“Se–seno?” Lara tergagap. Di belakang Seno, ia melihat Olivia baru saja masuk ke dalam taksi. Apakah wanita itu sudah dibebaskan oleh suaminya?“Siapkan air mandi. Aku lelah sekali,” ucapnya begitu saja. Lara segera mengkode ke arah Melati. Asisten itu segera menyiapkan air mandi sesuai yang diminta Seno.“Da–dari mana saja kamu, Seno?”“Perawatan.”“Setenang itu kamu menjawabnya?!” Lara menaikkan suara. Ia merasa sangat kesal pada sikap Seno yang seolah meremehkan segala kekhawatirannya selama ini.“Bukankah kau harusnya senang? Suamimu ini baik-baik saja. Ngga usah banyak tanya. Aku sangat lelah!” Seno memilih pergi menuju ke lantai dua, ke kamarnya sendiri.“A–apa?” Lara tak bisa berkata-kata. Melati hanya menunduk, berpura-pura tak melihat apa-apa. Ia menjaga profesionalitasnya agar tak terpengaruh oleh pertengkaran suami-istri itu. “Airnya sudah siap, Pak,” ucap Melati lalu membukakan pintu kamar mandi.“Ya. Tolong ambilkan handuk juga.”“Baik, Pak.”“Seno!” Lara masih mengejar
Olivia segera menghubungi Seno dengan ponsel hantu miliknya. Seno melarangnya untuk menghubungi secara pribadi untuk mengelabui Lara. Olivia tidak kehabisan cara. Wanita itu segera menelpon Seno dan menagih janjinya.“Apa katamu?!” Olivia terperanjat. Seno benar-benar berubah!“Ini adalah kali terakhir aku menerima panggilanmu, Olivia! Setelah ini, tidak ada hubungan romantis lagi antara kau dan aku! Mengerti?!” Seno memutuskan hubungannya dengan kekasih gelap itu.“A–apa?!” Olivia memekik marah. “Kau tidak bisa memutuskan hubungan secara sepihak seperti ini, Seno!” teriaknya.“Mengapa tidak?” Seno balik bertanya. Ia tampaknya sudah siap menghadapi segala konsekuensi dari tindakannya.“A–aku … Aku akan membongkar perselingkuhan kita!” ancam Olivia tanpa berpikir matang.“Oh ya? Coba saja jika ingin menggali kuburanmu sendiri. Kau pikir media akan mendengarkan ocehan wanita gila?” Seno seakan tak kenal takut. Olivia terperangah. Ia mati kutu. “Ka–kau!”“Sudah! Cukup! Aku sudah mengiri
Seno, mau tak mau, harus mengabulkan permintaan Olivia. Wanita gila itu benar-benar membuat ulah yang di luar ekspektasinya. “Di mana?” Seno menghubungi Olivia, ketika ia sudah sampai di rubanah hotel. Tempat parkirnya cukup padat, Seno harus parkir di lantai tiga karena semua lini sudah penuh terisi. “Aku di Lobby, cepat kemarilah!” sahut Olivia manja. Matanya sudah sejak tadi mencari-cari sosok Seno, namun … pria itu tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Ternyata, Seno sedang berada di rubanah. Olivia tak mengira bahwa ia akan datang dengan mobil pribadi seperti itu. “Aku ke sana!” ucap Seno dengan tergesa. Ia harus segera menemui Olivia dan mengakhiri semuanya. Seno tak ingin terlibat dalam trik licik wanita itu, terutama jika Lara terlibat di dalamnya. ***“Ramai sekali,” gumam Lara ketika memasuki lobby hotel. Acara reuninya ada di ruang pertemuan khusus di lantai 10. Lara harus menyusuri lorong untuk sampai ke lift yang ada di ujung ruangan. “Eh, ternyata, kamu datang
“Hai, Semuanya!” teriak Olivia sengaja memancing perhatian tamu-tamu pesta. “E–eh? Olivia?” “Benar, itu Olivia, anak 2008!” “Gile … makin glowing!” “Siapa tuh yang di sebelahnya?” Suara kasak-kusuk segera memenuhi aula itu. Olivia mendapatkan sorotan perhatian seperti yang diharapkan. “Hei!” Olivia kembali melambai ke arah teman-temannya yang ada di pojok ruangan. Para kelompok penggosip! Kelompok yang sama yang telah menjatuhkan harga diri Lara. “Cie … pacar, tuh?” tanya Sherly sambil memandang ke arah Seno dengan tatapan ingin tahu. “Ah … Haha … tau aja!” Olivia tak mengelak. Sedangkan, Seno hanya menelan ludah. Ia harus bekerja sama dengan Olivia agar wanita itu tidak menyebarkan rahasianya. “Kayaknya pernah lihat, di mana, ya?” Sherly mencoba mengingat-ingat, namun … Olivia segera menjelaskan asal-usul kekasih gelapnya. “Dia Seno Adhijaya, masa nggak kenal, sih?” “Oh! Wow! Iya, aku pernah lihat di majalah!” “Benar! Itu Pak Seno, ya? Salam kenal!” “Ah, ya, salam kenal,” S
Tubuh Mahya gemetar ketika melihat Seno dan Olivia mendekat. Bukan getaran euforia ataupun kesenangan karena bertemu dua sosok yang tidak asing itu, namun … tubuh Mahya gemetar karena jijik dan tidak dapat menerima fakta bahwa Seno benar-benar mempertontonkan kebejatannya di hadapan massa.“K–kau,” ucap Seno tergagap ketika melihat Mahya yang begitu melekat di memorinya. “Ah! Kenalkan, ini Mahya,salah satu reporter terbaik kami di kantor,” James mulai mendekat ke arah Mahya. Instingnya sebagai lelaki seakan mendominasi otak reptilnya, kala Seno memandang Mahya dengan tatapan yang ia juga mengerti, apa artinya.“Ah, Mahya, ya ….” Seno berpura-pura tidak begitu mengenalnya, meski James juga mengetahui bahwa mereka pernah terlibat dalam kecelakaan, beberapa waktu lalu. Kecelakaan itu mengakibatkan James kehilangan uang $1000 dalam sekejap mata sehingga ia benar-benar marah kepada Mahya.Ketika James memikirkan hal itu, ia semakin mengutuk dirinya. Bagaimana mungkin pikiran rasionalnya s
“Apa yang terjadi? Di mana Lara? Apa dia akan melahirkan?” Seno mencecar sopirnya dengan beragam pertanyaan sampai akhirnya, hanya embusan napas kasar sang sopir yang menjadi jawaban utama.“Sa–sabar, Pak,” jelasnya kemudian.“Katakan! Di mana Lara?!” “Nyonya berada di ruang ICU. Kita harus menunggu sebentar lagi, Pak,” ucap sopir itu dengan pandangan nanar. Ia memang berhak disalahkan. Sebagai bawahan, tugasnya memang–salah satunya–untuk menenangkan emosi sang majikan.“Sekarang, jelaskan! Bagaimana semua ini bermula!” Seno naik pitam. Napasnya tersengal. Ia benar-benar merasa kecolongan. Bagaimana ia bisa mengabaikan kondisi Lara dan malah menemani Olivia? Seno memang tidak sedang berpikiran waras!“Nyonya merasa kesakitan setelah dari reuni, Tuan. Kata dokter yang tadi memeriksa, ada gejala syok hebat yang mendera nyonya ….”“A–apa?!”Seno mengatupkan mulutnya. Sejenak, ia mencoba menerka, kejadian apa yang bisa membuat istrinya syok hingga sedemikian rupa.“La–lalu?”“Ya, begitul
“Pak Seno?” Seorang dokter keluar dari ruang rawat intensif Lara. Seno segera menyambutnya dan mengangguk keras ketika dokter itu mengkonfirmasi identitasnya.“Ada apa, Dok? Bagaimana keadaan istri saya?” tanya Seno dengan tergesa. Ia benar-benar khawatir dan tak bisa beristirahat dengan tenang kala kondisi Lara belum dipastikan.“Bu Lara mengalami pendarahan yang cukup serius. Kami telah menanganinya dan sekarang sedang melakukan semua yang diperlukan untuk menjaga kesehatannya dan janin yang dikandung nyonya,” ucap dokter itu dengan mimik serius.Seno merasa gelisah. Sepertinya, perkataan sang dokter belum berhenti sampai di situ saja. “La–lalu. Apa yang akan terjadi, Dok?”“Perlu diingat bahwa pendarahan ini dapat menjadi tanda-tanda kondisi yang serius. Kami akan terus memantau dan memberikan perawatan yang dibutuhkan. Jika kondisi ini tidak membaik, kami akan mempertimbangkan opsi lain, termasuk persalinan prematur jika benar-benar diperlukan,” pungkas sang dokter. Seno menelan
Kata-kata itu menjadi hal terakhir yang Lara ingat ketika membuka mata dengan rasa sakit yang menjalari tubuhnya. Gelap. Hanya itu yang dapat dilihat oleh Lara. Sejatinya, ia tidak bisa melihat apapun. Kepalanya sangat sakit dan anehnya … perutnya juga!“A–apa ini?” Lara memeriksa rasa nyeri yang dirasakan di bagian perutnya. Rasa nyeri itu terasa sangat asing. Lara benar-benar melewatkan sesuatu. “Jahitan?” gumamnya.Aneh sekali, mengapa di perutnya ada bekas jahitan?Lara baru menyadari satu hal … “Anakku! Di mana anakku?” Bekas jahitan itu seakan merupakan jalan keluar dari si jabang bayi yang menghilang. Lara benar-benar tidak mengingat apapun. Terakhir kali, Lara hanya mengingat bahwa ia sedang berada di rumah sakit dan hendak menceraikan suaminya. Setelahnya … Lara hanya tertidur dan … bermimpi!Lara bermimpi dipindahkan ke sebuah ruangan aneh yang sangat gelap dengan bau desinfektan dan suara mesin yang berdenging di telinga. Beberapa staff medis turut menemaninya di mimpi it
Waktu berlalu begitu cepat sejak kali terakhir Lara mendengar tentang proses kasusnya. Persidangan terakhir yang menghadirkan Miriam, benar-benar menjadi tolok ukur kemenangan bagi pihaknya. Seno tidak dapat berkelit lagi. Hadirnya saksi dan kuatnya bukti-bukti menjadikan alibinya patah dan segala bantahan dari pengacaranya menjadi mentah. Lara dapat bernapas lega ketika hakim akhirnya menyatakan bahwa Seno bersalah atas kasus kekerasan dan percobaan pembunuhan. Mantan suami Lara itu pun harus membusuk di penjara akibat perbuatan-perbuatannya. *** “Bagaimana?” tanya Lara ragu, setelah mematutkan diri di cermin selama beberapa waktu. Ia telah mencoba gaun itu sebelumnya, namun ketika hari yang ditunggu-tunggu telah tiba, Lara malah gugup dan tidak tahu harus berbuat apa. “Cantik banget!” seru Mahya tanpa sedikit pun keraguan. Shanon berpikir serupa. Carol juga tampak mengacungkan jempolnya. Mereka bertiga sepakat bahwa tidak ada yang salah dari penampilan mempelai hari ini yang c
“Lara?” jawab suara di seberang ponsel Lara dengan nada rendah. Lara dapat menyimpulkan bahwa suara itu adalah milik Kakak Andre, Shanon. “Kak Shanon?” tanya Lara sebelum melanjutkan pembicaraannya. Ia ingin memastikan bahwa Shanon memang wanita yang dimaksud dan bukan orang lain. Lara sedikit melupakan bagaimana suara Shanon. Belasan tahun telah berlalu, dan hari ini adalah pertama kalinya mereka kembali bertegur sapa setelah insiden salah paham tentang kecelakaan Ibu Lara. “Ya, ini aku, Ra. Shanon. Andre sedang menyetir, kami hendak kembali ke apartemen.” “Ah, baiklah. Aku akan menunggu di sini.” “Oke! Kami akan segera tiba, Ra. Tunggu, ya! Aku membawakan makanan hangat dari restoran favoritku di Jakarta ini. Semoga kamu suka, ya!” Lara mengiyakan, kemudian mengakhiri pembicaraan. Hatinya masih dipenuhi keraguan. Ia masih belum yakin, bagaimana bersilkap setelah memusuhi orang yang salah selama beberapa belas tahun. Semoga saja, Shanon adalah sosok kakak perempuan seperti yang
Langkah Miriam berlalu begitu cepat menyusuri koridor untuk sampai ke lift yang ada di barat bangunan. “Sial!” Jemari lentiknya sibuk mencari-cari kontak travel agent yang bisa dihubungi. Miriam harus segera meninggalkan negara ini. Sayang, sinyal ponselnya ternyata tidak mendukung misinya, Miriam memutuskan untuk menundanya hingga ia sampai di lobby utama. “Halo?” Miriam akhirnya dapat menghubungi kenalannya. “Siapkan aku tiket ke Washington malam ini,jam–” “Dokter Miriam Rajapatni?” Seseorang tiba-tiba memotong percakapannya di telepon. Miriam terkejut, ia menoleh dalam keadaan setengah sadar. Pikirannya berkelana ke destinasi tujuan yang hendak didatanginya malam ini. “Siapa?” tanya Miriam dengan alis terangkat. Ia merasa tak mengenal pria-pria berkaos di hadapannya. Tiga pria cepak dengan perawakan seperti atlet. Mereka tampak ngos-ngosan, seakan baru saja mengejar hantu atau penjahat yang mencoba kabur. “Saya Detektif Ragas, Anda harus ikut kami ke kantor polisi untuk membe
“Menjelaskan apa. Ndre?” tanya Shanon dengan alis terangkat. Andre hanya menghela napas berat. Ia tahu bahwa campur tangan kakaknya hanya akan memperumit situasi. “Bagaimana Kakak mengetahui semua masalah ini?” Andre masih terheran-heran. “Mengapa Kakak menipuku? Apanya yang gawat?” “Andre! Oh, Andre! Apa yang Kakak tidak tahu? Terutama setelah menikah dengan pria hebat ini? Bahkan semut berbisik pun bisa kudengar!” Shanon bersedekap sambil memandang Andre dengan tatapan aneh. Andre seharusnya tahu bahwa Shanon tidak akan membiarkan adik semata wayangnya menderita, apalagi setelah mengalami pasang-surut kehidupan yang begitu mengguncang dunia mereka. “Hhh … Kayak, sudahlah. Ini bukan hal besar. Masalahnya sudah hampir selesai. Rekaman CCTV rumah sakit ini sudah sampai di tangan jaksa,” ucap Andre sambil melirik ke arah Miriam yang tampak tercengang. “Ba–bagaimana bisa?” Mata Miriam membelalak. Ia sangat yakin bahwa rekaman CCTV itu sudah dihancurkan olehnya, atau … seseorang telah
Andre menyipitkan kedua matanya tatkala nama sang kakak muncul pada layar ponselnya. Untuk apa kakaknya menghubunginya di waktu seperti ini? Tidak biasanya. “Halo?” “Ndre! Gawat! Kamu harus ke sini sekarang!” seru sang Kakak dengan napas tersengal. “Tunggu! Ke sini, ke mana?” Andre bingung karena tidak mungkin ia pergi ke Kanada dalam waktu singkat seperti pindah jalur angkot saja. Ia tak mengerti kenapa Kakaknya begitu tergesa dan seperti sedang dikejar setan seperti itu. “Ke rumah sakit! Bukan ke Kanada, Ndre! Ke rumah sakitmu! Ruangan direktur! Sekarang!” “Kakak–” Tut. Tut. Sambungan telepon terputus. Kakaknya itu memang selalu bisa memenangkan juara jika ada kontes ‘siapa yang paling bisa bikin orang penasaran?’. Andre meremas rambutnya kasar. Ia bingung bagaimana menyikapi permintaan sang kakak, padahal … LAra dan Mahya baru saja menikmati keindahan pantai di ujung utara Jakarta. Apakah mereka harus kembali? “Kenapa, Ndre?” Melihat wajah kusut sang kekasih, Lara tentu saja
Mahya terlihat cantik dengan riasan natural dan bibir lembabnya yang bersinar. Namun, tentu saja, satu hal yang aneh begitu membuat Lara iba. Mahya kini berada di kursi roda. “Kangen aku?” tanya Mahya sambil mengerlingkan sebelah matanya. Lara mengangguk sambil berlinang air mata. Ia kemudian menghambur ke arah sang sahabat dan memeluknya erat. “Apa kabar?” tanya Lara dengan suara serak. Mahya hanya tersenyum dan menepuk punggung Lara pelan. “Aku baik-baik saja, seperti yang kau lihat? Yang penting aku sudah sadar dari koma, kan?” ucap Mahya diiringi seulas senyuman. Lara mengendurkan pelukannya dan meneliti setiap tubuh sang sahabat. Benar. Mahya telah sadar dan hanya kakinya saja yang masih belum bisa berjalan dengan benar. “Ini cuma sementara, ‘kan?” tanya Lara khawatir. “Tentu saja. Aku ‘kan kuda liar! Mana bisa aku kalah begitu saja,” seloroh Mahya bangga sambil memamerkan otot bisepnya. Lara hanya tertawa. Pandangannya berpindah ke dua orang lain yang ada di kanan dan kir
Selama dua hari, Lara dan rombongannya menghabiskan waktu di bangunan tua milik sang Ibu. Saat ini, dengan persiapan yang lebih matang dari sebelumnya, ia kembali ke pengadilan untuk menghadiri sidang lanjutan. Bukti-bukti yang didapatkan di bangunan tua itu benar-benar menjadi titik balik bagi perkara Lara. Kali ini, sang pengacara dapat dengan yakin akan memenangkan gugatan terhadap lawan mereka! “Saudari Lara, silakan maju ke kursi saksi,” panggil sang hakim sambil menyorot tajam ke arahnya yang sedang duduk gelisah di bangku panjang. “Kau bisa, Sayang,” ucap Andre sambil menggenggam tangan Lara. Wanita itu mengangguk sambil menelan ludah saat mendengar panggilan dari sang hakim “Doakan aku, oke,” lirihnya pada Andre sambil mencoba menenangkan degupan jantungnya yang berdebar kencang. “Tentu, kau pasti bisa,” hibur Andre sambil mengacungkan tinjunya ke udara untuk menyemangati sang kekasih hati. Lara mengangguk, kemudian berdiri dan melangkah menuju kursi saksi di tengah ruan
“Andre! Tidaaaak!” Lara memekik tatkala suara tembakan itu bergema di sepanjang jalan. Suara letusan pistol itu merobek heningnya malam, melebur dengan suara detak jantung mereka yang berdegup kian kencang. Suasana menjadi kacau balau saat tembakan mulai terdengar. Aroma busuk asap mesiu segera mengisi hidung mereka dengan intaian kematian. Andre melihat dengan ngeri saat salah satu pria berjas itu jatuh dengan luka tembak di dadanya. “Aku baik-baik saja, Ra! Me–mereka yang tewas!” kata Andre sambil memastikan bahwa tidak hanya satu orang pria yang roboh di hadapan mereka, tapi, keempat-empatnya. Lara, yang terdiam sambil menahan napasnya. Dia tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Air matanya mulai menetes ketika dia melihat orang-orang itu telah kehilangan nyawa. “Apa yang terjadi?” Lara bertanya-tanya ketika musuh mereka telah tewas tanpa aba-aba. Sebuah suara tiba-tiba mengejutkan mereka. “Oh, Laraku yang malang ….” “Si–siapa?” Lara menoleh ke arah sumber suara. Di sana, s
Moncong senjata itu diacungkan ke arah kepala Andre, sontak sang dokter berusaha untuk tetap tenang karena … Lara ada tepat di belakangnya! “Whoa … tenang, Bung!” teriak Andre sambil menahan ketakutan yang mulai menjalari tubuhnya. Nyawanya sudah berada di ujung tanduk, hanya dengan satu tarikan pemicu, maka lubang kecil di kepalanya akan berhasil membuat hidupnya berhenti seketika. “Cepat!” Pria itu tak ingin lagi berbicara. Ia benar-benar ingin mengakhiri kejar-kejaran kucing dan anjing ini dengan cepat. Ia memakai kembali kacamatanya. Dan kini bergerak semakin dekat ke arah Andre dan Lara. “Ndre! Berikan aja, Ndre!” pinta Lara sambil menangis tersedu-sedu. Ia tak ingin nyawa orang yang sangat disayanginya berada dalam bahaya. Siapa yang bisa menjamin jika pria itu tidak hanya menggertak? Kondisi jalan sepi ini juga sangat tidak menguntungkan mereka. Hari pun sudah begitu gelap. Tidak mungkin ada orang yang bisa melihat kejadian mengerikan ini, apalagi untuk melaporkan kepada pih