penasaran membuat Bu Hartati fokus menatap pria itu."Mobil siapa itu?" Bu Hartati mengulang pertanyaannya, tanpa menoleh."Entahlah, aku tak tahu, mak. Tap
"Kau ada disini, Raya? Mak pikir kau sudah tidur, nak?"Sapaan Bu Hartati membuat Raya sedikit terkejut, refleks ia menoleh kearah ibunya yang berdiri di bibir pintu lalu duduk di sebelahnya, di kursi rotan panjang ini."Belum.""Apa hubunganmu dengan Alex, masih bermasalah?" Tanya Bu Hartati pada putrinya.***"Sedikit," jawab Raya."Kau mau cerita pada emakmu ini, nak?"Raya menghela nafas panjang begitu mendengar ucapan ibunya. Ada rasa terharu dalam hatinya atas pertanyaan ibunya. Membuat perasaan saat ini sedikit lebih baik."Alex dan aku memang menikah karena suatu alasan. Kami bertemu pertama kali di ..." Raya mulai menceritakan awal mula pertemuan mereka hingga akhirnya sepakat untuk menikah. Sesekali gadis itu terdiam, dan mengigit bibirnya, kala ia harus menceritakan bagaimana selama pernikahan, mereka tidak pernah berbagi tempat tidur.Bu Hartati menggelengkan kepalanya tatkala mendengar penjelasan putrinya. Ada rasa iba saat ia menatap ke wajah anak sulungnya itu. Sorot ma
"Aku hanya kau tidak ingin melewatkan kesempatanmu untuk menjadi lebih bersinar. Karirmu sedang bagus saat ini. Cobalah untuk berpikir ulang dan mempertimbangkannya lagi."Stella menghela nafas panjang, ia tahu akan sulit baginya untuk menolak keinginan managernya. Hanya saja saat ini yang diperlukan olehnya adalah menyembuhkan luka hatinya."Baiklah. Aku akan mempertimbangkannya lagi, tapi jika nanti keputusanku sudah final, kuharap kau bisa menerimanya." Ujar Stella lalu memutuskan sambungan teleponnya.****Mata Bu Hartati mendelik tajam pada Raya, putri sulungnya yang baru saja tiba lima menit yang lalu dari Jakarta. Tatapan wanita berusia empat puluh tahunan itu terasa menghujam seakan mengetahui alasan dibalik kepulangan putrinya. Meski dalam hati sebenarnya ia gembira karena Raya pulang mengunjunginya tetap saja ia tak bisa menepis rasa kecewanya akan sebuah kebohongan.Dua hari yang lalu, Bu Sekar, besannya telah meneleponnya dan membeberkan alasan dibalik pernikahan mereka, i
"Aku dalam perjalanan ke Palembang." Lapor Alex pada istrinya begitu panggilan teleponnya tersambung. Tak lama, wajah Alex nampak mendengkus kesal, karena lagi lagi Raya memutus sambungan teleponnya."Dasar kepala runcing. Entah mengapa aku bisa jatuh cinta dan menikahi wanita keras kepala seperti dirinya." Rutuk Alex yang langsung di sambut gelak tawa oleh Pak Budi."Jangan tertawa, pak." Sungut Alex kesal."Maaf, tapi aku tak bisa menahan tawa," ucap Pak Budi lalu menghentikan tawanya."Jangan kesal. Wanita memang seperti itu. Kita para laki-laki yang harus mengerti dan berjiwa besar menerima sikap mereka yang kadang kadang absurb dan membuat kesal. Istri saya juga sering marah pada saya tanpa alasan yang jelas." "Istri saya, kalau sudah kelihatan gelagatnya mau marah, saya langsung menyingkir pak. Soalnya bisa panjang urusannya. Apalagi kalau sudah mengomel. Wah, alamat tidur sama guling di luar saya pak," gurau Pak Budi sambil tetap fokus dengan kemudinya."Biasanya apa yang bisa
"Itu biasa terjadi, karena Mas Alex panik. Maka, hal kecil dan terlihat sepele bisa terlupa.""Mungkin saja kau benar. Terima kasih karena sudah membantuku dan maaf, jika aku sudah mengganggu waktu istirahatmu." Tutur Alex."Sama sama dan cobalah untuk menelponnya lagi. Siapa tahu kali ini Raya akan menjawabnya." Winda mencoba memberi saran.****Raya memandang ke luar jendela. Pemandangan malam yang gulita kini menghampirinya. Sesekali tampak kerlipan lampu jalan, membuat perjalanan pulangnya terasa syahdu. Rasa rindu kepada keluarga membuatnya tak sabar ingin segera bertemu dengan keluarganya.Malam kini semakin larut, Raya melirik layar ponselnya yang sudah menunjukkan pukul sebelas tiga puluh malam, ada puluhan notifikasi panggilan telepon masuk ke ponselnya yang tidak disadarinya. Sejak keluar dari rumah Alex, ia mengaktifkan mode senyap (silent) pada ponselnya.Sepanjang perjalanan Raya hanya diam, membuang pandangan keluar jendela, menikmati pemandangan malam, di sebelahnya dud
"Tak apa. Jadikan itu sebagai pelajaran untukmu. Jika suatu saat nanti ada pemuda yang jatuh cinta padamu, kau bisa lebih menghargainya." Ujar Arya bijak.Stella tersenyum getir mendengarnya. Tak lama, ia kembali menuangkan wine yang tersisa di botol ke dalam gelas, lalu dengan cepat, tanpa sempat dicegah, ia meminumnya sampai habis. ***"Hidupku terasa menyedihkan. Aku ditolak oleh orang yang selama bertahun tahun, perasaan cintanya kuabaikan. Rasanya tak akan ada lagi yang bisa mencintaiku seperti dirinya dulu." Isak Stella lirih.Lama Arya terdiam, karena tak tahu bagaimana harus bersikap atas pernyataan Stella barusan. Stella meliriknya seakan menunggu reaksinya. Karena merasa Arya mengacuhkan pernyataannya, akhirnya membuat Stella berdiri dan mengambil sebotol Red wine lagi dari dalam lemari kaca yang berada tak jauh darinya."Jangan minum lagi," Arya berusaha mencegah ketika melihat Stella memegang alat pembuka tutup botol."Kau tak perlu cemas. Aku tak akan mabuk." Stella terk
"Bu Raya bilang jika nanti bapak pulang, tolong masuk ke kamarnya."Setelah mendengar pesan yang disampaikan Pak Anton, Alex langsung membuka kunci rumahnya dan langsung berjalan menuju ke kamar Raya. Perasaan gelisah bercampur dengan rasa penasaran membuat Alex lupa untuk menelpon Raya dan bertanya langsung padanya. Tangan Alex nampak jelas sedikit gemetar begitu membuka pintu kamar Raya. Matanya menjelajahi tiap sudut ruangan. Hingga akhirnya ia menemukan sebuah amplop berwarna putih di atas nakas.***Drrtttt!Ponsel Arya bergetar, tepat disaat ia baru saja hendak keluar dari ruang kerjanya. Dengan cepat tangannya merogoh ponselnya dari dalam saku jasnya.Raut wajah Arya seketika berubah ketika melihat nama yang tertera dilayar pipih itu. Sebuah pesan singkat yang dikirim Stella padanya. Pesan yang berisi agar ia bisa datang ke apartemen gadis itu.Arya meraih tas kerjanya lalu keluar dari ruangannya. Ia melirik sekretarisnya yang masih merapikan mejanya, lalu berjalan menuju temp