Nilam bercengkrama dengan Mak dan Hwa di ruang tengah, sebelum tidur. Mereka membahas Hanif dan Juju yang belum juga ditemukan. Menurut Hwa, jejak mereka terhenti saat sudah masuk terlalu jauh di hutan, besok mereka akan kembali ke tempat yang sama.
Nilam kembali menangis, rasa bersalah terus menghantuinya. Tak lama, ia pamit beristirahat ke bilik Mak, sementara Hwa tidur di kamarnya.
Nilam mengerjakan salat Isya sebelum tidur. Ia sudah bisa mengira arah kiblat, begitu melihat letak matahari tenggelam tadi. Melihat khusyuknya gadis itu berdoa hingga terisak, Mak menunggunya selesai untuk bertanya.
Nilam berbaring di sisi wanita tercinta, ia memiringkan badan agar leluasa memandang wajah Mak. Cerita gadis itu mengalir, bagaimana hatinya rindu mengenal pencipta. Nilam cerita tentang Hanif dan keluarga Babe.
Mak terlihat berkaca, terha
Nilam dan Hwa bersama delapan warga lain menyusuri rimba, mereka membentuk tiga grup terpisah. Dalam rencana akan bertemu kembali di titik tengah, sekitar tempat teman Nilam menghilang. Mengulangi lagi area pencarian kemarin, karena di sekitar itulah ditemukannya jaket Hanif.Sejak pagi hingga siang mereka hanya berhenti untuk makan. Masakan itu Mak buat untuk semua warga yang membantu.Nilam berniat ibadah Dzuhur. Ia berwudu di sungai tak jauh dari tempat mereka istirahat. Air jernih yang mengalir terasa dingin saat tersentuh kulitnya. Ia mulai meraup wajah, meratakan hingga garis rambut. Rasa letih dan khawatir dirasa terlepas, berganti segar.Saat akan menyapu air ke tangan kanan, ujung matanya melihat sesuatu bergerak mendekat. Seekor ular hitam berenang cepat ke arahnya. Nilam sejenak terpaku.“Ular lagi …?&r
Selepas salat Magrib, Nilam membantu Mak mencuci piring bekas makan malam. Letak tempat pencucian piring di bawah, duduk pada bangku kayu pendek, menghadap baskom besar hitam. Mak mendekat, terdorong rasa ingin bicara berdua dengan Nilam tak tertahan sudah sejak tadi. Mak khawatir terjadi apa-apa lagi, karena Ki Arya masih hidup. Namun, dari belakang ia melihat punggung Nilam kaku tak bergerak. Perlahan langkah Mak mendekat. Matanya membeliak melihat sebuah bayang gelap menahan dan membekap mulut Nilam. Mata gadis itu hanya bisa melotot. “WUAAAA!! TOLOOONGG,” teriak Mak sekuat tenaga. Bayangan itu melesat cepat, empat piring kaca terlempar karena angin kencang dari sosok itu saat melesat. Napas Nilam tersengal-sengal, Mak cepat mengusap-usap punggungnya. Suara pec
Setelah berlari tanpa arah ke hutan, mengikuti panggilan yang terus menggema penuh amarah di telinganya, Suci terhenti pada sebuah rumah papan tanpa warna. Ia sendiri tak jelas ini bagian hutan mana dari dukuhnya.Perempuan itu melangkah perlahan, masuk. Tepat saat seorang lelaki tua berteriak berang. Membuat Suci mundur.“Kalian tidak berguna! Percuma!!” Sumpah serapah dari mulut tertutup kumis itu menggetarkan tubuh Suci. Terbaca olehnya kalau usaha lelaki tua itu kembali gagal.Suci kembali maju, netranya bertemu mata besar yang memelototi. Baru sekarang ia bertemu muka langsung dengan orang yang mengikatnya dalam perjanjian laknat itu saat terang, terlihat jelas wajah hitam legam dengan mata besar. Orang yang sering menculiknya dalam gelap dan sekejap bisa masuk ke ruang ini.Suci amat hafal suaranya.
“Ni?” Nilam menoleh cepat ke arah suara tak asing dari pintu. Dian masih dengan pakaian kerja dan tas di tangan masuk, memandang tak berkedip pada gadis yang baru menyelesaikan salat Magrib itu. “Ya Allah, kangen banget ame loe, Ni.” Nilam dipeluknya erat, membuat napasnya sedikit sesak. “Lama banget pulangnya?” lanjut Dian memegang kedua pundaknya, memperhatikan ia dari atas ke bawah, kemudian naik lagi, berhenti tepat di wajah Nilam, menatap penuh selidik. ”Lu, nggak lupa kita, kan?” Kening Nilam berkerut, temannya ini tak memberikan kesempatan untuknya menjawab. “Eh, ada Mak, Ni.” Tangan Mak cepat Dian raih dan ditempelkan pada dahi, sambil perkenalkan diri. Melihat itu Nilam akhirnya tertawa. “Kamu kenapa, sih, Di? Kemarin lupa sama aku, sekarang enggak lagi?”
“Loh, mau kemana, Ni?” Juju menghentikan motor di dekat Nilam yang baru keluar dari pagar. “Hai, Ju. Ke Bulek sebelah, Mak minta dibelikan sayur, mau masak sendiri.” Gadis ber-sweater kuning dengan rambut dikuncir satu itu sejenak menghentikan detak jantung Juki. Wajah alami Nilam tak terpoles apa pun, tampak bersinar. “Loe, baik-baik aja ‘kan? Eh, maksudnya udah gak ada yang aneh?” Juju bingung atas pertanyaannya sendiri. Nilam tertawa kecil. “Harusnya aku yang nanya, kamu sudah segar, kok udah masuk kerja?” Juju mengepal tangan, perlihatkan otot yang menggembung di balik jaketnya. “Nggak liat ini? Sudah pastilah sehat, Alhamdulillah. Gue mau masuk kerja, nggak ada kerjaan di rumah.” Nilam menutup mulut agar tak sampai ngakak. “Kerja, tapi kok ke sini?” “Iya mau
Sebelum Subuh Hanif sudah tiba di pesantren milik Kyai Hamid di daerah Jakarta Selatan. Ia berniat ikut kajian gurunya ba’da Subuh. Ilmu yang didapat diharap memberi energi baru pada imannya yang serasa menurun, hati mulai terisi dengan keinginan selain-Nya. Suasana di lingkungan bangunan berlantai tiga itu membuat hatinya tentram. Ia bukanlah murid di sini, tapi Kyai pemimpin pondok ini adalah guru juga panutannya selama di Kairo. Mengenal beliau yang sangat tawadhu, selalu siap membagi ilmu dan memperhatikan semua yang ingin belajar itu sangat melekat di hati Hanif. Kelak ia ingin bisa seperti beliau. Tetap rendah hati saat diri disanjung dan diminta ilmunya, itu merupakan hal terberat sebagai manusia, godaan untuk berkuasa atas orang lain pasti selalu membisiki. Setelah selesai, Hanif berkesempatan ngobrol bersama. Lelaki ramah senyum ini menyampaikan periha
Juju tak tahu harus apa, ia beranjak, melangkah cepat ke rumah Babe. “Di mana Bang Hanif, Be?” “Tadi kembali ke pondok, dipanggil lagi buat ngisi acara anak santri ba’da Magrib.” “Hei, ke mana lagi, lu?” Juju seperti orang bingung, mendengar pertanyaan Babe langkahnya terhenti di pintu. “Sebentar, Be,” jawabnya singkat, lalu terburu keluar. Juju kembali ke belakang, ia berharap apa yang terlihat tadi sudah lenyap. Begitu matanya tertuju ke arah yang sama, sosok itu masih tetap ada di sana, sekali terlihat lenyap kemudian bisa tampak lagi. Bulu kuduk Juju meremang. Ia kembali duduk di selasar Nilam, suara gadis itu masih terdengar seakan tak pernah lelah walau sudah sedikit serak. Setelah mengatur napas dalam istighfar berkali-kali, ia membuka applikasi My Quran di
Pagi-pagi Juju sudah datang menjemput Nilam.Sambil duduk di serambi kaki Juju bergoyang, tanda gelisah.“Lu kayak cacing kepanasan aje.” Babe tiba-tiba berdiri di dekatnya.“Iya, nih, Be. Pesan Juki belum dibalas. Tadi skalian nanya, jadi nggaknya Nilam masuk hari ini. Mau ditelpon ntar dikira ngebet banget nanya.”“Emang bener lu udah ngebet, kan? Doa aje, mane nyang terbaik, jan maksa."“Iye. Doa dan usaha, ya, Be.”“Hehehee, dasar anak mude zaman sekarang ….” Babe menggeleng-geleng kepala sembari lanjut mengurus tanaman dengan siraman segar air di pagi hari.Sambil menunggu sesekali Juju menjawab pertanyaan Babe tentang kabar ibunya, yang memang sudah beberapa lama belum tid
Wajah Nilam pucat pasi. Pemuda yang ia kenal sopan, bagaimana bisa berubah bagai singa yang siap menerkam? Gigi Kusdi saling beradu ketat, mata merah tak lepas memandangnya dengan rona amarah sengit. Belum lagi dari tubuh pemuda itu menggeliat, menerjang siapa pun yang mengganggu. Walau sia-sia saja, karena puluhan santri dengan kekuatan cengkaraman juga dzikir mampu mengendalikan geraknya. Tubuh pemuda itu tertawan, hingga akhirnya tergolek lemah kehabisan tenanga. Sekarang ia sudah dibawa ke ruang kesehatan milik pondok ini. Nilam bersyukur kejadian barusan saat ia di pondok, sehingga ada banyak yang membantunya. Andai Kusdi menyerangnya di rumah, maka ia tak tahu apa yang akan terjadi dengan diri dan keluarganya. Ternyata semua masih berkaitan dengan kalimat yang menjadi momok untuknya dulu ‘Tumbal Kesembilan’. Kata-kata dari mulut Kusdi itu tadi mengingatkannya pada kejadian sepulang dari Dukuh Gelap. Sungguh tak disangka dirinya masih dijadikan target tumbal. “Mau minum lagi
Semuanya jadi menatap ke pintu.“Eh, Pak Malvin?” gumam Nilam dengan mata sedikit membesar. Ia kaget melihat di sana ada lelaki yang pernah mampir ke laundrynya bersama Hwa beberapa bulan lalu.“Assalamu’alaikum…”“Wa’alaikummussalam ….”“Oom Apiin!” Ali menghampiri lelaki itu. Ali dan Malvin memang akrab sejak bertemu pertama di acara pernikahan Hwa, saat itu Nilam memang datang membawanya.“Sama siapa, Pak?” Nilam bertanya setelah persilakan tamunya duduk. Sebenarnya ia menahan tanya, dari mana lelaki itu tahu alamat rumahnya, sebab Hwa saja tak tahu.“Sendiri, Nilam, saya mampir sebentar cuma mau kasih ini buat Ali.” Sekotak besar biru yang dibawa Malvin tadi disodorkan pada Ali, dan langsung mendapat ucapan terima kasih dari anak itu. “Ini hadiah ulang tahun Ali minggu lalu. Tak apa ‘kan om terlambat kasih, kebetulan saya baru ingat.”Ali yang tadi kurang segar mendadak tersenyum lebar, berterima kasih lagi setelah melihat isi kado itu. Ia dan Mischa yang bantu membukakan hadiahny
Mata gelap pekat dari pemuda bertubuh kurus yang terus menatap satu titik itu menggambarkan sebuah ambisi. Flashback on. Mundur pada kejadian setahun sebelumnya …. Sebuah kampung yang bertetanggaan dengan Dukuh Gelap, tengah terjadi keriuhan di salah satu rumah warga. Mereka berkumpul dengan wajah-wajah emosi meneriakkan serapah, wujud kemarahan pada satu orang warga mereka. Telah 30-an orang berkumpul hingga datang seseorang yang mengaku melihat kejadian tadi, ia pun mengarahkan puluhan orang memegang obor itu menuju sudut kampung. Mengarah pada satu rumah tua kosong. Mereka percepat langkah melihat ada titik cahaya dari dalam menandakan benar ada orang di sana. Sementara itu … di dalam bilik rumah kayu tersebut tampak lelaki muda berkulit gelap tengah siap menggagahi seorang gadis yang dalam keadaan tak sadarkan diri. Gadis berkulit putih mulus yang dikenal sebagai kembang desa telah ia bebaskan dari pakaian penutup. Menatap semua yang tampak di depan mata seperti singa kelaparan
“Aneh …,” gumam Nilam sambil menoleh pada Ali dalam gendongan.“Ali nggak apa-apa, Nak?” Makin merasa aneh ia melihat Ali yang biasa ceria tiba-tiba pendiam. Tanpa disadarinya itu terjadi sejak tadi, saat ia bicara dengan Kusdi.Anak itu berkedip sayu membuat Nilam mengira Ali sedang mengantuk.“Nanti tidurnya, jam segini tanggung. Ali belum makan ‘kan?”Nilam bicara sambil menyeret langkah ke belakang. Ia yang dalam keadaan agak linglung memanggil mama mertuanya.Namun, tidak ada jawaban. Ali yang semakin berat membuat tangan Nilam pegal, ia pun mendudukkan anak itu di kursi makan.“Ali makan dulu. Maafin mama ya sampe lengah gini.” Diusapnya wajah Ali dengan tangan basah. Namun tetap saja wajah itu tampak loyo.Masuk makanan tiga suap setelahnya Ali menolak.“Baik kalau sudah nggak mau. Minum dulu.”Usai itu ia menggamit Ali akan ke kamar. Saat ka
Tiga tahun berlalu …. “Ali!” Perempuan berhijab kuning gading keluar pintu rumah, celingukan ke arah sekitar halaman. Baru mengembuskan napas lega melihat orang yang dicari ada di sana. “Eh, anak mama lagi ngapain?” Perempuan itu tak lain adalah Nilam, ia mendekati anak lelaki yang sedang berjongkok menatap sudut selokan pembuangan air. Tadi, Ali--putranya yang sudah berusia tepat tiga tahun minggu lalu itu tiba-tiba hilang dari pandangan. Padahal sebelumnya Nilam masih melihat anak itu bermain di ruang berbatas dengan dapur. Tak bisa dirinya lengah sedikit pun, Ali bisa tiba-tiba begini. “A-da Olang!” kata bocah berbibir merah itu terbata menunjuk pojokan. “Orang?” Sempat terhenyak tapi kemudian segera menggeleng, Nilam mengangkat tubuh mungil itu, untuk digendong di pinggangnya. “Nggak ada orang, Sayang. Ayo, kita main di dalam. Kalau di sini mama nggak lihat Ali main.” Nilam mengecup gemas si pipi gembil. Saat Ali kembali menoleh ke belakang dari balik pundaknya, perempuan ya
Tiba di tempat yang disebutkan petugas kepolisian Nilam, ibu mertua, dan saudara Juju melihat di lokasi kejadian mobil Juju menghilang sudah ramai kerumunan orang. Hardtop kuning yang pernah sampai di Dusun Gelap itu ada di bahu jalan, dan sedang dipasang garis polisi."Ini baru terlihat, ada yang laporan langsung kita hubungi keluarga," jelas petugas yang sudah mengenal keluarga Juju itu."A-ape di dalam ade anak enyak, Pak?""Iya, ada, Bu. Keluarga harap kuat, karena ini kejadian kita sudah tau lama jadi kondisi korban tidak bisa ditolong."Obrolan terputus saat sirene mendekat. "Itu ambulans. Keluarga diperbolehkan melihat dari jauh dulu. Kita langsung ke rumah sakit." Setelah menyebutkan nama rumah sakit yang dituju petugas bersuara tegas itu meninggalkan mereka.Nurmi dan Nilam saling berpegangan
Mereka pun janjian bertemu besok pagi. Nilam ingin memastikan kalau itu benar-benar sosok nyata sahabatnya. Nilam kembali merosotkan badan berbaring. Menyambungkan kejadian Juju dan kembalinya Dara, membuat kepalanya tak bisa menemukan jawaban pasti bagaimana itu bisa terjadi. Ia pun mengalihkan pikiran dengan memandangi sisi sebelah tempat tidur, tempat biasa Juju tidur. Menghidu dalam udara di ruang 4x5 meter ini yang masih meninggalkan aroma tubuh suami. Nilam masih ingin di sini sampai tiga hari besok, baru kembali ke pondok. Kamar sepi tanpa seseorang yang biasa di sebelahnya ini memang terasa berbeda, tapi ia sudah berjanji akan mengikhlaskan. Demi senyum yang diinginkan suaminya di mana pun sekarang berada. Suami juga manusia, ia hanya titipan sementara untuk bersama, karena suatu saat akan pergi juga pada pemilik yan
Dian memeluk Nilam yang memejamkan mata kuat. Mendorong bulir air mata kembali jatuh. Perasaannya makin tak enak. Ada suara tangisan di bawah sana. Tak lama muncul Tri dengan wajah tegang dan mulut sedikit membuka. Matanya berkaca-kaca menatap wanita yang tampak lemah itu sebelum memeluk erat. Tubuh Nilam mendadak kaku. Benarkah ini ...? Jika benar beri aku kekuatan .... Tri menahan isak, begitu juga Dian merangkul kedua sahabatnya dengan linangan air mata tanpa suara. Nilam mematung, merasa ini seperti mimpi untuknya. Sentuhan terakhir Juju masih terasa nyata, seperti baru saja terjadi. Ia tak yakin bisa kuat jika dipaksa menerima kenyataan kehilangan cintanya. Setelah merasa cukup tenang Nilam digamit dua sahabatnya turun. Beranikan diri ia mem
Di luar hujan belum jua reda. Nilam pun memperpanjang doa selepas ibadah Ashar. Hujan adalah kesempatannya bermohon ampun sampai berlinang air mata, tanpa ada yang mendengar suara yang sengaja ia keluarkan melawan deru hujan menerpa atap. Rindu pada ibu, rindu pada bapak yang sejak kecil menghadap-Nya, juga rindu pada teman-teman entah kenapa hadir semua di hatinya saat ini. Nilam juga merindukan pada suami yang akan mendekapnya erat saat hujan begini. Semua rasa itu tumpahkan tuntas dalam doa terbaik untuk semua orang tercinta, sampai kepalanya terasa ringan bersamaan dengan berhentinya hujan. Refleks ia mengusap tengkuk hati-hati. Merasakan ceruk yang waktu itu teraba dalam tidak ada. Kulitnya terasa rata kembali seperti semula. “Alhamdulillah … terima kasih ya Rabbku,” sujud syukur ia menempelkan kembali dahi ke sajadah.