“Kamu serius daftar jadi donatur di sekolah dia?” tanya Rio kaget saat melihat Rendy baru saja pulang dari sekolah Mikaila dan meminta Rio menjemputnya.“Jelas! Kalau nggak gitu, kapan aku ada alasan ketemu dia? Setelah ini, dia mungkin akan berpikir aku cowok tajir yang bisa dia porotin. Aku yakin, sikapnya gak beda jauh kayak ayahnya. Matre!”“Sudah dipastikan belum tuh? KHawatir aku kalau kamu jatuh cinta sama dia.”“Dih, otak kamu jauh mikirnya!”Rendy menatap jalanan yang cukup padat. Hari ini memang dia merasa begitu menggebu ingin membuat Rudi jatuh sejatuh jatuhnya. Dia ingin dekat dengan Mikaila dan menunjukan siapa wajah lelaki yang selama ini digadang sebagai ayah terbaiknya.“Gimana kerjaan Mbak Rianti? Ada masalah?”“Nurul bilang sih, oke. Dia bisa belajar banyak hal.”“Baguslah! Dia memang harus belajar banyak hal. Apalagi jika nanti kembali pada keluarga Mama. Mam akan senang dengan apa yang aku lakukan dan tentu, sebelum itu aku harus persiapkan semua matang matang.”“
“Tagihan apa lagi ini?” teriak Yogi.Yogi melempar kertas tagihan yang diterimanya ke hadapan Susi dengan kasar. Bahkan saking kerasnya sampai membuat Susi kaget dan tak habis pikir dengan kebiasaan suaminya yang selalu marah ketika dia minta uang untuk membayar tagihan yang harus dibayarkan.“Itu tagihan Wifi, Mas. Mas sendiri yang kekeh pasang saat itu, ini tagihannya,” jawab Susi.“Kan aku hanya bilang ingin, kenapa langsung ada kertas tagihannya tanpa aku tahu pemakaiannya? Lagian selama ini aku pakai kuota biasa. Kamu yang pakai berarti kamu yang bayar!” Wanita yang sudah dinikahi selama 5 tahun itu hanya bisa menghela nafas panjang, karena uang bulanan yang dia dapatkan selalu memiliki nominal yang sama, bahkan jika ada tagihan dengan nominal lain dan banyak dia harus menambahkan sendiri. "Mas, aku uang dari mana? Tiap hari jatah selalu tombok, bukannya cukup dan bisa nabung, ini malah jadi tombok.”“Ah, nggak usah perhitungan jadi istri. Kita kan belum ada banyak tanggung
Sehari dua hari, bak setahun menunggu malam menjelang. Ada saja yang dilakukan Marni untuk merepotkan Susi. Bahkan, malam saja kadang masih diganggu untuk menemani tidur. Dengan alasan pegal, kadang Susi diminta memijat sampai ketiduran.Pagi ini Yogi pergi lebih awal. Susi yang baru selesai mandi menghela napas panjang saat mendengar suara ibu mertuanya yang memanggil dengan suara keras."Susi!"Dengan langkah pelan, Susi yang sedang di kamar pun Gegas keluar."Apa sih, Bu?""Uang!""Uang? Buat apa?""Nova anaknya sakit, Ibu pinjam buat pegangan di sana.""Ibu mau ke sana?" tanya Susi."Iya sebentar, masa datang hanya merepotkan.""Nggak ada, Bu.""Masa? Kemarin ibu lihat, kamu bawa uang dari pengajian.""Itu uang arisan, besok jatah Susi di rumah ini.""Ya udah, itu aja.""Itu aja apanya?""Pake itu, ntar Ibu bilang ke Yogi buat gantiin. Buruan! Ojek udah nunggu!""Tapi, Bu …""Ish, nanti Ibu ganti!"Terpaksa Susi memberikan uang itu. Tadinya hanya seratus ribu, tapi diminta semua k
Bisnis Yogi memang sangat lumayan beromset. Yogi kini membuat banyak sekali usaha yang masing-masing berada di tempat ramai di sekitar kawasan kota. Hari-hari Yogi selalu sibuk dengan pekerjaan bahkan kadang tidak sampai memperhatikan Apa yang dilakukan oleh sang istri dan ibunya di rumah. Keluhan demi keluhan diabaikan seolah-olah itu adalah hal biasa dan Susi semakin tidak sabar dengan kelakuan mertuanya yang menjadi-jadi."Kayaknya sibuk banget akhir akhir ini nih, Mas. Tambahin uang belanjanya, boleh kan? Ya," ucap Susi dengan senyum lebarnya. Berharap kamu juga baik hati untuk menambahkan uang belanja yang selalu pas pasan."Tambah tambah! Ini bakalan buat beli beli kebutuhan dan modal untuk usaha. Memangnya usaha nggak harus modal apa? Mas ini mau bikin cabang lagi buat di daerah depan kampus sama pasar.""Sedikit ya?""Gak ada!""Ya sudah, izin kan bekerja di luar kalau begitu. Aku benar-benar Butuh tambahan uang, kamu pelitnya nggak ketulungan!" geram Susi."Ngapain? Kamu mau
Pagi itu, Susi bangun dengan kepala berat. Perasaan gelisah sejak malam masih membebani pikirannya. Yogi yang pulang larut, sindiran Marni yang semakin menekan, dan masalah keuangan yang selalu pas-pasan, membuat beban pikirannya semakin bertumpuk. Selain itu, masalah anak yang tak kunjung datang juga terus menghantui pikirannya. "Jangan-jangan suamimu itu sudah mulai bosan sama kamu..." Ucapan Marni semalam terus terngiang di telinganya. Walau Susi tahu bahwa mertuanya kerap bicara sembarangan, kali ini perasaan ragu menghantuinya lebih dalam. Di meja makan, Marni sudah duduk sambil menyesap kopi pagi. Tangannya sibuk membersihkan meja yang sudah jelas-jelas bersih. Entah apa yang membuat Marni melakukan itu, yang jelas semuanya jadi serba salah di matanya. “Anak Ibu nggak bawa bekal lagi ya? Apa kamu nggak sempat masak buat dia?” Marni memulai percakapan tanpa menoleh. Lagi lagi karena bekal masakan. Susi menahan diri agar tidak terpancing. "Nggak keburu, Bu," jawabnya singka
"Yang penting Ibu senang, kamu juga tenang dan gak ada masalah. Pindah kan lebih bagus, siapa tahu ...""Punya anak? Gitu kan yang Mas maksud?"Susi tahu, suaminya juga menginginkan seorang anak tetapi selama ini suaminya jarang sekali mau pergi tentang itu. Tapi setelah mertuanya pindah dan ikut tinggal di sini, suaminya Jadi terlihat aneh dan berbeda."Aku sedang malas berdebat dan aku sedang memikirkan ini biar kamu bisa lebih nyaman jadi istriku. Jadi jangan protes karena semua yang aku lakukan itu demi kebaikan kamu," ucap Yogi seraya pergi meninggalkan kamar. Malam mulai larut, tapi Susi masih terjaga di tempat tidur, menunggu kepulangan Yogi. Sudah berhari-hari suaminya pulang terlambat, bahkan tanpa memberitahu alasan jelas. Meskipun malam ini terjadi keributan tetapi Susi merasa suaminya terlihat aneh. Selalu saja ada alasan pekerjaan, tetapi Susi merasa ada sesuatu yang salah. Selalu ada bahan keributan dan membuat dia tidak tenang jika suaminya pergi. Ketika Yogi akhirnya
Surat Perjanjian Pernikahan dan HakAntara: Yogi Arindra dan Amora PutriDengan kesadaran penuh dan tanpa adanya paksaan dari pihak mana pun, kedua belah pihak yang bertanda tangan di bawah ini menyepakati ketentuan berikut:1. Kesepakatan Menikah Jika Amora Hamil:Yogi Arindra berjanji untuk menikahi Amora Putri jika dalam kurun waktu enam bulan setelah perjanjian ini dibuat, Amora dinyatakan hamil dengan bukti medis resmi.Jika Amora tidak hamil dalam jangka waktu tersebut, Yogi dibebaskan dari kewajiban untuk menikahi Amora dan hubungan keduanya dianggap selesai tanpa tuntutan hukum lebih lanjut.2. Hak Amora:Jika Amora hamil dan pernikahan berlangsung, Yogi berkewajiban:a. Memberikan nafkah sebesar Rp25 juta per bulan kepada Amora dan calon anaknya.b. Menyediakan tempat tinggal terpisah dari rumah orang tua Yogi.c. Memastikan Amora dan anak mereka mendapatkan asuransi kesehatan penuh.3. Pembagian Aset:Jika terjadi perceraian setelah pernikahan, Amora berhak atas 30% aset yan
Yogi menyeringai sinis. "Kamu bilang apa tadi? Cerai? Susi, kamu bercanda kan?"Di ruang tamu yang penuh dengan barang-barang setengah terkemas, suasana memanas. Susi berdiri tegak di depan koper yang sudah ia rapikan, sementara Yogi menatapnya dengan sorot mata meremehkan, dan Marni berdiri di belakang anaknya seperti benteng pendukung.Susi mendengus, mencoba menahan marah. "Aku serius, Mas. Aku minta cerai. Aku gak tahan lagi hidup kayak gini. Kamu sudah melenceng jauh."Yogi mengangkat alis, lalu tertawa, seolah Susi baru saja mengatakan hal paling konyol di dunia. "Kamu pikir cerai itu solusi? Kamu gak bakal bisa hidup tanpa aku, Susi. Kamu tuh gak punya apa-apa."Marni langsung menimpali, "Benar tuh, Susi. Kamu mau kemana? Keluar dari rumah ini, kamu gak punya siapa-siapa.""Kalian lupa aku punya Allah? Allah nggak tidur, nggak akan pernah biar kan hambanya mati kelaparan!""Sombong!" decih Marni.Susi balas menatap keduanya, tangannya mengepal di sisi tubuh. "Aku lebih baik jad
“Kamu serius daftar jadi donatur di sekolah dia?” tanya Rio kaget saat melihat Rendy baru saja pulang dari sekolah Mikaila dan meminta Rio menjemputnya.“Jelas! Kalau nggak gitu, kapan aku ada alasan ketemu dia? Setelah ini, dia mungkin akan berpikir aku cowok tajir yang bisa dia porotin. Aku yakin, sikapnya gak beda jauh kayak ayahnya. Matre!”“Sudah dipastikan belum tuh? KHawatir aku kalau kamu jatuh cinta sama dia.”“Dih, otak kamu jauh mikirnya!”Rendy menatap jalanan yang cukup padat. Hari ini memang dia merasa begitu menggebu ingin membuat Rudi jatuh sejatuh jatuhnya. Dia ingin dekat dengan Mikaila dan menunjukan siapa wajah lelaki yang selama ini digadang sebagai ayah terbaiknya.“Gimana kerjaan Mbak Rianti? Ada masalah?”“Nurul bilang sih, oke. Dia bisa belajar banyak hal.”“Baguslah! Dia memang harus belajar banyak hal. Apalagi jika nanti kembali pada keluarga Mama. Mam akan senang dengan apa yang aku lakukan dan tentu, sebelum itu aku harus persiapkan semua matang matang.”“
Setelah meninggalkan rumah Mikaila, Rendy membawa mobil melaju menuju sebuah kafe kecil yang sering menjadi tempat berkumpulnya dia dan Rio. Sepanjang perjalanan, keduanya terdiam, namun suasana di dalam mobil terasa berat oleh pikiran dan emosi Rendy yang sulit ditebak.Begitu mereka tiba di kafe, Rendy memesan kopi hitam tanpa gula, sedangkan Rio memilih es teh manis. Keduanya duduk di pojok ruangan yang sepi, memastikan tak ada yang menguping pembicaraan mereka.“Kamu serius mau melibatkan dia?” Rio akhirnya memecah keheningan.Rendy menatap cangkir kopinya dalam-dalam sebelum menjawab, “Ini bukan cuma tentang melibatkan. Ini tentang menunjukkan kepadanya, bahwa apa yang dia nikmati selama ini adalah hasil dari penderitaan orang lain. Ayahnya menghancurkan hidupku, hidup ibuku, dan aku akan memastikan dia tahu siapa sebenarnya Rudi.”Rio menghela napas panjang. “Tapi, Mika nggak bersalah. Dia nggak tahu apa-apa soal masa lalu kalian. Kamu yakin ini cara yang tepat?”Rendy tersenyum
Rendy menuju ke sebuah tempat di mana Rudi biasa datang. Seorang gadis berseragam putih abu terlihat tertawa dengan teman temannya di depan gerbang sekolah nya. Menunggu jemputan seperti biasanya. Dialah Mikaila Rudi. Anak kesayangan Rudi yang selama ini hidupnya penuh kemudahan dan kebahagiaan karena sang ayah memenuhi semua kebutuhan hidupnya.“Dia?” tanya Rio.“Ya. Gadis itu hidup dengan kemudahan yang dibuat bedebah itu, dia buah cinta yang hadir sebelum menikahi ibuku. Dia juga alasan lelaki itu menjadi tamak,” ucap Rendy sinis.“Apa yang akan kamu lakukan padanya?”Rendy tak menjawab. Dia turun, tak jauh dari sana. Dia mendekat pada tiga gadis itu, lalu tersenyum pada mereka semua.“Ladies, tahu alamat ini gak?” tanya Rendy sopan, manis dan tentu saja wajahnya yang tampan mampu membius para gadis di sana.Mereka menengok ke alamat yang sengaja Rendy tunjukkan.“Aduh, Mas. Ini jauh, Masnya harus naik bus dua kali baru sampai. Memang mau cari siapa?” Tanya Teman Mikaila.“Saya di
“Hai, Ren,” sapa Susi di kantin kantor. “Tumben makan di sini?”“Sengaja nunggu Mbak keluar. Udah makan?”“Kalau udah makan, nggak akan juga di sini sekarang.”“Iya sih, aku udah pesan makanan. Tinggal ambil aja!”“Seriusan? Buat aku?”“Kalau Mbak ajak teman, teman Mbak juga aku traktir.”“Wah, ini luar biasa,” ucap Susi.Susi merasa bahagia dan dia pun menyantap makan siangnya berdua dengan Rendy. Dia pun merasa selalu beruntung jika bersama Rendy karena dia merasa lelaki itu selalu baik dan memperlakukan dia dengan sangat baik.“Kayaknya kamu sering pergi sama Pak Bos ya?” tanya Susi.“Ya, ini juga mau pergi lagi. Dia masih di ruangan?”“Masih, baru selesai meeting sama Bu Nurul tadi dan petinggi lain. Kamu nggak ikut rapat?”“Ikut, via darring.”Susi terkekeh, lalu menyeruput minumannya. “Mana ada rapat daring? Ini kan rapat mingguan. Semua karyawan dan bukan rapat dengan client. AKu kira kamu ikut.”“Iya, aku darring. Di mobil,” jawab Rendy yang malah dikira Susi sebagai lelucon
“Hasilnya bagaimana?” tanya Rendy pada Alfa–temannya yang bekerja sebagai Dokter di rumah sakit tempat dia dan Susi datangi.“Sama, memang ada kemiripan di sampel darah Bu Mustika dan Susi. 98% dan kemungkinan besarnya memang anak kandung,” ucap Alfa.“Sudah aku duga. Dia anak Mama yang sudah lama hilang itu. Aku udah feeling pas liat tanda lahir di tangannya. Hanya Mama yang ingat karena pernah berkata jika Kak Rianti memiliki tanda lahir yang sama dengan ibunya, yaitu di tangannya.”“Kok kamu bisa ingat dan tahu? Memang dengar atau ibumu cerita?”“Ya nggak, tapi Mama pernah keceplosan saat aku tanya kenapa tangan mama ada hitam di bagian sikunya. Jadi, iseng pengin tahu apa sama nggak pas ketemu Mbak Susi. Nyatanya, memang benar dan aku sampai nggak percaya saat ini.”“Ini keajaiban dan kakakmu dipertemukan kembali denganmu dalam keadaan keluarga kamu yang begini. Apa ini sebuah jawaban atas doa doamu dulu yang sering menangis itu?”“Tentu saja. Bajingan itu, sudah membuat Mama m
Keesokan harinya, Rendy sudah menyiapkan motornya di depan kosan Susi. Rendy mengetuk pintu kos Susi dengan semangat. Dia sudah bersiap untuk pergi. “Mbak Susi, ayo! Jangan lama-lama, nanti antre panjang!” teriaknya dari luar.Pintu terbuka pelan. Susi muncul dengan wajah setengah ngantuk dan rambut masih berantakan. “Mas, aku belum sarapan. Kalau pingsan, tanggung jawab ya!” katanya sambil mengusap wajahnya.“Astaga, aku kira udah bangun dari tadi.” Kekeh Rendy.“Mas, ini pagi banget. Aku sampai lupa sarapan,” keluh Susi sembari mengunci pintu. “Nggak apa-apa, nanti mampir beli roti di jalan,” jawab Rendy santai. “Donor darah itu nggak berat kok, asal Mbak fit dan nggak telat makan.”“Ya ampun, Mas! Katanya penting, tapi malah nggak disuruh sarapan dulu,” Susi mengomel kecil.“Kan aku nggak nyuruh Mbak buru-buru keluar,” balas Rendy sambil tertawa. "Hm." "Sorry." ucap Rendy dann Ia segera memberikan helm dan memberikan motornya menuju rumah sakit.Sepanjang perjalanan, mere
“Lembur lagi, Mas?” tanya Mustika pada suaminya.“Ya biasa, memangnya kerjaanmu? Tiap hari rebahan saja.”“Kalau aku nggak sakit, aku juga akan memilih kerja daripada jadi beban kamu, Mas.”Sudah biasa Mustika menghadapi sikap semaunya sang suami. Namun, kadang Mustika juga heran kenapa sikap suami berubah ubah. Kadang baik, kadang juga ketus seperti sekarang.“Apa yang membuatmu tak bisa sabar dengan hari ini?” tanya Mustika saat suaminya selesai mandi dan duduk di sampingnya.“Kerjaan sedang berantakan. Kolega dan teman bisnis sepertinya menipu kita.”“Menipu? Menipu bagaimana?”“Kita minus banyak, Tika. Milyaran dan sepertinya, perusahaan kali ini drop.”“Lagi? Masa harus jual rumah agar bisa me_”“Aku nggak bilang begitu, aku hanya menjawab pertanyaanmu dan tak meminta kamu menjual rumah ini. Jadi, jangan memancing keributan.”Mustika diam. Dia tahu, suaminya sensitif sekali masalah pekerjaan dan dia tahu, setiap masalah yang timbul dia tak akan diperkenankan untuk ikut campur. Ha
“Ibumu ini banyak maunya, Mas,” ucap Amora kesal. Yogi hanya mendesah pelan, tahu jika istrinya tak suka jika sang ibu memintanya pulang.“Kenapa sih? Udah, nggak usah dibawa emosi.”“Emosi lah! Ibumu kan nggak pernah mau ngerti keadaan di sini. Udah tahu aku hamil, kerja dan harus mengurus semua hal. Dia malah minta kamu tinggal di sana. Bilang aja kalau dia mau tinggal di sini,” gerutu Amora.“Ya sesekali berkunjung kan gak papa? Salahnya di mana?” tanya Yogi heran.Setiap kali Ibunya meminta izin datang, Amora selalu menolak. Hanya boleh datang jika bersama dengan Yogi dan itu terkesan aneh. Sedangkan Yogi saja tak diperbolahkan untuk pulang.Yogi menghela napas berat, merasa terjepit di antara keinginan ibunya dan kemarahan istrinya. "Amora, coba deh lihat dari sisi lain. Ibu kan juga kangen sama aku. Lagi Pula, kalau dia tinggal di sini, kamu juga pasti nggak betah," ucap Yogi sambil menatap istrinya yang masih sibuk membereskan riasan make upnya.Amora mendengus. "Kamu itu nggak
“Mas, ada kabar dari Rendy?” tanya Mustika sedih.“Anakmu itu tak pernah ada kabar lagi Tika, dia benar benar tak bisa diandalkan. Jadi berhenti cari dia,” ucap Rudi–ayah tiri Rendy.“Tapi, Mas_”“Sudahlah, yang penting dia tak mengganggu bisnis kita lagi.”“Kamu sih kalau ada sama dia, berantem terus. Dia jadi takut mau pulang.”“Mungkin dia sudah mengaku kalah dan mungkin mengalah.” Mustika terlihat pasrah.“Mengalah? Tak mungkin, dia pasti sedang merencanakan hal besar untuk balas dendam sama aku karena dia tidak aku berikan jabatan di perushaanmu, Tika.”Mustika jadi bingung, dia juga tak tahu Rendy di mana. Namun, dia juga tak bisa memaksa Rendy untuk kembali. Asal sudah mendengar kabarnya baik baik di luar sana, Mustika sudah senang. Rendy hampir saja membuat perusahaannya bangkrut saat itu sehingga membuat suami barunya murka dan menurunkan jabatan Redy. Hanya saja, ketika ditanya keberadaan tentu Rendy tak pernah mengatakan ada di mana sekarang ini.“Bisnis kamu lancar, kan,