Seorang wanita paruh baya dengan baju sederhana, kini sedang duduk bersama dengan Banyu. Selepas pemakaman Meira tadi, Bara merengek tak mau kembali. Jadi Banyu menemani anak sulungnya dan menemui mantan ibu mertuanya yang datang tergopoh saat diberi tahu kondisi Meira dan lokasi anak tirinya yang telah berpulang.
Kini saat Bara sudah pulang terlebih dahulu, pria itu meminta waktu berdua saja dengan mantan ibu mertuanya.
"Terima kasih kamu sudah mengabari Tante, Nyu. Walaupun Tante hanya Ibu tiri Meira," ucap wanita bernama Fita itu.
"Iya, Tante. Karena Banyu pikir Papa Meira masih ada. Itu semua karena Bara bilang belum pernah bertemu Kakek dan Neneknya. Jadi, Banyu mencoba cari Tante dan untungnya Tante masih dirumah . Apa Om sudah lama tidak ada?" tanya Banyu yang membuat Fita menghela nafas panjang.
Sudah seminggu ini, Bara mengurung dirinya di dalam kamar. beruntungnya kamar anak itu tidak dikunci, jadi seluruh anggota keluarga bisa mengecek keadaan Bara. Termasuk pria paruh baya yang awalnya tidak mau menganggap keberadaan Bara. Pria itu lebih banyak diam ketika Bara ada disekitarnya. Agar adil, ia pun sedikit mengabaikan Raga yang menurutnya sedang dalam fase menggemaskan. Ia tak mau Bara memiliki pandangan buruk tentang dirinya, namun ia juga masih enggan mendekat pada Bara. Perasaan sakit saat tahu anak lelakinya dipermainkan, membuatnya juga enggan pada cucu lelakinya. “Mau sampai kapan di kamar?” suara berat pria itu tentu saja mampu mengalihkan perhatian Bara sepenuhnya. Pria yang bahkan enggan menatapnya. Kini mengajaknya berbicara. Bara bingung menanggapinya. Apakah ia harus senang atau curiga?
Semua orang sedang berkumpul di meja makan saat seorang asisten rumah tangga mendekat ke arah Banyu dengan segan. “Maaf, Mas Banyu. Di luar ada yang mencari. Saya suruh tunggu dulu atau gimana ya? Maaf ya, Mas. Mengganggu waktu sarapannya,” ucap salah satu asisten rumah tangga yang tampak takut menginterupsi Banyu. “Siapa?” tanya Banyu bingung karena hari yang masih pagi, tapi sudah ada yang ingin menemuinya tanpa membuat janji. apalagi ini kediaman pribadi orang tuanya. “Pak Dimas, Mas Banyu.” Tidak hanya Banyu yang terkejut. Tapi seluruh anggota keluarga yang berada di meja makan juga merasa aneh dengan kehadiran Dimas. Tentu saja kecuali Bara dan Raga yang tidak memahami situasinya. “Ayo. Papa ikut menemui Dimas,” uca
Lila memandangi suaminya yang terpejam tapi tidak tidur. Matanya terus mengagumi ketampanan suami yang tidak pernah dia pikirkan akan menjadi miliknya. Memiliki suami yang sangat rupawan saja tidak ada di benaknya, apalagi ini banyak tambahan di dalamnya. Pintar, penyayang, dan kaya raya. Lila bagai mendapat durian runtuh. “Kamu mau sampai kapan ngeliatin aku gitu?” tanya Banyu yang ternyata telinganya memerah karena tingkah Lila. “Ternyata suamiku ganteng banget,” puji Lila tulus. “Aku memang ganteng, kok. Aku sadar.” “Mas, geli banget! Kamu sejak kapan narsis gitu?” ucap Lila yang kini mengalihkan pandangannya dan memilih menutup mata. Ia menyamankan posisi tidurnya. Banyu tertawa geli melihat tingkah istrinya yang kes
Lila terbangun setelah beberapa jam yang lalu sibuk dengan kenangannya. Ia menyingkirkan tangan suaminya sebelum beranjak untuk minum di dapur bawah. Sepanjang perjalanan menuju dapur, rumah mewah nan luas itu tampak sepi. Ia sepertinya bangun terlalu pagi. Saat matanya menemukan sebuah jam di sudut ruangan, ia melihat waktu masih menunjukkan pukul empat pagi. Ternyata tebakannya benar, ini masih terlalu pagi. Merasa matanya sudah segar dan tak akan bisa tertidur lagi, Lila pun beranjak ke halaman belakang rumah yang ditumbuhi banyak bunga, juga kolam renang. Setelah termenung cukup lama, suara langkah kaki membuat Lila menoleh ke belakang. Ia menemukan Diani dengan setelan olahraga mendekat ke arahnya. "Kamu bangun pagi
Lila menatap alat tes kehamilan ditangannya. Akibat dari celetukan mertuanya tadi, Lila jadi banyak berpikir. Sebenarnya dilihat dari gejalanya, memang sama ketika ia mengandung Raga. Tapi perasaan mual dan sensitif terhadap cahaya itu terjadi saat usia kandungannya memasukin minggu ke enam. Saat ini bahkan Lila belum telat menstruasi. Tanggal merah itu masih akan datang tiga hari lagi jika sesuai jadwal. Haruskah ia melakukan tes kehamilannya saat ini? Tapi, lagi-lagi Lila ragu. Saat mendapatkan Raga, ia bahkan harus menunggu lebih dari dua tahun untuk mendapatkan putranya. Lagi pula Raga masih kecil dan juga ada Bara. Pernikahan mereka bahkan belum genap satu bulan. Bagaimana ia bisa hamil secepat itu? "La? Gimana? Udah enakan? Mau ke dokter?" tanya Banyu yang entah sejak kapan sudah masuk ke dalam kamar dengan
Banyu menggandeng Raga yang tampak antusias menyentuh semua tanaman di depannya. Banyu membiarkan anak sambungnya itu mengeksplorasi semua yang ingin ia tahu. Anak itu sudah cukup pintar. Dia tahu mana yang berbahaya dan tidak. Jadi Banyu tak lagi khawatir. Setelah menunggu kurang lebih lima belas menit, tiba-tiba Raga berlari dan bersembunyi di belakang Banyu. Saat Banyu mengikuti arah pandang Raga, ia menemukan Dimas berjalan mendekat ke arah mereka. Banyu sedikit menghela nafas, anak lelaki itu masih saja menunjukkan sikap permusuhan saat Papanya datang, meskipun sudah berulang kali pertemuan mereka. Di lihat dari gelagatnya, Raga sepertinya ketakutan apalagi saat Dimas berbicara. Apa anak sekecilnya sudah memiliki trauma? "Maaf, Pak. Saya datang terlambat karena ada urusan," ucap Dimas dengan mata yang sudah
Menyambut kelahiran anak ketiga yang tinggal beberapa minggu lagi, membuat Lila dan Banyu sangat berdebar. Lila yang tak mengkhawatirkan kehamilannya karena dokter mengatakan bahwa Lila sejauh ini sehat dan bisa melahirkan normal meskipun sebelumnya telah melahirkan sesar. Banyu sangat bersemangat menyambut kelahiran putranya. Ia bahkan sudah mempersiapkan sebuah kamar khusus untuk bayinya, juga melengkapi semua peralatan untuk bayinya. Meski Lila mengatakan bahwa putra mereka bisa menggunakan barang milik Kakaknya yang juga masih bagus, tapi Banyu tentu saja menolak. Ia menginginkan semua barang baru untuk bayinya. Saat Banyu terdiam dengan ponselnya, saat itulah Lila curiga. Pria itu bisa saja sedang melihat sesuatu untuk putranya dan tiba-tiba saja membelinya. Seperti saat ini, suaminya sudah tenggelam dengan
Suara tangis yang pecah di tengah hiruk pikuk ruangan, membuat basah sepasang mata milik suami istri yang semenjak tadi sudah saling menggenggam erat tangan satu sama lain. Bahkan keduanya pun tidak menyadari ada beberapa luka di bagian tangan pria yang semenjak tadi menggenggam tangan istrinya dengan beribu rasa membuncah dihatinya. Lila mulai bisa mengatur nafas setelah mengejan cukup lama. Air matanya dan Banyu tak lagi bisa terbendung. Rasa syukur terus mereka ucapkan, sampai seorang perawat menunjukkan bayi tampan yang sangat mirip dengan Lila tengah menangis hebat. "Hello, boy. Welcome to the world. Terima kasih sudah berjuang dengan baik sama Mama. Ayah sayang kalian," ucap Banyu yang kemudian mencium kening anaknya lama dan kemudian mencium kening Lila hangat