Share

Dua

Shibuya, 10 Oktober 2015.

Nakamura Naoto dikenal sebagai pemuda yang tak terduga. Pemuda itu dikenal sebagai siswa yang terlihat tidak bersemangat dengan pelajaran akademik, tetapi mempunyai sejuta mimpi nan nyata. Dengan semangat tinggi dan senang melakukan sebuah aktivitas gerak—Naoto juga dikenal sebagai pemuda yang mungkin akan memilih masa depan berbau olahraga ketika SMA. Namun nyatanya, kini pemuda itu tengah memusatkan studinya pada suara hal yang sangat terdengar akademik; mempelajari hal-hal yang berbau kejiwaan manusia.

Psikologi.

Saat Naoto mengatakan kepada sahabat dekat, wali, dan juga guru-gurunya—pemuda itu mendapatkan tawa dan tatapan tak percaya. Dan fakta bahwa bahwa Naoto dan menyerah adalah ketidakmungkinan, membuat keinginannya itu kini nyata.

"Kenapa cepat sekali, sih."

Café au lait yang sejak tadi menemaninya menyelesaikan beberapa revisi skripsi demi mendapatkan gelar sarjana tinggal sedikit. Naoto menghela napas, lagi-lagi pemuda itu harus mengucapkan selamat tinggal kepada beberapa uangnya. Ingatkan pemuda itu juga untuk hemat—karena kini dia berhenti dari kerja paruh waktunya demi fokus menggarap tugas akhir yang menyebalkan ini. Apalagi bulan ini Oktober. Bulan kelahirannya, dan Naoto berjanji akan mengirimkan beberapa buah tangan Tokyo ke Okinawa kepada sepupu-sepupunya dari pihak mendiang sang ibu saat berulang tahun nanti.

Pemuda itu mengedarkan manik safir kepunyaannya, mencari pelayan kafe yang seingatnya senantiasa berlalu lalang. Naoto dapat menemukan seorang gadis berseragam tak jauh di sisi kanannya. Namun ketika tangannya ingin melambai untuk memanggil—tatapannya malah terkunci kepada dua orang yang entah kenapa terlihat familier duduk di dekat sang pelayan. Seketika Naoto menurunkan tangannya lagi, matanya difokuskan kepada dua objek yang ia yakini teman satu universitasnya.

Pemuda itu sedikit terkejut, ketika menemukan mahasiswa universitasnya juga mengetahui keberadaan kafe yang memang jaraknya agak jauh dari kampus mereka, dan agak menjorok ke dalam. Tertutupi beberapa gedung tinggi, tetapi tak menampik bahwa kafe ini memiliki desain yang memikat dan menu nan murah juga lezat. Menjadikan kafe ini setidaknya memiliki banyak pelanggan setia dan beberapa pengunjung yang datang akibat panggilan mulut ke mulut orang-orang yang membicarakan.

Naoto tercekat, mahkota panjang berwarna hitam legam itu ia kenali sebagai Watanabe Himeko. Himeko, gadis yang kalau Naoto sudah gila—dapat dia sebut sebagai mantan kekasihnya. Walaupun tak sampai semenit dan hanya untuk menuntaskan dare ngawur Sasaki dan Hibiki—kekasih sohibnya Sasei dan Yaruta. Kira-kira hampir setahun yang lalu. Menembak seorang gadis di kantin sastra yang ramai dan memutuskannya tak sampai semenit. Dan Naoto bukanlah orang yang pengecut, maka dari itu sang pemuda memilih Watanabe Himeko yang kebetulan berada di dekat mereka. Himeko yang Naoto ketahui hanya sebatas penulis lepas majalah kampus dan pernah menjadi teman sekelompoknya saat masa orientasi mahasiswa. Entah gadis itu masih mengingatnya atau tidak, tetapi yang sebatas Naoto mengingat gadis itu sebagai kalem nan manis—dan pastinya memiliki otak yang cemerlang. Oh tentu, dia salah satu mahasiswi oseanografi kebanggaan universitas yang mendapatkan emas olimpiade geografi antar mahasiswa tingkat nasional—mengalahkan mahasiswa yang berjurusan asli geografi.

Walaupun pada akhirnya, Naoto benar-benar malu dan menyesal. Pemuda itu merasa kekanakkan karena terpancing oleh kata-kata provokatif kedua gadis itu. Naoto sempat malu untuk mendatangi kantin—kantin mana pun. Mana lagi bisik-bisik para mahasiswa kadang seringkali menyertainya ketika berada di kampus. Belum lagi rasanya amat bersalah pada Himeko, tetapi pemuda itu sama sekali tidak dekat dengan sang gadis. Tidak memiliki kontak atau apa pun.

Manik safir itu membulat ketika menangkap visualisasi Himeko yang kini menyingkap sedikit lengan baju panjangnya—menampilkan banyaknya luka akibat goresan di pergelangan tangan sang gadis. Naoto membeku di tempat, sebagai mahasiswa psikologi bukanlah hal yang asing lagi luka gores apa itu.

Self harm atau self injury—sebuah perilaku menyakiti dan melukai diri sendiri yang dilakukan secara sengaja. Bentuk dari gangguan kejiwaan. Melihat dari beberapa luka goresnya dan ekspresi kedua manusia yang sedang diperhatikannya ini pun, Naoto tahu bahwa hal tersebut bukanlah sesuatu yang baru. Belum lagi dengan Himeko yang tampak menunduk—dari matanya, Naoto dapat melihat banyaknya beban pikiran, walau mungkin wajah sang gadis terlihat biasa-biasa saja dan terkesan agak menggoda pemuda di hadapannya. Dan yang membuat Naoto meringis sekarang ini ialah sang gadis Watanabe yang sengaja menusuk-nusuk jemarinya sendiri dengan garpu pastri.

Naoto kembali lagi mengingat bahwa setelah kejadian dirinya menembak gadis itu, dirinya tak lagi menemukan nama Himeko di majalah kampus. Tak lagi menemukan Himeko di kantin fakultas mana pun, gadis itu seperti menghilang—walau pada awalnya sang pemuda memang tidak segera menyadari hal itu.

"Ini salahku," Naoto mengepalkan tangannya. "Pasti dia menderita, kau tolol Naoto!"

Rasa bersalah menghantui Naoto. Bagaimanapun, dirinya ini mahasiswa psikologi—dan sejak SMP diam-diam pemuda itu bercita-cita ingin menjadi psikolog yang membantu banyak orang, terutama para remaja di luar sana. Ada banyak permasalahan kejiwaan di masyarakat umum, tua maupun yang masih muda—tetapi masih belum disadari betapa pentingnya hal itu harus diatasi. Sang pemuda dahulu pernah menjadi salah satu dari mereka, pernah berpikir menjadi seorang manusia remaja yang tak berguna sama sekali. Tidak diinginkan, pembawa masalah, ditertawakan orang, dan hal-hal yang dahulu sering melibatkannya dalam percobaan bunuh diri. Mungkin, dirinya dikenali sebagai anak nakal yang suka nyegir dan jahil. Namun, itu semua tak bisa menutupi fakta bahwa Naoto dulunya juga manusia yang harus dibantu di tengah ketidakpedulian orang-orang terhadap dirinya. Maka dari itu, ketika Naoto bebas dari kegelapan—dia sangat ingin membantu yang lainnya untuk bebas juga.

Naoto bercita-cita semulia itu. Namun, berkat kebodohannya juga—dia malah menjadi salah satu manusia yang membebani kejiwaan manusia lain.

Sungguh Nakamura Naoto merasakan penyesalan, harusnya ia tidak gampang terpancing ketika dibilang pengecut setahun yang lalu dan diancam foto memalukan masa kecilnya tersebar. Sialan memang Sasei dan Yaruta, mereka berdua menemukan foto memalukan Naoto itu di apartemen kecilnya sekitar seminggu sebelum kejadian. Seharusnya sang pemuda bisa menjaga aib itu, lebih tegas pada kedua sohibnya, walau mereka sama-sama dari Okinawa dan sangat dekat sekali pun—pasti foto masa kecilnya tak akan menjadi kelemahan. Sasaki dan Hibiki tak akan pernah memiliki kekuatan untuk memaksanya.

Dan Naoto, sebenarnya benci dipaksa.

Harusnya, harusnya—harusnya Naoto bisa membantu Watanabe Himeko.

Ya, detik itu juga. Tanpa berpikir lebih panjang lagi Naoto menetapkan dirinya bahwa gadis berambut hitam panjang itu adalah kasus pertamanya.

Dengan segera Naoto menyimpan data revisi skripsinya, mematikan laptop di hadapannya—pemuda itu memilih untuk menghentikan aktivitasnya di kafe ini. Tak lupa juga Naoto meminta kertas invois atas pesanannya tadi. Naoto merasa dirinya harus pulang sekarang, sudah tidak lagi memiliki fokus dalam menggarap tugas akhir ini.

Ketika pemuda itu tengah berjalan menuju keluar dari kafe, Naoto sedikit melirik kepada kedua manusia yang tadi sempat menjadi pusat perhatiannya. Kelihatannya mereka masih lama berada di sini dan Naoto juga mendapatkan suatu bonus yang menarik.

"Ish, Kei-kyun~" Himeko melemparkan tisu bekasnya ke pemuda yang kini Naoto tahu namanya Kei. Dan pemuda itu tercekat, pipinya terasa memerah. Gadis itu terlihat manis sekali.

"Baik, Kei-nii~" Mungkin Naoto memang tidak pernah berbicara langsung dan juga tak pernah mendengar suara Himeko saat berbicara selain memperkenalkan diri hampir empat tahun yang lalu. Namun, pemuda itu bisa bersumpah bahwa suara gadis itu aslinya berbeda dari suara yang kini dihasilkannya.

"Sekalian gulungan kayu manisnya ditambah lagi tidak apa-apa kan? Kei-nii baik dan tampan, deh! Terus aku tiba-tiba mau latte, nih! Bolehkan Kei-nii?"

Boleh juga, suaranya itu terdengar manis. Seperti adik perempuan kecil yang meminta penjagaan dan permen pada kakak mereka. Belum lagi dengan ekspresi wajah Himeko yang sengaja memperbesar matanya dan rona-rona merah di pipinya yang gembil.

"Kau tahu, Himeko? Kalau ada anak kampus mengetahui sifat perayumu yang seperti ini, pasti bakal lebih heboh daripada kasusmu sama anak-anak kurang kerjaan itu!"

Sebuah keajaiban, Naoto memang tidak semencolok biasanya. Rambut kuning terangnya ini kini tertutupi oleh kupluk rajut berwana abu-abu, begitu pula dengan jaket bomber hitam yang membuat dirinya tampak berbeda.

Dan pernyataan terakhir pemuda di hadapan Himeko itu membuat ya merasa tertohok.

"Ish, Kei-kyunnn~"

Sang pemuda malang yang entah mengapa mirip seperti anjing itu dihadiahi tisu bekas pakai. Dan Himeko tampak seperti gadis kecil yang sedang merajuk—manis, Naoto mengomentarinya dalam hati.

Ini makin tidak terkendali. Naoto benar-benar harus segera keluar dari kafe ini.

•••

Malamnya, Naoto sama sekali tidak bisa terlelap. Pemuda itu selalu terbayang oleh Watanabe Himeko; perasaan bersalah dan juga nada menggoda yang ternyata dapat gadis itu keluarkan dari tubirnya.

Naoto juga sama sekali tidak dapat melanjutkan revisi skripsinya pada hari itu, sang pemuda jelas tidak dapat menemukan fokus kembali.

Jadilah, pemuda itu hanya merebahkan diri di atas kasur—menatap langit-langit kamar tidur berukuran kecilnya tanpa tujuan.

Naoto mendengar dengan jelas bahwa Himeko menyebut pemuda bernama Kei itu dengan mesra. Dan sejujurnya pemuda itu juga familier dengan nama Kei tersebut. Naoto pernah melihat keperawakan pemuda itu. Rasanya seperti tidak terlalu lama rasanya Naoto bertemu dengan sang pemuda.

"—ah, Kei anak teknik?" Naoto akhirnya benar-benar mengingat seseorang.

Nakano Kei. Mahasiswa teknik industri. Pemain futsal universitas. Mereka bukan lagi pernah—tetapi sering bertatap kala festival olahraga universitas dimulai. Naoto yang merupakan pemain bisbol psikologi, keduanya sering bertemu saat seluruh atlet fakultas berkumpul. Sesekali pula bahkan tak segan-segan bertegur sapa, walau hanya sekadar "pagi, bro" semata.

Dan sejak tahun lalu, pandangan Kei memang menjadi lebih dingin padanya. Meskipun Naoto tak terlalu mengenal dekat, pemuda itu tahu Kei merupakan pribadi yang hangat.

Semuanya...

... jelas salahnya, 'kan?

•••

Shinjuku, 4 Desember 2015.

"Untuk apa kau ingin bertemu dengannya? Mempermalukannya di depan umum lagi?"

Naoto tidak menyangka bahwa dirinya benar-benar menyelidiki kasus Watanabe Himeko sedemikian rupa hingga seperti ini, bahkan pemuda itu juga mendatangi fakultas teknik—tempat di mana seorang pemuda yang bernama Kei menuntut ilmu.

Berbekal dari nama Kei—anak futsal jurusan teknik. Naoto mendapatkan informasi bahwa pemuda yang dicarinya itu satu angkatan. Walaupun Naoto baru menemuinya setelah dua bulan karena disibukkan segala urusan mahasiswa saat ingin mendapatkan gelar sarjana. Pun ketika Naoto berkeinginan menemui gadis itu secara langsung, dirinya harus menerima fakta bahwa Himeko tak lagi datang ke kampus. Gadis itu sudah menyelesaikan rangkaian sidang, revisi, membuat jurnal ilmiah, dan bahkan skripsi Himeko juga telah dapat diakses pada laman daring universitasnya. Himeko dapat dikatakan hanya tinggal menunggu wisuda gelombang pertama di tahun depan, mungkin saat ini gadis itu sedang mencari pekerjaan yang cocok. Diam-diam Naoto mengagumi semangat gadis itu dalam menyelesaikan studinya.

Dan dari rumor yang beredar pula—Naoto mendengar bahwa pemuda Nakano itu merupakan kekasih dari Himeko. Ketika mendengar pernyataan terakhir, Naoto tidak mengerti mengapa dirinya bisa cemburu tidak jelas untuk sesaat.

"Bukan," Naoto menggeleng. Pemuda itu tetap berusaha mempertahankan ketegasan dan ketenangan di balik ucapan-ucapan yang akan dilontarkannya nanti. "Aku ingin minta maaf padanya."

Kei menggeram. "Dia tidak bakal memaafkanmu. Jangan pikirkan lagi kau akan bertemu dengannya."

Kini mereka memang tengah berada di lorong menuju kantin fakultas teknik. Di sini lumayan sepi, tak banyak orang yang berlalu-lalang. Karena nyatanya sekarang sudah menunjukkan pukul lima sore, dan pukul tiga sore saja kegiatan utama gedung ini memang telah berakhir. Baru akan kembali ramai ketika pukul tujuh malam nanti, ketika mahasiswa kelas malam mulai berdatangan.

"Aku—"

"—aku tak peduli. Pergilah. Dan jangan coba-coba dekati Himeko. Atau akan aku hajar kau di tempat ini sekarang juga."

Naoto memilih untuk diam sejenak. Meneliti pemuda di hadapannya ini. Dari wajahnya yang lelah, pemuda itu tahu bahwa Kei baru saja selesai bimbingan skripsi—mungkin skripsinya mendapat banyak sekali revisi dari dosen. Apalagi sebentar lagi libur musim dingin—rangkaian libur panjang dari libur natal dan tahun baru. Mungkin saja kelulusan pemuda itu tidak sesuai dengan yang diharapkan—entahlah, Naoto hanya dapat menebaknya. Diam-diam Naoto juga merasa simpati karena sama-sama pejuang sarjana.

"Kau pacarnya?"

Kei mendengkus, kemudian menyeringai. "Ya, aku pacarnya. Kenapa?"

Sial, sang pemuda Nakamura baru menyadari bahwa nadanya terdengar agak merengek. Dengan cepat Naoto berdeham untuk kesekian kalinya lagi dan menghela napas.

"Serius, Nakano-san," Mata biru Naoto masih menangkap jelas ketidaksukaan Kei terhadap dirinya dan sedikit raut penasaran juga. "Aku hanya ingin minta maaf pada Himeko. Aku juga ingin membantunya agar dia..."

Oh, Naoto agak ragu ketika mengatakannya, apalagi ketika menangkap raut wajah Kei yang kini makin menginterogasinya.

"...agar setidaknya Himeko, mengehentikan self harm yang dilakukannya."

Mata pemuda Nakano itu membulat ketika mendengar kata-katanya tadi, Naoto memaklumi hal tersebut.

"Kei-kun!" Belum sempat bibir pemuda bernama Kei melontarkan sebuah kata. Suara feminin seorang perempuan menyapa mereka. Seorang gadis berambut cokelat berwajah manis, mendatangi Kei sembari membawa sebuah kotak bekal dalam dekapan.

"E-eh? Maaf jika aku mengganggu," Naoto sepertinya tidak asing dengan gadis itu. Rasanya pemuda itu pernah melihatnya di suatu tempat. Namun dengan kedatangan gadis itu juga—Naoto sama sekali tidak mengerti mengapa dirinya merasa lega. "A-aku akan menunggumu, Kei-kun. Di tempat biasa."

Kei mengangguk, gadis yang baru saja tiba itu berlalu dengan cepat. Dan Naoto dapat mendengar helaan napas berat dari pemuda yang berada di hadapannya ini.

"Sepertinya ada beberapa rahasia Himeko yang kau ketahui di sini. Ada banyak hal yang kau harus jelaskan padaku, bukan?"

.

.

.

BERSAMBUNG

.

.

.

Catatan:

Shinjuku: Salah satu distrik terpenting di Tokyo, letaknya dekat Shibuya. Di sini terdapat banyak tempat terpenting di Tokyo; ada universitas ternama di Jepang (Universitas Waseda, Universitas Tokyo, dll), gedung pemerintah Tokyo, New National Stadium—gelanggang olahraga yang dibangun untuk Olimpiade 2020, dan banyak lagi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status