Toshima, 23 Desember 2015.
Kembali kepada kehadiran Nakamura Naoto—Himeko memilih untuk memutus pandangan, kumpulan pastri dan donat yang berada di dekatnya lebih menarik untuk gadis lihat daripada pemuda yang entah mengapa kini mendekatinya. Atau mungkin lebih tepatnya, mendekati mesin pembuat kopi dan susu otomatis yang memang berada di dekat sang gadis.
Pemuda itu rupanya membuat latte—melihat begitu banyak susu yang dituang daripada kopi di gelas anti panas berukuran sedang. Himeko tak berusaha mengintip ataupun ingin tahu, tapi hal itu tertangkap oleh manik arangnya begitu saja. Dan gadis itu hampir menahan napas ketika Naoto benar-benar mendekat ke arahnya.
"Saya ingin Oden paket B. Apa bisa kembali dihangatkan?"
Himeko gelagapan, tetapi gadis itu tetap mengangguk. Menyiapkan pesanan pemuda itu, menghangatkannya, dan menyerahkannya dengan canggung.
"Terima kasih."—dengan pelan dan sebuah senyum tipis yang entah mengapa terlihat manis. Himeko tidak tahu beberapa detik yang lalu gadis itu kerasukan apa. Lagi pula, latte dan oden? Selera Nakamura satu ini aneh.
Manik Himeko lagi-lagi tanpa sadar menangkap pergerakan pemuda berambut pirang mirip kuning itu. Ditangkapnya visualisasi bahwa Naoto memilih untuk duduk di meja yang menghadap langsung ke arah kaca besar konbini. Kaca yang tengah menampilkan sepinya jalan nan licin pada senja di musim dingin.
Tanpa gadis itu sadari pula, pandangannya benar-benar terpaku pada sang pemuda. Tak sadar melihat bagaimana cara Naoto menyesap latte, bahkan caranya menyantap paket udon konbini tempat Himeko bekerja. Himeko bahkan tak menyadari bahwa kini, dia hanya berdua dengan pemuda itu di sini. Natsu yang mengatakan bahwa dirinya akan ke belakang untuk menerima paket barang, seperti dihirukannya begitu saja. Bahkan gadis itu lupa, bahwa Tamiko belum kembali dari toilet atau entah ke mana perginya kekasih dari Kei itu.
Dan ketika, pemuda itu tepat menoleh ke arahnya. Himeko seperti merasa jantungnya berhenti berdetak, segera saja ia menunduk. Menyembunyikan wajah yang entah mengapa—Himeko sama sekali tidak mengerti—memerah dan berpura-pura membersihkan dan mengatur microwave. Suatu hal yang menurutnya paling bodoh yang pernah dirinya lakukan. Karena microwave itu sudah selesai ia bersihkan beberapa menit yang lalu, sembari mencuri-curi pandangan pada Nakamura yang tengah menyantap hidangannya.
"Kau, Watanabe Himeko 'kan? Kita sekampus?"
Astaga—karena terlalu merutuki kebodohan diri, Himeko menjadi tidak menyadari bahwa sang Nakamura yang jadi atensi sudah tiba di hadapannya kini.
Dan—
—apa-apaan pertanyaannya itu? Himeko menahan diri untuk menggeram sebal. Bagaimanapun juga, hal yang ditanyakan pemuda itu sangat bodoh menurutnya. Ingatlah, bahwa Naoto pernah menyebut namanya dan menembaknya untuk menjadi kekasih hampir setahun yang lalu. Menembak hanya untuk menyelesaikan dare dari duo gosip Sasaki dan Hibiki yang kalau saja Himeko punya kekuatan hitam, sudah dibuat sang Watanabe menjadi miskin seketika.
"Y-ya, ada apa?" Sebenarnya Himeko ingin sekali melontarkan kata brengsek yang entah kenapa cocok disematkan di sana, tetapi gadis itu memilih untuk sedikit menenangkan diri.
"Aku hanya ingin minta maaf."
Kau terlambat puluhan juta detik, Bung.
Himeko ingin sekali memaki, tetapi gadis itu sama sekali tidak bisa. Bahkan kini, rasanya gadis itu merasa suaranya hilang—seperti ada sesuatu yang menahannya untuk berbicara.
Hening sejenak, sebelum akhirnya Himeko menjawab dengan kalimat-kalimat bodoh lagi.
"M-maaf untuk apa?"
Oke, pura-pura tidak tahu. Begitu hebatnya Himeko memilih opsi ini. Padahal sudah jelas kesalahan besar pemuda di hadapannya ini padanya, yang bahkan membuat sang gadis rela menghentikan beberapa mobilitas dan aktivitasnya di kampus. Sungguh, Himeko tidak tahu untuk membalas apa yang sekiranya normal.
"Setahun yang lalu, di kantin sastra."
Oh, hebat. Pemuda itu ternyata punya rasa bersalah dan masih mengingatnya.
"O-oh, tidak apa-apa," Himeko harus mengakui dosanya hari ini nanti. Kebohongan yang maha dahsyat itu terucap begitu saja. "K-kurasa itu bukanlah suatu masalah yang besar."
Bukan suatu masalah yang besar, tetapi mampu membuat sang Watanabe menambahkan luka lagi di pergelangan tangannya.
"Kalau begitu, kenapa kau tidak muncul lagi di kantin sastra?"
Pemuda itu benar-benar langsung ke inti, ya.
"Kenapa aku harus ke kantin sastra? A-aku kan anak oseanografi, kami punya kantin sendiri."
"Kalau begitu, kenapa namamu tak lagi muncul di majalah kampus? Kau ikut klub sastra 'kan? Penulis rubik utama di majalah kampus. Anak-anak sastra seringkali memujimu karena walau bukan dari jurusan sastra, tapi mumpuni untuk mengerjakan tugas mereka. Bahkan kudengar kau sudah keluar. Kenapa?" Pemuda itu terlihat menahan geramannya, seperti kesal. Membuat Himeko menjadi tersinggung, harusnya saat ini dia yang kesal 'kan?
"Maaf, itu pilihan pribadiku. Siapa kau?"
Baiklah, Himeko benar-benar kesal sekarang. Persetan dengan pelanggan yang baru saja memasuki konbini. Himeko rasa, gadis itu harus mengeluarkan sedikit emosinya yang tak stabil kepada pemuda kurang ajar ini.
"Aku? Mungkin mantanmu, walau tak sampai semenit. Kita pernah pacaran."
Pemuda ini gila. Himeko mengepalkan tangannya, ingin rasanya menghajar pemuda itu. Namun tak kuasa, Himeki tak ingin menambah masalah, gadis itu juga tak pandai bela diri, dan Himeko jelas enggan mempermalukan dirinya sendiri.
Gadis itu menghela napas, "Kalau tidak ada hal yang ingin kaubayar, minggirlah. Ada pelanggan yang harus kulayani."
Barulah pemuda itu menurut ketika baru menyadari adanya beberapa manusia lain yang memenuhi konbini. Pemuda itu kembali duduk, ke tempatnya tadi. Menikmati latte yang mungkin sudah mulai mendingin.
Sang Watanabe kemudian merasakan tepukan di bahunya, "Himeko,"
Ah, itu Tamiko.
"Kenapa?"
"Maaf tadi lama, sekalian menerima paket barang stok di belakang bersama Natsu."
Himeko mengangguk pelan, "Lalu, Natsu di mana sekarang?"
"Buang air kecil."
Keduanya kemudian terkikik geli, musim dingin kali ini benar-benar dingin. Membuat ginjal menyaring lebih banyak darah, menyebabkan lebih banyak urine yang dihasilkan karenanya.
Namun, dalam hati Himeko—gadis itu dipenuhi kecemasan. Terutama ketika maniknya masih menangkap visualisasi pemuda berambut pirang itu. Naoto masih di sana, dan tentunya percakapan—yang entah dapat disebut percakapan atau tidak—mereka tadi membuat gadis itu merasa gusar.
Sebentar lagi memang jam kerjanya habis, Himeko mendapat shift pagi sampai sore. Karena di malam harinya, Hanami yang kini duduk di bangku kelas tiga SMA memberondonginya dengan permintaan untuk diajarkan. Dan Himeko kini memang dekat dengan sang adik melalui cara itu. Himeko pun mengetahui pekerjaan kotor adiknya itu juga ketika Hanami sendiri yang menceritakannya pelan-pelan, dan akhir-akhir ini adiknya itu menjadi makin berani—suara desahannya kini benar-benar terdengar di telinga sang kakak. Agak menggelikan memang.
Himeko akan pergi dari tempat ini. Berharap saja agar pemuda Nakamura itu tak mengejarnya seperti di drama-drama kesukaan Hanami.
.
Ketika Himeko baru melangkahkan kakinya belum sampai sepuluh langkah di belakang konbini, sebuah suara yang entah khas—terasa asing, tetapi ia langsung mengenali terdengar. Lagi.
"Himeko."
Mereka bahkan baru menjalani percakapan yang canggung, tetapi pria itu sudah berani memanggil nama aslinya.
"Apa lagi?" Mungkin nada Himeko terdengar bosan. Namun sebenarnya dalam hati gadis itu terasa sedang seperti naik roller coaster. Tangannya dia masukkan ke dalam saku jaket ungu pastel tebalnya, di bagian kiri terdapat kopi kaleng panas yang dipakainya juga untuk sekadar memberi kehangatan. Sementara, Himeko juga menyembunyikan bibirnya di syal agak tebal yang kini ia kenakan. Begitu pula dengan topi rajut warna ungu yang sudah agak usang menutupi kepala dengan mahkota hitam itu.
Tak lupa, gadis itu menyembunyikan tatapannya di balik poni tebal, tak terlalu berani menatap mata.
Pemuda itu, Nakamura Naoto. Lagi-lagi, pemuda itu membuat Himeko sangat bertanya-tanya harus melakukan apa.
"Aku ingin mengantarmu pulang."
"Tidak usah."
Dengan bergegas Himeko menjauhi area sekitar konbini, firasatnya sebentar lagi Tamiko dan Natsu akan keluar dari pintu belakang untuk pulang juga. Himeko bingung untuk menjelaskan apa kepada Tamiko dan tak ingin digoda tidak jelas oleh Natsu. Karena firasatnya juga, pemuda ini merupakan pemuda yang sangat gigih.
"Aku tahu daerah rumahmu," Ketika Himeko benar-benar merasa sudah menjauh dari konbini dan berbaur dengan puluhan orang di jalan. Gadis itu baru menyadari bahwa Naoto benar-benar telah ada di sampingnya. "Biar aku menemanimu pulang, Himeko."
"Sudah ribuan kali aku pulang sendiri seumur hidupku. Terima kasih atas tawaranmu, Nakamura-san. Namun, tak usah repot-repot."
"Aku akan tetap menemanimu."
Himeko memutar bola matanya, mulai menyerah. "Terserah."
Lagi pula, Naoto akan bosan dan langsung pergi ke ketika dirinya mendapatkan keretanya. Himeko bakal mendiaminya terus. Siapa suruh tiba-tiba mendatanginya dan langsung menjadi menyebalkan begini. Semua orang pasti marah, Himeko juga. Dan diamnya gadis itu artinya adalah kemarahan.
Dengan sabar Himeko menunggu kereta tujuannya datang, stasiun saat ini sedang ramai-ramainya. Tentu saja, sekarang jam pulang kerja. Begitu pula dengan masih banyaknya anak-anak berseragam yang masih berkeliaran, mungkin mereka baru pulang belajar kelompok atau sekadar bermain dengan teman mereka. Sesekali Himeko juga menyesap dan menikmati kopi panasnya, tak terlalu mempedulikan eksistensi Nakamura Naoto yang ada di sampingnya.
"Himeko," Naoto tepat bersuara ketika dirinya menyelesaikan kopinya. "Aku benar-benar ingin berbicara serius denganmu."
Dengan cepat Himeko menjauh sedikit, mendekati sebuah tempat sampah. Membuang kaleng kopinya ke tempat yang tepat. Bibirnya tetap dibungkam oleh kesunyian di antara mereka, telinga sang gadis lebih memilih mendengarkan keramaian stasiun daripada pemuda yang kini dengan kurang ajar menggenggam pergelangan tangannya.
"Lepas," Himeko masih berusaha mengatur dirinya sendiri untuk terlihat tenang—setidaknya begitu. Namun gadis itu lupa bahwa Naoto mengambil jurusan psikologi. Dengan mudahnya, mungkin pemuda itu dapat menangkap wajah paniknya sekarang—atau lebih tepatnya, setitik rasa takut.
Himeko tidak suka disentuh lelaki mana pun. Bahkan untuk sang kakak, Nanami dan sahabatnya pun—Kei. Himeko paling tidak suka berkontak langsung secara fisik dengan manusia berjenis kelamin laki-laki. Selalu ada takut yang merayapi dirinya.
Mungkin alasannya sering dikatakan orang sepele, tetapi karena alasan itulah Himeko menjadi agak anti dengan sentuhan lelaki.
Dahulu, saat sang gadis masih duduk di bangku sekolah dasar. Himeko mengalami yang namanya perisakan. Mau di kelompok anak perempuan maupun anak laki-laki. Di kelompok anak-anak perempuan, biasanya Himeko digunjing sebagai anak liar—potongan rambutnya seperti anak laki-laki, tidak cantik, dan tidak pandai bersolek. Sedangkan di kelompok anak laki-laki, seringkali dia mendapatkan ejekan karena matanya yang memang tanpa pupil. Kata mereka, Himeko mirip hantu. Pun ketika masa sekolah menengah—saat Himeko memanjangkan rambutnya, gadis itu acapkali dimiripkan dengan Sadako, hantu wanita khas Jepang.
Namun ada suatu hal yang membuat sang gadis menjadi trauma mendapatkan kontak fisik. Ketika tepat di musim gugur yang berangin, Himeko mengenakan pakaian lengan pendek dan untuk menutupi lengannya dari angin, gadis itu menggunakan kardigan warna lavendel yang dahulu dirajut oleh sang ibu. Bawahannya adalah celana jeans anak yang panjang. Pakaian yang normal saja, tetapi para anak laki-laki yang jahil selalu punya cara untuk membuatnya menangis, bahkan sampai trauma berkepanjangan.
Mereka, seingat Himeko ada tiga orang anak laki-laki yang menjadi kakak kelasnya. Mereka memang dikenal sebagai anak-anak paling nakal—tiga orang yang bahkan Himeko tidak ingin ingat namanya. Menjahili Himeko dengan memaksa membuka kardigan miliknya. Salah satu dari mereka ternyata juga melanggar peraturan sekolah—membawa ponsel pintar berkamera.
Ketika kardigan Himeko benar-benar terlepas, salah satu dari mereka tertawa-tawa. Memeluk Himeko sok akrab, bahkan mencium pipinya dan mengatakan hal-hal dewasa sebelum waktunya.
[ "Ini pacarku, hahaha!" ]
Kami-sama, mereka saat itu baru berusia dua belas tahun! Dan Himeko baru berusia sepuluh hampir sebelas tahun saat itu terjadi. Yang paling parahnya adalah ketika Himeko juga diancam kalau video itu bakal disebar di internet oleh kakak si perekam jika dia mengadu.
Pelecehan seksual.
Ada beberapa alasan yang kuat mengapa Himeko juga lebih memilih diam daripada mengadu pada guru, keluarga, atau siapa pun; dia malu jika sampai video itu benar-benar tersebar luas, dia tak punya bukti kuat, dan tidak pula memiliki cukup teman untuk membela. Keluarganya pun saat itu tengah berduka, ibunya meninggal tepat sehari setelah kejadian itu karena kanker yang sejak dahulu dideritanya. Hal itu menjadikan ayahnya makin sering marah-marah, membuat sang kakak Nanami yang saat itu kelas tiga SMP gagal mendapatkan ujian beasiswa di SMA bergengsi di kotanya karena dirundung kesedihan. Dan Hanami yang saat itu baru berusia enam tahun sama sekali tidak punya tempat bersandar.
Sudah jatuh tertimpa tangga memang, kemalangan ini benar-benar membuat keluarga kecil Watanabe mereka hancur—berada di titik terendah.
Maka Himeko tak memiliki pilihan lain untuk menjadi kuat. Menjadikan dirinya sendiri sandaran adik kecilnya yang saat itu dirundung kebingungan mengapa ibunya bisa pergi walau tak terlihat sakit di hadapannya, memberikan surat semangat warna-warni untuk Nanami, dan selalu membuatkan teh hangat untuk ayahnya. Himeko berusaha menjadi kuat di tengah kehilangannya akan sosok yang paling ia sayangi, berusaha kuat saat dilecehkan oleh kakak kelasnya, dan berusaha kuat berjuang di sekolahnya yang bagai neraka saat tak seorang pun benar-benar ingin berteman dengannya.
Himeko tumbuh untuk menjadi kuat, walau harus menahan semua emosi dan perasaan yang menghantui sang gadis. Menahan yang namanya kesedihan, amarah, lelah, dan lain sebagainya.
"Maafkan aku."
Ketika suara Naoto terdengar, Himeko sontak kembali kepada kenyataan.
"A-aku—"
Suara kereta yang datang dan ramainya manusia yang mencoba keluar maupun masuk menghentikan kata-kata mereka. Begitu juga sang gadis yang merasa suhu musim dingin kali ini makin dingin, Himeko memasukkan kembali tangannya ke dalam saku dan menghela napas.
"Terserah apa katamu, Nakamura-san."
•••
Bodoh!
Nakamura Naoto berteriak dalam hati. Kalau pemuda itu mengingat kembali interaksinya dengan gadis Watanabe di sampingnya ini—Naoto rasanya ingin meringis malu dan memaki diri sendiri. Bisa-bisanya pemuda itu mengatakan banyak hal bodoh—Naoto memang menyadari bahwa dirinya kadang terlampau bodoh, tetapi untuk kasus ini dia benar-benar tidak mengerti mengapa dirinya bisa segila ini.
Naoto datang ke konbini dengan tekad kuat, tetapi ketika maniknya berpandangan dengan manik arang milik Himeko yang tengah menjaga microwave—semuanya hilang begitu saja.
Pemuda itu memang suka latte, tetapi dengan oden—jelas bakal dipandang aneh. Belum lagi dirinya yang sempat berkata tak masuk akal.
Hanya saja Naoto benar-benar tidak dapat menjaga lisannya ketika wajah pura-pura tidak tahu menahu Himeko lontarkan—tetapi berkebalikan dengan manik arang yang terlihat jelas terluka.
Jelas, Naoto belum sempat meminta maaf dengan benar. Pemuda itu merasa bahwa dirinya sungguh payah.
Naoto juga tidak mengerti—mengapa ketika melihat tatapan Himeko tadi, rasanya pemuda itu bagai sedang bercermin pada masa lalunya.
Pemuda Nakamura itu menggeleng, mengenyahkan sekelumit memori pahit dalam diri. Memilih untuk kembali melirik Himeko yang kini berdiri menggenggam pegangan tali kereta menutup diri dengan memasang earphone dan menatap sesuatu di ponsel pintarnya. Sementara kereta yang tengah dinaiki sedang melaju di antara Tokyo yang kini penuh salju. Dari Toshima menuju Kyojima yang berada di Sumida—kawasan rumah susun yang dihuni Himeko, kawasan pemukiman Tokyo yang menyimpan warisan masa lalu dan menyiapkan masa depan. Sebuah kawasan pemukiman yang ada sejak dahulu kala di ibu kota negeri matahari terbit ini.
Naoto tahu di mana Himeko tinggal karena sebenarnya mereka berdua tinggal di kawasan yang sama—Sumida. Naoto sejak awal kuliah mendapatkan sebuah apartemen kecil yang biaya sewanya lumayan rendah di sana. Dan seringkali pemuda itu sebenarnya menaiki kereta yang sama Himeko, tetapi Naoto jelas tidak enak menyapa terlebih dahulu. Lagi pula, biasanya gadis itu selalu mengenakan earphone—menatap sesuatu pada ponselnya. Naoto memahami hal. tersebut sebagai bentuk defensif diri agar tidak disapa. Pun sebelumnya, Himeko sering pulang dalam keadaan kelelahan. Naoto tahu bahwa Himeko sempat bekerja paruh waktu di sebuah restoran cepat saji di dekat kampus, walau pada akhirnya gadis itu terlihat menghilang di mana pun—dan akhirnya bekerja di sebuah konbini baru di kawasan Toshima tadi.
Kembali pada Himeko yang kini menundukkan kepala—Naoto menjadi ingat reaksi gadis itu tadi ketika dirinya tak sengaja menyentuh lengan Himeko. Matanya jelas menggambarkan ketakutan, sedikit bergetar, dan Naoto juga masih melihat bahwa gadis itu tetap berusaha untuk kuat.
Seperti dirinya dahulu—
Naoto kembali menggeleng, menatap jam digital yang terpasang di dalam kereta—masih setengah jam lagi untuk sampai ke kawasan rumah mereka. Masih ada dua stasiun lagi yang harus mereka lewati sebelum sampai kawasan Sumida. Dan Himeko yang diam saja, jelas membuat Naoto agak jengah.
Namun, entah, lagi-lagi Naoto tidak mengerti. Entah apa yang dipikirkan oleh semesta, manusia tak bisa mengerti secara penuh—hanya bisa mengambil sebuah hikmah dalam kejadian. Ketika kereta yang tengah dinaikinya baru berhenti di stasiun Nagatacho, seluruh kereta berhenti beroperasi. Diikuti dengan permintaan maaf pihak stasiun. Hujan salju yang diramalkan akan terjadi besok pagi, malah terjadi hari ini—terkadang se-akurat teknologi dan se-pandainya manusia menentukan, takdir lebih menentukan.
Naoto terjebak di stasiun—ralat bukan hanya dirinya, ada Himeko yang kini terlihat lelah, dan ratusan penumpang lain yang tak sengaja di antaranya mengumpat sebal.
"Kita terjebak," Naoto berdeham. Tangannya makin bersembunyi di dalam kantung jaket tebalnya. Himeko yang kini tengah melepaskan earphonenya menghela napas lelah dan menggumam pelan.
Para penumpang kereta banyak yang mulai meninggalkan stasiun, mendatangi kafe, konbini, ataupun restoran yang berada di Nagatacho. Beruntung pula, sejak musim gugur yang sudah terasa dingin tahun ini, penduduk Tokyo selalu rajin membawa payung ketika beraktivitas di luar rumah. Termasuk pula dengan Naoto. Pemuda itu membawa payung lipat kecil bening untuk menuju salah satu kafe yang ada di dekat stasiun.
Namun belum lima langkah terlewati, Naoto berhenti.
Watanabe Himeko. Gadis itu hanya tetap diam. Tidak membuka membuka payung dan melangkah.
"Kau tidak membawa payung?" Naoto kembali mendekati gadis itu. Berhati-hati agar tidak terlalu dekat—apalagi sampai tersentuh.
Himeko menggeleng. "A-aku melupakannya di loker konbini."
"Kalau begitu, lebih baik kau ikut bersamaku." Naoto tersenyum. Pemuda itu beruntung membawa payung lipat nan berukuran lumayan besar di dalam tas punggung hitam yang tengah dibawanya. Sebenarnya, sebelum bertandang ke konbini—Naoto sempat mengunjungi rumah temannya yang berada di kawasan Toshima.
"A-aku ingin menunggu di sini saja," Himeko menunduk. "Terima kasih, tapi kata petugasnya tadi tidak akan terlalu lama. Aku harus pulang cepat.".
"Namun, petugas juga bilang kalau kereta akan beroperasi menyesuaikan keadaan. Apalagi, sekarang hujan salju kali ini makin besar. Menunggu di stasiun bukanlah hal yang bijak, kau bisa kedinginan." Naoto membawa agar payung beningnya agar ikut serta menutupi kepala dan bagian tubuh Himeko dengan hati-hati—Naoto sama sekali tidak ingin gadis itu merasa tidak nyaman. Walaupun ini pertama kalinya mereka berinteraksi setelah sekian lama terkubur dalam percakapan memalukan.
Gadis itu tetap bergeming di tempatnya.
"Himeko?"
"Tidak usah mengasihani aku, aku benci dikasihani."
Naoto sempat membeku sesaat sebelum akhirnya menyadari sesuatu.
"Aku tidak mengasihanimu," Pemuda Nakamura itu tiba-tiba saja seperti melihat dirinya di masa lalu.
Sendirian, meringkuk di sudut kamar tiap tengah malam—merasa sendirian. Dingin. Terkadang telinga kecilnya mendengar suara makian antara pria dan wanita, kadang pula pukulan. Naoto kecil yang ketakutan, membutuhkan pelukan sehangat ibunya. Namun tak ada peduli, sekali pun ada yang melirik—terlihat jelas kasihan. Naoto kecil benci akan tatapan itu, mereka akan memberinya ujaran tak berarti sesaat, lalu pergi begitu saja. Kembali meninggalkannya pada kesendirian, sedu sedan tengah malam.
Naoto menggeleng imajiner, mengenyahkan setitik luka masa lalu yang hadir sesaat.
"Ini namanya bukan kasihan, tapi kepedulian. Aku melihatmu bagai teman senasib yang terjebak di tengah hujan salju saat ini." ujar pemuda itu pelan. Berharap gadis di sebelahnya ini mengerti.
Himeko menoleh, dengan pandangannya yang terkesan datar gadis itu menjawabnya telak. "Akan tetapi, kamu bukan temanku."
Naoto kembali terdiam, sebelum akhirnya pemuda itu tersenyum.
"Kalau begitu, ayo kita berteman. Mari kita berkenalan dengan cara yang benar." Pemuda itu mengulurkan jabatan tangan. Dan Himeko hanya tetap diam.
"Namaku Nakamura Naoto, dari jurusan psikologi. Kita satu angkatan. Jika kamu ingat, kita pernah menjadi satu kelompok saat upacara penerimaan mahasiswa baru. Jadi, salam kenal—lagi."
Tangan itu masih tersodor. Agaknya gadis Watanabe itu masih ragu.
"Kalau kau tidak membalas jabatan tanganku juga tidak—"
Namun belum sempat Naoto kembali memasukkan tangannya ke saku, sebuah tangan yang jauh lebih kecil menerima jabatan tangannya dengan ragu-ragu.
Himeko membalas jabatan tangannya dengan cepat, tak ingin terlalu lama. Lagi pula, Naoto tak masalah—dan buat apa berjabat tangan lama-lama? Pemuda itu bukanlah idola dari negerinya.
"K-kau tahu namaku. Salam kenal."
.
.
.
BERSAMBUNG
.
.
.
• Kyojima: salah satu kawasan huni di Tokyo. Kawasan ini sudah ada sejak lama sekali, bahkan kawasan ini juga tidak mengalami kerusakan fatal sejak gempa dan perang.
• Sumida: distrik di Tokyo, di mana distrik kawasan Kyojima berdiri.
• Stasiun Nagatacho: stasiun bawah tanah yang ada di kawasan Nagatacho, di distrik yang berdiri banyak bangunan penting pemerintahan Jepang—Chiyoda.
Toshima, 25 Desember 2015. Hari ini, Natal telah dilaksanakan. Banyak pegawai konbini yang sebenarnya ingin meliburkan diri, tetapi hanya sedikit nan diizinkan atasan. Alasannya—konbini 24 jam ini memang harus tetap buka, banyak orang yang masih membutuhkan sesuatu pula masih terdapat diskon nan menggiurkan. Himeko salah satu yang tidak mendapat jatah libur—pun gadis itu memang tidak menginginkannya. Natal diidentikan dengan libur—kumpul bersama keluarga, sahabat, atau bahkan sekadar menghabiskan waktu bersama pacar jika memilikinya. Namun, Himeko tak memiliki alasan-alasan klise seperti di atas. Keluarga Watanabe kecil milik Himeko tak lagi pernah berkumpul lagi sejak dirinya kuliah. Ayahnya yang galak sampai sekarang masih agak tidak menerima dirinya menjadi sarjana oseanografi, tidak memilih jurusan yang dikehendakinya. Pun pria baya itu mungkin akan kini lebih memilih me
26 Desember 2015.Himeko datang ke konbini dengan perasaan campur aduk, tetapi jika ditilik dengan pasti—ada sekelebat rasa malas yang menghantui. Namun mau bagaimana juga, gadis itu memang memiliki kewajiban untuk datang ke konbini. Mencari pundi-pundi kehidupannya dengan pasti.Pagi itu, sejak dirinya masih di dalam kereta menuju Toshima, Himeko terlihat seperti gadis yang centil karena tak henti-hentinya menatap ke dalam ponsel pintarnya nan tengah terhubung dengan kamera. Lagaknya seakan-akan ingin berswafoto, tetapi sedari tadi pun sang gadis belum menekan tombol pengambil gambar bawaan ponsel pintarnya.Tak lupa sesekali Himeko juga menurunkan lengan jaketnya agar benar menutupi keseluruhan lengannya, terutama lengan kiri."Selamat pagi. Seperti biasanya, kau menjadi yang paling pagi datang, Himeko."Sesampainya di konbini yang masih belum terdapat pelanggan pada pagi itu, Himeko disambut oleh seorang pemuda yang rambutnya diwarnai merah marun. Di bawah matanya terdapat kantung m
Shibuya, 10 Oktober 2015. "Aku membutuhkan sebuah pekerjaan," Himeko kemudian menyeruput pelan kopinya. Kafein adalah salah satu zat yang selalu bersamanya. Namun, alangkah lebih baik lagi kalau dirinya dapat menemukan sebuah pekerjaan yang bisa menghasilkan pundi-pundi penentu hidupnya. "Pekerjaan yang tidak bakal membuatku lelah sekali. Yang berhubungan dengan sastra atau geografi, dan kalau bisa gajinya besar." Seorang pemuda yang kini duduk tepat di hadapan sang gadis berambut hitam arang—Nakano Kei—mendengkus sebal. "Tidak ada pekerjaan yang tidak membuat lelah, Himeko. Makanya tidur. Matamu makin mengerikan. Hentikan juga kebiasaan mengiris kulit tanganmu, kalau mati duluan gara-gara itu bagaimana? Katanya mau berniat bunuh diri dengan menerjunkan diri ke palung Mariana sebagai lulusan oseanografi yang sukses." Sang gadis yang tadi membuka pertanyaan, Watanabe Himeko menyingkap lengan baju panjangnya, ada luka sayatan di sana. Lumayan banyak. Himeko memang sedang stres akhir-a
Shibuya, 10 Oktober 2015. Nakamura Naoto dikenal sebagai pemuda yang tak terduga. Pemuda itu dikenal sebagai siswa yang terlihat tidak bersemangat dengan pelajaran akademik, tetapi mempunyai sejuta mimpi nan nyata. Dengan semangat tinggi dan senang melakukan sebuah aktivitas gerak—Naoto juga dikenal sebagai pemuda yang mungkin akan memilih masa depan berbau olahraga ketika SMA. Namun nyatanya, kini pemuda itu tengah memusatkan studinya pada suara hal yang sangat terdengar akademik; mempelajari hal-hal yang berbau kejiwaan manusia. Psikologi. Saat Naoto mengatakan kepada sahabat dekat, wali, dan juga guru-gurunya—pemuda itu mendapatkan tawa dan tatapan tak percaya. Dan fakta bahwa bahwa Naoto dan menyerah adalah ketidakmungkinan, membuat keinginannya itu kini nyata. "Kenapa cepat sekali, sih." Café au lait yang sejak tadi menemaninya menyelesaikan beberapa revisi skripsi demi mendapatkan gelar sarjana tinggal sedikit. Naoto menghela napas, lagi-lagi pemuda itu harus mengucapkan sel