Suka cerita ini? Kirimkan Gem 💎 untuk mendukung penulis. Terima kasih telah membaca!
Keesokan paginya, ketika membuka mata, betapa terkejutnya aku karena Seno sudah merapikan barang-barang kami ke dalam koper. “Kita mau pulang?” tebakku. Semoga saja tebakanku benar. Cicit burung turut menemani pagi yang cerah ini. Seno juga hanya memakai kaos polo berwarna hijau, tidak sedang memakai jas atau pun kemeja kerja. Sepertinya, ia libur. “Iya, kita pulang hari ini,” ucapnya seraya tersenyum kepadaku. Aku sangat bahagia. Akhirnya, aku bisa pergi dari rumah ini. Aku tidak suka di sini. Seno terlihat menarik koper kami hingga ke ujung pintu. Kamar ini tidak terlalu luas karena sebenarnya hanya kamar tamu. Dalam hati, aku senang karena tidak perlu repot harus mencari barangku yang tercecer di ruangan yang kecil ini. “Mau pergi?” Selly tiba-tiba menyapa ketika Seno membuka pintu kamar kami. Kali ini, ia mengenakan kaos ketat berwarna keunguan dengan celana training senada. Sepertinya, Selly akan mengikuti pelajaran olahraga di jam pertama. “Iya, Kakak kamu minta pulang,”
Asap rokok mengepul, bergelung-gelung, saat Mahya menerawang di atas rooftop kantor Channel Insight–kantor berita tempatnya bekerja. Ia sedang menunggu kedatangan sang editor untuk berdiskusi sebelum mulai bertindak. Mahya sedang mempersiapkan diri untuk naik jabatan, setelah tiga tahun menjadi reporter investigasi junior tanpa promosi apa pun. “Kau sudah datang?” sapanya pada wanita berambut hitam sebahu yang baru saja keluar dari pintu darurat. “Yah. Gimana? Sudah ada ide mau liputan apa?” tanyanya menyelidik. Bola mata cokelatnya membulat seakan menuntut jawaban yang memuaskan dari sang lawan bicara. Mahya tersenyum miring. Dua perempuan berusia akhir 20-an itu pun saling tatap dalam keheningan. Mahya tentu memiliki sesuatu untuk ditawarkan pada sang editor. Sebelum itu, ia ingin memancing keingintahuan sang editor lebih dalam. “Kau ingat, kan? Pebisnis medis yang di sampul majalah SOWA? Aku mengendus sesuatu yang tak beres padanya.” “SOWA? Edisi kapan, woy!” “Bulan lalu. Huh
“Ganti rugi?” Mahya mengernyit. Ia tidak mengerti apa maksud dari sang penelepon. Memangnya apa yang dia lakukan? “Halo?!” Suara itu terus memanggil, kali ini, nadanya sedikit tinggi. Mahya yang memiliki kesabaran setipis tissue tentu saja marah. “Salah sambung!” ketusnya lalu menutup telepon itu secara sepihak. Kantor Channel Insight sudah cukup sepi, waktu telah menunjukkan pukul sembilan malam. Mahya–yang kebetulan tidak ada tugas lembur–tentu akan bersiap pulang, sebelum sebuah panggilan telepon, lagi-lagi, menganggunya. “Halo?!” Kali ini, suara Mahya yang meninggi. Ia tidak ingin kalah dalam pertarungan kedua ini. “Ini aku, Seno Adhijaya. Kau bilang, tadi akan memberiku ganti rugi!” “Se–seno?” Mahya menutup mulutnya secara reflek. “Astaga!” gumamnya dengan segera. Mahya benar-benar lupa telah merancang skenario seperti itu. Otaknya terlalu berpikir rumit untuk proposal investigasi. Ia melupakan hal yang sangat penting: narasumber. “Pak Seno! Ya, maaf saya pikir anda adalah
"Mengapa Anda bicara seperti itu, Pak?" tanya Mahya, mencoba bersikap sabar. ia tidak terima jika Lara dijelek-jelekkan oleh suaminya sendiri. "Bicara apa?""Istri sama dengan simpanan.""Yah. Bukankah mereka itu tersembunyi? Istri-istri konglomerat tidak ditampakkan supaya tidak terkena skandal.""A—apa?"Mahya menyorot tajam perkataan Seno dengan amarah yang terpendam. Namun, sepertinya ia tak bisa menahan diri lebih lama. “Kau tidak tahu ya?”“Be—benarkah Anda berpikir seperti itu?”“Itu kenyataannya.”Mahya melongo, alih-alih marah, ia kini justru merasa kasihan dengan mental sang pengusaha baru itu. Benar-benar tidak bisa dibiarkan. Mahya segera mengambil segelaa air mineral yang belum sempat disentuh oleh si empunya—Seno—dan sekonyong-konyong menyiramkannya kepada si pemilik, tanpa berpikir panjang. “Sepertinya, otak Anda perlu didinginkan!” seru Mahya kasar. “KAU!” Seno tentu saja marah. Ia tak menyangka gadjs yang hendak dirayunya itu mah berakhir mempermalukannya seperti
Aku terkejut. Tidak ada siapa pun di rumah besar ini. Seno sudah mewanti-wanti agar aku tidak mencari siapa pun dan menemaniku masuk ke rumah ini sebentar, untuk meletakkan barang-barang kami. Sesuai perkataannya, ia harus pergi untuk rapat penting. Entah rapat apa itu. Aku tidak tahu. “Bi Yani mana?” tanyaku, tepat sebelum Seno melangkah ke luar rumah kami. Suara derap dari pantofelnya tampak membisu, menandakan bahwa lelaki itu sedikit merenungkan sesuatu. Kulihat, wajahnya mengernyit, seakan sedang berpikir terlebih dahulu untuk memberika sebuah jawaban yang kutunggu-tunggu. “Bi Yani masih libur. Besok baru kembali,” katanya sambil tersenyum kepadaku. Aku sedikit curiga tapi tidak ada alasan untuk memarahinya. Toh, sesuai perkataannya, bisa saja, Bi Yani memang sedang beristirahat di kediamannya. Besok aku baru akan mengetahui kebenarannya. *** Malam berangsur turun, kegelapan telah merajai kediaman ini. Seno belum tampak akan pulang pada jam-jam seperti ini. Berkali-kali
Alasan dibalik ketiadaan Seno di rumahnya adalah karena lelaki itu saat ini bersama Olivia. Cumbuan mesra, pelukan panas dan erangan penuh kenikmatan sedang mereka rasakan berdua. Tidak ada sehelai kain pun yang menjadi pembatas di antara keduanya. Dan, saat ini, baik Seno maupun Olivia sama-sama terkulai lemas, tanpa daya. “Sialan,” rutuk Olivia, setelah ia melepaskan kondom yang berisi penuh cairan itu dari kejantanan milik Seno. Mengapa mereka menggunakan kondom? Bahkan ketika Olivia saja tidak akan pernah bisa mengandung–setidaknya, Seno harus berhati-hati. Ia tak ingin ada anak haram yang tercipta lewat hubungan ini. Olivia mendecih tatkala menatap Seno yang tertidur pulas dalam buaian mimpi, dan beberapa persen kadar alkohol yang merajai tubuhnya. Gadis itu sebetulnya tidak ada niatan untuk menghabiskan malam bersama dengan suami Lara. Hanya saja, bartender kelab yang biasa mereka datangi berdua, tiba-tiba menghubunginya. “Pria anda mabuk berat, Nona,” ucap sang bartender k
Sinar matahari mulai meninggi, kepala Seno terasa pusing. Ia mengernyit, kala cahaya terang mengenai wajahnya. “Di mana aku?” Seno bergumam. Ia tidak mengingat apa pun. Kemarin malam, ia sangat mabuk. Penolakan Mahya membuat harga dirinya terluka. Entah mengapa, Seno akhirnya melampiaskan kekecewaannya pada alkohol dan inilah hasilnya. “Selamat pagi, Sayang,” sapa Olivia dengan senyuman nakalnya. Jemarinya menarik selimut Seno yang masih ada separuh menutupi tubuhnya, membuat siluet menggairahkan baginya. “Olivia?” Seno membeliak. Bagaimana ia bisa berada di apartemen Olivia? “Katakan, apa yang telah terjadi?” Seno mulai bangkit dari ranjang dan berusaha mengenakan pakaiannya, sementara Olivia tampak terkekeh melihat reaksi dari kekasih gelapnya itu. “Mengapa kau sangat terkejut, Sayang? Bukankah kau sudah terbiasa di sini?” ejek Olivia. Ia bahkan tidak berniat menjawab pertanyaan Seno dan ingin bermain-main dengan sang suami Lara. “Sial!” Seno menggeram. Ia segera memakai celana d
“Aww ….” Lagi-lagi, aku tergelincir. Kerikil di gang ini memang cukup tajam. Sudah seharian aku berjalan di pasar, namun rumah Bi Yani tidak juga kutemukan. “Di mana ya, rumahnya?” Aku menerka-nerka, tapi tidak ada hasilnya. Aku kembali mengeja alamat yang kulihat di formulir pendaftaran Bi Yani saat melamar menjadi pelayanku. Seharusnya benar ada di sini, kampung Duku. Entah kenapa, rumah yang tertera malah tidak ada. “Memangnya bi yani itu hantu?” Aku menggumam. Rumah no.40 yang ditulisnya di formulir itu adalah rumah kosong. Rumah itu bahkan dirambati tanaman gulma dan temboknya juga sepertinya lapuk dimakan lumut dan jamur. Matahari perlahan naik, suasana menjadi cukup terik. Bayanganku hampir tidak ada, artinya, mungkin sekarang ini sudah hampir tengah hari. “Hhhh ….” Aku menghela napas. Merasa putus asa. Aku juga tidak memberitahu siapa-siapa bahwa aku sedang mencari rumah Bi Yani, agar Seno tak curiga. Pria itu bahkan kemarin tidak pulang. Aku bahkan bisa mengira, di mana
Waktu berlalu begitu cepat sejak kali terakhir Lara mendengar tentang proses kasusnya. Persidangan terakhir yang menghadirkan Miriam, benar-benar menjadi tolok ukur kemenangan bagi pihaknya. Seno tidak dapat berkelit lagi. Hadirnya saksi dan kuatnya bukti-bukti menjadikan alibinya patah dan segala bantahan dari pengacaranya menjadi mentah. Lara dapat bernapas lega ketika hakim akhirnya menyatakan bahwa Seno bersalah atas kasus kekerasan dan percobaan pembunuhan. Mantan suami Lara itu pun harus membusuk di penjara akibat perbuatan-perbuatannya. *** “Bagaimana?” tanya Lara ragu, setelah mematutkan diri di cermin selama beberapa waktu. Ia telah mencoba gaun itu sebelumnya, namun ketika hari yang ditunggu-tunggu telah tiba, Lara malah gugup dan tidak tahu harus berbuat apa. “Cantik banget!” seru Mahya tanpa sedikit pun keraguan. Shanon berpikir serupa. Carol juga tampak mengacungkan jempolnya. Mereka bertiga sepakat bahwa tidak ada yang salah dari penampilan mempelai hari ini yang c
“Lara?” jawab suara di seberang ponsel Lara dengan nada rendah. Lara dapat menyimpulkan bahwa suara itu adalah milik Kakak Andre, Shanon. “Kak Shanon?” tanya Lara sebelum melanjutkan pembicaraannya. Ia ingin memastikan bahwa Shanon memang wanita yang dimaksud dan bukan orang lain. Lara sedikit melupakan bagaimana suara Shanon. Belasan tahun telah berlalu, dan hari ini adalah pertama kalinya mereka kembali bertegur sapa setelah insiden salah paham tentang kecelakaan Ibu Lara. “Ya, ini aku, Ra. Shanon. Andre sedang menyetir, kami hendak kembali ke apartemen.” “Ah, baiklah. Aku akan menunggu di sini.” “Oke! Kami akan segera tiba, Ra. Tunggu, ya! Aku membawakan makanan hangat dari restoran favoritku di Jakarta ini. Semoga kamu suka, ya!” Lara mengiyakan, kemudian mengakhiri pembicaraan. Hatinya masih dipenuhi keraguan. Ia masih belum yakin, bagaimana bersilkap setelah memusuhi orang yang salah selama beberapa belas tahun. Semoga saja, Shanon adalah sosok kakak perempuan seperti yang
Langkah Miriam berlalu begitu cepat menyusuri koridor untuk sampai ke lift yang ada di barat bangunan. “Sial!” Jemari lentiknya sibuk mencari-cari kontak travel agent yang bisa dihubungi. Miriam harus segera meninggalkan negara ini. Sayang, sinyal ponselnya ternyata tidak mendukung misinya, Miriam memutuskan untuk menundanya hingga ia sampai di lobby utama. “Halo?” Miriam akhirnya dapat menghubungi kenalannya. “Siapkan aku tiket ke Washington malam ini,jam–” “Dokter Miriam Rajapatni?” Seseorang tiba-tiba memotong percakapannya di telepon. Miriam terkejut, ia menoleh dalam keadaan setengah sadar. Pikirannya berkelana ke destinasi tujuan yang hendak didatanginya malam ini. “Siapa?” tanya Miriam dengan alis terangkat. Ia merasa tak mengenal pria-pria berkaos di hadapannya. Tiga pria cepak dengan perawakan seperti atlet. Mereka tampak ngos-ngosan, seakan baru saja mengejar hantu atau penjahat yang mencoba kabur. “Saya Detektif Ragas, Anda harus ikut kami ke kantor polisi untuk membe
“Menjelaskan apa. Ndre?” tanya Shanon dengan alis terangkat. Andre hanya menghela napas berat. Ia tahu bahwa campur tangan kakaknya hanya akan memperumit situasi. “Bagaimana Kakak mengetahui semua masalah ini?” Andre masih terheran-heran. “Mengapa Kakak menipuku? Apanya yang gawat?” “Andre! Oh, Andre! Apa yang Kakak tidak tahu? Terutama setelah menikah dengan pria hebat ini? Bahkan semut berbisik pun bisa kudengar!” Shanon bersedekap sambil memandang Andre dengan tatapan aneh. Andre seharusnya tahu bahwa Shanon tidak akan membiarkan adik semata wayangnya menderita, apalagi setelah mengalami pasang-surut kehidupan yang begitu mengguncang dunia mereka. “Hhh … Kayak, sudahlah. Ini bukan hal besar. Masalahnya sudah hampir selesai. Rekaman CCTV rumah sakit ini sudah sampai di tangan jaksa,” ucap Andre sambil melirik ke arah Miriam yang tampak tercengang. “Ba–bagaimana bisa?” Mata Miriam membelalak. Ia sangat yakin bahwa rekaman CCTV itu sudah dihancurkan olehnya, atau … seseorang telah
Andre menyipitkan kedua matanya tatkala nama sang kakak muncul pada layar ponselnya. Untuk apa kakaknya menghubunginya di waktu seperti ini? Tidak biasanya. “Halo?” “Ndre! Gawat! Kamu harus ke sini sekarang!” seru sang Kakak dengan napas tersengal. “Tunggu! Ke sini, ke mana?” Andre bingung karena tidak mungkin ia pergi ke Kanada dalam waktu singkat seperti pindah jalur angkot saja. Ia tak mengerti kenapa Kakaknya begitu tergesa dan seperti sedang dikejar setan seperti itu. “Ke rumah sakit! Bukan ke Kanada, Ndre! Ke rumah sakitmu! Ruangan direktur! Sekarang!” “Kakak–” Tut. Tut. Sambungan telepon terputus. Kakaknya itu memang selalu bisa memenangkan juara jika ada kontes ‘siapa yang paling bisa bikin orang penasaran?’. Andre meremas rambutnya kasar. Ia bingung bagaimana menyikapi permintaan sang kakak, padahal … LAra dan Mahya baru saja menikmati keindahan pantai di ujung utara Jakarta. Apakah mereka harus kembali? “Kenapa, Ndre?” Melihat wajah kusut sang kekasih, Lara tentu saja
Mahya terlihat cantik dengan riasan natural dan bibir lembabnya yang bersinar. Namun, tentu saja, satu hal yang aneh begitu membuat Lara iba. Mahya kini berada di kursi roda. “Kangen aku?” tanya Mahya sambil mengerlingkan sebelah matanya. Lara mengangguk sambil berlinang air mata. Ia kemudian menghambur ke arah sang sahabat dan memeluknya erat. “Apa kabar?” tanya Lara dengan suara serak. Mahya hanya tersenyum dan menepuk punggung Lara pelan. “Aku baik-baik saja, seperti yang kau lihat? Yang penting aku sudah sadar dari koma, kan?” ucap Mahya diiringi seulas senyuman. Lara mengendurkan pelukannya dan meneliti setiap tubuh sang sahabat. Benar. Mahya telah sadar dan hanya kakinya saja yang masih belum bisa berjalan dengan benar. “Ini cuma sementara, ‘kan?” tanya Lara khawatir. “Tentu saja. Aku ‘kan kuda liar! Mana bisa aku kalah begitu saja,” seloroh Mahya bangga sambil memamerkan otot bisepnya. Lara hanya tertawa. Pandangannya berpindah ke dua orang lain yang ada di kanan dan kir
Selama dua hari, Lara dan rombongannya menghabiskan waktu di bangunan tua milik sang Ibu. Saat ini, dengan persiapan yang lebih matang dari sebelumnya, ia kembali ke pengadilan untuk menghadiri sidang lanjutan. Bukti-bukti yang didapatkan di bangunan tua itu benar-benar menjadi titik balik bagi perkara Lara. Kali ini, sang pengacara dapat dengan yakin akan memenangkan gugatan terhadap lawan mereka! “Saudari Lara, silakan maju ke kursi saksi,” panggil sang hakim sambil menyorot tajam ke arahnya yang sedang duduk gelisah di bangku panjang. “Kau bisa, Sayang,” ucap Andre sambil menggenggam tangan Lara. Wanita itu mengangguk sambil menelan ludah saat mendengar panggilan dari sang hakim “Doakan aku, oke,” lirihnya pada Andre sambil mencoba menenangkan degupan jantungnya yang berdebar kencang. “Tentu, kau pasti bisa,” hibur Andre sambil mengacungkan tinjunya ke udara untuk menyemangati sang kekasih hati. Lara mengangguk, kemudian berdiri dan melangkah menuju kursi saksi di tengah ruan
“Andre! Tidaaaak!” Lara memekik tatkala suara tembakan itu bergema di sepanjang jalan. Suara letusan pistol itu merobek heningnya malam, melebur dengan suara detak jantung mereka yang berdegup kian kencang. Suasana menjadi kacau balau saat tembakan mulai terdengar. Aroma busuk asap mesiu segera mengisi hidung mereka dengan intaian kematian. Andre melihat dengan ngeri saat salah satu pria berjas itu jatuh dengan luka tembak di dadanya. “Aku baik-baik saja, Ra! Me–mereka yang tewas!” kata Andre sambil memastikan bahwa tidak hanya satu orang pria yang roboh di hadapan mereka, tapi, keempat-empatnya. Lara, yang terdiam sambil menahan napasnya. Dia tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Air matanya mulai menetes ketika dia melihat orang-orang itu telah kehilangan nyawa. “Apa yang terjadi?” Lara bertanya-tanya ketika musuh mereka telah tewas tanpa aba-aba. Sebuah suara tiba-tiba mengejutkan mereka. “Oh, Laraku yang malang ….” “Si–siapa?” Lara menoleh ke arah sumber suara. Di sana, s
Moncong senjata itu diacungkan ke arah kepala Andre, sontak sang dokter berusaha untuk tetap tenang karena … Lara ada tepat di belakangnya! “Whoa … tenang, Bung!” teriak Andre sambil menahan ketakutan yang mulai menjalari tubuhnya. Nyawanya sudah berada di ujung tanduk, hanya dengan satu tarikan pemicu, maka lubang kecil di kepalanya akan berhasil membuat hidupnya berhenti seketika. “Cepat!” Pria itu tak ingin lagi berbicara. Ia benar-benar ingin mengakhiri kejar-kejaran kucing dan anjing ini dengan cepat. Ia memakai kembali kacamatanya. Dan kini bergerak semakin dekat ke arah Andre dan Lara. “Ndre! Berikan aja, Ndre!” pinta Lara sambil menangis tersedu-sedu. Ia tak ingin nyawa orang yang sangat disayanginya berada dalam bahaya. Siapa yang bisa menjamin jika pria itu tidak hanya menggertak? Kondisi jalan sepi ini juga sangat tidak menguntungkan mereka. Hari pun sudah begitu gelap. Tidak mungkin ada orang yang bisa melihat kejadian mengerikan ini, apalagi untuk melaporkan kepada pih