Kata-kata itu menjadi hal terakhir yang Lara ingat ketika membuka mata dengan rasa sakit yang menjalari tubuhnya. Gelap. Hanya itu yang dapat dilihat oleh Lara. Sejatinya, ia tidak bisa melihat apapun. Kepalanya sangat sakit dan anehnya … perutnya juga!“A–apa ini?” Lara memeriksa rasa nyeri yang dirasakan di bagian perutnya. Rasa nyeri itu terasa sangat asing. Lara benar-benar melewatkan sesuatu. “Jahitan?” gumamnya.Aneh sekali, mengapa di perutnya ada bekas jahitan?Lara baru menyadari satu hal … “Anakku! Di mana anakku?” Bekas jahitan itu seakan merupakan jalan keluar dari si jabang bayi yang menghilang. Lara benar-benar tidak mengingat apapun. Terakhir kali, Lara hanya mengingat bahwa ia sedang berada di rumah sakit dan hendak menceraikan suaminya. Setelahnya … Lara hanya tertidur dan … bermimpi!Lara bermimpi dipindahkan ke sebuah ruangan aneh yang sangat gelap dengan bau desinfektan dan suara mesin yang berdenging di telinga. Beberapa staff medis turut menemaninya di mimpi it
“Lara! Iya! Ini aku!”Mahya segera berlari ke arah Lara dan mencoba melepaskannya dari balik jeruji itu dengan sekuat tenaga. “Sial!” gerutunya ketika pintu besi itu ternyata terkunci rapat.“Tunggu, Lara!”Mahya berlari kembali ke tempat asalnya. Ia menuju ke mobil, membongkar kotak peralatan yang ada di bagasi milikya. Suara dentang besi-besi bertumpukkan mulai terdengar. Mahya kembali kepada Lara dengan membawa sebuah linggis untuk memecah gembok yang mengunci engsel pintunya.“Hiyah!”Dengan sekuat tenaga, Mahya akhirnya berhasil membuka jeruji yang membelenggu Lara.“Lara!” Mahya segera memeluk sahabatnya yang sedang tergolek lemah di lantai. Ia menangis dan menyayangkan tentang insiden penyekapan ini. Mengapa gadis sebaik Lara harus mengalaminya?“Mahya, aku … aku ada di mana?” tanya Lara dengan suara bergetar. Ia benar-b
Keesokan harinya, Lara terbangun dengan perasaan yang lebih tenang. Suara kicau burung di luar membuat harinya menjadi ringan. Aroma kopi menyambut indera penciuman Lara. Sepertinya, rutinitas Mahya masih sama seperti biasa. “Kopi?” tawar Mahya kepada Lara yang baru saja membuka mata. “Oke,” sahut Lara sambil tersenyum kepada sahabatnya. Mahya ikut tertawa kemudian kembali ke dapur untuk menyeduhkan Lara secangkir kopi seperti miliknya. Perhatian dari Mahya cukup membuat Lara merasa disayangi. Ia teringat akan Melati. Entah apa kabarnya anak itu kini. “Mahya, menurutmu, aku harus pulang ke rumah?” tanya Lara polos. Ia bahkan tidak memikirkan segala resiko yang mungkin diterima jika nekat melakukan hal seperti itu. “TIDAK!” tolak Mahya tegas. “Menurutmu, mengapa seseorang membiarkan istrinya terikat meski baru saja melahirkan anak? Kau sudah mati, Lara. Kau harus mengingat hal itu!” pungkas Mahya. Lara hanya menelan ludah. Perkataan Mahya sama sekali tidak salah. “Lalu, aku harus
Langkah Miriam terhenti di depan pintu. Ia tak jadi kembali ke unit apartemennya. “Permisi, saya hanya ingin berkenalan,” ucapnya sopan. Namun, tidak terdengar jawaban.“Permisi ….” Seperti tidak ada kerjaan, Miriam masih saja bersikeras untuk masuk ke unit apartemen tetangganya. Firasatnya mengatakan, ada sesuatu yang salah. Ia ingin memastikan kecurigannya.“Oh, Halo!” Tiba-tiba, suara seseorang mengejutkan Miriam. Gadis itu menoleh ke arah belakang dan mendapati kenalannya sedang berdiri di sana. “Nona reporter, apa kabar?” sapanya ramah.“Saya baik-baik saja. Apa yang Anda lakukan di depan rumah saya?” tanya Mahya keheranan. Tidak dipungkiri, jantungnya juga berdegup kencang. Ia khawatir, Miriam bertemu dengan Lara yang statusnya masih disembunyikan.“Ah, saya ingin menyapa Anda! Ternyata … memang tidak ada orang di sana. Saya tadi mendengar ada barang pecah. Saya pikir … di sana ada seseorang,” kata Miriam sambil merapikan anak rambutnya.“Ah. Mungkin itu kucing saya. Dia meman
Seno menatap nanar ke langit-langit ruangan. Bayangan wajah Lara tiba-tiba menjelma. Saat ini, ia bergidik ngeri dan mulai berkata pada dirinya sendiri bahwa semua akan baik-baik saja.“Bagaimana hasilnya? Wanita itu sudah tewas?” tanya Seno ketika anak buah yang diperintahkan untuk menghabisi Lara baru saja menampakkan dirinya.“I–itu ….” Ia tak kuasa meneruskan ucapannya.“Itu, apa?!” Seno berteriak marah. Jangan sampai jejak kejahatannya tertinggal pada sosok Lara. Istrinya, ralat, mantan istrinya itu harus sudah lenyap dari dunia ini beserta identitasnya yang sudah tersapu bersih tanpa sisa.“Ada seseorang yang menyelamatkannya, Bos!” lapornya kemudian dengan nada yang dikuat-kuatkan. Ia harus tampak tegas jika tidak ingin berakhir menjadi mayat di tangan si pemberi kerja.“BAJINGAN! Bagaimana bisa?!” Seno bangkit dari tempat duduknya. Padahal, ia baru saja menikmati kesuksesan dengan penemuan obat penawar yang selama ini selalu gagal. Berkat Lara, impian Seno menjadi mudah. Anak
Lara menggigit bibirnya. Derai air mata kembali membasahi wajahnya. “Ba–bagaimana bisa ….” Ia bahkan tak bisa melanjutkan perkataannya. “Lara. Bersabarlah. Ini hanya doku–” “Tapi. tetap saja! Seno benar-benar mempermainkan aku sejak awal, Mahya!” potong Lara cepat. Mahya hanya menghela napas dalam. Memang begitulah yang dipikirkannya. “Dia memang begitu. Sejak awal, terlihat seperti itu, Lara,” imbuh Mahya yang membuat tangis Lara semakin kencang. “Sabar … sabarlah, Lara,” Mahya menepuk pundak Lara, kemudian memeluknya. Ia mengerti bagaimana perasaan Lara. Disakiti, dikhianati dan … hampir meregang nyawa di tangan suami sendiri, hal itu sungguh berat untuk dilalui. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang bisa menanggung beban seperti itu seorang diri. “Aku harus kembali ke rumah Nenek, Mahya! Nenek Seno pasti akan mengakuiku. Dia orang yang sangat baik. Antar aku ke sana, Mahya. Tolong ….” pinta Lara memelas. Mahya menggeleng lemah. Sangat beresiko menjalin kontak dengan keluarga S
“Saya hanya bisa memberi ini, Bu. Kami akan pindah ke Singapura,” ucap Melati sambil menyodorkaN sepucuk surat kepada Lara. Meski dalam penyamaran, Melati dapat mengenali sosok sang majikan dengan baik. Berbeda dengan keluarga Lara yang bahkan tidak repot mengkhawatirkannya. “Mela ….” Lara mendesis pelan. Air mata kembali terbit dari pelupuknya. “Ibu yang sabar ya. Semua yang saya ketahui, saya tulis di surat itu. Saya baru bisa memberikan kepada Ibu, hari ini. Percayalah, Bu. Saya tidak ikut ambil bagian dalam skema kejahatan Tuan. Tetapi ….” Melati memotong ucapannya. Beberapa orang pria besar mulai bersikap waspada dan menatap punggungnya dengan curiga. “Tetapi apa, Mela?” Lara penasaran dengan kelanjutan perkataan sang asisten. “Saya harus pergi! Ibu! Menjauhlah dari sini, oke!” “Melati!” Lara memekik ketika punggung gadis itu menjauh pergi. Namun, Lara segera membungkam mulutnya sendiri ketika matanya menangkap sosok pengawal yang mencengkeram Melati kuat. “Apa yang terjadi
Mobil hitam Mahya melaju dalam kecepatan rata-rata, menjauh dari kantor Seno dan segala mara bahaya yang mungkin mengintai mereka di sana. Seiring kendaraan mereka menjauh dari kantor pusat S-Group, seiring itu pula perasaan berat yang dirasakan oleh Lara terangkat sedikit demi sedikit. Tidak ada kata yang bisa mengungkapkan, betapa Lara merasa bersyukur bahwa Mahya dapat kembali dengan selamat. Apalagi, gadis itu juga membawa serta data-data untuk membongkar kecurangan Seno dalam pendirian perusahaan. “Aku tidak percaya kita bisa di titik ini, Mahya,” ucap Lara dengan haru. Mahya tersenyum cerah ke arah sahabatnya. “Ya, kau selalu bisa mengandalkanku,” selorohnya sambil terus fokus ke jalanan yang mulai dipadati beberapa kendaraan. Ruas jalan Jakarta kembali padat, meski belum terbilang macet. Jam pulang kantor masih jauh, namun sepertinya, hari ini, banyak kendaraan yang memang harus berada di jalanan. “Ah, ya, ini hari rabu,” gumam Mahya. “Kenapa memangnya hari rabu?” tanya L
Waktu berlalu begitu cepat sejak kali terakhir Lara mendengar tentang proses kasusnya. Persidangan terakhir yang menghadirkan Miriam, benar-benar menjadi tolok ukur kemenangan bagi pihaknya. Seno tidak dapat berkelit lagi. Hadirnya saksi dan kuatnya bukti-bukti menjadikan alibinya patah dan segala bantahan dari pengacaranya menjadi mentah. Lara dapat bernapas lega ketika hakim akhirnya menyatakan bahwa Seno bersalah atas kasus kekerasan dan percobaan pembunuhan. Mantan suami Lara itu pun harus membusuk di penjara akibat perbuatan-perbuatannya. *** “Bagaimana?” tanya Lara ragu, setelah mematutkan diri di cermin selama beberapa waktu. Ia telah mencoba gaun itu sebelumnya, namun ketika hari yang ditunggu-tunggu telah tiba, Lara malah gugup dan tidak tahu harus berbuat apa. “Cantik banget!” seru Mahya tanpa sedikit pun keraguan. Shanon berpikir serupa. Carol juga tampak mengacungkan jempolnya. Mereka bertiga sepakat bahwa tidak ada yang salah dari penampilan mempelai hari ini yang c
“Lara?” jawab suara di seberang ponsel Lara dengan nada rendah. Lara dapat menyimpulkan bahwa suara itu adalah milik Kakak Andre, Shanon. “Kak Shanon?” tanya Lara sebelum melanjutkan pembicaraannya. Ia ingin memastikan bahwa Shanon memang wanita yang dimaksud dan bukan orang lain. Lara sedikit melupakan bagaimana suara Shanon. Belasan tahun telah berlalu, dan hari ini adalah pertama kalinya mereka kembali bertegur sapa setelah insiden salah paham tentang kecelakaan Ibu Lara. “Ya, ini aku, Ra. Shanon. Andre sedang menyetir, kami hendak kembali ke apartemen.” “Ah, baiklah. Aku akan menunggu di sini.” “Oke! Kami akan segera tiba, Ra. Tunggu, ya! Aku membawakan makanan hangat dari restoran favoritku di Jakarta ini. Semoga kamu suka, ya!” Lara mengiyakan, kemudian mengakhiri pembicaraan. Hatinya masih dipenuhi keraguan. Ia masih belum yakin, bagaimana bersilkap setelah memusuhi orang yang salah selama beberapa belas tahun. Semoga saja, Shanon adalah sosok kakak perempuan seperti yang
Langkah Miriam berlalu begitu cepat menyusuri koridor untuk sampai ke lift yang ada di barat bangunan. “Sial!” Jemari lentiknya sibuk mencari-cari kontak travel agent yang bisa dihubungi. Miriam harus segera meninggalkan negara ini. Sayang, sinyal ponselnya ternyata tidak mendukung misinya, Miriam memutuskan untuk menundanya hingga ia sampai di lobby utama. “Halo?” Miriam akhirnya dapat menghubungi kenalannya. “Siapkan aku tiket ke Washington malam ini,jam–” “Dokter Miriam Rajapatni?” Seseorang tiba-tiba memotong percakapannya di telepon. Miriam terkejut, ia menoleh dalam keadaan setengah sadar. Pikirannya berkelana ke destinasi tujuan yang hendak didatanginya malam ini. “Siapa?” tanya Miriam dengan alis terangkat. Ia merasa tak mengenal pria-pria berkaos di hadapannya. Tiga pria cepak dengan perawakan seperti atlet. Mereka tampak ngos-ngosan, seakan baru saja mengejar hantu atau penjahat yang mencoba kabur. “Saya Detektif Ragas, Anda harus ikut kami ke kantor polisi untuk membe
“Menjelaskan apa. Ndre?” tanya Shanon dengan alis terangkat. Andre hanya menghela napas berat. Ia tahu bahwa campur tangan kakaknya hanya akan memperumit situasi. “Bagaimana Kakak mengetahui semua masalah ini?” Andre masih terheran-heran. “Mengapa Kakak menipuku? Apanya yang gawat?” “Andre! Oh, Andre! Apa yang Kakak tidak tahu? Terutama setelah menikah dengan pria hebat ini? Bahkan semut berbisik pun bisa kudengar!” Shanon bersedekap sambil memandang Andre dengan tatapan aneh. Andre seharusnya tahu bahwa Shanon tidak akan membiarkan adik semata wayangnya menderita, apalagi setelah mengalami pasang-surut kehidupan yang begitu mengguncang dunia mereka. “Hhh … Kayak, sudahlah. Ini bukan hal besar. Masalahnya sudah hampir selesai. Rekaman CCTV rumah sakit ini sudah sampai di tangan jaksa,” ucap Andre sambil melirik ke arah Miriam yang tampak tercengang. “Ba–bagaimana bisa?” Mata Miriam membelalak. Ia sangat yakin bahwa rekaman CCTV itu sudah dihancurkan olehnya, atau … seseorang telah
Andre menyipitkan kedua matanya tatkala nama sang kakak muncul pada layar ponselnya. Untuk apa kakaknya menghubunginya di waktu seperti ini? Tidak biasanya. “Halo?” “Ndre! Gawat! Kamu harus ke sini sekarang!” seru sang Kakak dengan napas tersengal. “Tunggu! Ke sini, ke mana?” Andre bingung karena tidak mungkin ia pergi ke Kanada dalam waktu singkat seperti pindah jalur angkot saja. Ia tak mengerti kenapa Kakaknya begitu tergesa dan seperti sedang dikejar setan seperti itu. “Ke rumah sakit! Bukan ke Kanada, Ndre! Ke rumah sakitmu! Ruangan direktur! Sekarang!” “Kakak–” Tut. Tut. Sambungan telepon terputus. Kakaknya itu memang selalu bisa memenangkan juara jika ada kontes ‘siapa yang paling bisa bikin orang penasaran?’. Andre meremas rambutnya kasar. Ia bingung bagaimana menyikapi permintaan sang kakak, padahal … LAra dan Mahya baru saja menikmati keindahan pantai di ujung utara Jakarta. Apakah mereka harus kembali? “Kenapa, Ndre?” Melihat wajah kusut sang kekasih, Lara tentu saja
Mahya terlihat cantik dengan riasan natural dan bibir lembabnya yang bersinar. Namun, tentu saja, satu hal yang aneh begitu membuat Lara iba. Mahya kini berada di kursi roda. “Kangen aku?” tanya Mahya sambil mengerlingkan sebelah matanya. Lara mengangguk sambil berlinang air mata. Ia kemudian menghambur ke arah sang sahabat dan memeluknya erat. “Apa kabar?” tanya Lara dengan suara serak. Mahya hanya tersenyum dan menepuk punggung Lara pelan. “Aku baik-baik saja, seperti yang kau lihat? Yang penting aku sudah sadar dari koma, kan?” ucap Mahya diiringi seulas senyuman. Lara mengendurkan pelukannya dan meneliti setiap tubuh sang sahabat. Benar. Mahya telah sadar dan hanya kakinya saja yang masih belum bisa berjalan dengan benar. “Ini cuma sementara, ‘kan?” tanya Lara khawatir. “Tentu saja. Aku ‘kan kuda liar! Mana bisa aku kalah begitu saja,” seloroh Mahya bangga sambil memamerkan otot bisepnya. Lara hanya tertawa. Pandangannya berpindah ke dua orang lain yang ada di kanan dan kir
Selama dua hari, Lara dan rombongannya menghabiskan waktu di bangunan tua milik sang Ibu. Saat ini, dengan persiapan yang lebih matang dari sebelumnya, ia kembali ke pengadilan untuk menghadiri sidang lanjutan. Bukti-bukti yang didapatkan di bangunan tua itu benar-benar menjadi titik balik bagi perkara Lara. Kali ini, sang pengacara dapat dengan yakin akan memenangkan gugatan terhadap lawan mereka! “Saudari Lara, silakan maju ke kursi saksi,” panggil sang hakim sambil menyorot tajam ke arahnya yang sedang duduk gelisah di bangku panjang. “Kau bisa, Sayang,” ucap Andre sambil menggenggam tangan Lara. Wanita itu mengangguk sambil menelan ludah saat mendengar panggilan dari sang hakim “Doakan aku, oke,” lirihnya pada Andre sambil mencoba menenangkan degupan jantungnya yang berdebar kencang. “Tentu, kau pasti bisa,” hibur Andre sambil mengacungkan tinjunya ke udara untuk menyemangati sang kekasih hati. Lara mengangguk, kemudian berdiri dan melangkah menuju kursi saksi di tengah ruan
“Andre! Tidaaaak!” Lara memekik tatkala suara tembakan itu bergema di sepanjang jalan. Suara letusan pistol itu merobek heningnya malam, melebur dengan suara detak jantung mereka yang berdegup kian kencang. Suasana menjadi kacau balau saat tembakan mulai terdengar. Aroma busuk asap mesiu segera mengisi hidung mereka dengan intaian kematian. Andre melihat dengan ngeri saat salah satu pria berjas itu jatuh dengan luka tembak di dadanya. “Aku baik-baik saja, Ra! Me–mereka yang tewas!” kata Andre sambil memastikan bahwa tidak hanya satu orang pria yang roboh di hadapan mereka, tapi, keempat-empatnya. Lara, yang terdiam sambil menahan napasnya. Dia tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Air matanya mulai menetes ketika dia melihat orang-orang itu telah kehilangan nyawa. “Apa yang terjadi?” Lara bertanya-tanya ketika musuh mereka telah tewas tanpa aba-aba. Sebuah suara tiba-tiba mengejutkan mereka. “Oh, Laraku yang malang ….” “Si–siapa?” Lara menoleh ke arah sumber suara. Di sana, s
Moncong senjata itu diacungkan ke arah kepala Andre, sontak sang dokter berusaha untuk tetap tenang karena … Lara ada tepat di belakangnya! “Whoa … tenang, Bung!” teriak Andre sambil menahan ketakutan yang mulai menjalari tubuhnya. Nyawanya sudah berada di ujung tanduk, hanya dengan satu tarikan pemicu, maka lubang kecil di kepalanya akan berhasil membuat hidupnya berhenti seketika. “Cepat!” Pria itu tak ingin lagi berbicara. Ia benar-benar ingin mengakhiri kejar-kejaran kucing dan anjing ini dengan cepat. Ia memakai kembali kacamatanya. Dan kini bergerak semakin dekat ke arah Andre dan Lara. “Ndre! Berikan aja, Ndre!” pinta Lara sambil menangis tersedu-sedu. Ia tak ingin nyawa orang yang sangat disayanginya berada dalam bahaya. Siapa yang bisa menjamin jika pria itu tidak hanya menggertak? Kondisi jalan sepi ini juga sangat tidak menguntungkan mereka. Hari pun sudah begitu gelap. Tidak mungkin ada orang yang bisa melihat kejadian mengerikan ini, apalagi untuk melaporkan kepada pih