Saat sedang bekerja, Wisnu menerima pesan dari nomor tidak dikenal yang masuk ke ponselnya. Dia hentikan pekerjaannya sesaat untuk membaca pesan itu. Mata Wisnu terbelalak saat melihat pesan gambar yang masuk ke ponselnya. Dia lihat Arini yang sedang hamil duduk terikat, tetapi dia sedang tidak sadarkan diri. Dengan perasaan marah karena telah menculik Arini, Wisnu menelepon nomor yang mengirimkan pesan padanya itu. Panggilannya tersambung, tetapi tidak langsung diterima oleh pemilik nomor ponsel itu. "Halo, siapa kamu?" tanya Wisnu saat tahu panggilannya diterima."Anda tidak perlu tahu siapa saya. Anda bisa lihat sendiri kan sekarang istri anda ada bersama saya." "Kalian ada di mana? Jangan coba-coba menyentuh istri saya apalagi menyakitinya atau kamu saya bunuh!" Wisnu mengancam pria itu. "Saya tidak takut dengan ancaman dari anda. Tunggu telepon dari saya jika anda ingin istri anda selamat. Ingat jangan coba-coba untuk menghubungi polisi atau saya habisi nyawa istri anda." Se
Setelah melakukan pengintaian, teman Wisnu kembali ke mobil. Dia menggambarkan pada Wisnu dan dua temannya yang lain mengenai apa saja yang ada di dalam. Berapa orang penculik itu dan di mana Arini disekap.Berdasarkan cerita dari temanya itu, Wisnu bisa memutuskan untuk bergerak untuk menyelamatkan Arini malam itu juga. Sebelumnya dia menelepon Denis untuk memastikan sesuatu. "Halo, Den, kamu jadi menghubungi polisi?" tanya Wisnu pada Denis di panggilan telepon. "Sudah, Pak. Mereka sudah saya kabari alamat tempat bu Arini disekap. Ada apa ya, Pak?" "Minta mereka datang ke sini sekarang. Saya mau masuk ke tempat itu dan menyelamatkan Arini.""Ok. Segera saya kabari mereka agar cepat datang ke sana." "Terima kasih ya, Den." Wisnu mengakhiri panggilan telepon. Lalu dia beralih pada tiga orang temanya. Wisnu mulai membuat rencana bersama. Di dalam bangunan itu, ada tiga orang yang menjaga Arini. Semuanya terlihat sedang duduk manis sambil bermain ponsel. Mungkin mereka sedang menung
Wisnu berjalan dengan langkah gontai masuk ke apartemen Denis. Sebelum datang ke sana, dia menelepon sekretarisnya lebih dulu. Untungnya sekretarisnya terbangun saat dia menelepon. Wisnu menghempaskan tubuhnya di sofa. Dia memegangi kepalanya yang mulai berdenyut memikirkan nasib Arini. "Minum dulu, Pak." Denis memberikan segelas air untuk Wisnu. Dia pun meminum air dalam gelas itu sampai habis. "Gimana keadaan ibu Arini, Pak?" tanya Denis yang juga penasaran dengan kondisi Arini. "Baru selesai operasi. Sekarang masuk ICU dulu untuk diobservasi. Di rumah sakit enggak ada tempat nunggu, daripada tidur di mobil lebih baik saya ke sini aja. Mau balik ke apartemen enggak enak karena sendirian. Mau balik ke rumah mertua enggak berani karena pasti ditanya-tanya, belum lagi mama mertua pasti syok kalau tahu anaknya ada di rumah sakit. Brengsek banget itu orang yang nembak Arini. Cepet banget dia hilangnya." Wisnu mengusap wajahnya dengan kasar lalu menghembuskan napas berat. "Sabar ya, P
Wisnu terbangun dari tidurnya setelah Denis membangunkannya. Dia pun terkejut, Wisnu mengusap wajahnya yang penuh dengan keringat. "Bapak kenapa?" tanya Denis yang heran melihat Wisnu yang wajahnya terlihat tegang. "Saya habis mimpi buruk, makasih sudah membangunkan saya. Sekarang jam berapa, Den?" "Sudah hampir jam tujuh pagi, Pak. Saya mau pamit ke kantor dulu. Sarapannya sudah ada di meja, Bapak tinggal makan aja, ya." "Oh ya, makasih untuk sarapannya, hati-hati di jalan ya, Den." Denis mengambil tas kerjanya di kamar lalu keluar meninggalkan apartemen. Wisnu masih duduk di atas ranjang sambil memikirkan mimpi nya tadi yang terasa begitu nyata. Dia pun memutuskan untuk menghubungi pihak rumah sakit untuk menanyakan kondisi terakhir Arini. "Halo, saya Wisnu, suami dari pasien bernama Arini. Istri saya masih dirawat di ruangan ICU, kan?" Wisnu minta langsung disambungkan dengan ruangan ICU. "Masih, Pak. Ibu Arini sampai saat ini masih belum siuman." "Oh, terima kasih. Kapan
Sudah dua hari Arini dirawat di ruangan ICU, selama itu pula Wisnu kehilangan semangatnya. Makan dan tidur dia lakukan seperti formalitas saja. Hanya agar dia bisa tetap terlihat baik-baik saja, padahal hatinya hancur. Wisnu merasa waktu berjalan begitu lambat untuk menunggu Arini siuman. Hari ketiga menunggu Arini siuman, Wisnu masih berada di rumah sakit. Mendekati jam makan siang, ponsel Wisnu berdering. Dia keluarkan ponsel dari saku. Dia menerima panggilan telepon itu setelah melihat nama kontak mamanya yang muncul di layar ponsel. "Kamu di mana, Nak?" tanya Utami di panggilan telepon tanpa menunggu Wisnu bicara lebih dulu. "Di rumah sakit, Ma.""Oh, pantes enggak ada orang, Mama lagi di depan apartemenmu sekarang. Arini mana? Kok enggak ada di apartemen? Terus ngapain kamu di rumah sakit, Nu?" "Arini enggak ada di apartemen, Ma, sekarang dia dirawat di rumah sakit. Jadi, aku nungguin Arini di sini." Wisnu mengatur suaranya agar tidak terdengar sedih. "Loh, kenapa Arini dira
Setelah Wisnu melihat gerakan tangan Arini, tak lama kemudian perempuan itu membuka matanya. Perawat sudah memanggil dokter. Dokter pun datang untuk memeriksa keadaan Arini yang baru saja siuman. "Kondisi Ibu Arini perkembangannya semakin bagus. Mudah-mudahan terus membaik ya, supaya nanti bisa cepet pulang dan menjalani rawat jalan saja." Wisnu lega mendengar ucapan dokter. Hilang sudah semua rasa khawatirnya selama menunggu Arini siuman. Perjuangannya selama beberapa hari menunggu Arini tidak berakhir sia-sia. Setelah menjelaskan keadaan Arini pada Wisnu dokter pamit keluar dari ruangan ICU. Kemudian Wisnu duduk kembali di kursi di sebelah Arini. Pria itu tersenyum sambil menahan air mata haru yang hampir terjatuh. "Ada yang kerasa sakit, Rin?" tanya Wisnu sambil memandang Arini yang masih terbaring lemah di brankar. Arini menggeleng lemah. "Enggak kok, Mas. Mas Wisnu sehat?" Arini bisa melihat dengan jelas wajah kuyu suaminya yang kurang tidur serta stres karena banyak pikiran
Sudah satu minggu Arini di rawat di rumah sakit. Selama itu juga Wisnu tidak masuk kantor. Dia tidak mau meninggalkan Arini selama perempuan itu dirawat di rumah sakit. Arini sempat protes pada Wisnu agar masuk kantor, dia khawatir pekerjaan suaminya akan terbengkalai karena sibuk menemani Arini di rumah sakit. Setelah mendapat izin pulang dari rumah sakit, Wisnu membawa Arini pulang ke rumah Ratih. Namun, sebelum pulang dia mengajak Arini ke sebuah toko yang menjual alat makeup. Wisnu tidak ingin Ratih curiga saat melihat wajah pucat Arini. "Rin, kamu butuh apa aja biar muka kamu enggak keliatan pucat, beli aja semua ya, terus dipake sekalian." Arini paham apa yang dimaksud suaminya. Sehingga dia membeli pelembab, fondation, bedak dan lipstik. Itu sudah cukup untuk membuat wajahnya terlihat lebih segar. Wisnu membayar semuanya lalu menunggu Arini memakai semua di wajahnya, baru kemudian mereka mengambil motor di apartemen. "Terus barang-barang kita gimana, Mas?" tanya Arini agar
Arini merasa bingung mendengar ucapan suaminya. Dia mengerutkan dahi. "Jadi, Mas Wisnu dipecat karena apa?" "Karena kamu, Sayang." Arini bertambah bingung dengan penjelasan suaminya. Apa yang salah padanya sehingga menjadi penyebab suaminya dipecat. "Kok aku, Mas? Aku jadi bingung." "Papa tetap maksa Mas tunangan sama Tasya, tapi Mas enggak mau. Mas tetap pilih mempertahankan kamu apa pun yang terjadi." Arini merasa sangat beruntung dicintai sebesar itu oleh suaminya. Memiliki Suami seperti Wisnu pun bisa membuat Arini egois. Dia tidak akan pernah rela melepaskan Wisnu untuk siapa pun, meskipun dipaksa oleh Baskara. Perempuan itu menjadi penasaran dengan sosok Baskara dan ingin bertemu dengannya. Arini memberikan senyuman termanis pada Wisnu. "Oh gitu. Terus kalau Mas dipecat gini, Mas mau ngapain? Nanti anakku dikasih makan apa kalau Mas Wisnu enggak kerja?" Arini merengek pada suaminya seperti anak-anak yang membuat Wisnu merasa gemas padanya."Rin, jangan mancing-mancing Mas d
Wisnu masuk kamar Rasyid. Di usia Rasyid yang menginjak remaja, Wisnu dan Arini masih tinggal di rumah Ratih. Mereka ingin menjaga sang mama dan merenovasi rumah itu untuk menambah kamar untuk kedua anak mereka. Pria itu duduk di tepi ranjang anaknya. Rasyid duduk di meja belajarnya sambil membaca buku pelajaran. "Besok ada ulangan enggak, Syid?" tanya Wisnu memperhatikan anak itu membaca buku. Dia ingin bicara empat mata dengan anak itu saat itu juga. "Enggak ada sih, Pa, ada apa?" tanya Rasyid yang sebenarnya sudah tahu tujuan Wisnu masuk ke kamarnya. "Duduk sini dulu, dong!" Wisnu menepuk ranjang di sebelahnya. Rasyid bangkit dan berpindah tempat duduk menuruti perintah Wisnu. Dia pun duduk di sebelah papanya. Malam itu Rasyid belum siap mendengar kabar buruk tentang dirinya. "Papa mau tanya sesuatu. Tadi siang kamu ketemu siapa? Siapa yang bilang kalau kamu bukan anak kandung Papa?" tanya Wisnu dengan hati-hati agar tidak menyinggung perasaan anaknya. "Ada orang yang engga
Rasyid sudah berusia lima tahun dan Wisnu ingin memasukkan anak itu ke sekolah. Dia bertanya pada Arini rencana memasukkan Rasyid ke sekolah. "Rin, boleh enggak Mas masukin Rasyid ke sekolah TK yang bagus. Nanti dia sekolah dua tahun di sana, terus baru kita masukin ke SD, gimana menurutmu?" "Aku setuju aja. Nanti antar jemputnya gimana, Mas?" "Mas yang anter sekolah, pulangnya kamu naik ojek aja, nanti langganan sama salah satu ojek yang ada di pangkalan." "Ok. Terus kapan daftar sekolahnya, Mas?" "Minggu depan aja, nanti kita ke sekolah dulu buat daftar. Biar kamu tahu tempatnya di mana. Jadi, bisa jemput Rasyid pulang sekolah nanti." "Ok, Mas.""Kamu tuh dari tadi ok-ok aja, Rin," protes Wisnu pada Arini. "Ya kan memang jawaban yang tepatnya ok, Mas." Arini tertawa lebar. Keduanya setuju menyekolahkan Rasyid di usia lima tahun. Sementara putri kedua mereka sudah berumur dua tahun. Masih bermain di rumah bersama Arini. Tidak terasa anak-anak mereka cepat besar. Rasyid sudah
Malam itu Wisnu sudah membuat reservasi di sebuah restoran mewah untuk makan malam bersama Ratih dan keluarganya. Ratih merasa sangat senang diajak jalan oleh Wisnu bersama Arini dan Rasyid. Seketika perempuan paruh baya itu merasa kebahagiaannya lengkap bersama anak dan cucu."Nu, Mama sudah bahagia bersama kalian. Semoga kehidupanmu dan Arini beserta anak kalian bahagia juga selalu."Wisnu tersenyum bahagia mendapat doa yang baik dari Ratih. Dia pun merasa kebahagiaannya lengkap bersama Airin dan Rasyid walaupun. Perjuangannya menunggu Arini tidak pernah sia-sia."Aamiin. Makasih doanya ya, Ma. Semoga kita semua selalu bahagia."Selesai makan malam, Wisnu tidak langsung mengajak pulang kembali ke hotel. Dia mengajak mertua, istri dan anaknya mengelilingi kota Bogor. Baru kemudian kembali ke hotel.Malam itu Ratih tiba-tiba ingin mengajak Rasyid tidur bersamanya."Nu, tolong bawa Rasyid ke kamar Mama. Mama lagi enggak pengen tidur sendiri. Biar kamu menikmati waktu bersama Arini mala
Saat Rasyid sudah berusia dua tahun, Wisnu mulai mengajak Arini untuk membicarakan soal anak kedua pada Arini. Namun, Arini masih enggan untuk hamil lagi apalagi menambah jumlah anak. Wisnu terus membujuknya untuk memikirkan soal anak kedua. "Ayolah. Rin. Rasyid kan sudah dua tahun. Kasian dia kalau sendirian terus. Jadi, enggak ada teman mainnya." Begitulah salah satu cara Wisnu membujuk Arini. Arini menghela napas. "Mas, aku masih ingat gimana rasanya melahirkan itu. Jadi, aku masih belum mau hamil dan melahirkan lagi dalam waktu dekat." Arini sedikit trauma dengan yang namanya melahirkan itu. Dia masih berusaha untuk menghindarinya. "Gitu, ya? Ya sudah deh nanti aja kalau gitu." Arini tahu suaminya kecewa dengan penolakannya, tetapi dia memang masih belum mau untuk hamil lagi. Kali ini dia masih berusaha menolak sebisanya sebelum, tetapi jika nanti ternyata Arini hamil, dia akan menerima itu bukan karena terpaksa. Sebisa mungkin dia akan menghindari perasaan itu. ***Wisnu su
Wisnu sudah menyerahkan hasil pemeriksaan tes DNA pada Baskara. Pria itu menunggu jawaban dari sang papa saat setelah membaca hasil pemeriksaan itu.'Maaf katena sudah berbohong, Pa, tapi Rasyid juga butuh pengakuan. Jangan abaikan dia hanya karena dia bukan anak kandungku,' ucap Wisnu dalam hati sambil berdoa semoga hati Baskara mau melunak."Jadi, Rasyid benar anak kandungmu?" tanya Baskara untuk memastikan apa yang dia baca itu adalah benar adanya."Iya, Pa. Kan aku sudah bilang Rasyid itu anakku. Sekarang Papa percaya kan setelah melihat hasil tes DNA ini?""Sekarang Papa percaya jika Rasyid adalah cucu Papa. Maaf karena sudah mengabaikannya selama ini. Untuk urusan berita murahan itu kamu tidak usah khawatir lagi, Nu. Semua sudah selesai.""Iya, Pa."Baskara menepuk lengan Wisnu beberapa kali. "Kerja bagus. Kalau ada waktu main ke rumah bawa Arini dan Rasyid sekalian. Papa mau bertemu dengan mereka."Wisnu diliputi perasaan bahagia. Dia belum pernah sebahagia itu bisa mempertemuk
"Karena cuma kamu yang tahu arini hamil dan itu anak kamu, tapi selama ini kamu selalu mengelak dan tidak mengakui kalau itu anakmu, lantas kenapa sekarang kamu bilang anak Arini bukan anakku?" Wisnu tahu jika Gilang memang sengaja melakukan itu untuk mendapatkan sesuatu. Entah itu menghancurkan citra PT. Kalingga atau meminta uang. "Karena aku mau melihat kamu hancur!" Gilang tertawa di hadapan Wisnu. Jika Wisnu bisa hancur, Gilang akan merasa senang karena bisa membalaskan dendamnya pada pria itu. "Kamu tidak akan pernah bisa menghancurkanku!" Wisnu jelas tidak mau kalah dengan Gilang. Memang dia bersama Arini sudah membalaskan dendam Arini pada Gilang, sekarang setelah dia hancur dia pun tidak tinggal diam melihat Wisnu hidup bahagia bersama Arini. "Oh ya, mumpung kita sudah ketemu, aku akan mengakui. Memang aku yang menyebarkan berita itu dan aku juga bisa menyetop tersebarnya berita itu semakin luas lagi. Aku ada penawaran menarik buat kamu, gimana kalau kita barter aja?" Wis
Rasyid sudah berusia satu tahun, tetapi Baskara belum juga mau menerima kehadirannya sebagai cucu. Keras sekali hati pria paruh baya itu belum mau menerima kehadiran anak itu. Istrinya tidak pernah lelah untuk membujuk Baskara agar mau luluh hatinya. Namun, usahanya masih belum menemukan hasil. Pagi itu Wisnu sudah bersiap bekerja di kantor. Jadwalnya hari itu cukup pada. Namun, masih terlalu pagi untuk tersebar berita miring tentang pemimpin PT. Kalingga. Tersebar berita jika anak dari Wisnu adalah anak haram. Hasil hubungan gelap istrinya dengan pria lain. Berita ini tersebar di berbagai media online. Membuat Baskara mengamuk dan sejak pagi sudah menyambangi kantor PT. Kalingga untuk menanyakan langsung pada anaknya. Agar berita yang tersebar tidak semakin liar, Baskara sudah meminta untuk mentake down berita itu agar dihapus dari berbagai media online."Apa benar apa berita yang tersebar itu jika anakmu adalah hasil hubungan gelap Arini dengan pria lain?" tanya Baskara dengan nada
Usia Rasyid sudah masuk tiga bulan, tetapi sikap Baskara masih sama pada Wisnu dan Arini. Pria paruh baya itu masih belum ada keinginan untuk menerima Rasyid sebagai cucunya. Siang itu Wisnu mengajak Arini ke rumah orang tuanya. Mamanya ingin bertemu dengan sang cucu sehingga mengundang arini dan Wisnu ke rumahnya. "Duh, Mama kangen banget sama kalian." Perempuan paruh baya itu memeluk Arini dan Wisnu bergantian. "Sini biar Mama aja yang gendong Rasyid." Mamanya Wisnu itu mengambil sang cucu dari tangan anaknya. Mereka pun masuk rumah menuju ruang tengah lalu duduk di sofa. Rindu dan Wisnu masih merasa gerah karena masih betah mengendarai motor ke rumah sang mama. "Kenapa enggak naik mobil sih?" tanya mamanya Wisnu. "Kan kasian Rasyid kalau harus kepanasan kayak gini." Perempuan itu mengelus lembut kepala cucu Kesayangannya. "Mobil? Nanti diprotes papa lagi, Ma." Wisnu memang belum mau menggunakan apartemen dan mobil pribadinya selama Baskara belum mau mengembalikan perusahaan pad
Ratih dan Wisnu sudah menyiapkan tas perlengkapan bersalin buat Arini. Hari ini perut perempuan itu sudah mulai terasa kontraksi. Arini minta Wisnu untuk menemaninya banyak jalan. Berjalan di sekitar rumah, jalan di mall. Arini ingin melahirkan secara normal lebih dulu. Namun, jika di tengah proses ada kendala baru dia akan memilih jalan operasi. Siang itu kontraksi yang dirasakan Arini sudah mulai sering. Hampir setiap menit sekali, tetapi ketubannya belum pecah. Wisnu berinisiatif membawa Arini ke rumah sakit dengan taksi. Perjalanan menuju rumah sakit dalam kondisi seperti itu terasa lama. Satu menit terasa satu jam. Wisnu tidak menemani Arini sendirian. Ratih sang ibu mertua sudah pasti menemaninya. Pria itu belum sempat menghubungi mamanya. Rencananya nanti begitu tiba di rumah sakit Arini masuk ruang tindakan, Wisnu akan menghubungi sang mama. Akhirnya taksi yang mereka tumpangi tiba di rumah sakit, Wisnu membantu Arini dibawa ke ruang UGD semetara Ratih membawakan tasnya. Di