Sera pulang pada waktu matahari akan terbenam, dia menjinjing kotak martabak sebagai oleh-oleh untuk mama dan bapaknya. Pasti mereka sudah pulang jam segini, pikir Sera tidak sabar menceritakan sesuatu menarik.
"Ma, Pak," Sera memanggil serta tersenyum cerah, meletakkan buah tangan di atas meja lantas ikut duduk di sofa memandang mereka antusias. Sementara mereka meraih martabak, Sera memulai gosip bernada panas. "Tadi aku jumpa Kak Renja di jalan, dia mau ke pasar menggunakan sepeda jelek." Reaksi kedua orang tuanya seperti yang Sera harapkan, menghela napas seolah beban mereka seberat gunung. "Pasti dia hidup susah, seandainya dia mau cerai terus nerima lamaran anak Pak Sugeng, Deka, yang jadi direktur di kota itu, pasti hidupnya senang sekarang." Fika sangat kecewa, dari banyaknya lamaran dari pria mapan, Renja malah berakhir dengan seorang montir. Amar berdehem, pembicaraan tentang Renja ini menghacurkan rasa manis martabaknya. "Kau jangan jadi seperti kakakmu, Sera." Sera mendengus, melipat tangan di dada bergaya sombong. "Papa enggak lihat gaya semua laki-laki yang aku bawa ke sini? Tampang mereka biasa saja, tetapi motor dan mobil mereka menunjukkan mereka memiliki uang." Fika mengangguk, dia telah menilai mereka dengan matanya. Dia membuat perbandingan dengan mengasihani Renja, namun di sisi lain dia kesulitan tanpa Renja. Semua pekerjaan rumah Fika yang mengerjakan, sementara Sera merawat diri agar tetap cantik untuk memancing pria kaya. "Hidup kita susah, setidaknya setelah kamu menikah nanti kamu bisa bantu orang tua." "Papa tenang saja, aku juga enggak mau melanjutkan hidup susah seperti Kak Renja." "Jadi ... kau ke rumah Renja tadi? Bagaimana keadaan rumahnya?" Sera mendadak terkikik kecil, terbayang Renja dikelilingi babi hutan atau nyamuk ganas di rumahnya. "Aku tidak singgah karena malas nunggu Kak Renja ke pasar dulu, tapi katanya rumahnya di dalam hutan-hutan. Pelosok, Pak!" Sera memekik girang, seolah perutnya digelitiki oleh bulu halus angsa. Amar menggelengkan kepala, putrinya hidup lebih susah dari pada dirinya. Sementara Fika berdecak lidah. *** Hutan malam mengerikan Renja lewati menggunakan sepeda dan senter, dia ketakutan tapi dia nekat keluar sebab rasa tidak nyaman yang membuat dia tidak bisa tidur. Suara gesekan daun berdesir, nyanyian serangga menambah kesan sepi, menggoyahkan tekad wanita pengecut. "Sedikit lagi keluar dari hutan, sedikit lagi." Bulu kuduk Renja berdiri, mengayuh cepat pedal sepeda sekuat yang ia bisa. Tak lama kemudian lampu gerbang terlihat, tinggal melewati persimpangan maka Renja bisa menemukan deretan rumah warga, jalanan yang dilalui orang lain juga. "Akhirnya~" Renja bernapas lega, meringankan kaki di bawah sana untuk lebih santai. Dia tidak sendirian lagi sekarang, ada banyak orang berlalu lalang. Memasuki beberapa persimpangan lain, Renja sampai di dekat bengkel tempat Darel kerja. Renja berhenti sebelum Darel menyadari keberadaannya, melihat Darel tengah duduk santai di ban memegang sebatang rokok menyala di jarinya. 'Dia seperti orang yang tidak ada niat untuk pulang.' Renja melirik sekitar, ada 4 montir lain yang tengah berkutat dengan mesin mobil atau pun motor. Mereka semua sibuk kecuali Darel. Haruskah Renja membahas masalah rumah tangga ini lalu di dengar oleh mereka? Memalukan. Dia menunduk mencengkeram setang kuat-kuat. Setelah nekat menelusuri malam mengerikan, kini dia ragu untuk menghampiri Darel di sana yang pria itu tidak sendiri. Lama sekali Renja hanyut dalam kebimbangan, sampai Darel dengan sendirinya sadar ada Renja di tepi jalan seorang diri tersorot oleh lampu dari mobil yang lewat. Dia mengernyit, lantas beranjak menghampiri Renja setelah membuang asal sebatang rokok masih panjang. "Kenapa kau ke sini?" Suara Darel membuat Renja tersentak kaget, reflek mendongak. Sejak kapan Darel di dekatnya? Renja sama sekali tidak sadar sebelum dia mendengar suara berat itu. Mereka saling tatap, Renja ketakutan melihat rahang Darel mengeras. Pria itu marah! Renja seakan berhadapan dengan monster, atau seperti kapas yang tertindas oleh kerasnya batu. "K-kau kenapa tidak pulang?" Mata Renja gemetar, tidak berani menatap Darel lebih lama lagi sehingga dia langsung menunduk menahan takut. Darel diam, matanya menatap lekat wanita lembut yang bernasib malang sebab menikah dengan pria bertampang kasar seperti dirinya. "Pulanglah duluan nanti aku menyusul." Renja menggeleng, tidak ada jaminan Darel akan benar-benar pulang. Renja ingin menyelesaikan masalah ini di rumah, sungguh. Dia sudah lelah menangis melihat makanan yang ia buang--tidak bisa masak untuk diri sendiri sebab takut Darel pulang dalam keadaan lapar. "Renjaaa," panggil Darel panjang terkasan menekan. Sekali lagi Renja menggeleng, masih menunduk tak ingin memperlihatkan wajah ketakutannya. "Aku akan pulang." Darel meyakinkan, tidak menyangka gadis yang tampak lembut ini pandai mengeraskan kepalanya. "Benarkah?" "Benar." "Kalau begitu aku akan memasak untukmu." "Aku sudah makan, kau masak untuk dirimu sendiri saja." Renja menggeleng cepat, ia yakin Darel tidak akan pulang. Apalagi setelah mendengar fakta bahwa dia tidak ingin makan di rumah. Darel mengacak surainya frustrasi. "Baiklah, kau masaklah juga untukku." Barulah Renja mendongak, mengangguk sembari tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca. "Aku menunggumu di rumah." Kaki Renja siap untuk kembali mengayuh, sebelum pergi dia berkata, "Jangan melupakan janjimu!" Darel memperhatikan punggung Renja semakin jauh, gaun lusuh gadis itu membuat Darel mengurut pangkal hidung merasakan otaknya memanas. Istrinya berpenampilan seperti gembel, jika keluarganya yang di kota melihat, maka mereka akan menertawakan Darel telah memungut gadis pemulung di gunung sampah. "Adiknya berpakaian bagus, kenapa kakaknya memakai kain lap?" Perbedaan besar antara Renja dan Sera. Darel bisa melihat siapa yang merupakan anak kesayangan, sedari awal dia masik ke keluarga mereka. Mungkin karena Sera aktif dalam bergaul, sementara Renja berdiam diri di rumah menjadi anak penurut yang menyerupai pembantu tanpa disadari. Apa Renja tidak pernah merasa cemburu pada adiknya? Orang tuanya pilih kasih. Biasa antara saudara akan ada drama seperti itu, mungkin memang terjadi dalam kehidupan Renja, hanya saja Darel tidak melihat itu. Darel menyalakan ponsel, melihat-lihat gambar sesuai selera Darel. Bibirnya menukik tipis pada layar, sebuah hiburan dalam tahap awal membuat batu menjadi secantik berlian. "Hm, ini cocok." Berisiknya suara mesin dan palu tidak mengusik Darel, semua orang bekerja keras mengejar target perbaikan agar pelanggan tidak menunggu lama. Namun Darel seakan tidak terkekang oleh aturan di bengkel ini, dia leluasa mau melakukan apapun yang dia mau. Setelah puas melihat ponselnya, Darel pergi tanpa pamitan pada siapa pun. Tidak ada yang menghentikan meski mereka melihat Darel naik motor di saat masih banyak pekerjaan belum mendapat penanganan. Bengkel di daerah jalan lintas itu ... mobil Dam atau Tronton menjadi pelanggan yang sering nangkring.Renja kembali memungut makanan dingin di atas meja ketika dia bangun tidur. Darel mengingkari janji, membuat masakan Renja sia-sia lagi. Renja menekan rasa panas di dadanya, seperti dia selalu memendam segala emosi jeleknya sama seperti dia bersama keluarganya yang perhitungan. Membersihkan rumah sebentar, selepas itu bersantai jenuh. Renja memiliki banyak waktu istirahat setelah dia menikah, kerap kali duduk di teras dengan secangkir teh hangat menikmati nyanyian burung di pohon-pohon tinggi. Dia mengangkat telapak tangan untuk dilihat, merasakan ada sedikit perubahan, lebih halus dari biasanya. Apa karena dia tidak melakukan pekerjaan kasar lagi? Renja juga sering berendam air hangat sebab ada bathub yang membuat Renja antusias sendiri. Dia tidak memiliki itu di rumah orang tua. "Sepertinya berendam air panas membuat kulit jadi halus."Setelah makan siang Renja tidur di kasurnya yang empuk. Sore sekitar jam tiga dia bangun, duduk lagi di tera
Di depan cermin yang menampilkan seluruh tubuhnya, Renja berputar-putar memandang kagum piama baru nan cantik. Dia melupakan fakta beberapa jam yang lalu telah mengeluhkan pengeluaran untuk semua itu. Pakaian menang berpengaruh besar dalam untuk penampilan cantik, terbukti dari Renja yang seperti orang berbeda padahal sama sekali dia tidak menggunakan riasan. Ini baru piama, masih banyak gaun serta aksesoris indah lainnya. Renja berbalik girang. "Apa aku masih seperti gembel, Darel?" tanyanya pada sang suami yang bersandar di atas kasur tengah memperhatikan. Pria itu tersenyum tipis, istrinya jauh lebih cantik dari pada ekspetasinya. Terbayar sudah rasa lelah Darel dalam memilih pakaian wanita yang ternyata tidak mudah. "Pakaian dalamnya juga kau pakai?" Renja mengangguk malu, Darel berbelanja sampai ke titik itu; ada yang kebesaran juga ada yang kekecilan, tetapi yang pas lumayan banyak. "Kalau mau tidur enggak usah memakai bra, menurut dokter itu tidak bagus intuk kes
Rintik hujan kecil belum berhenti sejak buliran air itu turun sore tadi. Renja mengintip dari balik tirai di kamar pada hari yang mulai gelap. Sensasi dingin ini... Renja mengeluh mengantuk. Jika tidak ingat janji tiga hari itu adalah hari ini, maka Renja akan membiarkan tubuhnya meringkuk dalam kenyamanan selimut sampai pagi. Renja beralih ke dapur membuat secangkir kopi, membawanya ke meja persegi panjang untuk menikmati aroma harumnya. Semoga kantuknya lekas menghilang, Renja tak ingin mengecewakan Darel seakan mencari alasan untuk menghindar. Sebentar lagi pria itu akan pulang, Renja merasakan debar jantung menanti untuk segera melepaskan rasa tidak nyaman ini. Setelah hal itu selesai, Renja akan menjadi istri baik yang sesungguhnya. Mungkin Darel juga akan bisa lebih terbuka, Renja menahan diri untuk bertanya banyak hal tentang Darel dan keluarga pria itu. Ya, Renja ingin dekat terlebih dahulu, baru dia bisa menggali setidaknya sedikit demi sedikit. Suara motor berhenti di lu
Pakaian berserakan di lantai, Renja menahan selimut di dada dengan wajahnya yang memerah malu akan ingatan tadi malam. Setiap gerakan terasa salah, perih di selangkangan menjadi sumber, bekas hisapan banyak tertinggal di kulit putihnya. Renja menatap dirinya di cermin yang berhadapan dengan tempat tidur, memandang lama penampilan berantakan dari wanita yang berusaha menjadi istri terbaik. Senyum tipis muncul, dia bangga pada dirinya sendiri sebab berhasil mengalahkan rasa takut. Susah payah Renja beranjak, meringis pelan dalam setiap langkah menuju kamar mandi. Tidak ada Darel di mana-mana, pun matahari sudah cukup tinggi, tidak mungkin dia menunda pekerjaan untuk menunggu istrinya bangun. Ini pertama kalinya Renja bangun sangat siang. Dia keluar dari pintu kamar mandi terlilit handuk, kembali masuk ke kamar, membuka lemarinya yang penuh pakaian cantik--rata-rata merupakan gaun dan rok potongan, celana hanya ada sedikit. "Darel sepertinya suka wanita feminim," Renja menebak, tert
Duduk di teras merupakan aktivitas harian Renja setelah dia menikah. Menikmati teh hangat dan cemilan, sembari mendengarkan burung bernyanyi dan menari di dahan pohon. Renja khawatir dirinya akan gemuk, dia jarang bergerak setelah menyelesaikan pekerjaan rumah di pagi hari. Lalu cemilan ... Renja mendorong semua bungkusan, sudah cukup makannya. Untuk memastikan Renja menatap lengannya, lalu bernapas lega sebab benjolan tulang di pergelangan tangan masih terlihat. Telapak tangan Renja halus dari yang semula kasar, dia mulai memperhatikan penampilan agar suaminya tidak berpaling."Kapan Darel akan keluar?" Menoleh ke dalam, pada satu pintu di sebelah kamar yang tertutup rapat. Sudah delapan hari Darel tidak pergi ke bengkel, banyak menghabiskan waktu di ruangan itu. Entah apa yang pria itu lakukan, katanya merupakan pekerjaan penting. 'Dia akan menegurku jika dia lapar, atau ingin bercinta,' rutuk Renja memajukan bibir, menyayangkan Darel mesra hanya ketika melayani nafsunya. Renja m
[Kaka, mama sakit. Kakak disuruh ke sini.]Baru saja Renja menyentuh benda pipih setelah usai membersihkan halaman, membaca pesan Sera yang terlewat beberapa menit lalu dalam kernyitan jelas. Renja penasaran mamanya sakit apa? Bergegas mengetuk pintu ruangan Darel. “Apa?” Darel menyembulkan kepala seperti kura-kura, kacamata terbingkai di hidung mancungnya namun tidak dapat menyembunyikan mata lelah. Renja jadi ragu meminta tolong padanya. “Aku mau ke rumah mamak, em… kau mau ikut?”Darel menoleh ke belakang, pada sesuatu yang membuat dia lelah dan entah apa itu. Menoleh kembali, Darel memperbaiki posisi kacamata sembari berdehem. “Aku tidak ikut, kau pakai saja motorku.” “Baiklah.” Renja kembali ke kamar mengambil salah satu tas cantiknya, mengisi beberapa lembar uang tunai dan juga ponsel. Sebelum keluar Renja bercermin, tersenyum puas melihat penampilan istri di tangan suami yang tepat. Tidak tampak seperti pembantu lagi. “Setelah melihatku nanti, seharusnya mereka tahu aku h
Puluh membasahi dahi dan leher Renja, memantulkan kilatan lelah setelah dua jam lebih dia berurusan dengan pakaian kotor tanpa mesin. Renja berdiri, pinggangnya sakit dan kakinya kebas. Pakaian basah, penampilan compang-camping, bau sabun cuci di mana-mana. Pakaian tinggal di jemur, sebelum itu dia membutuhkan bantuan untuk mengangkut itu semua. Renja pergi ke luar melihat tas dan barang-barangnya terobrak-abrik berceceran di atas meja. Saat dia menatap dua orang perempuan di sisi sofa, mereka tak mengacuhkan; Sera bermain ponsel, Fika fokus pada TV. Bahkan bangkai buah bekas mereka makan enggak dibersihkan, mereka begitu malas jika ada Renja. “Sera, bantu kakak angkat pakaian buat dijemur. Berat.” Renja dengan sabar berucap, tetapi Sera enggan melihatnya seolah tidak mendengar apa-apa. “Sera,” panggil Renja menambahkan sedikit ketegasan dalam nadanya, matanya menilik besar, siap mencubit Sera jika dia belum bergerak juga. Sera meletakkan ponsel di samping tempat ia bersand
Renja mengernyit sebelum ia membuka mata, mulai merasakan semua indra, dan luka di sekujur tubuh membuat dia meringis sakit. Hal pertama yang ia lihat adalah baling-baling kipas angin besar berputar di atas pada langit-langit triplek. Ah, ini kemarnya. Berusaha duduk, Renja melihat cermin besar di depan. Bajunya telah bertukar, dia juga sudah jauh lebih bersih. Berapa lama dia tidak sadarkan diri? Jendela memantulkan cahaya terang, mungkin tinggal beberapa jam lagi matahari akan turun. "Masih sakit?"Seorang pria berbadan tinggi muncul dari ambang pintu, membawa bungkusan terjuntai dari genggamannya. Renja menatap lama, menghembuskan napas panas yang ia sendiri merasakannya. Kemudian tersenyum tipis. Darel membesarkan mata, tenggorokan tercekat sehingga dia berhenti melangkah. Istrinya tampak bersinar, dibantu oleh pancaran cahaya sore dari jendela transparan bersama tirai menari-nari oleh angin. Bidadari, Renja layaknya bidadari yang singgah di tempat tidurnya. Duduk bersandar, k
Ting.... Saat itu, Darel menerima pesan baru dari nomor yang tidak terdaftar dari kontaknya. Alis mengerut oleh kiriman video belum terunduh. Apa maksudnya ini? Orang tidak dikenal tiba-tiba mengirimkan video. Salah kirim? Kala ia membuka video tersebut, alangkah kagetnya ia dengan isinya, video mesum di masa lalu dengan wanita masa lalu. Mereka berhubungan intim, jelas terekam secara diam-diam. “Sialan!” Darel tersandar ke dinding, pandangannya lurus ke arah wanita yang sibuk berkutat dengan tanaman di halaman. [Aku akan kirim videonya ke istrimu kalau kau tidak menuruti permintaanku.]Mata Darel terbelalak besar, ia tahu sekarang bahwa ini adalah nomor Sina. Bagaimana jika Renja melihat video itu? Marah? Jijik? Darel merinding membayangkan ekspresi geli Renja terhadapnya. Ia memijat pangkal hidung, frustrasi dan bertanya-tanya kenapa wanita itu mengganggunya ketika Darel telah menetapkan rumahnya. [Berapa yang kau mau?] ~Darel.[Aku tidak ingin uang, aku ingin mengenang kembal
Darel selalu menanyakan kabar Renja, mendapatkan kiriman foto wanita itu, tampak sama sekali tidak ada kebahagiaan dari wajah Renja. Setiap foto yang datang selalu berwajah datar, di mana pun ia berada, sekalipun berada di taman hiburan yang menyenangkan. Rindu menggebu ingin segera menggenggamnya kembali, tapi demi tujuannya ia rela menunggu lebih lama lagi menahan gejolak sepi. Kinda harus mengerti, tindakannya hanya memperjelas bertapa besar perasaan Renja untuk Darel. Dengan begitu dia akan berhenti ikut campur perkara rumah tangga orang, sadar bahwa dia tidak memiliki kesempatan mendapatkan wanita itu. Terlentang di kasur, Darel mencari kembali foto Kinda yang tampak menyedihkan sebab diabaikan oleh Renja, itu foto tiga hari lalu yang dikirim oleh agen. Lihat nanti bagaimana ia akan mengantar sendiri Renja pulang ke tempat ini, seperti saat ia mengantar Renja pulang kala wanita tersebut merajuk pergi ke rumah orang tua dulu.“Aku akan menertawakanmu nanti,” ia bergumam sepert
Darel menurunkan sebelah kaki menahan motor yang berhenti di depan gerbang. Ia penasaran kenapa gerbang yang seharusnya tertutup itu terbuka lebar tanpa seorangpun satpam berjaga di depan. Ia melirik ke post, melihat beberapa kaki terbujur berantakan seolah mereka mati di sana. Maka ia mendekati mereka. Mengernyit, posisi mereka saling tumpang tindih, berantakan tak peduli tumpahan kopi di mana-mana sebab posisi demikian. “Hei, bangun!” Mereka tidak mendengar, Darel geram dibuatnya. Meski malam memang waktunya tidur, tapi itu bukan waktu mereka yang telah menelan uangnya. Setidaknya ada pergantian waktu sebagai peringan perkerjaan, karena mereka berjumlah empat orang. Ada satu kardus air mineral gelas di sisi teras dalam, dia mengambil satu lantas menumpahkan air di wajah mereka. “Tuan Darel!” Mereka sontak terduduk, tertekan oleh tatapan tidak senang dari sang majikan. “Ka-kami tertidur?” Mereka saling pandang tidak mengerti, hal seperti ini sebelumnya tidak pernah terjadi sebab
“Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi....”Kinda hampir menghempas ponselnya sebab lagi-lagi suara itu yang keluar saat ia menelepon Renja. Memijat pangkal hidung, ia benar-benar frustrasi memikirkan apa yang sedang terjadi di sana. Sudah berapa hari semenjak ia memergoki Darel menghabiskan waktu dengan wanita lain? Lebih dari seminggu. Sejak itulah kontaknya dengan Renja terputus, tidak peduli jika Kinda mencoba menipu dengan cara mengganti nomor, Renja tetap tidak dapat dihubungi. Artinya, HP Renja dalam keadaan mati, ya, kemungkinan besar. “Biarkan aku masuk!” Kinda membentak penjaga yang menghalangi dia di depan gerbang kayu. Mau berapa kali ia bolak-balik hanya untuk mencari kesempatan masuk. Kakinya sudah kram berdiri terlalu lama, capek juga menghadapi satpam yang tetap pada pendirian. Mereka tidak mempan disogok, Kinda telan mencoba banyak cara. “Maaf, kami diperintahkan untuk melarang Anda.”Menggusar rambut kasar, bolehkah ia mengajak duel para satpam tersebut? Tida
Darel membiarkan Renja tertidur setelah perdebatan mereka menguras air mata wanita itu. Ia berhati-hati melepaskan dekapan, kedua kakinya menyentuh lantai dingin. Sekali lagi ia melirik Renja lantas mendesah berat. Tujuan Darel ialah ponsel Renja yang tergeletak di nakas sisi lain dari Darel. 'Siapa saja yang bertukar dengan Renja?' Riwayat terbaru seperti dugaan Darel, siapa lagi kalau bukan Kinda. Pria itulah yang mengirimkan foto-fotonya bersama Sina. Pantas saja Darel merasa diawasi sepanjang melangkah, namun bodohnya ia memilih tidak peduli. Nyatanya terpampang jelas di bekas chat tersebut, Kinda yang mempengaruhi Renja untuk menuntut penjelasan dari Darel. 'Sialan kau, Kinda, awas saja jika kita bertemu lagi.' Yona? Ia tak percaya Renja menyimpan nomor wanita itu, siapa yang menduga mereka pernah bertukar pesan. Penasaran apa yang dibahas mereka, akan menyenangkan melihat Renja mengancam Yona atau mengejeknya dibalik topeng ramahnya jika dibandingkan bertemu secara langsung.
Renja duduk di depan meja hias, rambutnya dibungkus handuk karena ia baru saja selesai mandi sebab pesan terakhir Kinda memberitahu bahwa Darel pulang hari ini. Meski sudah sore, Renja menggunakan riasan, berusaha menyembunyikan jejak wajah sembab. Dia juga sudah selesai memasak, sebentar lagi Darel pasti akan sampai. Jantungnya menggebu-gebu, menimpal pewarna pipi membantunya terlihat lebih segar. Air mata yang ingin jatuh, ia tahan mati-matian, berulang kali menimbulkan pikiran positif untuk menghibur diri sendiri. [Kali ini kau harus tegas, Renja.] ~Kinda.Pesan Kinda terngiang-ngiang, pria itu terus mengirim pesan mendorongnya untuk lebih berani. [Bersikap adillah pada diri sendiri. Kau terlalu banyak mengalah.] ~Kinda.Tangan Renja langsung jatuh ke atas meja, kuas make-up ikut berceceran akibat senggolan tangan Renja. Wanita itu mendongak ke atas, air matanya tidak terbendung lagi. Tarik napas dalam-dalam, hembuskan, lakukan berulang kali meski tidak merasa lebih baik.‘Harus
Sudah dua hari semenjak ia ditinggalkan sendiri dengan peraturan membentuk rantai mengekang leher membatasi pergerakkan Renja. Hari-hari ia melamun duduk di teras yang bersuasana hening. Ia ingin menjadi seperti orang yang bisa mendapatkan kesenangan dari HP, tapi mata Renja tidak bisa bertahan lama menatap layar—matanya perih. Benda pipih tersebut tergeletak di atas meja dalam keadaan padam, bekas Renja mencoba menghubungi Darel namun tidak mendapatkan respon. Ia penasaran, apa membeli alat-alat bengkel memang memakan waktu berhari-hari? Bahkan tidak dapat dihubungi. Ting. Belum lepas pandangan Renja dari HP, layarnya menyala menunjukkan sebuah notifikasi chat. Gerakannya cepat menyambar ponsel, tapi yang tertera ialah nama Kinda. [Suamimu ada di mana?] Kinda memperhatikan pria di depannya dalam gedung mall menuju lantai atas, ia merendahkan topi agar Darel tidak menyadari Kinda mengikutinya. Sesekali ia mengangkat ponsel, menunggu Renja sedang mengetik. Syukurlah Renja membaca
Dia kecewa namun ia enggan menyuarakan. Menatap jaket di tangannya, kelembapan membuat ia tak nyaman. Jika tidak segera dicuci akan mengeluarkan bau apek. Yang benar saja Yona mengembalikan barang dari orang yang ditaksir seperti ini? Paling tidak dicuci, jelas mereka ditemani rintik hujan tadi malam. Hanya satu jaket saja, Renja mencucinya melalui keran wastafel. Seiring tangannya bergerak, rambut panjang menjuntai ke bawah hampir merendam ujungnya sebelum Renja mengangkat kepalanya. Bagaimana ini? Tangannya sudah dipenuhi oleh sabun. Baru akan mencuci tangan, rambutnya digenggam ke belakang oleh sosok yang mulai terasa kehadirannya. “Biar aku saja yang ikat,” tutur Darel, ia menggunakan pita putih entah bekas apa tersangkut di paku dinding. Kini leher Renja bersih dari untaian tipis surai hitam, namun bercak-bercak di lehernya tidak tersamarkan. “Apa tadi malam aku sangat kasar?” Ah, dia merasa tidak wajar dengan kismark bertebaran di mana-mana, itu tidak bagus menurut dokter.
Rintik-rintik air menghantam atap menciptakan suasana dingin mengundang kantuk pada siapa saja yang sendiri serta luang. Menggenggam selimut tebal di dada, Renja tidak berani menurunkan kaki untuk melihat malam terakhir tahun ini. Rambutnya tergerai halus di atas bantal, mata tak kunjung tidur kendati berkedip sayu.Menit kemudian suara kembang api menembak dan bermekaran di angkasa gelap gulita ditangkap oleh indra pendengarannya. Meski gerimis orang desa di luar gerbang merayakan malam ini dengan gembira. Apa cuman Renja yang tidak pernah tahu rasanya kemeriahan malam tahun baru? Selalu saja menjadi pendengar di atas tempat tidur seorang diri. Bibirnya menukik tipis teringat Darel, pria itu pasti sibuk bekerja bercucuran keringat dingin. Mungkin malam tahun baru Renja masih lebih baik dari pria itu, merasakan kehangatan dalam selimut dari pada diserang dingin di luar sana. ‘Aku harap dia tidak kedinginan. Semoga tahun ini menjadi bagian moment indah dalam hidup kita,” gumam Renja