Wisnu masuk kamar Rasyid. Di usia Rasyid yang menginjak remaja, Wisnu dan Arini masih tinggal di rumah Ratih. Mereka ingin menjaga sang mama dan merenovasi rumah itu untuk menambah kamar untuk kedua anak mereka. Pria itu duduk di tepi ranjang anaknya. Rasyid duduk di meja belajarnya sambil membaca buku pelajaran. "Besok ada ulangan enggak, Syid?" tanya Wisnu memperhatikan anak itu membaca buku. Dia ingin bicara empat mata dengan anak itu saat itu juga. "Enggak ada sih, Pa, ada apa?" tanya Rasyid yang sebenarnya sudah tahu tujuan Wisnu masuk ke kamarnya. "Duduk sini dulu, dong!" Wisnu menepuk ranjang di sebelahnya. Rasyid bangkit dan berpindah tempat duduk menuruti perintah Wisnu. Dia pun duduk di sebelah papanya. Malam itu Rasyid belum siap mendengar kabar buruk tentang dirinya. "Papa mau tanya sesuatu. Tadi siang kamu ketemu siapa? Siapa yang bilang kalau kamu bukan anak kandung Papa?" tanya Wisnu dengan hati-hati agar tidak menyinggung perasaan anaknya. "Ada orang yang engga
"Saya hamil anak dari Mas Gilang, Tante. Mas Gilang harus tanggung jawab!" ucap seorang perempuan bermata sayu, sambil menahan air mata yang membendung.Perempuan itu adalah Arini. Ia hamil setelah mahkotanya direnggut Gilang, kekasih sekaligus bosnya di perusahaan tempatnya bekerja.Arini memberanikan diri bicara jujur pada Widia–mamanya Gilang dengan memberikan surat dari dokter yang menyatakan jika Arini sedang hamil. Dia datang bersama Ratih–mamanya Arini.Namun, ibunya ia paksa untuk menunggu di depan gerbang. Arini tahu, ibunya pasti akan emosional melihatnya berbicara dengan Gilang dan ibunya."Tidak mungkin! Gilang itu anak baik-baik. Dia tidak mungkin tidur sembarangan dengan perempuan seperti kamu, yang cuma karyawan rendahan. Benar kan, Gilang?" Widia menoleh pada anaknya."Iya, Ma, pasti Arini hamil karena tidur dengan pria lain, dan bilang itu anakku supaya dia bisa minta aku buat bertanggung jawab dan menikah dengannya?" ucap Gilang mengiyakan ibunya. Namun, dari wajahn
"Nak Wisnu mau menikah dengan Arini? Ini Ibu enggak salah denger, kan?"Ratih terpana mendengar ucapan Wisnu. Ternyata masih ada orang baik yang mau bertanggung jawab untuk kesalahan yang tidak pernah dia lakukan."Iya, saya akan menikahi Arini, bertanggung jawab pada janin yang ada dalam rahimnya dan akan menjaganya seumur hidup saya."Ratih menjadi terharu, air matanya mengalir deras. "Nak Wisnu enggak perlu bertanggung jawab dengan Arini seperti ini. Kamu anak baik harus menikah dengan perempuan baik-baik juga." Ratih memegangi tangan Wisnu dan menepuk perlahan."Arini juga perempuan baik, Bu, tapi pasti Gilang itu yang merusaknya, pria seperti itu tidak pantas menjadi suami untuk Arini. Hanya akan membuat Arini semakin sakit hati.""Ibu juga tidak mengharap Gilang menikahi Arini.""Kalau begitu biar saya saja yang menikahi Arini, Bu." Wisnu terus meyakinkan Ratih."Tapi anak itu sudah tidak suci lagi. Apa Nak Wisnu bisa menerima kekurangan Arini?""Saya tidak peduli dengan itu. Sa
"Maaf ya, Mas. Aku membiarkan semuanya biar hubunganku dan Mas Gilang dulu enggak terdeteksi mereka."Wisnu hanya tersenyum mendengar penuturan Arini."Enggak apa-apa. Mas seneng aja dimanfaatkan karena itu jadi seperti doa, kamu jadinya nikah sama Mas.”Arini hanya tersenyum mendengar penuturan laki-laki di depannya ini.Sesampainya di kantor, Arini langsung disambut dengan tatapan sinis dari pada kolega kantornya.Sesampainya di kantor, Arini langsung disambut dengan tatapan sinis dari pada kolega kantornya.“Mbak Arini, kok tiba-tiba nikah gitu sih? Enggak ada kabar-kabar sama kita?”“Iya nih, atau jangan-jangan, terpaksa nikah aja tuh, soalnya…”“Hushh! Mana mungkin wanita sholeh seperti Arini melakukan itu,” ucap salah satunya dengan nada mengejek.Beberapa orang cekikikan menatap Arini yang wajahnya merah menahan malu. Lalu, buru-buru Arini pergi ke mejanya.Dua orang teman satu bagian dengan Arini menghampirinya. Mereka saling bertukar senyuman.“Selamat yaa Rin atas nikahan ka
Pada siang hari di kantor, Gilang memaksa Arini untuk ikut makan siang dengannya. Setelah kemarin rencananya untuk membuat Arini menggugurkan kandungan gagal, kini dia membuat rencana baru. Pria itu merasa sangat kesal dan ingin marah pada Arini kemarin. Kalo ini dia harus bisa memaksa Arini untuk tidak mempertahankan kehamilannya. Gilang mengemudikan mobil ke suatu tempat yang agak sepi di pinggiran kota. Dia belokkan mobilnya ke sebuah hotel kecil yang ada di sisi kiri jalan."Kok ke sini?" tanya Arini dengan perasaan bingung. Dia heran mengapa pria itu malah membawanya ke sebuah hotel kecil. Arini merasa takut Gilang akan melakukan sesuatu yang buruk padanya."Ikut saya turun!" ucap Gilang dengan memaksa.Arini pun mengikuti Gilang masuk ke hotel. Pria itu memesan sebuah kamar untuk mereka. Dia bawa Arini ke kamar itu dan memintanya menunggu sebentar. Gilang keluar dari kamar hotel untuk meminta bantuan dari karyawan hotel untuk membelikan makanan dan minuman untuknya dan Arini.
Pagi hari Arini bersiap akan ke kantor. Dia membuka lemari untuk memilih pakaian. Wisnu melihat itu lalu menghampiri Arini."Kamu mau ke mana, Rin?""Ke kantor, Mas, aku mau kerja."Dahi pria itu berkerut saat tahu istrinya tetap akan ke kantor. "Dokter bilang kamu harus istirahat di rumah. Kandungan kamu lemah, belum boleh banyak gerak dulu."Pria itu ingin Arini lebih memikirkan diri sendiri dan kehamilannya daripada memikirkan pekerjaan. Kondisi kehamilan Arini masih rentan."Aku enggak bisa diem di rumah cuma tidur-tiduran gitu. Rasanya lebih capek."Wisnu menarik lengan Arini lalu mengajaknya duduk di tepi ranjang. Dia harus membuat Arini berubah pikiran agar fokus pada kehamilannya."Lebih baik kamu di rumah ya. Mas takut terjadi apa-apa sama kandungan kamu. Kamu enggak mau kan kehilangan calon bayi kamu?"Arini diam. Apa yang dikatakan Wisnu benar. Dia belum siap kalau harus kehilangan bayinya. Walaupun anak itu tidak diterima oleh ayahnya, dia tidak boleh egois hanya memikirka
Esok paginya, Arini baru keluar dari kamar mandi. Raut wajahnya terlihat panik setelah melihat bercak darah di pakaian dalamnya. Perempuan itu bergegas menuju kamar mencari suaminya. "Mas, pagi ini bisa anter ke dokter kandungan enggak?" Arini terlihat cemas dengan kandungannya. Wisnu terperanjat mendengar ucapan Arini. "Kenapa? Ada yang kerasa sakit?" Pria itu memang bahu Arini dengan perasaan khawatir. Arini menceritakan apa yang baru saja dia alami. Wisnu berpikir sesaat, tidak mungkin dia membawa Arini dengan motor pada kondisi kandungan istrinya yang lemah itu. "Kamu sabar dulu, ya. Mas mau telepon dokter kandungan. Nanti hasilnya Mas kasih tahu kamu." Arini menganggukkan kepala. Namun, dia juga merasa bingung, sejak kapan suaminya bisa dengan bebas menelepon dokter kandungan.Wisnu meraih ponsel di atas nakas. Dia cari nomor telepon dokter kandungan kemarin. Panggilan tersambung. "Halo, Dok. Istri saya pagi ini ngeflek. Harus dibawa ke sana untuk konsultasi apa saya bisa b
Wisnu baru pulang ke rumah. Saat dia masuk kamar melihat Arini sedang berbaring dengan mata sembab. Pria itu merasa penasaran dengan apa yang menyebabkan Arini menangis. Dia menghampiri istrinya lalu duduk di tepi ranjang. "Habis nangis?" Arini bergeming. Tidak menatap Wisnu sama sekali. "Kenapa?" tanya Wisnu lagi. "Tadi katanya mau wawancara besok, kok malah nangis?" Arini bangun lalu duduk di sebelah Wisnu dengan wajah sendu. "Aku enggak jadi aja wawancaranya, Mas." Perempuan itu mengusap wajah dengan kasar. "Ada masalah?" Pria itu terlihat khawatir pada Arini. Arini bangkit. Dia menunjukkan perut yang mulai membuncit pada suaminya. "Tadi aku coba pake kemeja sama rok yang biasanya aku pake kerja dulu, tapi perut aku keliatan kayak orang hamil, Mas." Arini menghela napas. Wisnu paham dengan maksud Arini. Dengan penampilan seperti itu dia merasa pasti tidak akan lolos wawancara. Artinya dia tidak akan diterima kerja di perusahaan itu. "Emang keliatan banget?" "Enggak terla
Wisnu masuk kamar Rasyid. Di usia Rasyid yang menginjak remaja, Wisnu dan Arini masih tinggal di rumah Ratih. Mereka ingin menjaga sang mama dan merenovasi rumah itu untuk menambah kamar untuk kedua anak mereka. Pria itu duduk di tepi ranjang anaknya. Rasyid duduk di meja belajarnya sambil membaca buku pelajaran. "Besok ada ulangan enggak, Syid?" tanya Wisnu memperhatikan anak itu membaca buku. Dia ingin bicara empat mata dengan anak itu saat itu juga. "Enggak ada sih, Pa, ada apa?" tanya Rasyid yang sebenarnya sudah tahu tujuan Wisnu masuk ke kamarnya. "Duduk sini dulu, dong!" Wisnu menepuk ranjang di sebelahnya. Rasyid bangkit dan berpindah tempat duduk menuruti perintah Wisnu. Dia pun duduk di sebelah papanya. Malam itu Rasyid belum siap mendengar kabar buruk tentang dirinya. "Papa mau tanya sesuatu. Tadi siang kamu ketemu siapa? Siapa yang bilang kalau kamu bukan anak kandung Papa?" tanya Wisnu dengan hati-hati agar tidak menyinggung perasaan anaknya. "Ada orang yang engga
Rasyid sudah berusia lima tahun dan Wisnu ingin memasukkan anak itu ke sekolah. Dia bertanya pada Arini rencana memasukkan Rasyid ke sekolah. "Rin, boleh enggak Mas masukin Rasyid ke sekolah TK yang bagus. Nanti dia sekolah dua tahun di sana, terus baru kita masukin ke SD, gimana menurutmu?" "Aku setuju aja. Nanti antar jemputnya gimana, Mas?" "Mas yang anter sekolah, pulangnya kamu naik ojek aja, nanti langganan sama salah satu ojek yang ada di pangkalan." "Ok. Terus kapan daftar sekolahnya, Mas?" "Minggu depan aja, nanti kita ke sekolah dulu buat daftar. Biar kamu tahu tempatnya di mana. Jadi, bisa jemput Rasyid pulang sekolah nanti." "Ok, Mas.""Kamu tuh dari tadi ok-ok aja, Rin," protes Wisnu pada Arini. "Ya kan memang jawaban yang tepatnya ok, Mas." Arini tertawa lebar. Keduanya setuju menyekolahkan Rasyid di usia lima tahun. Sementara putri kedua mereka sudah berumur dua tahun. Masih bermain di rumah bersama Arini. Tidak terasa anak-anak mereka cepat besar. Rasyid sudah
Malam itu Wisnu sudah membuat reservasi di sebuah restoran mewah untuk makan malam bersama Ratih dan keluarganya. Ratih merasa sangat senang diajak jalan oleh Wisnu bersama Arini dan Rasyid. Seketika perempuan paruh baya itu merasa kebahagiaannya lengkap bersama anak dan cucu."Nu, Mama sudah bahagia bersama kalian. Semoga kehidupanmu dan Arini beserta anak kalian bahagia juga selalu."Wisnu tersenyum bahagia mendapat doa yang baik dari Ratih. Dia pun merasa kebahagiaannya lengkap bersama Airin dan Rasyid walaupun. Perjuangannya menunggu Arini tidak pernah sia-sia."Aamiin. Makasih doanya ya, Ma. Semoga kita semua selalu bahagia."Selesai makan malam, Wisnu tidak langsung mengajak pulang kembali ke hotel. Dia mengajak mertua, istri dan anaknya mengelilingi kota Bogor. Baru kemudian kembali ke hotel.Malam itu Ratih tiba-tiba ingin mengajak Rasyid tidur bersamanya."Nu, tolong bawa Rasyid ke kamar Mama. Mama lagi enggak pengen tidur sendiri. Biar kamu menikmati waktu bersama Arini mala
Saat Rasyid sudah berusia dua tahun, Wisnu mulai mengajak Arini untuk membicarakan soal anak kedua pada Arini. Namun, Arini masih enggan untuk hamil lagi apalagi menambah jumlah anak. Wisnu terus membujuknya untuk memikirkan soal anak kedua. "Ayolah. Rin. Rasyid kan sudah dua tahun. Kasian dia kalau sendirian terus. Jadi, enggak ada teman mainnya." Begitulah salah satu cara Wisnu membujuk Arini. Arini menghela napas. "Mas, aku masih ingat gimana rasanya melahirkan itu. Jadi, aku masih belum mau hamil dan melahirkan lagi dalam waktu dekat." Arini sedikit trauma dengan yang namanya melahirkan itu. Dia masih berusaha untuk menghindarinya. "Gitu, ya? Ya sudah deh nanti aja kalau gitu." Arini tahu suaminya kecewa dengan penolakannya, tetapi dia memang masih belum mau untuk hamil lagi. Kali ini dia masih berusaha menolak sebisanya sebelum, tetapi jika nanti ternyata Arini hamil, dia akan menerima itu bukan karena terpaksa. Sebisa mungkin dia akan menghindari perasaan itu. ***Wisnu su
Wisnu sudah menyerahkan hasil pemeriksaan tes DNA pada Baskara. Pria itu menunggu jawaban dari sang papa saat setelah membaca hasil pemeriksaan itu.'Maaf katena sudah berbohong, Pa, tapi Rasyid juga butuh pengakuan. Jangan abaikan dia hanya karena dia bukan anak kandungku,' ucap Wisnu dalam hati sambil berdoa semoga hati Baskara mau melunak."Jadi, Rasyid benar anak kandungmu?" tanya Baskara untuk memastikan apa yang dia baca itu adalah benar adanya."Iya, Pa. Kan aku sudah bilang Rasyid itu anakku. Sekarang Papa percaya kan setelah melihat hasil tes DNA ini?""Sekarang Papa percaya jika Rasyid adalah cucu Papa. Maaf karena sudah mengabaikannya selama ini. Untuk urusan berita murahan itu kamu tidak usah khawatir lagi, Nu. Semua sudah selesai.""Iya, Pa."Baskara menepuk lengan Wisnu beberapa kali. "Kerja bagus. Kalau ada waktu main ke rumah bawa Arini dan Rasyid sekalian. Papa mau bertemu dengan mereka."Wisnu diliputi perasaan bahagia. Dia belum pernah sebahagia itu bisa mempertemuk
"Karena cuma kamu yang tahu arini hamil dan itu anak kamu, tapi selama ini kamu selalu mengelak dan tidak mengakui kalau itu anakmu, lantas kenapa sekarang kamu bilang anak Arini bukan anakku?" Wisnu tahu jika Gilang memang sengaja melakukan itu untuk mendapatkan sesuatu. Entah itu menghancurkan citra PT. Kalingga atau meminta uang. "Karena aku mau melihat kamu hancur!" Gilang tertawa di hadapan Wisnu. Jika Wisnu bisa hancur, Gilang akan merasa senang karena bisa membalaskan dendamnya pada pria itu. "Kamu tidak akan pernah bisa menghancurkanku!" Wisnu jelas tidak mau kalah dengan Gilang. Memang dia bersama Arini sudah membalaskan dendam Arini pada Gilang, sekarang setelah dia hancur dia pun tidak tinggal diam melihat Wisnu hidup bahagia bersama Arini. "Oh ya, mumpung kita sudah ketemu, aku akan mengakui. Memang aku yang menyebarkan berita itu dan aku juga bisa menyetop tersebarnya berita itu semakin luas lagi. Aku ada penawaran menarik buat kamu, gimana kalau kita barter aja?" Wis
Rasyid sudah berusia satu tahun, tetapi Baskara belum juga mau menerima kehadirannya sebagai cucu. Keras sekali hati pria paruh baya itu belum mau menerima kehadiran anak itu. Istrinya tidak pernah lelah untuk membujuk Baskara agar mau luluh hatinya. Namun, usahanya masih belum menemukan hasil. Pagi itu Wisnu sudah bersiap bekerja di kantor. Jadwalnya hari itu cukup pada. Namun, masih terlalu pagi untuk tersebar berita miring tentang pemimpin PT. Kalingga. Tersebar berita jika anak dari Wisnu adalah anak haram. Hasil hubungan gelap istrinya dengan pria lain. Berita ini tersebar di berbagai media online. Membuat Baskara mengamuk dan sejak pagi sudah menyambangi kantor PT. Kalingga untuk menanyakan langsung pada anaknya. Agar berita yang tersebar tidak semakin liar, Baskara sudah meminta untuk mentake down berita itu agar dihapus dari berbagai media online."Apa benar apa berita yang tersebar itu jika anakmu adalah hasil hubungan gelap Arini dengan pria lain?" tanya Baskara dengan nada
Usia Rasyid sudah masuk tiga bulan, tetapi sikap Baskara masih sama pada Wisnu dan Arini. Pria paruh baya itu masih belum ada keinginan untuk menerima Rasyid sebagai cucunya. Siang itu Wisnu mengajak Arini ke rumah orang tuanya. Mamanya ingin bertemu dengan sang cucu sehingga mengundang arini dan Wisnu ke rumahnya. "Duh, Mama kangen banget sama kalian." Perempuan paruh baya itu memeluk Arini dan Wisnu bergantian. "Sini biar Mama aja yang gendong Rasyid." Mamanya Wisnu itu mengambil sang cucu dari tangan anaknya. Mereka pun masuk rumah menuju ruang tengah lalu duduk di sofa. Rindu dan Wisnu masih merasa gerah karena masih betah mengendarai motor ke rumah sang mama. "Kenapa enggak naik mobil sih?" tanya mamanya Wisnu. "Kan kasian Rasyid kalau harus kepanasan kayak gini." Perempuan itu mengelus lembut kepala cucu Kesayangannya. "Mobil? Nanti diprotes papa lagi, Ma." Wisnu memang belum mau menggunakan apartemen dan mobil pribadinya selama Baskara belum mau mengembalikan perusahaan pad
Ratih dan Wisnu sudah menyiapkan tas perlengkapan bersalin buat Arini. Hari ini perut perempuan itu sudah mulai terasa kontraksi. Arini minta Wisnu untuk menemaninya banyak jalan. Berjalan di sekitar rumah, jalan di mall. Arini ingin melahirkan secara normal lebih dulu. Namun, jika di tengah proses ada kendala baru dia akan memilih jalan operasi. Siang itu kontraksi yang dirasakan Arini sudah mulai sering. Hampir setiap menit sekali, tetapi ketubannya belum pecah. Wisnu berinisiatif membawa Arini ke rumah sakit dengan taksi. Perjalanan menuju rumah sakit dalam kondisi seperti itu terasa lama. Satu menit terasa satu jam. Wisnu tidak menemani Arini sendirian. Ratih sang ibu mertua sudah pasti menemaninya. Pria itu belum sempat menghubungi mamanya. Rencananya nanti begitu tiba di rumah sakit Arini masuk ruang tindakan, Wisnu akan menghubungi sang mama. Akhirnya taksi yang mereka tumpangi tiba di rumah sakit, Wisnu membantu Arini dibawa ke ruang UGD semetara Ratih membawakan tasnya. Di