Gadis itu terpaku, matanya menatap dengan perasaan campur aduk. Kakinya berusaha menghindar, tapi cengkeraman wanita itu sangat kuat. Serasa betisnya digenggam erat sampai tulangnya mati rasa.
Bagai diperas oleh tangan-tangan kejam, serasa cairan merah mengucur dari sana. Suara wanita paru baya yang menangis itu semakin lama berubah menjadi jeritan dicampur dengan tawa.
"Bu, anda kenapa?" Keinara mencoba untuk menyadarkan wanita itu dari sujudnya.
Perlahan telapaknya mengusap bahu sang ibu rumah tangga, sentuhannya disambut dengan tawa. Suara seperti retakan terdengar ketika wanita itu menoleh ke wajahnya dengan perlahan. Mata yang memutih dan senyum penuh kekejaman tergambar di wajah hancur wanita itu.
"KAMU TIDAK AKAN PERNAH BISA PERGI!" ucap wanita itu dengan suara berat.
Seketika Keinara mematung, ia mengalihkan pandangan ke arah wanita-wanita yang berkumpul di sana. Raut-raut menyeramkan itu tertangkap oleh matanya, keadaan wanita-wanita itu tak jauh berbeda.
Mereka melototkan mata putihnya sembari menunjukkan gigi-gigi tajam penuh cairan merah. Luka-luka yang berada di sekujur tubuh menjadi tempat bersarang bagi ulat dan belatung membuat gadis pengasuh itu bergidik ngeri.
Gadis itu mencoba menarik kakinya dari cengkeraman tangan berkuku tajam itu, sembari berkomat-kamit berdoa dalam hati. Namun tangan iblis itu begitu kuat memegangi betisnya.
"Kamu tidak akan bisa lari ... Keinara!"
"S-siapa kamu? Siapa kalian?" Sang pengasuh tak kuasa mendengar kata-kata yang tak ia mengerti.
Ia menutup kedua telinganya dengan kuat sambil menangis sembari berusaha melepaskan dari dari cengkeraman wanita yang entah sedang apa. Kini, ibu paru baya itu merangkak menjangkau tubuh Keinara.
Namun, sebelum itu terjadi, gadis itu berhasil melarikan diri. Langkahnya begitu kencang dan gerombolan wanita berwajah aneh itu mengejar. Tanpa sadar dirinya sudah melangkah jauh dari pedesaan, berada di hutan yang amat gelap.
Kegelapan di sana secara tiba-tiba menyelimuti hutan itu, tapi ia berusaha untuk berlari. Suara-suara aneh yang memohon agar gadis itu tidak melupakan seseorang berdengung, menggema di hutan.
"Keinara ... Keinara."
Suara itu terus memanggilnya.
"Siapa kamu? Aku gak tahu siapa kamu?" teriaknya.
Cukup lama gadis pengasuh itu berlari, ia berhenti di sebuah pohon besar yang tumbuh rindang di belakang rumah Vanya. Senyum kebahagiaan di tengah kabut tebal terpancar di wajahnya. Segera ia berlari ke belakang pohon itu.
Namun, bukan rumah keluarga Yura yang ia dapat, melainkan jurang terjal di sebalik pepohonan lebat. Di titik ini, Keinara mulai frustasi, berteriak tanpa henti mencari pertolongan.
"Aku mau pulang! Aku gak mau di sini," tangisnya.
Gadis itu bersandar setelah lelah berteriak, lalu tertelungkup menyembunyikan wajahnya sembari menangis. Merintih di tengah sepinya hutan, tapi terhenti ketika dirinya mendengar bunyi seperti dedaunan kering yang diinjak.
Perlahan, ia menggerakkan kepalanya sedikit hingga menengadah ke arah seseorang yang berhenti di depannya. Lagi-lagi, Keinara harus kehilangan suaranya karena berteriak cukup banyak. Apa yang dilihatnya bukanlah manusia.
"Nggak ... jangan kamu lagi," tangisnya saat melihat sosok pemuda dengan wajah setengah h*ncur.
Perlahan-lahan pandangannya mulai kabur, semua menjadi putih kemudian gelap. Entah berapa lama ia tak sadarkan diri, tapi telinganya seakan mendengar suara Vanya dan kedua orangtua anak asuhnya tengah memanggilnya.
"Kei, kamu gak apa-apa?" Suara Yura berhasil membangunkannya dari alam bawah sadar.
Keinara membuka matanya, melihat semua orang berkumpul menatapnya dengan penuh cemas. Netranya melihat bahwa dirinya berada di ruang tamu, ia juga melihat ibu-ibu parubaya yang berkumpul di kedai sayur mengelilinginya.
"Kei, kamu gak apa-apa 'kan?" tanya Yura dengan raut cemas.
Gadis itu tak dapat mencerna apa yang telah terjadi padanya.
"Ada apa dengan saya?" tanya Keinara parau.
"Kamu tadi kerasukan," jawab Lian.
Mata sayu itu kini membulat pepat setelah mengetahui kenyataan yang begitu berbeda dengan yang dialaminya.
***
Waktu yang sama, di tempat yang berbeda. Vanya bermain seorang diri di halaman depan rumahnya sembari bermain bersama boneka kesayangannya. Sesekali ia menoleh ke arah rimbunan pohon bambu yang tumbuh di samping rumahnya, samar sosok pemuda menatapnya dari kegelapan.
Wajah gadis itu menunduk ketakutan, suara tangisnya yang pelan seraya berharap kakak pengasuhnya pulang dari belanja. Ia mengenal sosok itu dan gadis kecil itu mengetahui sesosok yang menjaganya dari kecil tengah marah karena cemburu.
"Maaf ... maafin aku, Kak Kiyo," gumannya sambil menggegam pasir.
Tak lama sebuah mobil berhenti di depan rumahnya, segera Vanya berlari ke arah mobil itu.
"Mamaaa ... Papaaa!" serunya sambil berlari kecil.
Lian segera memeluk dan menggendong putri tunggalnya, melepas rindu karena begitu lama terpisah. Tangan Yura mengusap rambut Vanya dengan lembut dan tersenyum bahwa anak mungilnya baik-baik saja.
"Kamu baik-baik aja, Sayang?"
"Iya, Ma, Pa."
Yura dan Lian mencoba melirik keadaan rumahnya yang tampak sepi, mereka tak menemukan Keinara menyambutnya.
"Kak Keinara mana, Sayang?"
"Kak Kei lagi belanja, Ma," jawab gadis kecil itu, dibalas anggukan Yura.
Keluarga kecil itu melangkah memasuki rumah, masih terasa hawa dingin yang begitu berbeda. Yura menoleh ke arah pintu ruangan gelap yang terbuka, ia tampak aneh saat melihatnya.
Pintu itu terkunci dari luar, kunci pintu tersebut juga tak tahu dimana rimbanya. Ruangan gelap yang terlupakan, tidak pernah dibuka sejak pemilik awal meninggal. Sang ibu muda berpikir bahwa pengasuhnya-lah yang membukanya.
Beralih dari ruang tamu menuju dapur untuk membuat beberapa minuman hangat. Tangan lembut itu dicucinya di atas wastafel lalu mengambil dua cangkir beserta serbu teh.
Ujung matanya menangkap sosok kakek tua yang berdiri menghadap ke arah pohon itu. Pria tua itu tampak memukul-mukul gundukan tanah di bawah pohon itu menggunakan tongkat kayunya. Sementara Yura memperhatikan kakek tua dengan pakaian serba hitam itu.
Perlahan, sang kakek menoleh ke arahnya. Tatapannya begitu tajam, terlihat mata kirinya mengalami kebutaan. Mereka saling beradu tatap sampai suara mengejutkan membuyarkan semuanya.
"AAAAAAAA ... HAHAHAHA!"
Suara itu terdengar dari luar membuat Yura sangat panik. Kembali ia menoleh ke arah sang kakek tua misterius itu, tapi sosoknya mulai menghilang dengan sekejap.
~***~
Yura berlari kencang sambil melupakan keberadaan sang kakek misterius itu. Suara teriakan gadis itu semakin mengeras menggema di ruang-ruang rumah. "Kei!" jerit wanita itu mendapati Keinara tengah kerasukan. Dari bola matanya yang memutih, ada sebuah raut kemarahan dan rasa bangga. Gadis itu telah dikuasai sepenuhnya oleh sosok halus yang merasukinya. Sementara itu, warga yang mengantar Keinara ke rumah Vanya merasa tak kuasa menahan berat tubuh sang pengasuh cantik itu, ditambah tubuhnya terus meronta-ronta."LEPASIN!" jerit gadis itu sambil menepis pegangan para warga. Tepisan itu begitu kuat sampai-sampai para warga terpental sedikit jauh. Tubuh Keinara melayang, suara tawanya kencang membahana seperti tawa seorang pria. Ia berjalan tanpa sadar menuju ke pekarangan belakang rumah, sedang Yura dan yang lain mengikuti gadis itu. Perempuan muda nan cantik itu berdiri mematung menghadap pohon, kemudian berjongkok dan mencakar-cakar gundukan tanah di bawah pohon itu sambi meraung. S
"Pa, lihat, Pa!" seru wanita itu sambil terus menatap ke arah ranjang tidur. Lian terkejut saat ia melihat hal yang tak akan pernah ia lupakan. Pasangan suami-istri itu memandang dengan mata kepalanya sendiri saat tubuh Keinara melayang di atas ranjang. Gadis itu tampak lemas tak berdaya dan matanya terpejam. "Tidak mungkin," gumam Lian menenangkan pikirannya yang tetap tak percaya dengan semua hal janggal itu. Aroma semerbak kayu yang tengah dibelah itu tercium sangat kuat di sekeliling kamar sang pengasuh. Pandangan pasutri itu tiba-tiba kabur, tangan mereka mencoba meraih tubuh Kei. Samar sosok hitam muncul seakan menggendong tubuh gadis itu. Semakin lama, sosok itu semakin jelas. Hingga titik dimana mereka lebih melebarkan mata, tubuh yang lemas itu serasa kaku seketika. Di hadapan mereka bukanlah sosok manusia. "GADIS INI MILIKKU!"Suara berat menggelegar, tapi sebaliknya suara pasangan suami-istri seakan dibungkam dan mereka tak bisa membangunkan Keinara. Mereka terpaku mel
Keinara merasa ragu untuk keluar dari rumah itu setelah kejadian semalam, ditambah gangguan yang menyerangnya sering kali ia dapatkan. Baik siang maupun malam, makhluk halus di dalam sana seakan tak ingin dirinya tenang. Meski pemikiran untuk dropout dari tempatnya berkuliah terus mengitari kepalanya, tapi seorang dosen mencegahnya untuk pergi dari sana. Itulah mengapa pagi ini, dirinya sudah siap untuk berangkat kuliah. "Bu, saya pamit kuliah dulu ya?" Dijabatnya tangan sang nyonya rumah kemudian diciumnya tangan lembut itu. Yura merasa sangat cemas dengan keadaan pengasuh putrinya, ia tak khawatir akan terjadi sebuah hal buruk menimpanya. "Kamu yakin mau berangkat ke kampus, Nak?" tanya wanita itu dengan perasaan yang dilema di antara kekhawatiran. "Iya, Bu. Saya yakin. Cuma bentar aja, kok, nanti saya balik lagi." Ucapan Keinara itu sedikit membuat hatinya tenang, tapi dirinya juga masih mencemaskan gadis itu. Hingga waktu dimana Yura harus melepas Keinara untuk pergi sejenak
Lian melangkah menuju ke teras sebuah rumah megah, pemilik dari rumah yang ia tempati. Ada hal yang harus diselesaikannya terutama urusan gaib yang menyerang keluarga dan pengasuh putrinya. Kedatangannya itu disambut hangat oleh seorang pria bertubuh gempal dengan perawakan yang bersahaja, mereka saling menjabat tangan kemudian berpelukan bak seorang sahabat. "Bukankah anda Pak Lian Brawijaya?""Iya, saya Lian Brawijaya yang sempat menghubungi anda."Pria itu mengajak Lian untuk masuk ke dalam rumahnya, duduk di sofa ruang tamu. Rumah itu sangat megah bahkan ruangan-ruangan di sana juga amat luas. Ayah dari Vanya itu menatap ke arah foto pria pemilik rumah, di bingkaimya terdapat tulisan nama Freddy Henderson. "Perjalanannya sangat jauh ya, Pak Lian," ucap pria tersebut yang ternyata bernama Freddy Henderson. "Yah, lumayan, tapi saya sangat bersyukur bisa sampai di sini." "Seharusnya seperti itu karena ... rumah baru anda cukup jauh dari perkotaan, bukan?" Freddy menyipitkan mata
***Perempuan dengan piyama yang masih melekat di tubuhnya itu mulai berjalan menuju ke ruang tamu, lalu berdiri di depan pintu sebuah ruangan kosong yang tidak pernah ditempati itu. "Bu Yura bilang pintu ini tidak pernah dibuka, dikunci pula dari luar. Kata beliau juga kuncinya gak tahu ada dimana. Terus kenapa waktu itu kebuka ya? Siapa yang buka?" gumamnya seraya menempelkan telapak tangannya pada gagang pintu itu. Mencoba menekan engsel pintu itu, rupanya terkunci. Keinara pernah mendengar Yura menutup pintu ini, tapi setelah dicobanya untuk dibuka kembali, secara ajaib pintu itu terkunci. Kejanggalan pada ruangan itu seakan siapa saja tak boleh memasukinya, ada sesuatu yang tersembunyi di dalamnya. "Ya udah deh, mungkin kamarnya emang dibiarin gitu aja," gumamnya yang lalu membersihkan lemari kecil di ruang tamu, di samping ruangan misterius itu. Hal aneh kembali terjadi, tepat saat gadis itu membersihkan debu-debu di atas lemari kecil itu, terdengar suara decit pintu yang te
"Apa alasannya dia gak ngebolehin Kak Kei nemenin kamu main?" Pertanyaan itu kembali terlontar di mulut Keinara dengan perasaan yang masih syok. "Itu karena Kak Kei lagi hamil anaknya," jawab Vanya dengan rintihan. Entah gadis itu harus mempercayai cerita anak asuhnya, tapi yang dikatakan seorang anak kecil bukanlah isapan jempol belaka. Semua menjadi nyata tatkala sang pengasuh mulai merasakan sesuatu yang menggelitiki di dalam perutnya. Kepalanya menunduk ke arah perut yang mulai membuncit meski tak besar. "Nggak ... nggak mungkin! Aku gak mau hamil." Bulir air mata itu mulai keluar dari matanya yang bening, sedang Vanya juga ikut menangis karena cemas dengan keadaan kakak asuhnya. Keinara tak bisa menerima kenyataan bahwa dirinya tengah mengandung bayi setan dari sosok yang entah apa namanya. Tentunya perut yang semakin membesar itu diketahui oleh Yura dan Lian. Kejadian yang amat janggal, terlebih semenjak Keinara dikatakan hamil, semakin banyak teror tak masuk akal di dalam r
Seketika Vanya menoleh ke arah sang pengasuh, tapi tatapannya terfokus pada perut Keinara yang semakin lama membesar dan menggembung. Hujan keringat di tubuh gadis itu membuat si anak asuh merasa cemas. Beranjak dari tempat tidur, tapi kakinya tak bisa digerakkan. Seperti terdapat tangan yang memeganginya, suara gadis kecil yang malang itu pula seakan dibungkam. Sementara sang pengasuh berusaha untuk terbangun dari mimpi buruknya, berjuang untuk bangun. Namun saat netra indah terbuka, sosok wajah setengah hancur itu berada dekat dengannya. Keinara merasa sangat ketakutan, apalagi Vanya yang hanya bisa menangis. Tubuh sang pengasuh cantik itu seakan terbelenggu oleh tubuh aneh Kiyo. Jari-jemari bercakar yang mengusap perutnya membuatnya semakin mengembang. Melihat sang jin pelindungnya tengah menyerang pengasuhnya, Vanya berusaha untuk bersuara memanggil Kiyo agar menghentikannya. "K ... Ka ... Kak." Suaranya tertahan, tapi ia tak mudah menyerah. Seraya dalam hati berdoa agar gang
Di sepanjang perjamuan malam itu, mata sang nenek terfokus pada perut pengasuh Vanya yang membuncit. Tatapan sinis dan penuh kecurigaan itu membuatnya salah paham dengan menantunya sendiri. "Sudah berapa bulan?" tanyanya pada Keinara. "Sudah enam bulan." Gadis itu menunduk seraya mengusap perutnya. Sang nenek kembali bertanya, tapi kali ini pertanyaan itu akan menguras hati gadis muda. Wanita tua itu seperti menuduh Lian telah berselingkuh dengan Keinara. "Kamu hamil sama siapa?" Sontak Keinara tersentak mendengarnya lalu memasang wajah sendu. Tak disangka apa yang ditanyakan nenek dari Vanya itu telah membuat murka Kiyo. Diliriknya makhluk yang sudah memasang wajah amarahnya ke arah sang nenek. "Bu, gak baik tanya begitu." Yura menghentikan tindakan ibunya itu, tapi jika seorang wanita sudah curiga tentu akan sulit untuk mereda. "Apa kamu gak curiga sama suamimu, Yur?" "Tapi---""Seorang gadis pengasuh, wajahnya cantik pula. Pasti dia suka merebut suami orang, mana mungkin ng
"Aku hanya ingin mengulangi masa dimana kita bersama, aku hanya ingin itu! Kamu tidak boleh mengelak!" Keinara memandang Kiyo dengan berkaca-kaca. Sejujurnya, ia masih mencintai pemuda yang telah lama tiada, tapi dia sadar bahwa dunia mereka berbeda. Anak yang ia lahirkan dari benih sesosok hantu biar dirinya yang merawat, tak ingin jika Kiyo yang mengambilnya. Namun bagaimana pun Kiyo sekarang telah menjadi sosok yang kejam, dia harus dihindari. "Tolong kembalikan mereka, Kiyo." "Aku akan mengembalikan mereka jika kamu mau ikut bersamaku."Suatu pilihan yang sangat sulit baginya, tapi dia harus melakukan ini demi menyelamatkan keluarga Vanya. Ia meminta untuk Kiyo menunggunya sampai dirinya siap menjadi pendamping pemuda itu di alam gaib. "Baiklah, aku akan memberimu waktu. Namun kau harus kembali?""Iya, tapi beri aku kebebasan meski hanya sesaat. Aku ingin berkeliling berdua dengan anak kita."Mata binar Keinara membuat Kiyo terdiam, pandangan itu membuatnya teringat kembali p
Lian menoleh ke arah istrinya yang sudah sangat kecewa. Ada bulir menetes dari netranya. "Kamu masih saja seperti dulu." "Sayang, bukan maksudku menyakitimu!" ujar Lian memohon. "Kamu bahkan tidak mau mendengarkan apa yang aku minta dan sekarang kamu tak percaya sama ceritaku."Lian hanya terdiam dan sang istri mulai bertindak. Ia segera membawa Vanya dan akan mencari Keinara lalu membawanya pulang. "Tunggu, Yur!" seru Lian menghalangi Yura. "Biarkan aku pergi!" Wanita itu tetap ingin meninggalkan Lian. Hal yang sama terjadi kembali, pertengkaran Lian dan Yura tiba di tempat dan waktu yang tak tepat. Pria itya sadar apa yang ia lakukan, ia tak bermaksud untuk tak percaya pada Yura."Tunggu sebentar!""Untuk apa, Pa? Sudah kesekian kalinya begini. Sekarang apalagi?!"Suasana mendadak hening menyisakan penyesalan Lian, sedang Yura masih dibara oleh api kemarahan. Dia bersikeras untuk keluar dari rumah bersama Vanya dan mencari keberadaan Keinara meskipun itu mustahil. "Ok, ok, ak
***Gangguan gaib yang membuat Freddy begitu gila, emosinya begitu tak stabil dan penuh dengan halusinasi. Bahkan pagi ini, dia dihantui oleh kejadiannya di masa lalu. Tatapannya begitu takut, tapi ia tak akan pernah menyia-nyiakan kesempatan untuk merampas rumah itu. Beberapa karyawan yang bekerja untuk merubuhkan rumah itu kini bergerak. Freddy juga tidak hanya merampas rumah untuk diratakan, tapi juga melenyapkan semua keluarga Lian berserta Keinara. Kakinya harus segera melangkah, menemui para karyawannya untuk segera bekerja. Mereka bergegas mendatangi kediaman yang kini dijaga oleh sesuatu yang menyeramkan. Dengan terpincang kakinya, Freddy melangkah menapaki tanah. Sebuah pertanyaan besar selalu berada di sekitar kepala semua orang, apa yang terjadi pada pria kaya yang membuat kakinya berjalan terseok pincang. Sudah banyak dokter yang menanganinya, tapi semua itu sia-sia. Kaki kanannya serasa diremas kuat oleh sebuah tangan besar, rasa dingin di sekitar begitu terasa. Fredd
***Jauh sebelum semua hal aneh itu terjadi, kala semua terlihat masih sangat muda. Dua anak kecil bermain dengan riang gembira, bercanda tawa sambil bermain ayunan. "Den, langit sebentar lagi mendung. Sebaiknya Den Kiyo cepat masuk." Seorang pria tua menghampiri dua anak itu. "Sebentar, Paman. Aku masih ingin main lagi." "Tapi benar kata Paman Jatmika. Sebaiknya aku pulang saja." Seorang gadis kecil cantik jelita itu merasa sangat cemas sembari melihat langit. Ia berpamitan pada sang paman dan juga sahabatnya. Baju dengan rok terusan serba putihnya berkibar membuat Kiyo kecil larut dalam lamunan, senyum gadis itu begitu manis di pandangan matanya. "Tuh, Non Keinara saja patuh pada orangtuanya. Sebaiknya cepat masuk, Den. Tuan dan Nyonya sebentar lagi akan pulang," ucap pria itu yang ternyata adalah Ki Jatmika kala raganya masih sangat kuat untuk bekerja. Mau tak mau, Kiyo kecil harus menuruti perintah dadi Ki Jatmika. Kaki kecilnya melangkah memasuki pintu sampai tak lama huja
"Siapa yang datang malam-malam beginu?" gumam Lian seraya berdiri dari ranjang, sedang Vanya menyusul di belakang. Terdengar suara Yura dari luar yang seakan meminta bantuan. Zein ikut terbangun, ia bertanya tentang siapa yang datang. Ketika mendengar suara9 ibunya, Vanya mulai berteriak memanggilnya. "Mama!""Vanya?" Yura seperti mendengar suara putrinya di dalam. Tepat saat itu, pintu terbuka dan terlihat wajah Yura yang tampak kusam membuat Lian berkaca. Kedatangan ibu muda itu kini disambut suami dan anaknya, begitu pula Zein yang tak menyangka Yura akan selamat. "Kenapa bisa kamu ada di sini, Ma?""Aku gak tahu, Pa. Awalnya aku dengar Keinara berteriak dan aku gak tahu kenapa aku bisa di sini." Senyap seketika menjalar, segera Lian mengajak masuk Yura agar wanita itu bisa tenang. Malam yang semakin larut itu perlahan membawa angin segar pagi, meski terlihat buta tapi setidaknya suasana terang sebentar lagi akan tiba. Antara baik dan buruk, tapi di pagi subuh mereka tak mend
Langkah Yura perlahan mundur, kembali ia berlari. Meski sekencang apapun, tapi Keinara seperti mengikutinya. Gadis itu ada dimana-mana, tapi ia yakin bahwa mereka bukanlah yang ia cari. Sampai larinya harus terhenti tatkala melihat Keinara terbaring dalam balutan akar yang memeluknya dan di sampingnya sosok Kiyo begitu dekat dengan tubuh gadis itu. Sosok itu memeluk Keinara seakan tak mau melepaskan dekapannya. Sentuhan jari dengan kuku yang panjang itu begitu lembut. "Lepaskan anak angkat saya!" seru Yura pada Kiyo. Mendengar itu, hantu pemuda dengan rupa menyeramkan dan rambut gondrong panjang itu membalasnya dengan tawa yang menggema sampai tanah yang dipijak bergetar. "Kamu ingin mengambilnya? Tidak akan! Dia hanya milik saya!" "Saya mohon, lepaskan dia." Yura mulai frustasi, terus memohon pada sosok itu. Tangisannya begitu sendu, melihat kembali ke batang pohon tempat dimana tubuh Keinara terlilit oleh pohon dan dia sudah menghilang. ***Vanya terbangun di malam gelap, ia
***Langkah Yura terseok menaiki bukit. Wanita itu merangkak menuju ke ujung, ia tak tahu dimana dirinya sekarang. Bertahan hanya dengan memakan dedauan dan hewan liar bukanlah masalah, yang penting tujuannya tercapai. Sejenak ia duduk di bawah pohon besar menghela napasnya sejenak lalu terlelap. Namun ia kembali terbangun karena mendengar suara seperti buah kelapa jatuh. Sang ibu muda berdiri untuk mengambil buah kelapa yang jatuh, ia berharap buah itu akan menjadi pelepas dahaganya. Diambilnya buah kelapa itu lalu diangkatnya. Ia pikir itu adalah benar kelapa, tapi Yura salah mengira. Yang ia angkat adalah sebuah kepala manusia yang tersenyum padanya. "AAAAAAAA!" teriak Yura seraya melempar kepala aneh itu. Tawa dari kepala menggelinding itu begitu nyaring dan bukan hanya satu buah kepala saja. Ribuan kepala manusia tertawa seakan mengepungnya. Yura kembali berlari melihatnya. Terus berlari menembus kegelapan, lagi-lagi kakinya digenggam oleh sosok tangan yang dingin menyembul
Seorang gadis kecil yang terduduk di bawah pohon menarik perhatian Lian dan Zein. Mereka mendekat dengan perlahan, tubuh gadis kecil yang sangat mirip dengan Vanya, tapi Lian justru tak semudah itu percaya. "Vanya." Pria itu memanggil nama putrinya dan sang gadis kecil menoleh ke arahnya. "Papa?" Vanya berangsur memeluk sang ayah. Tangis haru mereka bertemu, masih tak percaya bahwa yang dihadapannya adalah ayahnya. "Vanya, kamu kenapa di sini?" Lian bersimpuh di depan anaknya yang tengah bersedih."Aku gak tahu, Pa. Tadi aku ngejar mama, tapi aku malah di sini," jawab gadis kecil ini. "Semua ini adalah perbuatan Kiyo, Lian. Dia hanya ingin menyingkirkan kalian agar bisa bersama dengan Keinara." Ki Jatmika datang menghampiri mereka, matanya menyipit memandang sekeliling. Dendam Kiyo sudah terbalaskan, tapi bukan hanya itu yang ia inginkan. Pemuda yang kini tak tenang arwahnya itu menginginkan Keinara. "Lalu kita harus bagaimana?" tanya Lian yang merasa cemas dengan keluarganya.
Keinara benar-benar larut dalam kenikmatan semu itu, sedang Kiyo terus menggerayangi tubuhnya. Memeluk tubuhnya dengan erat, sentuhannya begitu lembut. Hujan menambah dingin hawa di sekitar, tapi panas di atas ranjang. Mata gadis pengasuh itu perlahan mengerjap, tapi ia sangat sulit membukanya. Sampai ia mencoba hingga perlahan kelopak matanya perlahan pergerak, membuka pengelihatan matanya. "Aaaaaaaaaaa!" Keinara berteriak. Teriakannya terdengar oleh Yura dan Vanya, dirinya merasa cemas. Segera wanita itu berlari menuju ke kamar pengasuh anaknya, tapi hal aneh terjadi saat ia mencapai lantai kedua rumahnya. Suasana berubah gelap dan tampak beberapa akar pohon menjalar.Ia tak bisa lagi melangkah mundur, Yura menembus semua itu. Sementara itu, Vanya juga kehilangan arah kemana ibunya melangkah. Pada akhirnya ia hanya bisa menangis. Berjalan sambil memeluk bonekanya, melihat semua ruangan di rumahnya tiba-tiba berubah menjadi hutan belantara. Langkah kaki menginjak tanah dan dedaun