"Masuk!" jawabku pada orang yang mengetuk pintu. Yang datang pasti Irlan, tadi aku memintanya untuk kemari.
"Ibu panggil saya?" katanya setelah masuk.
"Iya. Silahkan duduk." Aku mempersilahkan dia untuk duduk. Meskipun badannya atletis dan macho, Irlan kalau bertemu denganku pasti saja menunduk dan seperti grogi. Entah kenapa. Dia seperti takut aku marahi atau apa? Padahal aku ini baik. Hehe.
"Nanti kita akan bahas rancangan interior baru yang di tawarkan oleh pak Arjuna. Kamu nanti ikut saya meeting di resto. Dia tidak bisa kesini. Dan waktunya nanti pas makan siang. Gak ada meeting lagi 'kan?" ujarku segera menjelaskan.
"Oh bagitu, Bu? Tidak, tidak ada meeting hari ini. Ibu jadi rancang ulang design interiornya?" tanya Irlan.
"Gak semua. Cuma ruangan khusus saja. Saya sudah bicara dengan Arjuna, dan arsitekturnya sudah berikan rancangannya pada dia. Na
Kini aku sudah tancap gas menjauh dari resto tanpa Irlan. Entah mengapa tadi perasaanku jadi aneh saat mereka sok kompak. Jelas aku yang saat ini sudah bersatus janda, jadi kaget dan ... ah, kenapa denganku?Dengan keputusanku seperti tadi, bisa-bisa mereka berfikir kalau aku tadi baper dan malu. Ah masa bodo. Tadi aku benar-benar tidak nyaman. Lalu, Irlan juga pasti kaget dengan tingkahku yang menyuruhnya pulang sendiri saja. Padahal sejak awal aku kekeh ajak dia dan tahan mereka supaya tidak pergi. Kini, malah aku yang pergi.Kujeduk-jeduk jidat ini perlahan pada benda yang sedang kupegangi dengan fokus. Ya, stir ini kujadikan pelampiasan karena malu dan baru terpikir, apa yang aku lakukan? Aurel? Kamu kok bisa bertingkah seperti tadi?Coba di fikirkan, bagaimana bila kalian ada di posisiku. Aku yang sudah sah berstatus janda, duduk, makan, minum, lalu tersedak, dan di perhatikan secara kompak oleh tiga pria berparas dan
Pagi hari ini kusambut dengan keceriaan. Setelah statusku berubah, kurasa tak boleh lagi ada kesedihan. Apalagi yang harus jadi alasan? Mau liburan? Tinggal pergi. Mau perawatan? Tinggal go. Mau apapun tinggal telepon, tinggal petikan jari, langsung sekejap ada di hadapan.Langkah kaki dengan santai menuruni anak tangga yang jumlahnya lumayan banyak. Sedikit memutar pula.Terlihat dari kejauhan Bi Atun sudah datang dan berjalan ke arah tangga. Dia belum melihatku karena tatapannya fokus ke lantai sambil jalan. Mungkin takut tersandung. Berbeda denganku kalau berjalan kepala ini melenggak-lenggok dan tak menatap kaki berjalan. Kalau di fikir-fikir, kata si Feri aku benar-benar terkesan angkuh. Tapi itu memang kebiasaanku."Eh, Si Non!" Bi Atun terkejut karena sejak tadi jalan menunduk. Saat kakinya mulai menaiki tangga seperempat bagian, dia hampir menabrakku."Bi, ada apa? Mau kemana? Cucian kotor udah di
PoV Maya***"Apa? Saya keguguran, Dok? Anak saya meninggal?" Dokter mengangguk lemas mendengar pertanyaan dariku. Aku sangat syok. Dan berharap ini hanyalah mimpi saja."Ah enggak, Dok. Kenapa anakku gak bisa di selamatkan? Padahal usianya sudah hampir empat bulan 'kan, Dok?" kecewaku pada diri ini."Iya. Tapi maaf, janin yang ada di kandungan anda tidak bisa di selamatkan karena benturan hebat yang anda alami. Silahkan anda sekarang istirahat. Karena setelah di kuret, anda butuh tenaga banyak untuk memulihkan tubuh anda kembali.""Saya turut berduka cita. Saya permisi dulu." Dokter pun melenggang pergi. Kian lama seluruh tubuhnya makin menjauh dan menghilang.Anakku mati?Tidak ...Bagaimanapun aku ingin sekali menjadi seorang ibu. Tapi ...Lemas sudah seluruh tubuh ini. Kandunganku keguguran hingga membekaskan kesakitan y
PoV Aurel***"Jadi udah piks, ya." Arjuna kembali memastikan. Dan proyek kami sudah berjalan lima belas persen."Iya." Aku mengangguk. Kami berjalan keluar dari ruanganku. Tadi Arjuna mampir dan bahas soal proyek."Rel?" Ia menyapaku dengan nada tanya."Hem?" jawabku masih terus lanjut jalan. Pun dia berjalan di sampingku. Tapi agak belakang. Tak sejajar."Hemmm. Gue mau minta maaf lagi soal gue yang dulu sempat nuduh loe sebagai penyebab papa pergi. Tapi gue udah sadar, gue gak harus bersikap kayak gitu."Langkah ini terhenti tiba-tiba setelah mendengar kalimat barusan yang di olah lalu di ucapkan dengan nada malu-malu oleh seorang Arjuna. Ada gemetar pula.Kutoleh dia. "Hem? Minta maaf la-gi?" Alisku meninggi heran.Ia terdiam. "Iya. Gue minta maaf, Rel. Ini asli dari lubuk hati gue yang paling dal
Mobilku melaju pelan di tinggal oleh mobil Irlan yang sudah sangat menjauh. Dia benar-benar pergi untuk hidup berdua bersama wanita pilihan ibunya. Tapi aku salut dengannya, dia mampu menerima wanita sebelum rasa cinta muncul. Ah atau mungkin Irlan pun memang menyukai wanita itu. Dan dia berikan aku kesedihan ini.Sampai di rumah lamunan ini masih saja menghiasi. Kacau!Kenapa Irlan katakan semua itu kalau hanya akan pergi? Kenapa? Apa dia tidak tahu alasan kenapa aku sering ajak dia keluar? Itu karena aku ingin mencoba dekat dengannya. Aku bukan tipikal wanita yang susah untuk jatuh cinta, dan sifat itu harus segera kurubah. Mulai sekarang, aku tak boleh mengumbar rasa pada siapapun. Karena pada akhirnya akan sesakit ini. Padahal dengan kasus Mas Andri, itu harus kujadikan cerminan. Ya ampun, mungkin aku dulu kurang perhatian dari mama dan papa. Uang oke, tapi, kalau untuk sekedar ngumpul, makan bareng sama mereka, itu sulit sekali. Walau
"Kamu gak usah masuk ya, Jun. Aku mau langsung tidur." Arjuna kembali mengantarku ke rumah setelah jalan-jalan tadi. Ia tak kusuruh masuk karena entah mengapa sejak ia ungkapkan perasaannya tadi, hati ini jadi tak nyaman."Oke. Aku pulang." Ia pun dengan lapang dada menerima. "Maaf ya," ujarku masih di dalam mobil belum turun. "Gak apa-apa. Lain kali aku main lagi." Ia menjawab santai. Alisku saling bertaut. "Hem, oke."Satu persatu kaki ini pun mulai turun dari mobil setelah pintu kubuka.Blug!Kututup pintu mobil Arjuna."Aku balik dulu." Ia pamit lalu pergi setelah melambaikan tangan. Kubalas kembali lambaian tangannya dengan lemas.Si Arjuna yang ngomongnya loe, gue, kini berubah jadi aku dan kamu. Mungkin ia ingin contoh kakaknya kalau bicara sama wanita itu yang sopan."Gak di ajak masuk, Non?" sapa Pak Satpam yang melihatku berjalan sendiri. Memang
Aku harus bisa tenang. Orang itu tak akan menjahati Simbok. Itu hanya gertakkan dia saja supaya aku cepat bawa uang untuknya.Nafas ini coba kuatur.Tudt ... tudt!Aku makin kaget. Nomor rumah sama sekali tak bisa di hubungi. Apa mereka semua terancam bahaya? Tapi mana mungkin? Untuk masuk ke dalam rumahku saja perlu menghadapi dua orang security. Kenapa bisa Simbok di culik? Apa dia sedang belanja?'Mbok, aku bilang juga apa! Jangan belanja sendiri!'Aku sudah panik. Apalagi teringat dengan tragedi kecelakaan Almarhum Om Yudi. Semuanya kembali terngiang di memori.Feri? Ya, aku berusaha menghubungi dirinya untuk membantuku menyelesaikan semua ini. Dia nampaknya sudah ahli. Dia pasti punya ide brilian untuk penyandraan ini.Segera kututup layar laptop dan pergi meninggalkan ruang kerja. Aku benar-benar panik. Takut sesuatu yang buruk terjadi pada Simbok.
PoV Feri_________"Gimana? Kalian udah lacak keberadaan nomor tersebut?" tanyaku pada orang yang sengaja di tugaskan untuk melacak keberadaan nomor yang mengirim pesan pada Aurel.Kami bicara lewat telepon genggam. "Sudah, Pak Feri. Saya akan kiriman alamat detailnya."Segera panggilan kuakhiri. Satu lengan fokus memegangi setir, sedang satu tangan lagi fokus melihat benda pipih menyala yang akan di kirimi lokasi para penjahat oleh anak buahku.Menunggu beberapa detik, akhirnya kuketahui dimana posisi orang yang menjebak Aurel. Aku yakin dia di jebak, karena Simbok ada dan baik-baik saja di rumah.Pedal gas kuinjak sekuat tenaga untuk menuju lokasi yang lumayan jauh. Dan mereka pasti pergi menggunakan mobil milik Aurel. Kata orangku posisi mereka sudah diam, tidak melaju, itu artinya kemungkinan besar Aurel sudah dalam penyekapan. Siapa yang m
"Aurel? Feri?"Maya terkejut dengan kedatangan kami ke rutan bermaksud mengunjunginya. "Kalian jenguk aku lagi?" tanyanya. Kini Maya sudah duduk di kursi berhadapan dengan aku dan Feri. Wajahnya lumayan lusuh. Ya, namanya jiga di dalam sel tahanan. Tak seindah di rumah sendiri walaupun rumah itu amatlah kecil dan sederhana."Iya. Apa kabar kamu, May?" tanyaku sambil getar-getar kaki di bawah meja. Sontak bola mata Maya gelagapan mendengar tanya kabar dariku. Padahal ini bukan kali pertama kami bertemu. Tapi, mungkin dia masih belum terbiasa saja bertemu denganku."Baik, Rel. Makasih kamu udah kali ke duanya mengunjungi aku ke sini." Kata-kata Maya mulai memperlihatkan kalau dia sudah berubah menjadi lebih baik. Syukurlah. Memang seperti apa yang pernah aku ceritakan. Sebelumnya pernah mengunjungi Maya."Rel? Perut kamu?" Maya terkejut dengan kondisi perut
PoV Aurel***"Sayang, hari ini aku kepengen makan ketoprak, tapi yang di ujung jalan sana itu loh!" Suamiku Feri merangkulku dari belakang. Saat ini aku sedang minum air mineral sambil berdiri. Hari ini dia dan aku libur ngantor karena hari Minggu. Seperti biasa ia simpan dagunya di bahuku. Dan itu membuatku geli. Momen manja-manja kami tak pernah henti."Ih, geli!""Gimana? Mau gak? Ayok dong!" Ia kekeh ingin ketoprak. Sejak aku hamil, sama sekali aku tak pernah ngidam apapun. Alhamdulillah mual pun hanya di awal-awal saja. Dan ngidam, full dia yang tangani. Kok bisa? Aku pun tak tahu. Tapi biarlah."Iya, sebentar." Aku kembali minum. Dia masih memelukku dari belakang sambil elus-elus perut."Kamu apaan sih? Nanti ada simbok atau bibi, malu," ucapku terkekeh geli. Kadanga Simbok dan Bibi suk
PoV Putri***Namaku Annata Putri Salsabila. Anak satu-satunya dari Papa dan Mamaku. Mereka sudah almarhum. Kecelakaan pesawat beberapa tahun yang lalu telah merenggut nyawa mereka. Singkat sekali perjumpaan kami. Semoga kelak di surga aku dan mereka bisa kembali berkumpul.Aku tinggal bersama Tante Sandra, ia adalah Kakak dari almarhum Papa. Jadi, aku dan Mas Feri sepupuan. Ah, tak kusangka, ia kini sudah menikah dan akan segera mempunyai momongan dari wanita yang di cintainya, Mbak Aurel.Aku mengambil sekolah menengah atas jurusan keperawatan, hingga aku kuliah dan lulus menjadi seorang perawat. Aku lebih memilih menjadi perawat para korban bencana. Termasuk korban kecelakaan pesawat. Ah, itu semua aku lakukan karena kekecewaanku yang tak bisa merawat Papa dan Mama. Hingga aku bertekad ingin menjadi seorang perawat dan memb
PoV Aurel***Hari ini aku sangat bahagia. Tepat di hari ulang tahun pengacara keceku, yaitu suamiku sendiri, Feri, ternyata perutku sudah berisi janin yang kata dokter usianya baru enam minggu. Ah, aku bahagia sekali. Sejak dulu menikah dengan Mas Andri, aku menunda dulu soal momongan, tapi sekarang, setelah menikah dengan Feri, aku tak menggunakan alat kontrasepsi apapun. Itu mauku, juga mau Feri. Kami sudah tak sabar ingin menjadi orang tua. Dan Alhamdulillah, akan segera kesampaian."Sayang? Malam ini kita diner, yuk!" pintanya sambil memeluk tubuhku dari belakang. Dia selalu bertingkah manja."Memang boleh keluar malam?" tanyaku."Boleh, asalkan udah shalat isya. Aku udah siapkan tempat yang spesial untuk kita." Dia bicara lalu mengecup pipiku."Ish! Curi-curi kecupan. Gimana kalau ada simbok?" Aku mencub
PoV Feri***Hari ini, setelah Aurel terbangun dari koma, akad nikah akan kami langsungkan saja. Aku tak mau menunggu lagi hari esok atau lusa. Aku tak mau sampai acara ini di tunda lagi.Hari ini dia sudah membuat jantungku terasa copot. Pas bangun dari koma, dia malah tidak mengenalku. Eh, ternyata dia hanya sandiwara. Dasar Aurel. Di suasana sedih pun dia masih bisa bercanda. Entah apa yang terjadi bila ya, dia hilang ingatan lagi. Ah, aku mungkin sudah tak bisa lagi bicara. Tadi saja, aku sudah merasa tak punya harapan apapun lagi. Dia benar-benar berhasil membuatku kaget setengah mati. Tak hanya aku, tapi semuanya. Bahkan Simbok sampai mau pingsan.Akad nikah akan segera berlangsung. Sebelum mengucap qobul, kutatap wajahnya dengan penuh cinta. Aurel cantik sekali. Benarkah hari ini kami akan menikah? Akad
PoV Feri***"Gimana kabar Aurel, Fer?" Arjuna bertanya mengenai kabar Aurel. Dia sudah makin membaik, kini untuk berjalan pun tidak memakai bantuan kruk."Masih sama." Kuhempas tubuh ini ke sofa. Lalu melonggarkan dasi dan simpan tas di atas meja. Arjuna ikut duduk. Putri datang membawakan kami minuman. Waktu menunjukkan pukul tiga sore. Selesai meeting tadi aku langsung pulang. Nanti akan ke rumah sakit lagi. Sekarang katanya ada Bi Atun di sana. Menunggu Aurel sebelum aku datang."Kasihan ya, Mbak Aurel, Mas. Aku masih gak ngerti kenapa ini harus terjadi. Apalagi ... pernikahan kalian 'kan tinggal beberapa hari lagi." Putri berkomentar dengan lesu."Iya." Aku mendenguskan nafas kembali dorong punggung ke sofa. Netra ini hanya menatap langit-langit rumah yang terasa suram."Sabar, Fer, gue yakin Aurel akan s
Disangka Masih Hilang IngatanPart 91❤️❤️❤️PoV 3***Jadi sebenarnya siapa yang tertembak di keributan halaman hotel?Sebelumnya flashback dulu. Maya adalah anak dari Pak Nadimin dan Bu Samsiah. Ia pergi meninggalkan orang tuanya bermaksud mengadu nasib. Maya tak bicara pada orang tuanya perihal dirinya yang ternyata berangkat keluar negeri sepuluh tahun yang lalu.Maya lewat penyalur tenaga kerja Indonesia sepuluh tahun yang lalu telah di berangkatkan ke negeri gajah putih atau itu adalah sebutan untuk negara Thailand. Ia bekerja hingga akhirn
Siang ini aku dan Feri memutuskan untuk makan siang terlebih dahulu. Ingin temui wanita yang bernama Maya itu, takutnya ia masih istirahat. Jadi setelah makan siang aku putuskan untuk menemuinya."Sayang, besok kita fitting baju pengantin. Besok aku jemput kamu, ya? Hari ini, em maksudnya siang ini aku ada meeting. Tapi nanti jam satu. Setelah zuhur," kata kekasihku Feri. Ah, ini masih seperti mimpi."Oke. Em, Fer, kamu jangan panggil aku sayang dong. Agak gimana gitu! Aurel aja ya?" Aku masih malu-malu."Loh? Kenapa? Ya sudah, aku panggil kamu Aurel. Aurel Sayang." Dia malah tersenyum.Aku merasa malu. "Ah, terserah lah. Asal sayangnya jangan cuma di bibir," ucapku."Lalu harus dimana lagi?" tanyanya."Ya ... hati sama ucapan kamu harus selaras. Jangan bohong.""Lalu, bagaimana ka
"Siapa itu, Pak?" Aku bertanya pada Pak Satpam. Ada dua buah mobil ternyata. Bukan cuma satu saja yang datang.Feri masih ada di dalam mobil. Hati ini masih agak senyam-senyum karena Feri ternyata telah mengungkapkan perasaannya padaku. Dan ternyata aku baru sadar, perasaanku selama ini adalah rasa nyaman yang berakhir mencintainya pula.Mobil itu berhenti di sampingku. Pintu mobil mulai membuka.Benar-benar kaget."Hah? Tante Sandra? Putri? Itu, siapa lagi?" ucapku heran.Lalu, Feri keluar. Ia malah senyam-senyum seperti tahu dengan apa yang terjadi. Bola mata ini malirik kesana kemari. Ke arah dua mobil itu, juga ke arah Feri."Silahkan masuk, silahkan!"Teg!Tiba-tiba Simbok dan Bi Atun menyuruh mereka masuk. Aku nyatanya masih heran. "Fer?" Aku menegur Feri.