"Pindah? Abi, Mama mohon. Mama gak akan berulah lagi, yang penting kamu di rumah ya?" pinta Sekar pada Abimana. Namun Abimana hanya mendengus kasar. "Gita. Mama tahu Mama salah. Mama minta maaf, Mama gak akan berbuat seperti itu lagi sama kamu. Jadi kalian jangan pergi ya. Kalau kalian pergi, rumah ini sepi," ucap Sekar memelas yang dibuat. Sedang Gita hanya menunduk. Ia bukan pemberi keputusan di sini. Namun, sebenarnya Gita merasa senang jika pergi dari rumah ini. "Kami akan tetap pindah dari sini, Ma, Pa. Sampai jumpa lagi." Abimana menarik tangan Gita. Dengan langkah cepat ia segera pergi dari sana menuju Apartemen. "Maaf," lirih Abimana di tengah perjalanan ke apartemen. Gita tersenyum miris mendengar kalimat itu. "Kenapa, Mas? Kenapa kamu berubah?" "Maaf, Beb. Aku hanya emosi melihat kamu pergi dari rumah. Aku cuma takut kamu pergi ninggalin aku saat aku lagi perjalanan bisnis kemarin." Abimana menghentikan mobilnya guna menjelaskan pada Gita. Entah kenapa ia merasa
Mencintai bertemankan sepi. Mungkin akan jadi hal yang sangat biasa dilalui. Sepanjang siang hingga malam yang kelam, bersahabatkan bulan nan bintang yang terhampar di angkasa. Sunyi, sepi, ilusi dan mimpi. Mana yang akan kekal menemani? Gita melihat sekeliling apartemen suaminya, sepi. Tak ada siapapun juga. Ia yakin, tadi masih mendengar suara suaminya. Namun, rupanya ia hanya sendiri. "Mas, kamu kemana?" Gita sudah mencari di dalam kamar mandi pun tak ada. Bahkan ia membuka pintu dan keluar dari sana, lorong apartemen-pun hening. Gita mengusap kedua lengannya yang dingin. Sedingin perasaannya sekarang yang diselimuti kecewa. Sedang Abimana sudah pergi bersama Sandra. Membawa jauh wanita yang tengah hamil itu agar tak menjadi bumerang untuk hidupnya. Ia tak akan membiarkan Gita tahu untuk saat ini. Tujuannya belum tercapai, dan Gita- pun tak boleh menghilang. "Nanti, jika a
"Gita?!" "Abang?" Gita terperanjat berdiri ketika melihat sang kakak ada di depannya. "Bang Gibran!" isak Gita yang kemudian Gibran rengkuh dalam pelukannya. kepulangannya ke Indonesia memang sempat mundur beberapa waktu karena masih sibuk soal pekerjaan. Namun, akhirnya ia bisa bernapas lega saat setelah bertemu sang adik di sini dalam keadaan baik-baik saja. "Kamu apa kabar, Dek? Abang khawatir denger kabar soal kamu," ucap Gibran memandang sang adik sembari mebghapus air mata adik kecilnya itu. "Aku baik-baik aja, Bang. Kenapa Abang lama banget gak pulang?" rengek Gita manja masih dengan kebiasaannya dulu. Gibran tersenyum senang melihat tingkah adik kesayangannya itu. Lega sungguh luar biasa mendengar suaranya saja. "Abang kan orang paling sibuk di dunia. Makanya gak bisa sembarangan pulang. Apalagi cuma buat liat anak jelek yang cengeng kek kamu," canda Gibran yang mendapat pukulan di lengannya. "Aduh! Baru pulang kok sambutannya geplakan gini, Dek?" sahut Gibr
Secerah langit biru di pagi ini. Senyum merekah tak pernah luntur dari wajah Gita. Setelah menginap dua malam di rumah orang tuanya, kini Gita kembali ke apartemen dengan menenteng banyak bawaan dari orang tuanya serta oleh-oleh dari sang kakak. "Mbak Gita? Abis borong?" tanya Dena saat keluar dari apartemennya. Gadis cantik itu sudah bersiap untuk berangkat kerja. "Dena? Mau berangkat? Gak borong, cuma kemarin abis nginep di rumah Mama Papa.""Oh, pantesan kok sepi. Kirain kemana. Ya udah, Mbak. Aku berangkat dulu ya. Mau cari sarapan," pamit Dena melambaikan tangan pada Gita. Saat Gadis itu melangkah menjauh, Gita memanggilnya. "Dena? Apa lowongan itu masih ada?" tanya Gita ragu. Dena terkejut dengan segera berbalik badan. Berlari kecil menghampiri Gita dengan semangat. "Masih! Mbak, jadi mau lamar?""Sepertinya, gak ada salahnya mencoba, kan?" ucap Gita dan diangguki antusias oleh Dena. "Bener, Mbak. Ga
Jantung Gita berdegup kencang setelah menerima telpon dari sang suami. Untung saja saat wawancara tadi, kepala bagian personalia mengatakan besok baru mendapat info hasil wawancaranya. Setelah pamit pada Dena, Gita buru-buru pulang ke apartemen. Ia takut, jika suaminya pulang hari ini, lalu membuat Gita urung bekerja jika benar diterima nantinya. "Mas? Kamu udah pulang?" tanya Gita setelah memasuki apartemennya. Namun, mencari ke sudut manapun apartemennya masih sepi. Gita merogoh ponsel di dalam tas dan memanggil suaminya. Tidak diangkat. Gita mendengus kasar. Apa maksud suaminya itu, tiba-tiba menelpon suruh pulang, tapi tidak ada penjelasan apapun. Bahkan pulang pun tidak. "Gak jadi. Apa yang aku cari sudah ada." Balasan Abimana pun semakin membuat Gita kesal. Sedangkan yang sebenarnya terjadi adalah, hape Abimana di pegang oleh Sandra. Dan sebenarnya pula, Abimana tidak ke luar kota. Masih dalam lingkup tempat tinggal yang sama. Hanya saja Abimana tinggal di rumah Sandra dan
Devan berjalan kesana kemari tiada henti. Aldo sampai pusing melihatnya. Perkara Gita pingsan setelah bertemu mata dengan Devan jauh lebih mengerikan daripada mengumpati pekerjaan yang tidak ada habisnya. "Gita gak apa-apa, Bos. Bahkan Dokter pun sudah bilang tidak apa-apa. Dia hanya terkejut saja." Aldo sudah mengatakan hal itu berulang kali. Namun, sialnya Gita juga belum bangun dari lima belas menit yang lalu. Membuat Aldo semakin kesal melihat sikap Devan yang sedikit berlebihan. "Mana mungkin aku bisa tenang. Kalau ada apa-apa sama Gita, gimana?" sahut Devan. Pria itu terus memandangi Gita yang terbaring di sofa milik Devan yang berada di ruangannya. Padahal, ada meeting penting, tapi Devan mundurkan jadwalnya. Dan untung saja kliennya mengerti."Gak akan kenapa-kenapa, Bos. Gita mungkin cuma lelah aja.""Mbak, Gita?!" Sebuah seruan yang datang tanpa permisi itu mengalihkan pandangan Aldo dan Devan. Itu Dena yang segera berlari setelah mendengar kabar dari Pak Toni, yang meng
Cinta itu sejuta indahnya. Namun, sakitnya pun beragam warna. Bersinar bagai mentari, lalu tetiba saja redup ditelan malam. Mungkin, seperti itulah gambaran hati Devan sekarang. Ia melupakan satu hal yang bisa saja semua orang alami di setiap waktu yang terlewati. "Menikah?" Kata itu bagai menghujam jantungnya. Sakit tak berdarah. Berpisah dalam waktu yang lama, dengan sakit menahan rindu selama itu pula, nyatanya harus menelan pahit luar biasa dengan kenyataan yang ada. "Kita sudah berakhir, Dev. Aku sudah menikah."Lagi. Ia seakan ingin menentang semesta. Katakanlah dia egois. Seolah membenarkan bahwa cintanya hanya Gita saja. Tak mau yang lain. Jika ada yang lebih dulu memilikinya, ia ingin merebutnya. Gila!"Apa kamu bahagia?"Akhirnya hanya pertanyaan itu yang ia ucap. Memandang seksama manik mata hazel yang dulu menjadi favoritnya. Ia sangat tahu, kejujuran dalam netra sebening embun itu. Devan mengernyit samar. Tersenyum miring mendapati kediaman Gita dengan beralih adu p
Beberapa hari ini, Abimana sedikit pusing dengan sikap Sandra yang terlalu over protektif, cemburuan dan melarang hal ini itu. Jika bukan karena butuh akan sokongan pads perusahaan Papanya, ia tidak akan mau menjadi pria yang disuruh menurut saja. Abimana kesal. Namun juga sedikit senang karena perusahaannya mulai membaik perlahan berkat bantuan Sandra. Gaji karyawan sudah terbayarkan. Hingga kinerja karyawan menjadi lebih baik karena haknya sudah terbayarkan. "Hari ini temani aku kontrol baby ya, Sayang?" kata Sandra manja. Mereka masih berada di kamar. Setelah mandi, rutinitas Abimana adalah menemani istrinya itu bercengkrama, menyisir rambut, terkadang memijat bahkan seringkali pergulatan panas terjadi jika Sandra sudah mau. Hal-hal manis yang tak pernah didapatkan oleh Gita. Abimana bisa melakukan itu semua pada Sandra. Bagai pengawal yang patuh pada ratunya. Entahlah, Abimana seolah tersihir dan tak bisa menolak dengan semua perkataan Sandra. Herannya, Abimana dengan s
Abimana menggeram marah ketika mendengar ucapan Sandra yang membuatnya tahu, bahwa Gita hamil dan ia tak tahu sama sekali. "Jadi, kemarin dia di rumah sakit itu, karena..." ucap Abimana terbata. Pikirannya kembali saat melihat tangan Gita yang terluka. Ia mengira, Gita menyayat nadinya karena tahu dirinya hamil anak Abimana dan ternyata Abimana sudah mempunyai istri lagi. Tentu saja hal itu membuat frustasi Gita. "Aku harus menemui Gita. Harus," putus Abimana yang hendak pergi meninggalkan Sandra sendirian. "Berhenti, Abi. Kamu gak bisa pergi gitu aja ninggalin aku! Aku juga istrimu!" larang Sandra menghalangi jalan Abimana. "Gita juga istriku, Sandra! Kamu jangan egois!" geram Abimana kesal. "Satpam! Tutup semua pintu!" teriak Sandra mengundang kedua orang tua Abimana kembali keluar dari kamar. Namun, Danu dan Sekar hanya melihat apa yang dilakukan Sandra. Bagi orang tua Abimana, uang dan perusahaan lebih penting dari cinta. "Pa, Ma. Gita hamil! Kalian akan punya cucu. Cucu ka
Roda kehidupan itu terus berputar. Tak akan ada yang tahu apa dan bagaimana hidup seseorang akan berjalan. Meski tiap orang selalu berusaha untuk hidupnya yang lebih baik, tapi terkadang hidup berjalan tak sesuai dengan yang diinginkan. Namun, ketahuilah, Tuhan-MU lebih tahu apa yang seseorang butuhkan, dan lebih tahu mana yang baik dan yang buruk untuk hambanya. Hadi sudah memanggil pengacara kepercayaannya untuk mengurus perceraian Gita dengan Abimana. Secepat mungkin ayah Gita itu tak mau kecolongan lagi dan membuat Gita dalam derita."Aku mau perceraian Gita secepatnya selesai, bisa?" tanya Hadi yang diangguki Catur, pengacaranya. "Semua berkas sudah terkumpul bersama bukti-bukti, saya tinggal memprosesnya ke pengadilan besok, Pak," jawab Catur mantap. "Kamu ingat tentang masalah yang aku ceritakan dulu?" tanya Hadi membuat Catur mengingat-ingat. "PT. BIMA adalah perusahaan hasil curian. Berkas dan bukti yang kamu minta sudah saya siapkan. Bisa segera diproses juga?" tanya Ha
Manusia selalu dihadapkan dengan pilihan. Dimana semua pilihan itu ada konsekuensinya. Jika pilihannya benar, ia aman dan bahagia. Namun, jika ia salah memilih, bisa saja kesedihan dan penyesalan yang ada. Gita merasakannya sekarang. Pilihan pertama yang ia buat saat memutuskan menikah dengan Abimana, rupanya membuatnya menelan pil pahit yang harus ia terima. Dan sekarang, ia kembali harus memilih antara bertahan atau berpisah dengan Abimana. "Mari berpisah, Mas." Satu kalimat itu sukses membuat Abimana memerah padam. Satu kata itu sangat ia benci. Apalagi sekarang ia menyadari, ia sangat tidak ingin berpisah dengan Gita. "Sudah pernah kukatakan padamu, Gita. Tidak akan ada kata pisah dalam hubungan kita," ucap Abimana dingin. Rasa sakit akibat pukulan Gibran sudah tak lagi ia rasa. Namun, kesal hatinya sekarang terasa sakit ketika Gita benar-benar meminta pisah darinya. "Aku gak akan ada gunanya untuk kamu, Mas. Lebih baik, kamu jaga istri kamu itu dengan baik," ucap Gita berpali
Sandra dilarikan ke rumah sakit karena tak sengaja terkena pukulan dari Gibran. Meski Abimana babak belur karena ulah Gibran, ia tetap berusaha membawa istrinya itu ke rumah sakit. Sedangkan Gibran, laki-laki itu merasa bertanggung jawab karena membuat Sandra pingsan, juga membuat babak belur Abimana. Meski hatinya kesal, tapi tidak pantas juga jika meninggalkan Abimana yang babak belur untuk mengurus istrinya yang pingsan. Namun, kali ini Gibran merasa bodoh. Bodohnya ia malah membawa mereka ke rumah sakit yang sama dengan Gita. "Dasar bodoh! Kenapa gue bawa kesini, sih!" maki Gibran sendiri dalam hati. "Gue anter lo ke UGD aja. Setelah itu gue pulang!" ucap Gibran penuh penekanan. Kesal? Tentu saja. Orang yang ia hajar nyatanya malah ia tolong sendiri. Entah mau bersikap bagaimana, Abimana hanya merasa kakak Gita itu memang baik seperti Gita. Ia merasa keluarga Gita memang keluarga yang selalu tak enak hati pada orang lain. "Pak Gibran. Anda di sini? Nona Gi...""Ssstttt!" Gib
Devan dan Gibran panik ketika melihat pergelangan tangan Gita bersimbah darah. Bahkan, Devan telah berurai air mata. Pikirannya dipenuhi ketakutan. Hatinya terasa sesak melihat Gita benar-benar lemas dan menutup mata. "Gak, gak mungkin. Anin, bangun, Anin. Kamu gak boleh lakuin ini," panik Devan yang terus menekan pergelangan tangan Gita. Sedangkan Gibran sedang memanggil Dokter, karena ia sudah berkali-kali memencet tombol darurat tak juga Dokter ataupun suster datang. Ketika Dokter datang, Devan dan Gibran segera menunggu di luar ruangan. Gibran tak habis pikir, jika adiknya begitu sulit menerima keadaannya saat ini. Ya, mana mungkin ia akan dengan mudah menerima. Gibran sangat tahu bagaimana sakitnya Gita saat ini. "Van, lo harus tenang. Gue titip Gita sebentar. Gue pergi dulu, menemui Abimana. Gue mau beri pelajaran padanya," ucap Gibran dengan wajah penuh amarah. Devan hanya mengangguk lemah. Tangannya masih gemetar mengingat keadaan Gita tadi. Sungguh demi apapun juga, ia ta
Pada umumnya, orang mengatakan bahwa pernikahan tanpa adanya seorang anak itu terasa tidak lengkap. Bahkan, banyak wanita di seluruh dunia mendamba hadirnya seorang anak. Namun, untuk masalah yang Gita hadapi saat ini, benar-benar memporak-porandakan hatinya. Harusnya kabar dirinya hamil dan akan jadi seorang ibu adalah kabar bahagia. Tapi, bolehkah sekarang ia merasa menolak dulu hadirnya anugerah itu?Gita melamun memandang keluar jendela dengan pemandangan malam yang gelap. Air matanya tak henti menetes. Ia juga tahu, jika keluarganya sangat mengkhawatirkan dirinya. Namun, ia bisa apa. Dirinya benar-benar rapuh sekarang. "Gita, makan dulu yuk, Sayang. Kamu belum makan apapun loh," bujuk Ratna yang merasa khawatir dengan kondisi Gita yang semakin lemah. "Untuk apa aku makan, Ma. Bukankah lebih baik mati daripada hidup dengan kesengsaraan seperti i..."PLAK!"Jaga mulut kamu, Gita! Mama gak pernah ajarkan kamu putus asa seperti ini!" Ratna marah dengan air mata yang merebak. Ia sa
Jika memang takdir manusia itu sudah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa, bisakah seseorang merubahnya jika tindakannya diperbaiki? Mungkin, takdir itu ketetapan Yang Maha Kuasa, tapi nasib seseorang bisa saja merubahnya. Namun, yang sudah terjadi memang sudah terjadi. Yang bisa kita lakukan hanyalah memperbaiki sikap agar kehidupan selanjutnya tak akan masuk ke dalam lubang yang sama dan dapat berjalan lebih baik lagi. Gita mengingat-ingat kapan terakhir kali ia datang bulan. Lalu sedikit terkejut saat mengingatnya. Menatap Ibunya dengan sendu, lalu menahan tangis sekuat tenaga. "Ma, aku ingin sendiri dulu," lirih Gita karena tiba-tiba rasa mualnya datang lagi. Segera menutup mulutnya lalu kembali ke kama mandi. Ratna begitu khawatir dengan putrinya. "Sayang, apa kamu.... Gita?!!" Ratna berteriak membuat Hadi berlari menghampirinya. Lalu terkejut saat melihat Gita tergeletak di lantai kamar mandi.Hadi segera menggendong putrinya menuju mobil. Dan saat itu bertepatan dengan Gibran d
Hal yang akan dilakukan pertama kali oleh Gibran adalah, membawa semua baju dan barang-barang Gita di apartemen Abimana. Saat ini ia dalam perjalan menuju apartemen Gita dengan ditemani Devan. Keadaan Gita masih sama seperti semalam, dia masih mengurung diri bahkan ibunya membujuk untuk makan saja sulit. Gibran dan Devan segera mengemasi baju-baju Gita. Namun, saat hendak keluar dari apartemen itu, keduanya bertemu dengan Abimana. "Kalian?! Sedang apa kalian di sini?!" pekik Abimana terkejut ketika melihat Gibran dan Devan keluar dari apartemen. Abimana mengecek ke dalam apartemen sebentar, namun tak menemukan Gita di sana."Dimana Gita? Dimana kalian sembunyikan Gita?!" tanya Abimana merasa marah. Ia sangat yakin jika istrinya itu disembunyikan darinya. Bug!Sebuah pukulan keras melayang ke pipi Abimana. Membuat laki-laki itu hampir saja terjatuh. "Dasar laki-laki brengsek. Kamu pikir, semua kebusukanmu akan tersimpan rapi begitu saja? Ingat! Aku tak akan mengampuni orang yang su
Perasaan yang selama ini dianggap cinta, membuat Gita menutup mata dan telinga dengan kebenaran yang ada. Menganggap ia paling mengenal Abimana sepenuhnya. Nyatanya, dirinyalah yang paling tidak tahu apa-apa tentang suaminya. Untuk apa ada rasa cinta, jika hanya luka yang ia terima. Bagaimana bisa semua terasa sempurna, tapi rupanya semua hancur setelah semua nyata ada di depan mata. Semudah itu Tuhan membolak-balikan hati seorang manusia. Semudah itu rasa cinta berganti menjadi benci yang tak terkira. Sebenarnya, hati ini tidak salah. Hanya saja manusia yang tak berhati itu merasa dirinyalah pemegang kuasa dengan segala pongahnya menganggap abadi sebuah rasa.Gibran memukul meja dengan kesal, saat melihat beberapa foto yang dikirim oleh orangnya untuk menyelidiki Abimana. Rupanya dugaannya benar bahwa Abimana punya istri selain Gita. "Dasar laki-laki brengsek! Beraninya kau mengusik keluargaku!" Segala umpatan dan makian serta sumpah serapah untuk Abimana ia tujukan. Merasa kesa