Matahari pagi setelah hujan meninggalkan jejak-jejak kesejukan di kampus. Udara segar dan embun pagi masih menempel di rerumputan dan dedaunan. Pepohonan tampak lebih hijau dan segar, tetes-tetes air yang tersisa gemerlap di ujung daun.Suasana pagi itu dihiasi oleh warna-warni payung yang menggantung di tangan mahasiswa. Jejak-jejak basah di tanah mengisyaratkan bahwa hujan belum lama turun. Sebagian mahasiswa yang berjalan di trotoar tampak membawa tas dan payung, sementara sebagian lainnya memilih untuk menikmati pagi tanpa perlindungan, menyusuri trotoar sambil merasakan tetes air yang masih menggantung di daun-daun.Di area terbuka, beberapa kelompok mahasiswa terlihat berkumpul, duduk di bangku-bangku atau rumput yang kering. Beberapa di antara mereka asyik berbicara dan tertawa, sementara yang lain tengah sibuk mengamati ponsel mereka atau membaca buku. Sementara itu, aroma tanah basah dan udara segar pagi menciptakan suasana yang menyegarkan. Sejauh mata memandang, bangunan-ba
Gerombolan geng Derren tiba di kampus. Mereka berjalan dengan sikap yang percaya diri, langkah yang berirama seolah-olah menandakan keberanian. Mereka bergerak dalam formasi yang teratur, sesekali berbicara dan tertawa dengan nada keras. Ekspresi wajah mereka memberikan kesan antara santai dan siap siaga, seolah-olah mereka adalah pemain besar di kampus ini dan siap menghadapi apapun yang datang.Outfit mereka mencerminkan identitas geng yang kuat dan solid. Tidak ada dari mereka yang menggunakan outfit murahan. Pasti outfit yang mereka pilih dari brand terkenal.Beberapa di antara mereka mungkin melemparkan tatapan tajam, menunjukkan bahwa reputasi geng ini telah meluas, dan orang-orang di kampus tahu bahwa mereka bukan sekadar kelompok biasa. Sementara itu, sebagian mahasiswa lain mungkin merasa tidak nyaman dengan keberadaan mereka, dan suasana kampus yang seharusnya riuh menjadi sejenak hening seiring dengan kedatangan geng ini."Ren, jujur aku masih nggak terima. Kita harus balas
Mobil Ferrari 458 melaju dengan kecepatan tinggi, menyapu tiap debu di jalan kala malam itu. Pengemudinya kurang konsentrasi karena terpengaruh minuman beralkohol.Hingga kakinya hampir telat menginjak rem setelah sebuah motor menyebrang jalan.Cekikkkkkkk...Hampir saja mobil itu menabrak pengemudi motor tersebut. Namun berkat kejelian sang pemilik mobil, kecelakaan pun terhindarkan.Pukulan tangan ditujukan pada setir yang tak bersalah. Namun luapan emosi itu justru dilampiaskan pada stir. Sama halnya seperti seorang anak yang selalu dimanja oleh orang tuanya dan mendapat kemudahan dimanapun ia berada.Ketika keinginannya tak terwujud, orang lain yang akan menjadi pelampiasan amarahnya. Itulah yang dirasakan seorang anak yang bangga sekali, lantaran nadinya terikat dengan dekan di kampus tempatnya menimba ilmu.Ya, siapa lagi kalau bukan Derren. Brosur yang ia lihat tadi siang cukup menampar wajahnya. Terlebih lagi sosok mahasiswa yang ia anggap cupu dan gembel justru menggantikan p
Kamar kos Morgan meredup seiring dengan matinya layar tiga laptop yang sebelumnya menyala terang. Cahaya redup dari luar jendela menyoroti suasana yang semakin damai. Tiga mahasiswa itu terbaring di atas kasur busa dengan posisi tak beraturan.Morgan, yang biasanya menjadi penguasa di atas kasurnya, kini harus berbagi tempat tidur dengan rekannya. Tubuhnya meliuk dengan bebas, salah satu tangan di bawah bantal dan kaki yang terentang. Di sebelahnya, Dion tidur dengan posisi yang mungkin mencerminkan kenangan dari jam-jam panjang di depan laptop. Tangannya masih mencengkeram pena, dan di atas kasur terdapat beberapa lembar kertas yang entah bagaimana masih belum terjatuh. Sementara Jonathan, dengan tubuh yang lebih gemuk, mungkin memiliki posisi tidur yang paling unik di antara ketiganya. Kakinya sedikit terlipat dan satu tangannya berada di dekat wajahnya.Kamar yang sebelumnya penuh dengan suara kibaran keyboard dan diskusi teknis, sekarang menjadi damai dan bisu saat ketiga mahasisw
"Gila lu bawa motornya,""Lah daripada kena omel,""Itu dah pasti. Minimal kalau mau ngeprank malaikat nggak usah ajak kita,""Siapa yang mau ngeprank,"Lah elu--""Ssssttttt!!"Diantara tiga manusia itu, Dion yang dianggap paling waras dan bisa profesional dalam segala situasi."Udah-udah debatnya nanti aja. Yang penting kita masuk dulu. Datang, presentasi, pulang, lupakan," ujar Dion sembari membawa proposal yang telah dijilid rapi."Setuju!" sahut Morgan sembari memetikkan jarinya."Kalau gitu kita gasss sekarang,""Gasss,"Didepan aula kampus mereka berdiri sejenak. Itung-itung mempersiapkan mental sebelum dihajar para dosen."Bentar dulu deh,"Saat Morgan dan Dion hendak melangkah masuk ke aula, Jonathan justru menghentikan langkah mereka. Tampak jelas raut wajahnya menunjukkan kebingungan."Apalagi sih Jon," gerutu Morgan."Tadi si Dion bilang, datang... presentasi... pulang... lupakan. Maksudnya disuruh nglupain projeknya?"Morgan menepuk dahinya usai mendengar pernyataan rekan
Tak sedikit dari dosen yang hadir membuka proposal tersebut sembari mendengarkan presentator."Dalam presentasi kali ini, kami akan memperkenalkan proyek inovatif kami yang bertajuk ' Smart Home: Integration of Internet and Electricity Networks'. Proyek ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan hunian yang lebih nyaman, aman, dan efisien melalui integrasi sistem jaringan internet dan listrik," jelas Dion sesekali menunjukkan logo di proyektor.Dion pindah posisi. Kini giliran Morgan yang meneruskan presentasinya. "Sasaran dari proyek ini adalah untuk meningkatkan kenyamanan dan keamanan penghuni rumah, serta menghemat energi dengan mengoptimalkan penggunaan perangkat-perangkat elektronik. Kami akan bertanggung jawab untuk mengembangkan aplikasi yang dapat digunakan untuk mengontrol perangkat-perangkat elektronik, kami juga bertanggung jawab untuk membangun jaringan internet dan listrik yang terintegrasi di rumah-rumah tersebut,"Setiap mahasiswa menjelaskan konteks yang telah disepak
"Ah sini aja kali," ucap Jon memilih tempat duduk di kantin. Kedua rekannya pun duduk ditempat pilihan Jonathan. "Basecamp sejuta umat, ya disini," ucap Jonathan sembari menyandarkan punggungnya ke dinding. Ia sengaja memilih outdoor demi mendapat kesejukan gratis dan abadi. Kebetulan angin siang ini bersahabat. Sepoi-sepoi di tengah panasnya Jakarta. "Asyik juga ya kumpul sama kalian," Usai merenung beberapa saat, keluarlah kalimat itu dari bibir seorang Morgan. "Woih, baru nyadar?" sahut Jon. "Emang. Hampir tiga tahun kuliah disini baru ngerasain kumpul sama temen sefrekuensi," jelas Morgan. "What? Serius? Seorang Morgan---""Dia sekelas sama Derren. Tau sendiri kan Derren orangnya kek gimana," potong Dion. Jonathan menggelengkan kepala. Mengingat pesona songong dari anak Dekan itu, membuatnya kesal. "Kamu jadi laki jangan ngerasa dibully apalagi jadi korban. Laki itu nggak takut kalau nggak punya temen apalagi geng. Laki itu biarpun dalam kbbi ada tanda hubungnya, harus tet
Cucu kesayangan Arthur Collim yang menyamar sebagai kang ojek itu terlelap dalam tidurnya di kos kecilnya. Hari itu, ia begitu lelah setelah menghadiri kuliah dan mengerjakan tugas-tugas yang menumpuk. Tanpa disadari, ponselnya berada tepat di sampingnya, di dalam grup WhatsApp yang ramai.Ting•••23.45~[Tempat, peralatan, dan biaya sudah saya sediakan. Besok kalian bisa mulai observasi]Begitulah isi pesan grup dari Prof Gin. Jon : [Baik pak]Dion : [Siap pak]Di grup tersebut, ada tiga anggota yang aktif berdiskusi. Pertama, ada Jonathan yang sengaja menjepit kedua matanya agar tetap melek. Kedua ada Dion, yang selalu waras dalam hal dan situasi apapun. Dan yang terakhir, Profesor Gin, dosen pembimbing mereka yang bijaksana dan berpengalaman. Jon : [Mohon maaf lancang pak. Karena besok dan lusa, saya ada agenda praktek dengan Prof Robert. Bolehkah saya izin ke kampus]Prof Gin is Typing•••Prof Gin : [Tidak perlu izin. Saya akan urus nilaimu. Yang penting kalian bertiga fokus obs
"Sedikit lagi proyek itu selesai. Kamu segera susun anggarannya ya. Pastikan jangan sampai ada yang nggak keinput," ujar Arthur. "Baik pak," Bahkan setelah tiba di rumah, tak hentinya pria paruh baya itu membicarakan pasal bisnisnya. Menggambarkan betapa kerasnya dia bekerja meski sudah kaya raya. "Kalau begitu saya permisi pak," ujar asistennya. Arthur mengangguk. Kini waktunya Arthur istirahat. Namun setelah beberapa detik ia memalingkan pandangannya dari asistennya, kini asistennya muncul lagi dihadapannya. "Mohon maaf pak, ada tamu yang ingin menemui bapak," Arthur mengerutkan dahi. "Jam segini ada tamu?" Arthur menoleh ke arah jam dinding yang telah menunjukkan pukul 10 Malam. "Iya pak, katanya urgent pak," sahut Asisten. Tanpa bertanya siapa yang bertamu malam-malam begini, Arthur memilih menemui tamunya itu. Yang benar saja begitu tiba di ruang tamu dia dibuat heran dengan tamunya malam ini. Sosok cengengesan itu duduk diatas sofa dengan sopan itu layaknya ta
Morgan membuka tasnya dengan santai, berniat mengambil catatan untuk membunuh waktu gabutnya. Sementara Jon dan Dion masih berkutat dengan skripsi mereka. Namun, begitu resleting tas terbuka, matanya langsung menangkap sesuatu yang berbeda yaitu setangkai mawar merah, masih segar, kelopaknya terbuka dengan indah. Morgan terdiam. Mawar itu… Dia sudah lama berniat memberikannya pada Regina, sebagai ungkapan isi hatinya yang sebenarnya. Sebuah permintaan maaf atas semua kesalahpahaman yang terjadi, sekaligus sebuah pengakuan. Namun, entah kenapa, kesempatan itu selalu terlewat. Entah karena situasi yang tidak tepat, atau mungkin karena dia sendiri masih ragu apakah ini saat yang tepat. Tapi sekarang, melihat bunga itu di dalam tasnya, dia merasa seolah mendapat pengingat. "Niat baik nggak boleh ditunda," pikirnya. "Aku harus minta maaf ke Regina, sekalian ngasih bunga ini sebagai ungkapan isi hatiku yang sebenarnya." Morgan menarik napas dalam, kemudian dengan gerakan cepat, ia mer
"Ngurus cucu satu aja susahnya kayak ngurus puluhan orang. Susah banget. Pengennya itu lo ngadi-ngadi. Pengen jadi tukang ojeklah, pengen jadi anak kos lah, pengen jadi gelandangan lah, sekarang pengen jadi bos ojek, setelah ini pengen apalagi coba?" Sopir dan asisten Arthur terdiam seksama setelah mendengarkan ocehan Arthur. Di dalam mobil yang biasanya membahas schedule meeting dengan client atau urusan bisnis lainnya, kali ini dipenuhi dengan keluhan Arthur terhadap cucunya. "Kalian jangan diam aja dong! Kasih tanggapan atau apa kek," keluh Arthur mendapati sopir dan asistennya tak merespon. Mereka justru terlihat kompak mengangguk sungkan. "Menurut kalian saya harus gimana? Kalau tak larang, nanti dia ngambek. Tapi nggak mungkin juga toh cucuku jadi bos ojek. Apa kata orang-orang nanti. Udah paling bener dikurung aja si Morgan itu. Ngrepoti ae," Arthur mulai putus asa. Terlihat dari caranya menyandarkan punggungnya ke kursi mobil. "Maaf pak, tapi saya rasa dengan mengu
Jauh dari kehidupan sebelumnya. Tanpa perlu panas-panasan mencari penumpang hanya untuk bertahan hidup. Tidak ada aturan harus bangun pagi agar tidak antre mandi. Dan tak perlu mengeluarkan tenaga setengah isdet demi memenuhi semua kebutuhannya. Karena sekarang apa yang dia butuhkan ada dalam genggamannya. Begitulah kehidupan Morgan sekarang ini. Sudah hampir satu bulan sejak dinyatakan bebas dari penjara, dia kembali ke setelah awan menjadi tuan muda Morgan Junior Collim. Hari-harinya dihabiskan dengan rebahan sembari menunggu luka akibat tembak di kakinya mengering. Saking nyamannya, dia enggan keluar kamar hanya untuk melihat matahari. Dari jendela kamarnya terpampang lukisan pemandangan asli langit kota. Jauh sekali dengan pemandangan di kontrakannya. Tak hanya itu, kalau urusan makan, dia tak perlu khawatir. Pelayan di rumahnya sedia 25 jam di depan kamarnya. Lantas beban mana lagi yang hendak kau keluhan Gan Morgan...."Ahhhh bosaaaann," ujarnya sembari membanting hp.Berula
"Maaaakk, Jon bebasss,"Tidak ada momen paling mahal detik ini selain pelukan antara ibu dan anak. Mungkin diluar sana sahabat Morgan satu ini terkenal akan kemandiriannya. Namun siapa sangka, dia adalah anak yang amat dekat dengan orang tuanya. "Alhamdulillaaahh Jon!! Alhamdulillah Alhamdulillah," Ucap syukur itu tidak sekedar terdengar trenyuh di telinga. Melainkan tembus relung hati. Begitu juga dengan setiap untaian doa yang tak ada jedanya keluar dari bibir sang ibu. Setiap amin-nya menembus langit dan langsung didengar oleh Sang Maha Kuasa. "Maapin Jon ya maak," "Iya Jon, lain kali ati-atiiii yaa. Baca bismillah dulu yah, jangan gegabah," Tak hentinya sang ibu mengusap rambut putranya yang kini usianya mencapai hampir seperempat abad. Namun bagi sang ibu, anaknya tetap anak kecil yang butuh nasihat. "Iya mak, Jon janji bakal lebih hati-hati lagi," Disatu sisi yang paling tersiksa melihat momen ini tidak lain adalah Morgan. Melihat Jon yang dirangkul orang tua dan adik-ad
Mata Gin langsung membelalak melihat kehadiran Prof Robert. Regina, yang mendampinginya, terlihat tenang meskipun ada sedikit rasa cemas di wajahnya. Prof Robert memandang ke sekeliling ruang sidang dengan tatapan sinis. Suasana mendadak hening. Semua orang, bahkan Jaksa dan hakim, tampak terkejut.Prof Robert lalu membuka mulutnya dengan suara yang masih agak serak, namun jelas terdengar di ruang sidang. "Yang Mulia, saya di sini untuk memberikan keterangan yang sangat penting," katanya. "Silahkan,""Saya ingin mengungkapkan sebuah fakta yang selama ini tersembunyi. Semua tuduhan terhadap Morgan Junior adalah fitnah belaka. Saya adalah saksi utama yang mengetahui siapa sebenarnya yang terlibat dalam pencurian alat-alat laboratorium dan kejahatan lainnya."Seluruh ruangan sidang terkejut mendengar pernyataan tersebut. Gin yang duduk di sebelah pengacaranya tampak cemas dan tidak bisa menyembunyikan ekspresi terkejutnya.Prof Robert melanjutkan dengan suara yang sedikit lebih keras, "
Sidang hari ini dimulai dengan penuh khidmat. Hakim ketua beserta jajarannya telah memasuki ruang sidang. Semua orang di dalam ruangan itu segera berdiri, termasuk Morgan dan teman-temannya yang duduk di kursi terdakwa. Mereka hanya bisa menundukkan kepala. Yang mereka rasakan hanyalah malu, takut , selebihnya pasrah. "Apakah semua sudah siap?" kata hakim ketua sambil melihat ke sekeliling ruangan, memastikan semuanya siap.Jaksa penuntut umum berdiri dengan formal, membuka berkasnya. "Semua siap, Yang Mulia."Hakim ketua mengangguk, lalu melanjutkan, "Tolong bacakan nama terdakwa."Satu per satu nama dibacakan. "Saudara Morgan Junior, Derren Ardiansyah, Jonathan Rizki, Dion Wiyono mohon berdiri," Semua terdakwa diminta berdiri dan menunjukkan diri mereka.Keempat pemuda itu berdiri, satu sama lain saling pandang dengan rasa malu yang memuncak. Morgan merasa seolah-olah beban berat terletak di pundaknya, apalagi dia sudah merasa tidak pantas mengangkat dagunya lantaran telah membu
Ruangan rumah sakit yang sepi itu kembali terisi dengan suara detakan mesin medis yang monoton, namun kali ini suasana terasa lebih mencekam bagi Regina. Ia duduk di samping ranjang ayahnya, Prof. Robert, yang terkulai lemah. Hanya ada cahaya remang dari lampu rumah sakit yang memberi sedikit kehidupan pada wajah Prof. Robert yang pucat. Ia memegang tangan ayahnya, berusaha untuk memberinya sedikit kehangatan yang bisa mengembalikan semangat hidup.Sudah beberapa hari berlalu sejak kecelakaan yang membuat ayahnya terbaring tak berdaya, dan meskipun dokter mengatakan bahwa mungkin ada harapan ia bisa sadar, Regina tetap merasa cemas. Tak ada yang lebih ia inginkan selain melihat ayahnya kembali seperti dulu. Namun saat ini, Prof. Robert hanya terbaring dalam ranjang, dengan sesekali napasnya yang terengah-engah, namun tak ada tanda-tanda bahwa ia akan bangun dalam waktu dekat.Tiba-tiba, terdengar suara samar dari mulut Prof. Robert. Suara itu begitu lemah dan serak, seolah berasal d
“Kita semua sama-sama jadi korban Gin. Apa pun alasannya, nyatanya kita sekarang sama-sama kena getahnya. Aku mohon banget sama kamu, Derren. Pas sidang nanti, kamu harus jadi saksi. Akui semuanya. Dengan begitu, mungkin akan ada harapan agar kamu bisa bebas.”Derren menggeleng lemah. “Mana bisa, Gan… Aku kan—”“Kalau kamu jujur, pasti ada jalan. Lagian, kamu melakukan semua ini karena diancam, kan?” Morgan memotongnya cepat.Jon masih kesal. Dia menggerutu dan mengacak-acak rambutnya sendiri. Lalu dengan amarah yang meluap-luap, ia menatap Derren tajam.“GOBLOK BANGET JADI ORANG! Lain kali pikir dulu dong kalau mau bertindak!”Derren menunduk. “Iya, iya… Aku tahu aku salah,” ucapnya.“Jon, udah, Jon,” sahut Morgan, menepuk pundaknya agar lebih tenang.Tapi Jon masih mendelik ke arah Derren. “Gara-gara kamu, kita semua di sini. Gara-gara kamu, Morgan kena tembak,"Derren menggigit bibirnya. Ia tahu Jon punya hak untuk marah.Tapi di saat yang sama, dia juga merasa bahwa ini adalah ke