“Lembur lagi, Mas?” tanya Mustika pada suaminya.“Ya biasa, memangnya kerjaanmu? Tiap hari rebahan saja.”“Kalau aku nggak sakit, aku juga akan memilih kerja daripada jadi beban kamu, Mas.”Sudah biasa Mustika menghadapi sikap semaunya sang suami. Namun, kadang Mustika juga heran kenapa sikap suami berubah ubah. Kadang baik, kadang juga ketus seperti sekarang.“Apa yang membuatmu tak bisa sabar dengan hari ini?” tanya Mustika saat suaminya selesai mandi dan duduk di sampingnya.“Kerjaan sedang berantakan. Kolega dan teman bisnis sepertinya menipu kita.”“Menipu? Menipu bagaimana?”“Kita minus banyak, Tika. Milyaran dan sepertinya, perusahaan kali ini drop.”“Lagi? Masa harus jual rumah agar bisa me_”“Aku nggak bilang begitu, aku hanya menjawab pertanyaanmu dan tak meminta kamu menjual rumah ini. Jadi, jangan memancing keributan.”Mustika diam. Dia tahu, suaminya sensitif sekali masalah pekerjaan dan dia tahu, setiap masalah yang timbul dia tak akan diperkenankan untuk ikut campur. Ha
Keesokan harinya, Rendy sudah menyiapkan motornya di depan kosan Susi. Rendy mengetuk pintu kos Susi dengan semangat. Dia sudah bersiap untuk pergi. “Mbak Susi, ayo! Jangan lama-lama, nanti antre panjang!” teriaknya dari luar.Pintu terbuka pelan. Susi muncul dengan wajah setengah ngantuk dan rambut masih berantakan. “Mas, aku belum sarapan. Kalau pingsan, tanggung jawab ya!” katanya sambil mengusap wajahnya.“Astaga, aku kira udah bangun dari tadi.” Kekeh Rendy.“Mas, ini pagi banget. Aku sampai lupa sarapan,” keluh Susi sembari mengunci pintu. “Nggak apa-apa, nanti mampir beli roti di jalan,” jawab Rendy santai. “Donor darah itu nggak berat kok, asal Mbak fit dan nggak telat makan.”“Ya ampun, Mas! Katanya penting, tapi malah nggak disuruh sarapan dulu,” Susi mengomel kecil.“Kan aku nggak nyuruh Mbak buru-buru keluar,” balas Rendy sambil tertawa. "Hm." "Sorry." ucap Rendy dann Ia segera memberikan helm dan memberikan motornya menuju rumah sakit.Sepanjang perjalanan, mere
“Hasilnya bagaimana?” tanya Rendy pada Alfa–temannya yang bekerja sebagai Dokter di rumah sakit tempat dia dan Susi datangi.“Sama, memang ada kemiripan di sampel darah Bu Mustika dan Susi. 98% dan kemungkinan besarnya memang anak kandung,” ucap Alfa.“Sudah aku duga. Dia anak Mama yang sudah lama hilang itu. Aku udah feeling pas liat tanda lahir di tangannya. Hanya Mama yang ingat karena pernah berkata jika Kak Rianti memiliki tanda lahir yang sama dengan ibunya, yaitu di tangannya.”“Kok kamu bisa ingat dan tahu? Memang dengar atau ibumu cerita?”“Ya nggak, tapi Mama pernah keceplosan saat aku tanya kenapa tangan mama ada hitam di bagian sikunya. Jadi, iseng pengin tahu apa sama nggak pas ketemu Mbak Susi. Nyatanya, memang benar dan aku sampai nggak percaya saat ini.”“Ini keajaiban dan kakakmu dipertemukan kembali denganmu dalam keadaan keluarga kamu yang begini. Apa ini sebuah jawaban atas doa doamu dulu yang sering menangis itu?”“Tentu saja. Bajingan itu, sudah membuat Mama m
“Hai, Ren,” sapa Susi di kantin kantor. “Tumben makan di sini?”“Sengaja nunggu Mbak keluar. Udah makan?”“Kalau udah makan, nggak akan juga di sini sekarang.”“Iya sih, aku udah pesan makanan. Tinggal ambil aja!”“Seriusan? Buat aku?”“Kalau Mbak ajak teman, teman Mbak juga aku traktir.”“Wah, ini luar biasa,” ucap Susi.Susi merasa bahagia dan dia pun menyantap makan siangnya berdua dengan Rendy. Dia pun merasa selalu beruntung jika bersama Rendy karena dia merasa lelaki itu selalu baik dan memperlakukan dia dengan sangat baik.“Kayaknya kamu sering pergi sama Pak Bos ya?” tanya Susi.“Ya, ini juga mau pergi lagi. Dia masih di ruangan?”“Masih, baru selesai meeting sama Bu Nurul tadi dan petinggi lain. Kamu nggak ikut rapat?”“Ikut, via darring.”Susi terkekeh, lalu menyeruput minumannya. “Mana ada rapat daring? Ini kan rapat mingguan. Semua karyawan dan bukan rapat dengan client. AKu kira kamu ikut.”“Iya, aku darring. Di mobil,” jawab Rendy yang malah dikira Susi sebagai lelucon
Rendy menuju ke sebuah tempat di mana Rudi biasa datang. Seorang gadis berseragam putih abu terlihat tertawa dengan teman temannya di depan gerbang sekolah nya. Menunggu jemputan seperti biasanya. Dialah Mikaila Rudi. Anak kesayangan Rudi yang selama ini hidupnya penuh kemudahan dan kebahagiaan karena sang ayah memenuhi semua kebutuhan hidupnya.“Dia?” tanya Rio.“Ya. Gadis itu hidup dengan kemudahan yang dibuat bedebah itu, dia buah cinta yang hadir sebelum menikahi ibuku. Dia juga alasan lelaki itu menjadi tamak,” ucap Rendy sinis.“Apa yang akan kamu lakukan padanya?”Rendy tak menjawab. Dia turun, tak jauh dari sana. Dia mendekat pada tiga gadis itu, lalu tersenyum pada mereka semua.“Ladies, tahu alamat ini gak?” tanya Rendy sopan, manis dan tentu saja wajahnya yang tampan mampu membius para gadis di sana.Mereka menengok ke alamat yang sengaja Rendy tunjukkan.“Aduh, Mas. Ini jauh, Masnya harus naik bus dua kali baru sampai. Memang mau cari siapa?” Tanya Teman Mikaila.“Saya di
Setelah meninggalkan rumah Mikaila, Rendy membawa mobil melaju menuju sebuah kafe kecil yang sering menjadi tempat berkumpulnya dia dan Rio. Sepanjang perjalanan, keduanya terdiam, namun suasana di dalam mobil terasa berat oleh pikiran dan emosi Rendy yang sulit ditebak.Begitu mereka tiba di kafe, Rendy memesan kopi hitam tanpa gula, sedangkan Rio memilih es teh manis. Keduanya duduk di pojok ruangan yang sepi, memastikan tak ada yang menguping pembicaraan mereka.“Kamu serius mau melibatkan dia?” Rio akhirnya memecah keheningan.Rendy menatap cangkir kopinya dalam-dalam sebelum menjawab, “Ini bukan cuma tentang melibatkan. Ini tentang menunjukkan kepadanya, bahwa apa yang dia nikmati selama ini adalah hasil dari penderitaan orang lain. Ayahnya menghancurkan hidupku, hidup ibuku, dan aku akan memastikan dia tahu siapa sebenarnya Rudi.”Rio menghela napas panjang. “Tapi, Mika nggak bersalah. Dia nggak tahu apa-apa soal masa lalu kalian. Kamu yakin ini cara yang tepat?”Rendy tersenyum
“Kamu serius daftar jadi donatur di sekolah dia?” tanya Rio kaget saat melihat Rendy baru saja pulang dari sekolah Mikaila dan meminta Rio menjemputnya.“Jelas! Kalau nggak gitu, kapan aku ada alasan ketemu dia? Setelah ini, dia mungkin akan berpikir aku cowok tajir yang bisa dia porotin. Aku yakin, sikapnya gak beda jauh kayak ayahnya. Matre!”“Sudah dipastikan belum tuh? KHawatir aku kalau kamu jatuh cinta sama dia.”“Dih, otak kamu jauh mikirnya!”Rendy menatap jalanan yang cukup padat. Hari ini memang dia merasa begitu menggebu ingin membuat Rudi jatuh sejatuh jatuhnya. Dia ingin dekat dengan Mikaila dan menunjukan siapa wajah lelaki yang selama ini digadang sebagai ayah terbaiknya.“Gimana kerjaan Mbak Rianti? Ada masalah?”“Nurul bilang sih, oke. Dia bisa belajar banyak hal.”“Baguslah! Dia memang harus belajar banyak hal. Apalagi jika nanti kembali pada keluarga Mama. Mam akan senang dengan apa yang aku lakukan dan tentu, sebelum itu aku harus persiapkan semua matang matang.”“
“Paket atas nama Ibu Susianti,” panggil kurir dari depan pintu kosan.Susi yang sedang melipat pakaian pun berdiri dan menghampiri.“Buat saya, Pak?” tanya Susi.“Ibu, Ibu Susianti?”“Ya. Tapi saya nggak pesan paket.”“Dari pengadilan agama, Bu. Kayaknya surat panggilan,” jawabnya memberikan surat itu.“Oh iya. Makasih ya, Pak.”Susi membawa amplop coklat itu dan membukanya di dalam. Ada perasaan tak sabar juga gemetaran saat membuka map itu. Nama pengadilan agama jelas terkait pendaftaran perceraiannya yang dulu pernah coba dia ajukan.“Kok cepet?” batin Susi saat membaca panggilan sidang pertama. DIa waktu itu hanya berniat mendaftarkan saja. Belum sempat mencari pengacara dan dia tak menyangka, dia telah mendapatkan surat panggilan.“Semoga ini yang terbaik untukku ya, Rabb.”Rendy datang saat surat panggilan itu baru selesai di baca. Lelaki itu tampak membawa martabak coklat kesukaan Susi katanya.“Aromanya udah tahu siapa yang datang,” ucap Susi sebelum menengok.“Padahal mau ak
Setelah tangis mereka reda, Susi masih berlutut di depan Mustika, menggenggam erat tangan ibunya. Hatinya terasa penuh dengan kehangatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Seumur hidup ia berpikir tak punya siapa-siapa, dan kini, ada sosok ibu di depannya dan seorang adik di sampingnya."Maafkan aku lama sekali pulang, Ma," bisik Susi dengan suara bergetar.Mustika menggeleng pelan. "Bukan salahmu, Nak. Mama yang seharusnya mencari lebih keras. Mama nggak pernah berhenti berdoa supaya kamu ditemukan dalam keadaan selamat. Tapi lelaki itu memanipulasi semuanya dan kita jadi terpisah lama."Susi mengangguk, air matanya masih berlinang. Ia lalu meraih tangan Mustika dan menciumnya penuh haru. "Aku di sini sekarang, Ma. Aku nggak akan pergi lagi."Rendy tersenyum di samping mereka. "Akhirnya, keluarga kita utuh lagi."Rendy merasa semua ini berhasil. Tak ada yang meleset dari dugaannya. Dibantu teman temannya juga, dia bisa dengan mudah mengumpulkan bukti dan mengungkap semua kejaha
“Mbak, ada gambaran keinginan nggak?”Susi mengernyitkan keningnya, lalu melanjutkan aktivitas nya. “Mbak.”“Gak ada, bisa kerja dengan baik sama kamu aja udah bagus. Cari apa lagi?”“Mau aku kenalkan sama keluarga aku gak?”Susi menghentikan aktivitas nya, mencuci tangan lalu menyangga wajah dengan kepalanya melihat Rendy yang sepagi ini sudah bertanya hal aneh.“Mendadak banget pengin ngenalin,” kekehnya.“Serius, Mbak. Mungkin mbak lupa sesuatu yang dulu pernah mbak rasakan.”Susi menatap Rendy dengan bingung. “Kenapa tiba-tiba ngomong soal kenalan sama keluarga? Ada apa?”Rendy menelan ludah, jelas terlihat gelisah. “Sebenarnya... ada seseorang yang pengin banget ketemu Mbak. Dari dulu.”Kening Susi mengernyit. “Siapa?”Rendy menghela napas panjang. “Ibuku.”Susi menegakkan punggungnya, menatap Rendy lebih intens. “Ibumu? Kenapa ibumu mau ketemu aku? Kita bahkan belum pernah kenal.”Rendy tersenyum hambar. “Ada sesuatu yang kamu nggak tahu, Mbak. Ibuku... pernah kehilangan anakny
Yogi terduduk lemas di kursi, kepalanya tertunduk dalam. Dunia yang dia pikir sudah sempurna setelah mencampakkan Susi dan menikahi Monica, kini berantakan di depan matanya. Bayi yang dia banggakan, yang dia yakini sebagai penerus namanya, ternyata bukan anak kandungnya. Dan Monica—wanita yang dia bela mati-matian di hadapan ibunya—bahkan tak tahu siapa ayah dari bayi itu.Rendy menyeringai puas, lalu berbalik menuju pintu. Namun sebelum keluar, dia menoleh dan berkata dengan nada penuh sindiran, “Nikmati hidupmu, Yogi. Oh ya, jangan lupa—anakmu bukan anakmu.”Pintu tertutup dengan bunyi klik pelan, meninggalkan keheningan mencekam di dalam ruangan. Monica meremas ujung selimut dengan wajah penuh air mata. “Mas Yogi… aku nggak pernah bermaksud begini. Aku benar-benar nggak tahu…”“Kapan kau selingkuh?” Yogi menatapnya tajam. Matanya memancarkan amarah yang sudah tak bisa dia bendung lagi. Kali ini dia benar benar sudah tidak bisa bersikap sabar. Semua bukti yang diberikan Rendy sanga
Rendy sudah menyiapkan kejutan besar untuk Yogi dan Monica. Kali ini, kejutan itu akan membuat Yogi pasti menyesal sudah membuang Susi sebagai istrinya. Dia menemui Alfa, meminta tes DNA anak Monica yang baru saja dilahirkan belum lama ini.“Gimana hasilnya?” tanya Rendy.“Negatif, dia bukan anak Yogi. KIta akan uji dengan sample darah siapa?” tanya Alfa.“Baj!ngan itu. Aku yakin, bajingan itu yang menghamili Monica.”Alfa mengangguk. Dia akan melakukan itu dengan mudah karena sekarang ini Rudi sedang berada di sel tahanan. Dia hanya perlu meminta petugas kesehatan lapas untuk mengambil sampel darah dan rambut, lalu pengecekan akan dimulai dari 3 hari ini.Rendy kembali beraktivitas seperti biasa. Ibunya yang sudah mulai ceria karena sudah mendapatkan hiburan baru di rumah, dia juga sudah mulai lega karena masalah sudah mulai clear. Tinggal dia membereskan urusan kakaknya yang tak lain adalah Susi.“Gimana kerjaan hari ini, Mbak?” tanya Rendy.“Biasa, gak ada yang berubah. Kamu nih ya
Asri berjalan gontai keluar ruangan, sesekali menyeka air mata yang terus jatuh tanpa bisa ia hentikan. Langkahnya terasa berat, seolah ada ribuan beban yang menekan pundaknya. Bayangan Meysila, anaknya yang kini terbaring koma di rumah sakit, terus menghantui pikirannya. Ia tidak bisa kehilangan anaknya. Tidak peduli betapa hancurnya harga dirinya saat ini, ia harus bertahan.Rendy menutup pintu kamar dengan kasar, menatap ibunya yang tampak kelelahan. Mustika masih berbaring di ranjang rumah sakit, matanya terpejam, tetapi Rendy tahu pikirannya terus bekerja.“Mama yakin dengan keputusan ini?” Rendy bertanya dengan nada hati-hati.Mustika membuka matanya perlahan. “Mama tidak yakin, Nak. Tapi mama tahu satu hal—jika mama memilih untuk membiarkan dia dipenjara, itu tidak akan mengubah apa pun. Keluarganya tetap akan menderita, anaknya tetap akan kesulitan. Dan itu tidak akan membuat kita lebih bahagia.”“Tapi, Ma… bagaimana kalau dia berkhianat lagi?” Rendy masih belum bisa menerim
Mustika menatap selang infus yang menempel di tangannya. Dia tahu, tubuhnya tak sekuat itu mengetahui kabar yang mengejutkan, menyaksikan sendiri suaminya berlaku tak sebenarnya. Dia menengok pada Rendy yang setia menemaninya.“Rendy.”Rendy yang memang tidak tidur langsung mendongak dan mendekat saat sang ibu memanggilnya.“Mama sudah bangun, syukurlah. Mama haus?”“Apa Rudi sudah dihukum dengan berat?” tanyanya serak.“Sudah, polisi sedang menindak lanjuti urusan ini. Mama harus sehat, ya?”Saat ini, pikiran Mustika sangatlah tidak fokus. Dia benar benar merasa bersalah pada anak anaknya yang selama ini dia abaikan. Air mata kembali merembes, bahkan dia terus menyalahkan dirinya sendiri yang tak peduli pada anak anaknya.“Maafkan Mama, Rendy.”Rendy tersenyum, lalu mengusap tangan sang ibu.“Mama jangan terus menyalahkan diri sendiri, semua sudah diatur oleh Sang Maha Pencipta. Mama harus sehat, mama harus kuat agar nanti mama sendiri yang akan jemput Kak Rianti.”“Rianti? Di mana d
Semua yang Rendy tunjukkan membuat Mustika berada di ambang kehancuran. Pikirannya terus berputar, mengingat saat-saat dia percaya sepenuhnya pada Rudi, lelaki yang kini terbukti sebagai dalang dari semua penderitaannya. Dia bahkan melihat bukti yang sudah lama Rendy kumpukan, lalu mengucap istighfar berkali kali.Mustika mengusap wajahnya, air mata terus mengalir tanpa henti. "Bagaimana mungkin, Rendy? Bagaimana mungkin aku selama ini buta?" suaranya bergetar, seolah berbicara pada dirinya sendiri."Mama terlalu percaya padanya," Rendy berkata tenang namun tegas, "tapi sudah saatnya kita buka matanya, Ma. Kita harus hancurkan dia. Dia melakukan ini agar keluarga aslinya hidup sejahtera dan mama dijadikan ATM berjalannya. Dia singkirkan Rendy agar dia bisa mengendalikan semua. Mama ingat kecelakan yang menimpa aku dan kakak? Dialah penyebabnya.Mustika mendongak, hampir tak percaya. Tapi bukti yang dibawa Rendy lengkap dan tentunya valid untuk dipertanggungjawabkan. Dia menatap Rendy
Asri melangkah mendekat, wajahnya pucat karena amarah dan kebingungan. “Mas Rudi, selama ini aku diam, aku sabar. Tapi kamu malah mempermalukan keluargamu seperti ini? Apa kamu tidak berpikir apa-apa?”“Bukan begitu, Asri. Aku hanya ingin—” Rudi mencoba menjelaskan, tapi Asri memotongnya.“Kamu ingin apa? Menambah istri lagi? Menambah masalah? Bukankah aku sudah cukup menderita dengan penyakit ini? Sekarang kamu malah mempermainkan perasaan Mika juga?!” Suaranya mulai meninggi, matanya berkaca-kaca.“Dia salah, dia hamil duluan dan kamu sebenarnya tidak becus menjadi seorang ibu!” ucap Amora.“Jaga bicaramu!” Asri hendak memukul Amora, tapi tangannya dicegah oleh Rudi.Amora tersenyum, dia merasa senang karena mendapatkan pembelaan.“Mas!!”“Sudahlahlah, Asri. Jangan buat ribut, kita selesaikan ini di rumah.”“Gak akan! Aku benci kamu, Mas!”Amora tak senang dengan suasana ini. Dia pun maju, berkacak pinggang di depan Asri. “Mbak ini terlalu sok suci, merasa paling bener, kalau ada y
Mikaila celingukan. Kali ini dia mencari orang yang tentunya mengiriminya pesan. Bahkan, dia tak tahu siapa dia. Tak ada photo profil, bahkan tak ada nama kontak itu di ponselnya.“Di mana sih itu orang?”Mikaila menghubungi nomor baru itu, sayang tak diangkat angkat. Namun, matanya teralihkan oleh sesuatu yang ada di depannya.“Papa?”Mikaila membelalak. DIa tak menyangka ayahnya ada di cafe itu bersama wanita yang bukan ibunya. Alasannya selalu sibuk di luar karena pekerjaannya begitu banyak. Namun, ternyata ayahnya dengan wanita lain di sana.Mikaila mendekat, lalu menggebrak meja. Membuat Rudi kaget dengan apa yang dilakukan anaknya itu.“Mika? Ka-mu kenapa di sini? Kamu tak sekolah?” berondong Rudi.Di sampingnya, Amora sedang membahas tentang banyak hal. Dia juga kaget, tapi sudah tahu siapa Mikaila. Hanya saja, Rudi tak pernah memperkenalkan dia sebagai anak. Hanya sebatas tahu saja dari kontak yang sering memanggilnya.“Papa ngapain sama dia? Papa katanya sibuk di luar kota,