Arini menjawab pertanyaan Utami dengan ramah. "Pastinya boleh dong, Ma. Kayaknya sih mending belanja sama Mama ya? Ya Mama kan udah paham kebutuhan bayi itu apa aja karena udah pernah melahirkan sedangkan Mas Wisnu baru kali ini akan jadi papa, jadi belum ada pengalaman, betul kan, Ma?" "Ya kan enggak gitu juga, Rin, sebagai calon papa, Mas juga tahu kebutuhan bayi itu apa, enak aja kamu nuduh Mas enggak tahu apa-apa. Yang pasti bayi perlu baju, popok, Iya kan, Ma?" Baik Arini atau pun Wisnu Sama-sama meminta dukungan dari sang mama. Utami sejak tadi merasa gemas melihat pasangan itu. Seandainya Wisnu tidak menikah dengan Arini, candaan itu tidak akan seperti sekarang. Bahkan dia tidak bisa membayangkan pernikahan apa yang akan terjadi jika Wisnu menikah dengan Tasya, bisa saja candaan itu tidak pernah terjadi atau bahkan tidak ada sama sekali. Menurut Utami Wisnu sudah pas menikah dengan Arini. Dia mendoakan kebaikan dan kebahagiaan untuk anak dan menantunya itu
Wisnu membuka pintu apartemen lalu dari balik pintu muncul seorang pria yang tidak dia kenal. Pria itu tersenyum dengan ramah."Benar dengan Pak Wisnu? Ada kiriman dari Bu Utami. Isinya makanan." Pria itu menyerahkan sebuah kantong pada Wisnu. Wisnu pun menerimanya. "Oh kiriman dari bu Utami. Ok, saya terima, terima kasih ya Mas." Setelah pria itu berlalu, Wisnu menutup pintu. Lalu berjalan ke arah meja makan. "Siapa, Mas?" tanya Arini mendekati suaminya. "Loh, Mas udah pesen makanan?" Arini memperhatikan Wisnu yang sedang mengeluarkan isi kantong itu. "Ini dari mama, Sayang. Eh, tapi tumben ya mama ngirim makanan kayak gini. Ada apa?" Wisnu merasa heran dengan sikap Utami yang tiba-tiba itu. "Masa mama sendiri dibilang tumben Mas. Mas Wisnu aneh ih. Ini tuh artinya mama sayang sama anaknya sampai jauh-jauh ngirim makanan loh. Gimana kalau kita makan aja?" Melihat banyak makanan di meja membuat cacing dalam perut Arini berontak meminta makan. "Ok. Cuci tangan dulu, gih!" Wisnu
Wisnu menghembuskan napas berat. "Kamu maunya apa sih sebenernya, Sya?" Wisnu ingin Tasya langsung to the point mengatakan maksud kedatanganya. "Makan siang bareng yuk, Mas." Wisnu mengerutkan dahi. "Tadi katanya mau minta dibantu, kenapa sekarang malah ngajak makan bersama?" tanya Wisnu heran. "Ya kan biar enak ngomongnya jadi sambil makan gitu, Mas." "Terserah deh, kalau mau nunggu di sini. Nanti Mas bawa Denis buat nemenin makan siang bareng, kamu mau ngomongin kerjaan, kan?" Raut wajah Tasya terlihat sedikit kesal. Dia tidak hanya mau membahas soal pekerjaan dengan Wisnu, tetapi juga ingin mendekati Wisnu secara pribadi. Tasya hanya ingin makan siang berdua dengan Wisnu tanpa gangguan siapa pun. Dia malas jika Wisnu membawa Denis juga. Sedangkan Wisnu lebih senang jika membawa sekretarisnya itu makan bersama agar Tasya fokus pada pembahasan soal pekerjaan saja. "Kenapa enggak sekalian bawa karyawan kamu yang lain, Mas?" sewot Tasya pada Wisnu. "Emang boleh? Kalau boleh Mas
Wisnu sudah tiba di rumah Baskara pada malam hari. Setelah pulang kerja dia langsung menuju rumah Baskara. Pria itu juga pamit pada Arini jika dia akan datang ke rumah Baskara untuk sebuah keperluan yang dia sendiri belum tahu apa yang akan dibicarakan oleh Baskara. "Sudah datang, Nu? Kamu sudah makan atau belum?" tanya Baskara saat melihat Wisnu menemuinya di ruang tengah. "Ya, Pa, tadi dari kantor langsung ke sini. Jadi, belum sempat makan malam." "Ya sudah makan dulu. Papa tunggu di ruang kerja. Kamu cari aja mama dulu di kamar." "Iya, Pa." Wisnu menuruti ucapan Baskara. Dia mencari Utami di kamar. Pria itu mengetuk pintu kamar mamanya lalu masuk. Utami agak terkejut melihat anaknya datang ke rumah karena Baskara tidak mengatakan jika dia meminta Wisnu ke rumah. "Kamu kok ke sini enggak bilang sama Mama sih?" tanya Utami yang baru saja turun dari ranjang. "Ayo makan dulu." "Aku kira Papa udah bilang ke Mama. Mau, Ma, aku laper banget nih." Utami keluar dari kamar lalu diiku
Wisnu menjawab pertanyaan Arini dengan jawaban pendek. "Mas kesel dengan papa." Hanya itu dan membuat Arini semakin penasaran dengan apa yang terjadi pada suaminya. Pria itu menarik Arini ke kamarnya, saat dia pulang Ratih sudah berada di kamarnya, hanya ada Arini yang menunggunya di ruang tengah. Di kamar, Wisnu yang masih kesal menarik Arini ke ranjang. Keduanya duduk di tepi ranjang. Arini sudah siap menunggu cerita dari suaminya, tapi bukannya mendapat jawaban, Wisnu malah mendekati wajahnya ke wajah arini lalu mendapatkan sebuah ciuman di bibir istrinya. Namun, ciuman itu tidak selembut biasanya, terasa agak kasar menurut Arini, Bahkan dengan agak kasar pula dia segera melepas semua pakaian bagian atasnya begtu juga dengan pakaian Arini. Wisnu terlihat sangat tidak sabaran. Berbeda dengan perlakuannya seperti biasa yang lembut dengan Arini, tidak kasar seperti itu. Bahkan Arini terlihat bingung. 'Sebenarnya apa yang terjadi dengan mas Wisnu?' tanya Arini dalam sambil terus me
Tepat jam 6 sore, Wisnu keluar dari kantor bersama Denis. Dia pun berjalan menuju parkiran bersama sekretarisnya itu. Baru sampai di mobil, saat akan membuka pintu mobil, lengan Wisnu ditarik oleh seseorang. Karena tidak ada persiapan apa pun tubuh Wisnu ketarik mengikuti langkah orang yang menariknya itu. Baru jalan beberapa langkah, Wisnu menarik lagi lengannya dengan keras. "Kamu apa-apaan sih, Sya?" protes Wisnu setelah tahu siapa yang menarik lengannya. "Mau ngajak makan malam, Mas," jawab Tasya dengan santainya. "Kan bisa ngomong baik-baik. Kenapa pake narik tangan segala sih?" "Mas Wisnu kan suka nolak kalau aku ngajak makan. Jadi, kali ini aku paksa." Tasya bicara dengan nada sedikit merajuk. Wisnu mengembuskan napas berat. Dia tetap heran dengan Tasya yang sering sekali memaksanya untuk bertemu dan mengajak makan. "Ok, kalau gitu kita makan malam sekarang. Kamu mau makan di mana? Kita ketemuan di sana dan jalan dengan mobil masing-masing." "Kenapa enggak bareng di sat
Besoknya sejak bangun tidur, Arini mendiamkan suaminya. Wisnu benar-benar bingung dibuat Arini. Dia bertanya-tanya apa yang menyebabkan Arini marah padanya karena Arini tidak mengatakan pada Wisnu penyebabnya. Namun, pria itu yakin kalau penyebab kemarahan Arini disebabkan kejadian tadi malam. "Kamu marah, Rin?" tanya Wisnu saat Arini sedang membuat sarapan di dapur. Arini menggelengkan kepalanya. "Kok diem? Enggak biasanya deh." Wisnu tidak sanggup didiamkan oleh Arini begitu. Arini tetap membuatkan sarapan untuk Wisnu. Kemudian menyajikan di meja. Keduanya duduk di meja untuk sarapan. "Nanti pas Mas Wisnu berangkat ke kantor, aku mau pulang ke rumah. Aku takut mama nyariin aku karena enggak pulang tadi malam." Arini berkata dengan ketus. "Iya, enggak apa-apa. Mau Mas antar enggak pulang ke rumah?""Enggak usah Mas, nanti Mas telat pergi ke kantornya. Aku bisa naik taksi online aja." Wajah Arini terlihat cemberut. "Kamu marah, Rin?" Wisnu mengulang lagi pertanyaannya. Arini t
"Maksud Papa gimana? Kenapa aku harus kehilangan perusahaan milik aku sendiri?" tanya Wisnu bingung.'Papa ada rencana apa lagi ini?' tanya Wisnu dalam hati berusaha menebak-nebak rencana Baskara.Baskara tersenyum. "Papa ada rencana apa? Papa mau kamu menceraikan perempuan jalang itu lalu bergumam ganti dengan Tasya. Itu saja.""Kalau Papa ada rencana itu kenapa ngomongin perusahaan? Pasti ada sesuatu." Wisnu tetap curiga pada Baskara. Bisa saja pria itu melakukan sesuatu pada perusahaan miliknya, meskipun Baskara adalah papanya sendiri. Cepat atau lambat dia akan mengetahui hal itu. "Tenang aja, Nu, selama kamu mau menuruti kemauan Papa. Papa bisa jamin semuanya akan aman. Jadi, kapan kamu akan menceraikan Arini?" tanya Baskara dengan nada rendah. "Aku enggak akan menceraikan Arini sampai kapan pun, Pa. Mau Papa maksa juga silakan, tapi aku tetap yang memutuskan." "Kita lihat saja nanti apa yang akan terjadi dalam satu bulan ke depan. Apa kamu masih akan bersama Arini atau tidak."
Wisnu masuk kamar Rasyid. Di usia Rasyid yang menginjak remaja, Wisnu dan Arini masih tinggal di rumah Ratih. Mereka ingin menjaga sang mama dan merenovasi rumah itu untuk menambah kamar untuk kedua anak mereka. Pria itu duduk di tepi ranjang anaknya. Rasyid duduk di meja belajarnya sambil membaca buku pelajaran. "Besok ada ulangan enggak, Syid?" tanya Wisnu memperhatikan anak itu membaca buku. Dia ingin bicara empat mata dengan anak itu saat itu juga. "Enggak ada sih, Pa, ada apa?" tanya Rasyid yang sebenarnya sudah tahu tujuan Wisnu masuk ke kamarnya. "Duduk sini dulu, dong!" Wisnu menepuk ranjang di sebelahnya. Rasyid bangkit dan berpindah tempat duduk menuruti perintah Wisnu. Dia pun duduk di sebelah papanya. Malam itu Rasyid belum siap mendengar kabar buruk tentang dirinya. "Papa mau tanya sesuatu. Tadi siang kamu ketemu siapa? Siapa yang bilang kalau kamu bukan anak kandung Papa?" tanya Wisnu dengan hati-hati agar tidak menyinggung perasaan anaknya. "Ada orang yang engga
Rasyid sudah berusia lima tahun dan Wisnu ingin memasukkan anak itu ke sekolah. Dia bertanya pada Arini rencana memasukkan Rasyid ke sekolah. "Rin, boleh enggak Mas masukin Rasyid ke sekolah TK yang bagus. Nanti dia sekolah dua tahun di sana, terus baru kita masukin ke SD, gimana menurutmu?" "Aku setuju aja. Nanti antar jemputnya gimana, Mas?" "Mas yang anter sekolah, pulangnya kamu naik ojek aja, nanti langganan sama salah satu ojek yang ada di pangkalan." "Ok. Terus kapan daftar sekolahnya, Mas?" "Minggu depan aja, nanti kita ke sekolah dulu buat daftar. Biar kamu tahu tempatnya di mana. Jadi, bisa jemput Rasyid pulang sekolah nanti." "Ok, Mas.""Kamu tuh dari tadi ok-ok aja, Rin," protes Wisnu pada Arini. "Ya kan memang jawaban yang tepatnya ok, Mas." Arini tertawa lebar. Keduanya setuju menyekolahkan Rasyid di usia lima tahun. Sementara putri kedua mereka sudah berumur dua tahun. Masih bermain di rumah bersama Arini. Tidak terasa anak-anak mereka cepat besar. Rasyid sudah
Malam itu Wisnu sudah membuat reservasi di sebuah restoran mewah untuk makan malam bersama Ratih dan keluarganya. Ratih merasa sangat senang diajak jalan oleh Wisnu bersama Arini dan Rasyid. Seketika perempuan paruh baya itu merasa kebahagiaannya lengkap bersama anak dan cucu."Nu, Mama sudah bahagia bersama kalian. Semoga kehidupanmu dan Arini beserta anak kalian bahagia juga selalu."Wisnu tersenyum bahagia mendapat doa yang baik dari Ratih. Dia pun merasa kebahagiaannya lengkap bersama Airin dan Rasyid walaupun. Perjuangannya menunggu Arini tidak pernah sia-sia."Aamiin. Makasih doanya ya, Ma. Semoga kita semua selalu bahagia."Selesai makan malam, Wisnu tidak langsung mengajak pulang kembali ke hotel. Dia mengajak mertua, istri dan anaknya mengelilingi kota Bogor. Baru kemudian kembali ke hotel.Malam itu Ratih tiba-tiba ingin mengajak Rasyid tidur bersamanya."Nu, tolong bawa Rasyid ke kamar Mama. Mama lagi enggak pengen tidur sendiri. Biar kamu menikmati waktu bersama Arini mala
Saat Rasyid sudah berusia dua tahun, Wisnu mulai mengajak Arini untuk membicarakan soal anak kedua pada Arini. Namun, Arini masih enggan untuk hamil lagi apalagi menambah jumlah anak. Wisnu terus membujuknya untuk memikirkan soal anak kedua. "Ayolah. Rin. Rasyid kan sudah dua tahun. Kasian dia kalau sendirian terus. Jadi, enggak ada teman mainnya." Begitulah salah satu cara Wisnu membujuk Arini. Arini menghela napas. "Mas, aku masih ingat gimana rasanya melahirkan itu. Jadi, aku masih belum mau hamil dan melahirkan lagi dalam waktu dekat." Arini sedikit trauma dengan yang namanya melahirkan itu. Dia masih berusaha untuk menghindarinya. "Gitu, ya? Ya sudah deh nanti aja kalau gitu." Arini tahu suaminya kecewa dengan penolakannya, tetapi dia memang masih belum mau untuk hamil lagi. Kali ini dia masih berusaha menolak sebisanya sebelum, tetapi jika nanti ternyata Arini hamil, dia akan menerima itu bukan karena terpaksa. Sebisa mungkin dia akan menghindari perasaan itu. ***Wisnu su
Wisnu sudah menyerahkan hasil pemeriksaan tes DNA pada Baskara. Pria itu menunggu jawaban dari sang papa saat setelah membaca hasil pemeriksaan itu.'Maaf katena sudah berbohong, Pa, tapi Rasyid juga butuh pengakuan. Jangan abaikan dia hanya karena dia bukan anak kandungku,' ucap Wisnu dalam hati sambil berdoa semoga hati Baskara mau melunak."Jadi, Rasyid benar anak kandungmu?" tanya Baskara untuk memastikan apa yang dia baca itu adalah benar adanya."Iya, Pa. Kan aku sudah bilang Rasyid itu anakku. Sekarang Papa percaya kan setelah melihat hasil tes DNA ini?""Sekarang Papa percaya jika Rasyid adalah cucu Papa. Maaf karena sudah mengabaikannya selama ini. Untuk urusan berita murahan itu kamu tidak usah khawatir lagi, Nu. Semua sudah selesai.""Iya, Pa."Baskara menepuk lengan Wisnu beberapa kali. "Kerja bagus. Kalau ada waktu main ke rumah bawa Arini dan Rasyid sekalian. Papa mau bertemu dengan mereka."Wisnu diliputi perasaan bahagia. Dia belum pernah sebahagia itu bisa mempertemuk
"Karena cuma kamu yang tahu arini hamil dan itu anak kamu, tapi selama ini kamu selalu mengelak dan tidak mengakui kalau itu anakmu, lantas kenapa sekarang kamu bilang anak Arini bukan anakku?" Wisnu tahu jika Gilang memang sengaja melakukan itu untuk mendapatkan sesuatu. Entah itu menghancurkan citra PT. Kalingga atau meminta uang. "Karena aku mau melihat kamu hancur!" Gilang tertawa di hadapan Wisnu. Jika Wisnu bisa hancur, Gilang akan merasa senang karena bisa membalaskan dendamnya pada pria itu. "Kamu tidak akan pernah bisa menghancurkanku!" Wisnu jelas tidak mau kalah dengan Gilang. Memang dia bersama Arini sudah membalaskan dendam Arini pada Gilang, sekarang setelah dia hancur dia pun tidak tinggal diam melihat Wisnu hidup bahagia bersama Arini. "Oh ya, mumpung kita sudah ketemu, aku akan mengakui. Memang aku yang menyebarkan berita itu dan aku juga bisa menyetop tersebarnya berita itu semakin luas lagi. Aku ada penawaran menarik buat kamu, gimana kalau kita barter aja?" Wis
Rasyid sudah berusia satu tahun, tetapi Baskara belum juga mau menerima kehadirannya sebagai cucu. Keras sekali hati pria paruh baya itu belum mau menerima kehadiran anak itu. Istrinya tidak pernah lelah untuk membujuk Baskara agar mau luluh hatinya. Namun, usahanya masih belum menemukan hasil. Pagi itu Wisnu sudah bersiap bekerja di kantor. Jadwalnya hari itu cukup pada. Namun, masih terlalu pagi untuk tersebar berita miring tentang pemimpin PT. Kalingga. Tersebar berita jika anak dari Wisnu adalah anak haram. Hasil hubungan gelap istrinya dengan pria lain. Berita ini tersebar di berbagai media online. Membuat Baskara mengamuk dan sejak pagi sudah menyambangi kantor PT. Kalingga untuk menanyakan langsung pada anaknya. Agar berita yang tersebar tidak semakin liar, Baskara sudah meminta untuk mentake down berita itu agar dihapus dari berbagai media online."Apa benar apa berita yang tersebar itu jika anakmu adalah hasil hubungan gelap Arini dengan pria lain?" tanya Baskara dengan nada
Usia Rasyid sudah masuk tiga bulan, tetapi sikap Baskara masih sama pada Wisnu dan Arini. Pria paruh baya itu masih belum ada keinginan untuk menerima Rasyid sebagai cucunya. Siang itu Wisnu mengajak Arini ke rumah orang tuanya. Mamanya ingin bertemu dengan sang cucu sehingga mengundang arini dan Wisnu ke rumahnya. "Duh, Mama kangen banget sama kalian." Perempuan paruh baya itu memeluk Arini dan Wisnu bergantian. "Sini biar Mama aja yang gendong Rasyid." Mamanya Wisnu itu mengambil sang cucu dari tangan anaknya. Mereka pun masuk rumah menuju ruang tengah lalu duduk di sofa. Rindu dan Wisnu masih merasa gerah karena masih betah mengendarai motor ke rumah sang mama. "Kenapa enggak naik mobil sih?" tanya mamanya Wisnu. "Kan kasian Rasyid kalau harus kepanasan kayak gini." Perempuan itu mengelus lembut kepala cucu Kesayangannya. "Mobil? Nanti diprotes papa lagi, Ma." Wisnu memang belum mau menggunakan apartemen dan mobil pribadinya selama Baskara belum mau mengembalikan perusahaan pad
Ratih dan Wisnu sudah menyiapkan tas perlengkapan bersalin buat Arini. Hari ini perut perempuan itu sudah mulai terasa kontraksi. Arini minta Wisnu untuk menemaninya banyak jalan. Berjalan di sekitar rumah, jalan di mall. Arini ingin melahirkan secara normal lebih dulu. Namun, jika di tengah proses ada kendala baru dia akan memilih jalan operasi. Siang itu kontraksi yang dirasakan Arini sudah mulai sering. Hampir setiap menit sekali, tetapi ketubannya belum pecah. Wisnu berinisiatif membawa Arini ke rumah sakit dengan taksi. Perjalanan menuju rumah sakit dalam kondisi seperti itu terasa lama. Satu menit terasa satu jam. Wisnu tidak menemani Arini sendirian. Ratih sang ibu mertua sudah pasti menemaninya. Pria itu belum sempat menghubungi mamanya. Rencananya nanti begitu tiba di rumah sakit Arini masuk ruang tindakan, Wisnu akan menghubungi sang mama. Akhirnya taksi yang mereka tumpangi tiba di rumah sakit, Wisnu membantu Arini dibawa ke ruang UGD semetara Ratih membawakan tasnya. Di