"Pa, lihat, Pa!" seru wanita itu sambil terus menatap ke arah ranjang tidur.
Lian terkejut saat ia melihat hal yang tak akan pernah ia lupakan. Pasangan suami-istri itu memandang dengan mata kepalanya sendiri saat tubuh Keinara melayang di atas ranjang. Gadis itu tampak lemas tak berdaya dan matanya terpejam.
"Tidak mungkin," gumam Lian menenangkan pikirannya yang tetap tak percaya dengan semua hal janggal itu.
Aroma semerbak kayu yang tengah dibelah itu tercium sangat kuat di sekeliling kamar sang pengasuh. Pandangan pasutri itu tiba-tiba kabur, tangan mereka mencoba meraih tubuh Kei. Samar sosok hitam muncul seakan menggendong tubuh gadis itu.
Semakin lama, sosok itu semakin jelas. Hingga titik dimana mereka lebih melebarkan mata, tubuh yang lemas itu serasa kaku seketika. Di hadapan mereka bukanlah sosok manusia.
"GADIS INI MILIKKU!"
Suara berat menggelegar, tapi sebaliknya suara pasangan suami-istri seakan dibungkam dan mereka tak bisa membangunkan Keinara. Mereka terpaku melihat wujud pemuda dengan wajah setengah hancur.
"KALIAN MEREBUT TEMPAT INI DARIKU, MAKA GADIS INI AKAN KUREBUT DARI KALIAN!"
Yura ber-isyarat mengatakan "jangan" pada makhluk itu.
Siksaan yang terasa bagai neraka, Lian merasa ia mulai percaya dengan keberadaan tak kasat mata. Di saat mereka berada di dalam ruang dilema yang tipis, adzan subuh berkumandang.
Makhluk itu menghilang, semua siksaan itu telah hilang. Tubuh sang pengasuh yang melayang kini jatuh tepat di atas ranjangnya.
"Kei!" Segera mereka menghampiri tubuh gadis itu. Yura mendekapnya dengan sangat erat.
*
Kejadian semalam membawa trauma bagi Lian, terlebih ia akan meninggalkan anak dan istrinya pagi ini untuk pergi ke luar kota.
"Kamu yakin gak ikut?" tanya sang suami pada istrinya.
"Aku gak mau terjadi apa-apa sama Vanya dan Kei, Pa. Jadi, aku di sini aja," jawab Yura seraya memberikan tas kopernya pada Lian.
Pria itu berpesan agar istrinya segera meminta tolong pada siapapun ketika mereka dalam bahaya, sedang wanita itu mengangguk paham.
Tiba saatnya Lian harus pergi. Kepergian sang ayah disambut dengan lambaian tangan anak dan istrinya. Kini, Yura harus menghadapi sesuatu hal yang tak lazim di pikirannya.
Waktu yang terus berjalan membawanya kembali pada malam kelam. Wanita muda itu bersama putri semata wayangnya terduduk bersantai. Vanya begitu antusias meninta ibunya untuk menceritakan sebuah dongeng Putri Cantik dan Pangeran Buruk Rupa.
Di bawah lampu yang remang, Yura membacakan dongeng itu pada anaknya. Anak mungil itu begitu tenang mendengarnya.
" ... Dan akhirnya, kutukan yang ada di tubuh pangeran hilang. Pangeran dan sang putri cantik hidup bahagia selamanya."
Sang ibu muda itu kini mulai menutup buku, lalu melihat wajah Vanya yang tersenyum.
"Aku jadi ingat sesuatu," ujar gadis kecil itu seraya mencoba mengingat sesuatu.
"Emangnya ingat apa?"
Sekelebat gadis baru saja melewati mereka, tampak Keinara yang berjalan ke arah dapur.
"Kei, kamu mau kemana?"
Gadis itu tak membalas pertanyaan dari Yura, ia terus berjalan. Ibu dan anak itu segera membuntuti perempuan manis berkulit putih itu. Langkah Keinara membawa mereka ke dapur.
Kedua kaki dan tubuh ramping itu mematung di depan pintu menuju ke pekarangan belakang. Yura mendekatinya.
"Kei?" Telapaknya menepuk lembut bahu sang pengasuh.
DWAAAR!
Wajah wanita berbaju hitam itu terperangah melihat kejadian yang tak kalah mengejutkan. Keinara dengan satu tangan kosongnya membuka pintu yang sudah dikunci sampai terlepas dan terpental sedikit jauh. Gadis itu tak sadar berjalan ke luar pekarangan yang gelap dan hanya diterangi lampu teras.
"Keii!" seru Yura seraya berjalan cepat mengejar.
Sang pengasuh tak sedikit pun menoleh bahkan sudah dipanggil beberapa kali. Keinara hanya mematung menghadap ke arah pohon besar tinggi menjulang, sebuah hal tak terduga dilakukan oleh gadis itu.
Dengan mata kepalanya sendiri, Keinara melepas semua pakaiannya hingga telanjang bulat. Raganya yang bersih itu tengkurap di atas gundukan tanah besar di bawah pohon tersebut. Vanya berlari dan bersembunyi di sebalik tubuh ibunya.
"KEINARAAA!" jerit Yura, tapi gadis itu tak mendengarnya dan terus melakukan hal aneh di atas gundukan tanah.
Gerakannya yang seperti berrsetubuh dengan gundukan itu, suara desahan bersama erangan seorang pria tak kasat dimatanya. Segera sang nyonya menghentikannya. Digendongnya Vanya lalu berlari meminta tolong pada warga.
Menembus gelapnya malam seraya menjerit tanpa henti berhasil membuat para warga berkumpul mengerumuninya. Dengan napasnya yang tersengal, ia menjelaskan tentang keadaan Keinara yang begitu janggal.
"Pengasuh anak saya kesurupan lagi," ucapnya.
Para warga mulai berjalan cepat menuju ke rumah Yura, tepatnya di pekarangan belakang rumah. Bahkan saat warga datang pun Keinara masih melakukan hal tak senonoh itu di depan mereka meski tanpa sadar.
"Tolong pengasuh anak saya, Pak," tangisnya memohon.
Para pria sedikit merasa ragu untuk mendekati gundukan itu, mereka seakan mengetahui hal mengerikan di dalamnya. Namun apa mau dikata, mereka harus menyelamatkan seorang gadis asing yang sedang kerasukan.
Perlahan mereka mendekati Keinara dan gundukan itu. Dengan tiba-tiba gadis itu menoleh ke arah mereka sembari mengerang. Dari mulutnya keluar darah hitam yang begitu kental menetes hingga ke akar pepohonan yang amat besar itu.
Matanya yang memutih menatap warga dengan raut kemarahan yang mendalam. Lengkingan tawa menggelegar menembus sunyi membuat nyali mereka menciut. Mau tak mau, mereka harus menolong Keinara.
Di saat yang bersamaan, seorang cenayang sakti itu datang kembali tanpa ada yang mengundang. Seakan tahu apa yang terjadi, tanpa sepatah kata ia mulai menyadarkan gadis itu.
"Dia bukan milikmu dan tempatmu bukan di sini. Keluarlah!"
"AAAAAAAAAAAAAAA!" jerit iblis di dalam raga gadis itu, terdengar begitu kesakitan.
Sang Cenayang terus mencengkeram kepala Keinara hingga gadis itu tak sadarkan diri, segera Yura mengambil pakaiannya kemudian para warga membawanya masuk ke dalam rumah.
Lagi dan lagi, gadis itu tersadar dengan perasaan yang bingung melihat banyak orang.
"Kamu istirahat dulu, Kei," ucap wanita itu sambil merebahkan tubuh pengasuh anaknya.
~***~
Keinara merasa ragu untuk keluar dari rumah itu setelah kejadian semalam, ditambah gangguan yang menyerangnya sering kali ia dapatkan. Baik siang maupun malam, makhluk halus di dalam sana seakan tak ingin dirinya tenang. Meski pemikiran untuk dropout dari tempatnya berkuliah terus mengitari kepalanya, tapi seorang dosen mencegahnya untuk pergi dari sana. Itulah mengapa pagi ini, dirinya sudah siap untuk berangkat kuliah. "Bu, saya pamit kuliah dulu ya?" Dijabatnya tangan sang nyonya rumah kemudian diciumnya tangan lembut itu. Yura merasa sangat cemas dengan keadaan pengasuh putrinya, ia tak khawatir akan terjadi sebuah hal buruk menimpanya. "Kamu yakin mau berangkat ke kampus, Nak?" tanya wanita itu dengan perasaan yang dilema di antara kekhawatiran. "Iya, Bu. Saya yakin. Cuma bentar aja, kok, nanti saya balik lagi." Ucapan Keinara itu sedikit membuat hatinya tenang, tapi dirinya juga masih mencemaskan gadis itu. Hingga waktu dimana Yura harus melepas Keinara untuk pergi sejenak
Lian melangkah menuju ke teras sebuah rumah megah, pemilik dari rumah yang ia tempati. Ada hal yang harus diselesaikannya terutama urusan gaib yang menyerang keluarga dan pengasuh putrinya. Kedatangannya itu disambut hangat oleh seorang pria bertubuh gempal dengan perawakan yang bersahaja, mereka saling menjabat tangan kemudian berpelukan bak seorang sahabat. "Bukankah anda Pak Lian Brawijaya?""Iya, saya Lian Brawijaya yang sempat menghubungi anda."Pria itu mengajak Lian untuk masuk ke dalam rumahnya, duduk di sofa ruang tamu. Rumah itu sangat megah bahkan ruangan-ruangan di sana juga amat luas. Ayah dari Vanya itu menatap ke arah foto pria pemilik rumah, di bingkaimya terdapat tulisan nama Freddy Henderson. "Perjalanannya sangat jauh ya, Pak Lian," ucap pria tersebut yang ternyata bernama Freddy Henderson. "Yah, lumayan, tapi saya sangat bersyukur bisa sampai di sini." "Seharusnya seperti itu karena ... rumah baru anda cukup jauh dari perkotaan, bukan?" Freddy menyipitkan mata
***Perempuan dengan piyama yang masih melekat di tubuhnya itu mulai berjalan menuju ke ruang tamu, lalu berdiri di depan pintu sebuah ruangan kosong yang tidak pernah ditempati itu. "Bu Yura bilang pintu ini tidak pernah dibuka, dikunci pula dari luar. Kata beliau juga kuncinya gak tahu ada dimana. Terus kenapa waktu itu kebuka ya? Siapa yang buka?" gumamnya seraya menempelkan telapak tangannya pada gagang pintu itu. Mencoba menekan engsel pintu itu, rupanya terkunci. Keinara pernah mendengar Yura menutup pintu ini, tapi setelah dicobanya untuk dibuka kembali, secara ajaib pintu itu terkunci. Kejanggalan pada ruangan itu seakan siapa saja tak boleh memasukinya, ada sesuatu yang tersembunyi di dalamnya. "Ya udah deh, mungkin kamarnya emang dibiarin gitu aja," gumamnya yang lalu membersihkan lemari kecil di ruang tamu, di samping ruangan misterius itu. Hal aneh kembali terjadi, tepat saat gadis itu membersihkan debu-debu di atas lemari kecil itu, terdengar suara decit pintu yang te
"Apa alasannya dia gak ngebolehin Kak Kei nemenin kamu main?" Pertanyaan itu kembali terlontar di mulut Keinara dengan perasaan yang masih syok. "Itu karena Kak Kei lagi hamil anaknya," jawab Vanya dengan rintihan. Entah gadis itu harus mempercayai cerita anak asuhnya, tapi yang dikatakan seorang anak kecil bukanlah isapan jempol belaka. Semua menjadi nyata tatkala sang pengasuh mulai merasakan sesuatu yang menggelitiki di dalam perutnya. Kepalanya menunduk ke arah perut yang mulai membuncit meski tak besar. "Nggak ... nggak mungkin! Aku gak mau hamil." Bulir air mata itu mulai keluar dari matanya yang bening, sedang Vanya juga ikut menangis karena cemas dengan keadaan kakak asuhnya. Keinara tak bisa menerima kenyataan bahwa dirinya tengah mengandung bayi setan dari sosok yang entah apa namanya. Tentunya perut yang semakin membesar itu diketahui oleh Yura dan Lian. Kejadian yang amat janggal, terlebih semenjak Keinara dikatakan hamil, semakin banyak teror tak masuk akal di dalam r
Seketika Vanya menoleh ke arah sang pengasuh, tapi tatapannya terfokus pada perut Keinara yang semakin lama membesar dan menggembung. Hujan keringat di tubuh gadis itu membuat si anak asuh merasa cemas. Beranjak dari tempat tidur, tapi kakinya tak bisa digerakkan. Seperti terdapat tangan yang memeganginya, suara gadis kecil yang malang itu pula seakan dibungkam. Sementara sang pengasuh berusaha untuk terbangun dari mimpi buruknya, berjuang untuk bangun. Namun saat netra indah terbuka, sosok wajah setengah hancur itu berada dekat dengannya. Keinara merasa sangat ketakutan, apalagi Vanya yang hanya bisa menangis. Tubuh sang pengasuh cantik itu seakan terbelenggu oleh tubuh aneh Kiyo. Jari-jemari bercakar yang mengusap perutnya membuatnya semakin mengembang. Melihat sang jin pelindungnya tengah menyerang pengasuhnya, Vanya berusaha untuk bersuara memanggil Kiyo agar menghentikannya. "K ... Ka ... Kak." Suaranya tertahan, tapi ia tak mudah menyerah. Seraya dalam hati berdoa agar gang
Di sepanjang perjamuan malam itu, mata sang nenek terfokus pada perut pengasuh Vanya yang membuncit. Tatapan sinis dan penuh kecurigaan itu membuatnya salah paham dengan menantunya sendiri. "Sudah berapa bulan?" tanyanya pada Keinara. "Sudah enam bulan." Gadis itu menunduk seraya mengusap perutnya. Sang nenek kembali bertanya, tapi kali ini pertanyaan itu akan menguras hati gadis muda. Wanita tua itu seperti menuduh Lian telah berselingkuh dengan Keinara. "Kamu hamil sama siapa?" Sontak Keinara tersentak mendengarnya lalu memasang wajah sendu. Tak disangka apa yang ditanyakan nenek dari Vanya itu telah membuat murka Kiyo. Diliriknya makhluk yang sudah memasang wajah amarahnya ke arah sang nenek. "Bu, gak baik tanya begitu." Yura menghentikan tindakan ibunya itu, tapi jika seorang wanita sudah curiga tentu akan sulit untuk mereda. "Apa kamu gak curiga sama suamimu, Yur?" "Tapi---""Seorang gadis pengasuh, wajahnya cantik pula. Pasti dia suka merebut suami orang, mana mungkin ng
Keinara terhenyak sesaat mendengar bisikan itu. Raganya seakan dibawa melayang menuju ke sebuah tempat yang entah apa namanya. Ia tersadar bahwa dirinya sudah tak ada lagi di dalam kamar kosong, melainkan berada di luar rumah dengan suasana yang berbeda. Matanya menatap sekeliling, melihat bahwa rumah yang kini menjadi milik keluarga Lian tampak berbeda dan di belakang bangunan antik itu terdapat sebuah pondok mebel. Suara deru mesin pemotong kayu terdengar keras dan di sela-sela suara itu telinganya mendengar jeritan kesakitan seorang pemuda. "JANGAAAAAAN! SAKIIIIIIIIT!"Teriakan yang begitu memilukan itu membuat perhatian Keinara terpancing dan segera berlari menuju ke halaman belakang rumah. "Haaah? Apa ini?!"Keinara membulat matanya melihat kejadian yang menyeramkan. Seorang pemuda tampan sudah mulai menemui ajalnya, keadaannya begitu memprihatinkan. Mesin pemotomg kayu itu telah memotong beberapa bagian tubuhnya hidup-hidup.Tubuh pemuda itu hampir terbelah dan lehernya nyari
"Astaga! Ibu!" Yura bangkit dari duduknya dan segera berlari menuju ke kamar ibunya. Dengan mata kepalanya yang melihat keadaan sang ibu begitu memprihatinkan. Tubuhnya kejang, suaranya tertahan seperti dicekik, matanya melotot menatap ke langit sembari tangannya menunjuk ke sisi kamar. "Ibu, kenapa? Ibu, sadar, Bu!" Yura berusaha menenangkan sang nenek, tapi kejang wanita itu tak bisa dihentikan. Sang ibu muda itu segera menghubungi suaminya, takut jika sesuatu hal terjadi pada ibunya dan ia butuh bantuan Lian. Tangannya gemetar menggenggam ponsel, sambungan telpon kini mulai terhubung."Halo? Pa, cepetan pulang. Ibu kejang-kejang!" tangis Yura yang mulai merasa cemas. Kabar darurat ini tentunya membuat Lian ikut khawatir, ia segera menghubungi dokter untuk datang ke kediamannya itu sedang dirinya bergegas pulang sembari berharap sesuatu yang lebih buruk tak akan terjadi. *Beralih pada suasana perkuliahan, Keinara terduduk. Tangannya menggenggam sebuah pensil dan melukiskan se
"Aku hanya ingin mengulangi masa dimana kita bersama, aku hanya ingin itu! Kamu tidak boleh mengelak!" Keinara memandang Kiyo dengan berkaca-kaca. Sejujurnya, ia masih mencintai pemuda yang telah lama tiada, tapi dia sadar bahwa dunia mereka berbeda. Anak yang ia lahirkan dari benih sesosok hantu biar dirinya yang merawat, tak ingin jika Kiyo yang mengambilnya. Namun bagaimana pun Kiyo sekarang telah menjadi sosok yang kejam, dia harus dihindari. "Tolong kembalikan mereka, Kiyo." "Aku akan mengembalikan mereka jika kamu mau ikut bersamaku."Suatu pilihan yang sangat sulit baginya, tapi dia harus melakukan ini demi menyelamatkan keluarga Vanya. Ia meminta untuk Kiyo menunggunya sampai dirinya siap menjadi pendamping pemuda itu di alam gaib. "Baiklah, aku akan memberimu waktu. Namun kau harus kembali?""Iya, tapi beri aku kebebasan meski hanya sesaat. Aku ingin berkeliling berdua dengan anak kita."Mata binar Keinara membuat Kiyo terdiam, pandangan itu membuatnya teringat kembali p
Lian menoleh ke arah istrinya yang sudah sangat kecewa. Ada bulir menetes dari netranya. "Kamu masih saja seperti dulu." "Sayang, bukan maksudku menyakitimu!" ujar Lian memohon. "Kamu bahkan tidak mau mendengarkan apa yang aku minta dan sekarang kamu tak percaya sama ceritaku."Lian hanya terdiam dan sang istri mulai bertindak. Ia segera membawa Vanya dan akan mencari Keinara lalu membawanya pulang. "Tunggu, Yur!" seru Lian menghalangi Yura. "Biarkan aku pergi!" Wanita itu tetap ingin meninggalkan Lian. Hal yang sama terjadi kembali, pertengkaran Lian dan Yura tiba di tempat dan waktu yang tak tepat. Pria itya sadar apa yang ia lakukan, ia tak bermaksud untuk tak percaya pada Yura."Tunggu sebentar!""Untuk apa, Pa? Sudah kesekian kalinya begini. Sekarang apalagi?!"Suasana mendadak hening menyisakan penyesalan Lian, sedang Yura masih dibara oleh api kemarahan. Dia bersikeras untuk keluar dari rumah bersama Vanya dan mencari keberadaan Keinara meskipun itu mustahil. "Ok, ok, ak
***Gangguan gaib yang membuat Freddy begitu gila, emosinya begitu tak stabil dan penuh dengan halusinasi. Bahkan pagi ini, dia dihantui oleh kejadiannya di masa lalu. Tatapannya begitu takut, tapi ia tak akan pernah menyia-nyiakan kesempatan untuk merampas rumah itu. Beberapa karyawan yang bekerja untuk merubuhkan rumah itu kini bergerak. Freddy juga tidak hanya merampas rumah untuk diratakan, tapi juga melenyapkan semua keluarga Lian berserta Keinara. Kakinya harus segera melangkah, menemui para karyawannya untuk segera bekerja. Mereka bergegas mendatangi kediaman yang kini dijaga oleh sesuatu yang menyeramkan. Dengan terpincang kakinya, Freddy melangkah menapaki tanah. Sebuah pertanyaan besar selalu berada di sekitar kepala semua orang, apa yang terjadi pada pria kaya yang membuat kakinya berjalan terseok pincang. Sudah banyak dokter yang menanganinya, tapi semua itu sia-sia. Kaki kanannya serasa diremas kuat oleh sebuah tangan besar, rasa dingin di sekitar begitu terasa. Fredd
***Jauh sebelum semua hal aneh itu terjadi, kala semua terlihat masih sangat muda. Dua anak kecil bermain dengan riang gembira, bercanda tawa sambil bermain ayunan. "Den, langit sebentar lagi mendung. Sebaiknya Den Kiyo cepat masuk." Seorang pria tua menghampiri dua anak itu. "Sebentar, Paman. Aku masih ingin main lagi." "Tapi benar kata Paman Jatmika. Sebaiknya aku pulang saja." Seorang gadis kecil cantik jelita itu merasa sangat cemas sembari melihat langit. Ia berpamitan pada sang paman dan juga sahabatnya. Baju dengan rok terusan serba putihnya berkibar membuat Kiyo kecil larut dalam lamunan, senyum gadis itu begitu manis di pandangan matanya. "Tuh, Non Keinara saja patuh pada orangtuanya. Sebaiknya cepat masuk, Den. Tuan dan Nyonya sebentar lagi akan pulang," ucap pria itu yang ternyata adalah Ki Jatmika kala raganya masih sangat kuat untuk bekerja. Mau tak mau, Kiyo kecil harus menuruti perintah dadi Ki Jatmika. Kaki kecilnya melangkah memasuki pintu sampai tak lama huja
"Siapa yang datang malam-malam beginu?" gumam Lian seraya berdiri dari ranjang, sedang Vanya menyusul di belakang. Terdengar suara Yura dari luar yang seakan meminta bantuan. Zein ikut terbangun, ia bertanya tentang siapa yang datang. Ketika mendengar suara9 ibunya, Vanya mulai berteriak memanggilnya. "Mama!""Vanya?" Yura seperti mendengar suara putrinya di dalam. Tepat saat itu, pintu terbuka dan terlihat wajah Yura yang tampak kusam membuat Lian berkaca. Kedatangan ibu muda itu kini disambut suami dan anaknya, begitu pula Zein yang tak menyangka Yura akan selamat. "Kenapa bisa kamu ada di sini, Ma?""Aku gak tahu, Pa. Awalnya aku dengar Keinara berteriak dan aku gak tahu kenapa aku bisa di sini." Senyap seketika menjalar, segera Lian mengajak masuk Yura agar wanita itu bisa tenang. Malam yang semakin larut itu perlahan membawa angin segar pagi, meski terlihat buta tapi setidaknya suasana terang sebentar lagi akan tiba. Antara baik dan buruk, tapi di pagi subuh mereka tak mend
Langkah Yura perlahan mundur, kembali ia berlari. Meski sekencang apapun, tapi Keinara seperti mengikutinya. Gadis itu ada dimana-mana, tapi ia yakin bahwa mereka bukanlah yang ia cari. Sampai larinya harus terhenti tatkala melihat Keinara terbaring dalam balutan akar yang memeluknya dan di sampingnya sosok Kiyo begitu dekat dengan tubuh gadis itu. Sosok itu memeluk Keinara seakan tak mau melepaskan dekapannya. Sentuhan jari dengan kuku yang panjang itu begitu lembut. "Lepaskan anak angkat saya!" seru Yura pada Kiyo. Mendengar itu, hantu pemuda dengan rupa menyeramkan dan rambut gondrong panjang itu membalasnya dengan tawa yang menggema sampai tanah yang dipijak bergetar. "Kamu ingin mengambilnya? Tidak akan! Dia hanya milik saya!" "Saya mohon, lepaskan dia." Yura mulai frustasi, terus memohon pada sosok itu. Tangisannya begitu sendu, melihat kembali ke batang pohon tempat dimana tubuh Keinara terlilit oleh pohon dan dia sudah menghilang. ***Vanya terbangun di malam gelap, ia
***Langkah Yura terseok menaiki bukit. Wanita itu merangkak menuju ke ujung, ia tak tahu dimana dirinya sekarang. Bertahan hanya dengan memakan dedauan dan hewan liar bukanlah masalah, yang penting tujuannya tercapai. Sejenak ia duduk di bawah pohon besar menghela napasnya sejenak lalu terlelap. Namun ia kembali terbangun karena mendengar suara seperti buah kelapa jatuh. Sang ibu muda berdiri untuk mengambil buah kelapa yang jatuh, ia berharap buah itu akan menjadi pelepas dahaganya. Diambilnya buah kelapa itu lalu diangkatnya. Ia pikir itu adalah benar kelapa, tapi Yura salah mengira. Yang ia angkat adalah sebuah kepala manusia yang tersenyum padanya. "AAAAAAAA!" teriak Yura seraya melempar kepala aneh itu. Tawa dari kepala menggelinding itu begitu nyaring dan bukan hanya satu buah kepala saja. Ribuan kepala manusia tertawa seakan mengepungnya. Yura kembali berlari melihatnya. Terus berlari menembus kegelapan, lagi-lagi kakinya digenggam oleh sosok tangan yang dingin menyembul
Seorang gadis kecil yang terduduk di bawah pohon menarik perhatian Lian dan Zein. Mereka mendekat dengan perlahan, tubuh gadis kecil yang sangat mirip dengan Vanya, tapi Lian justru tak semudah itu percaya. "Vanya." Pria itu memanggil nama putrinya dan sang gadis kecil menoleh ke arahnya. "Papa?" Vanya berangsur memeluk sang ayah. Tangis haru mereka bertemu, masih tak percaya bahwa yang dihadapannya adalah ayahnya. "Vanya, kamu kenapa di sini?" Lian bersimpuh di depan anaknya yang tengah bersedih."Aku gak tahu, Pa. Tadi aku ngejar mama, tapi aku malah di sini," jawab gadis kecil ini. "Semua ini adalah perbuatan Kiyo, Lian. Dia hanya ingin menyingkirkan kalian agar bisa bersama dengan Keinara." Ki Jatmika datang menghampiri mereka, matanya menyipit memandang sekeliling. Dendam Kiyo sudah terbalaskan, tapi bukan hanya itu yang ia inginkan. Pemuda yang kini tak tenang arwahnya itu menginginkan Keinara. "Lalu kita harus bagaimana?" tanya Lian yang merasa cemas dengan keluarganya.
Keinara benar-benar larut dalam kenikmatan semu itu, sedang Kiyo terus menggerayangi tubuhnya. Memeluk tubuhnya dengan erat, sentuhannya begitu lembut. Hujan menambah dingin hawa di sekitar, tapi panas di atas ranjang. Mata gadis pengasuh itu perlahan mengerjap, tapi ia sangat sulit membukanya. Sampai ia mencoba hingga perlahan kelopak matanya perlahan pergerak, membuka pengelihatan matanya. "Aaaaaaaaaaa!" Keinara berteriak. Teriakannya terdengar oleh Yura dan Vanya, dirinya merasa cemas. Segera wanita itu berlari menuju ke kamar pengasuh anaknya, tapi hal aneh terjadi saat ia mencapai lantai kedua rumahnya. Suasana berubah gelap dan tampak beberapa akar pohon menjalar.Ia tak bisa lagi melangkah mundur, Yura menembus semua itu. Sementara itu, Vanya juga kehilangan arah kemana ibunya melangkah. Pada akhirnya ia hanya bisa menangis. Berjalan sambil memeluk bonekanya, melihat semua ruangan di rumahnya tiba-tiba berubah menjadi hutan belantara. Langkah kaki menginjak tanah dan dedaun