26 Desember 2015.
Himeko datang ke konbini dengan perasaan campur aduk, tetapi jika ditilik dengan pasti—ada sekelebat rasa malas yang menghantui. Namun mau bagaimana juga, gadis itu memang memiliki kewajiban untuk datang ke konbini. Mencari pundi-pundi kehidupannya dengan pasti.
Pagi itu, sejak dirinya masih di dalam kereta menuju Toshima, Himeko terlihat seperti gadis yang centil karena tak henti-hentinya menatap ke dalam ponsel pintarnya nan tengah terhubung dengan kamera. Lagaknya seakan-akan ingin berswafoto, tetapi sedari tadi pun sang gadis belum menekan tombol pengambil gambar bawaan ponsel pintarnya.
Tak lupa sesekali Himeko juga menurunkan lengan jaketnya agar benar menutupi keseluruhan lengannya, terutama lengan kiri.
"Selamat pagi. Seperti biasanya, kau menjadi yang paling pagi datang, Himeko."
Sesampainya di konbini yang masih belum terdapat pelanggan pada pagi itu, Himeko disambut oleh seorang pemuda yang rambutnya diwarnai merah marun. Di bawah matanya terdapat kantung mata lumayan menarik pandangan. Tampilannya juga lumayan agak urakan, walau wajahnya terkesan seperti anak-anak. Baby face.
Sasao-san. Salah satu rekan kerja konbininya yang lebih sering mendapat sif malam sampai pagi. Pemuda itu kini tengah memainkan gantungan yang berisi banyak kunci dengan agak asal.
Dan Sasaso yang tengah memainkan kunci-kunci itu, sedikit membuat Himeko agak tidak enak hati. Bukan karena gadis itu tidak suka melihat orang memainkan benda sepenting kunci dengan asal, tetapi menyadari bahwa pemuda itu kini hanya menjaga konbini sendirian. Seharusnya ada dua sampai tiga orang di sana. Menjaga konbini dari tengah malam sampai pagi ini.
"M-maaf, aku agak terlambat. Yang lainnya pasti sudah pulang terlebih dahulu, Sasao-san malah menungguku lebih lama lagi."
Pemuda itu tertawa kecil, menggelengkan kepalanya pelan. Sasao kemudian memberikan Himeko kunci-kunci yang tadi berada di tangannya. "Astaga, Himeko. Aku bahkan berkata kamu menjadi yang selalu pagi. Manajer-san saja belum datang, loh."
Himeko menerimanya dengan canggung, sebelum akhirnya berdeham untuk menjawab perkataan sang pemuda. "M-maksudku, hanya tinggal Sasao-san sendiri di sini. Berarti..."
Lagi-lagi Sasao tertawa. "Itu, Mariko dan Tadashi memang sengaja izin untuk pulang terlebih dahulu karena ada urusan. Kalau aku, pengangguran, makanya jika disuruh kerja sampai sif siang ini juga tidak apa-apa. Walaupun agak mengantuk sih, soalnya semalam ada beberapa pelanggan yang menghabiskan malamnya di sini juga."
Tak lama setelah Himeko mendapatkan kunci dan meminta izin untuk mengenakan celemek khas konbini, gadis itu mendengar bahwa Sasao sedang bercakap-cakap dengan seseorang di luar ruangan khusus milik karyawan. Himeko pada awalnya mengira bahwa itu ialah manajernya, seorang pria paruh baya yang biasanya datang mengecek konbini secara berkala. Namun manik sehitam arangnya terkejut ketika melihat sesosok pemuda berambut pirang terang sedang berbicang dengan Sasao di kasir.
Nakamura Naoto.
Ketika keduanya berkontak mata, pemuda itu malah tanpa dosa menyapa sang gadis.
"Pagi, Himeko."
Beruntung Shota belum datang, pun Natsu mengabari masih dalam bus. Namun, mungkin sebentar lagi keduanya akan tiba. Dan dengan seluruh hal yang dibeli Naoto—roti sobek berukuran lumayan besar, satu cup café au lait hasil mesin, juga fakta bahwa pemuda itu kini membawa tas. Himeko yakin Naoto pasti memiliki waktu yang cukup panjang di sini. Mungkin seperti kemarin.
"Oh, pacarnya Himeko," Sasao bergumam singkat, tetapi jelas didengar oleh keduanya. Himeko sendiri tidak mengerti mengapa dirinya merasakan pipinya memanas. "Semuanya jadi 350 Yen, Bro."
Bro? Himeko tahu Sasao memang pernah tergabung dalam sebuah band musik beraliran rock, sifatnya, dan rupanya juga jelas lebih santai daripada orang Jepang kebanyakan. Namun gadis itu tidak tahu bahwa Naoto malah tersenyum, menjawab "terima kasih, bro" sembari menaruh uang yang disebutkan pada baki di kasir. Alias, Naoto sama sekali tidak keberatan dipanggil seperti itu, dan keduanya berlagak bagai sudah mengenal lama.
Himeko benar-benar tidak mengerti. Gadis itu menghela napas, dan Himeko memilih untuk benar-benar memulai pekerjaannya.
Dan berusaha mengumpulkan jawaban jika Natsu dan Shota kembali mempertanyakan keberadaan pemuda itu. Natsu yang pasti bakal selalu menggodanya. Atau manajer konbini kecil ini yang Hineko rasa akan datang sebentar lagi, terkadang manajernya itu memang sering ingin tahu tentang hidup pegawainya untuk dijadikan bahan bercanda.
•••
Ketika jam makan siang, konbini lumayan ramai. Walaupun kini, sudah agak senggang. Pun Himeko harus bersyukur, Naoto pergi beberapa saat sebelum makan siang. Agak aneh memang, tetapi Himeko dipenuhi rasa lega—Natsu yang kini tengah mengepel lantai tak lagi menggodanya. Omong-omong, banyak pelanggan yang memesan paket bento, minta dihangatkan, dan Himeko jelas lumayan sibuk hari ini. Selain menghangatkan paket-paket bento, tak lupa sang gadis juga diminta untuk kembali menghangatkan onigiri, sandwich, dan pastri. Dan pula menggoreng beberapa gorengan khas konbini yang juga sama diminati sebagai pengganjal lapar.
Ketika gadis itu tengah menggoreng beberapa ayam, pintu konbini terbuka—Himeko dan Shota yang tengah mengajaga kasir bersiap akan mengucapkan selamat datang sebelum manik mereka menangkap siapa yang tiba.
Itu Tamiko.
Himeko mengernyitkan dahit, bukankah kawannya itu beruntung mendapat cuti hingga dua hari lagi? Mengapa kini Tamiko berada di sini, Tokyo—padahal rasanya baru kemarin gadis itu izin padanya untuk berlibur di prefektur paling Utara di Jepang, Hokkaido.
"Selamat datang," Namun karena Tamiko masuk dari pintu pelanggan, jelas Shota dan Himeko harus tetap menyambut sang gadis.
"Himeko-chan, kita perlu bicara."
Beruntung ayam yang tadi sedang digorengnya telah matang.
•
"Ada apa, Tamiko-chan? Bukankah seharusnya kamu dan Kei-kun masih berada di Hokkaido?"
Tamiko bahkan membawanya ke belakang konbini, hanya menjelaskan secara singkat pada manajer dan pegawai lainnya bahwa dia benar-benar perlu berbicara dengan Himeko karena ada masalah yang mendesak.
Di tengah siang yang kala itu tak terlu terik, di bagian belakang konbini yang terdapat tempat sampah besar dan pintu gudang—Tamako tiba-tiba saja menanyakan sesuatu.
"Himeko-chan, apa kemarin, Tou-sanmu itu pergi?"
Tanpa disadari oleh sang gadis Watanabe itu, alisnya terangkat karena refleks.
"Bukankah Chichi-ueku selalu pergi saat Natal? Seperti biasa ke Izakaya, bersama rekan kerjanya."
Himeko menjawab begitu, tetapi gadis itu tak dapat mengenyahkan perasaan takut yang tiba-tiba menggerogotinya.
Tamiko menggigit bibirnya, menggeleng. "T-tapi kali ini Tou-sannu bukan ke Izakaya bersama rekan kerjanya seperti biasa, Himeko-chan. Dia—"
"—ada apa?"
"Tou-sanmu terlibat perkelahian kemarin, dia menyerang salah satu pelanggan Izakaya yang mabuk. Kurasa, Tou-sanmu juga sama mabuknya. Mereka berdua ditangkap oleh polisi karena membuat keributan, tapi Tou-sanmu malah melarikan diri kemarin malam."
•••
Kyojima, 26 Desember 2015.
Himeko menelan ludahnya ketika Tamiko dan Kei—ketiganya bertemu tepat di depan kantor polisi wilayah Kyojima. Wajah Kei yang tampak kesal dan Tamiko nan jelas sangat khawatir sangat memukul batinnya dengan perasaan tidak enak.
Di perjalanan tadi, Tamiko berkata bahwa Kei lah yang membantu membebaskan pria paruh baya itu karena tak sengaja sebelum keduanya menuju Hokkaido.
Gadis Watanabe itu menunduk, ketika dibawa masuk ke dalam kantor polisi. Manik hitamnya menemukan ayahnya yang terlihat menyedihkan di sana. Terduduk dengan beberapa polisi yang mengelilinginya.
"Kami keluarga Tuan Watanabe," Kei membuka suara. Raut wajahnya jelas menahan kekesalan. Himeko tahu bagaimana ketidaksukaan pemuda itu pada ayahnya, sejak Kei resmi menjadi salah satu manusia penting yang hadir dalam hidupnya—bukan sekali dua kali pemuda itu menyuruh Himeko untuk melaporkan ayahnya sendiri ke polisi.
Ayahnya, pria itu menatapnya datar. Himeko sedikit meringis melihat memar di wajah ayahnya lebih-lebih jelas saat ini karena di tempat yang sangat terang, kemarin malam gadis itu masih tidak terlalu jeli untuk melihat dalam nuansa remang.
Mereka dibawa ke ruangan yang berbeda dari tempat ayah Himeko diinterogasi. Dan seorang polisi di seberang meja mereka ini menjelaskan secara singkat permasalahan ayahnya dan seorang pria yang kini masih ditahan pada salah satu kantor polisi wilayah Shibuya—dekat Izakaya nan ayahnya datangi menurut keterangan para penyidik. Menurut para polisi, ayahnya yang terlebih dahulu yang menyulut perkelahian—mengatai seorang pria yang tengah mabuk, dan kemudian pria itu membalas dengan pukulan. Namun, ayahnya pun tak mau kalah—akhirnya mereka berdua sama-sama memukul dan berbuat kekacauan di Izakaya.
Tentu, sebagai anak, Himeko memilih untuk damai. Ayahnya yang kini diintipnya tengah terduduk di ruang interogasi kondisinya benar-benar menyedihkan. Namun polisi yang menjelaskan tadi mengatakan bahwa pria nan memiliki masalah dengan ayahnya membawa pengacara dan didukung dengan fakta bahwa sang ayah yang memilih untuk kabur malam itu dari kantor polisi memberatkan ayah Himeko. Ayahnya pun hampir benar-benar menjadi buronan yang wajahnya akan tersebar ke masyarakat luas. Walaupun beruntung juga ketika pagi tadi sang ayah ternyata masih memiliki kesadaran diri untuk kembali ke kantor penegak hukum.
"Bagaimana ini, Kei-kun?" Suara panik Tamiko menyapa gendang telinga tiga manusia yang tengah berada di ruang tunggu kantor polisi. Gadis itu tampak sangat khawatir, dan Himeko sangat tersentuh akan kekhawatirannya.
Akan tetapi, daripada panik ataupun khawatir—Kei, pemuda itu malah terlihat santai. Pun Kei juga malah tersenyum. Pemuda itu kemudian menatap Himeko dengan senyumnya yang sumringah. "Bukankah ini kesempatan bagus? Kenapa wajah kalian panik dan khawatir begitu. Lagi pula, salah pria tua itu dahulu 'kan? Siapa suruh sudah bau tanah mencari gara-gara."
Himeko menunduk, tahu dengan jelas apa yang Kei inginkan saat ini.
Ayahnya benar-benar masuk penjara.
Namun, Himeko pun tak mengerti—sama sekali tidak mengerti. Mengapa dirinya masih memiliki hati untuk ayahnya itu? Padahal sakit yang didapatnya oleh sang ayah di punggung masih terasa, pun luka yang makin bertambah di pergelangan tangan. Sedari tadi gadis itu memikirkan hal ini dan tidak menemukan jawaban yang pasti.
"T-tapi—" Gadis Watanabe itu juga tidak mengerti mengapa bibirnya bisa melancarkan sanggahan atas kalimat yang keluar dari bibir Kei. "—b-beliau tetap Chichi-ueku, K-Kei-kun." Dengan bergetar Himeko mengangkat kepalanya, menemukan bahwa sang pemuda yang sudah ia anggap bagai saudara sendiri itu menatapnya tak percaya.
"Pakai otak cerdasmu itu, Himeko. Ayahmu jelas salah, pada pria itu, bahkan keluarganya sendiri. Ayahmu selama ini memukulimu dan Hanami, membuatmu stres—itu jelas namanya kekerasan pada rumah tangga. Pria tua itu memang pantas di penjara!"
"C-Chichi-ue memang salah pada keluarganya, tapi—"
"—jangan tambah ketololanmu, Himeko. Dirimu yang menyakiti diri sendiri sudah menjadi sebuah ketololan terbesar di hidupku."
Ketika Kei mengatakan hal itu, Himeko membeku. Biasanya pemuda yang kini berada di dekatnya ini terus menyemangati Himeko dengan segala kalimat positif untuk mengatasi masalah emosinya selama ini; merayunya ke psikolog maupun psikiater; dan apa pun kalimat yang kiranya bermakna baik.
Tolol.
Himeko menatap Kei yang kini terlihat sadar akan sesuatu.
Gadis Watanabe itu terdiam, tangannya meremas bagian bawah jaketnya dengan makin kuat.
Himeko jelas tahu jika dirinya benar tolol, hanya saja ketika kalimat itu keluar dari bibir seseorang yang selalu menyemangati dan salah satu alasan Himeko masih memiliki nyawa untuk saat ini—sahabatnya sendiri—rasanya sangat menyakitkan.
Selain kesakitan itu, sang gadis juga dihantui rasa bersalah yang amat sangat—lagi.
Kata-kata kekesalan Kei itu, membuatnya berpikir, apa Himeno telah menjadi beban pemuda bermarga Nakano itu selama ini?
"Kei-kun!" Suara manis Tamiko yang kini terdengar keras dan diliputi emosi menyentaknya untuk kembali ke dunia nyata. Di ruang tunggu kantor polisi wilayah Kyojima yang kini sepi, hanya mereka bertiga.
Dan Himeko yang merasa dunianya makin runtuh.
.
.
.
BERSAMBUNG