Jonathan menghapus pesan tersebut kemudian menyimpan ponselnya dengan kasar ke atas meja.
“Kenapa, Jo?” tanya Laura kemudian.
Jonathan menatap Laura dengan tatapan sayunya. “Aku bingung, Laura. Harus dimulai dari mana. Sementara aku tidak merasa kalau aku sudah menghancurkan Kiara.”
Laura mengerutkan keningnya. “Tidur, dengan dia? Kamu ... udah tidur dengan dia?”
Jonathan menggelengkan kepalanya. “Nggak, Laura. Kalau iya, aku udah jujur sama kamu.”
“Terus ... kalau nggak merasa, kenapa harus takut? Aku nggak bakalan percaya juga, kalau emang nggak ada bukti. Kalaupun iya, bodo amat. Itu masa lalu kamu. Yang penting jangan diulangi lagi.”
Jonathan menelan saliva dengan pelan. “Laura. Aku mohon sama kamu, beleive me. Jangan terkecoh oleh jebakan yang dilakukan Kiara.”
“Kiara itu jahat. Dia pasti akan melakukan apa saja untuk mendapatkan apa yang dia mau. Dan d
Jonathan menggelengkan kepalanya dengan pelan. “Aku nggak pernah merasa sudah tidur dengan Kiara, Pa. Kalaupun iya, aku pasti mengakuinya.”“Laah! Kenapa Kiara bilang begitu?”“Karena ada buktinya, Papa. Ada fotonya,” jelas Laura kemudian.“Aahh! Foto. Kalau hanya foto sih, gampang. Udah jaman modern sekarang tuh, Laura. Tinggal edit-edit tipis, jadi deh. Jangan percaya kalau hanya foto. Video aja bisa dimanipulasi.”Laura lantas terdiam mendengar ucapan papanya itu. Hanya melirik Jonathan yang tengah menatapnya dengan tatapan yang cukup dalam.“Sudahlah. Jangan terkecoh dengan hal begituan. Jangan bikin Papa pusing. Masalah kakak kamu aja udah bikin Papa stress. Ini, malah mau bikin masalah baru lagi.” Jason menghela napas kasar. “Laura?” panggilnya kemudian.“Heung?” ucapnya pelan.“Pulang. Kelonan sono. Yakin deh, semuanya akan hilang dalam se
Jonathan menasihati sang istri dengan berucap lembut agar Laura paham dengan apa yang dia ucapkan kepada perempuan itu.“Iya, Jonathan. Sorry, masih jadi anak mami yang apa-apa langsung ke orang tua. Harusnya nggak boleh gitu, tapi sering aku ulangi lagi dan lagi.” Luara berucap dengan pelan.Jonathan kemudian mengusapi pucuk kepala perempuan itu lalu mengulas senyumnya. “No problem. Yang penting jangan diulangi. Kalau diulangi lagi pun, stok sabar aku masih berlimpah. Nggak apa-apa diulangi pun. Karena kamu orangnya pelupa.”Laura kembali mengerucutkan bibirnya mendengar ucapan suaminya itu. “Dasar!”Jonathan lantas terkekeh mendengar ucapan sang istri. “Aku tetap sayang sama kamu, walau kamu manja dan pelupa.”“Yaa harus! Nggak boleh nggak!”Jonathan kembali terkekeh. “Iya, Sayang.” Jonathan kemudian memarkirkan mobilnya dengan sempurna di bagasi rumahnya. Mereka sudah
Laura menatap Jonathan dengan lekat. “Jangan jadi CEO gila ya, Jo. Jangan bermain dengan sekretaris yang bakal godain kamu. Kamu tahu nggak, Mommy sama Papa selingkuh karena berawal dari godaan maha dahsyat Mommy. Sampai tidur bareng dan berakhir pada hubungan gelap.”Jonathan mengecup kening perempuan itu dengan lembut. “Don’t worry. Papa mencintai Mommy karena dia tidak mencintai istrinya terdahulu. Dan juga baru menemukan arti bahagia bersama pasangan itu hanya dengan Mommy. Dengan yang dulu, tidak ada. Berbeda dengan aku. Aku mencintai kamu, bahagia sama kamu. Mana mungkin aku tergoda oleh sekretaris yang berusaha menggodaku.”Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi.Rupanya, pergulatan di malam kemarin membuat keduanya lelah hingga lupa bangun tidur. Masih terlelap dalam tidurnya dengan tangan saling melingkar pada tubuh polos yang hanya ditutupi oleh selimut saja.Namun, terik matahari rupanya mengganggu mata yang masih i
Jonathan menepuk jidatnya kemudian memarkirkan mobilnya di parkiran kampus. Setelahnya menatap Laura dengan sangat lekat. "Sayang, bisa logis sedikit? Kamu baca cerita dari mana, diperkosa jin segala. Kamu benar-benar manusia paling absurd yang aku kenal, Laura. Nggak ada, Sayang. Nggak ada yang namanya diperkosa jin. Kalaupun ada, seperti apa, bentuk bayinya?""Yaa kayak jin," jawab Laura dengan polosnya.Jonathan menghela napas kasar kemudian geleng-geleng kepala. Ia pun keluar dari mobilnya, diikuti oleh Laura."Jo. Nggak ada ya, hamil anak jin?" tanya Laura lagi."Astaga, Sayang. Nggak ada, ya Tuhan. Istriku kenapa ini?" Jonathan kembali menepuk jidatnya."Yaa habisnya Kiara aneh. Hamil sama kamu, tapi kamu nggak merasa hamilin dia. Kan, bikin bingung." Laura menggaruk rambutnya."Jangan bingung, yaa. Lupakan saja. Yang jelas, itu bukan anak aku." Jonathan menerbitkan senyumnya kemudian memberikan undangan yang akan disebar oleh Laura ke
Laura menjadi lemas seketika mengingat kehamilan Kiara. Orang tua Jonathan yang amat sangat menunggu kehadiran bayi mungil di tengah keluarganya itu membuat Laura khawatir sendiri. Mengingat Tiara sangat menginginkan cucu, membuatnya berpikir tak karuan.‘Kalau nanti Kiara kasih tau orang tua Jonathan, dia lagi hamil anaknya Jonathan. Terus, gue jadi apa? Diceraikan? Terus, Jonathan nikah sama Kiara?’Laura banyak melamun sampai tak sadar bila Jonathan sudah ada di depannya.“Kenapa dia?” tanya Jonathan kepada Virza.Pria itu mengendikan bahunya. “Nggak tahu. Tiba-tiba melamun. Mungkin bete, nunggu Pak Jonathan nggak datang-datang. Ya sudah kalau gitu, aku balik duluan.”Jonathan menganggukkan kepalanya. “Thanks, udah nemenin Laura,” ucapnya kemudian mengulas senyum.Virza mengangguk seraya membalas senyum itu. Lalu melajukan motornya, pergi dari sana karena Jonathan sudah tiba.“L
Jonathan menyunggingkan senyumnya. Ia kemudian menatap sang istri dengan tatapan yang begitu manis dan lembut. “Kita punya banyak aktivitas yang bisa kita lakukan, Laura. Selain memikirkan Kiara yang terus menerus ganggu rumah tangga kita.” Laura mengendikan bahunya. “Aku belum bisa kasih kamu anak. Khawatir nggak bisa juga.” Jonathan lantas memegang kedua lengan istrinya itu. “Aku tidak pernah mempermasalahkan itu, Laura. Usia pernikahan kita baru mau menginjak satu bulan. Tidak perlu buru-buru apalagi pesimis. Mami pasti mengerti, Laura.” “Bener sih.” Laura menghela napasnya dengan pelan. “Aku lagi pengen jus alpukat. Tiba-tiba perutku lapar lagi. Cacingnya udah tumbuh kayaknya.” Jonathan terkekeh dengan pelan. “Mau aku buatkan sekarang juga?” Laura menggelengkan kepalaya. “Aku aja yang buat. Tiap hari perasaan kamu terus yang siapin apa pun buat aku. Sekali-kali, aku lah yang siapkan kebutuhanku sendiri.” Jonathan mengerutkan keningnya. Terdengar aneh, kala mendengar Laura y
Perempuan itu menerbitkan senyum sembari mengangguk kecil. “Sure!” ucapnya kemudian meraup bibir lelaki itu lagi, mengambil alih dalam permainan di malam itu dan ingin melupakan pelik yang selalu terngiang dalam pikirannya. Deru napas saling berhasutan tatkala melepaskan tautan yang mereka lakukan sedari tadi. Mata itu saling menatap, kemudian memberikan senyum manis. Keduanya kini sudah tak berpakaian alias polos. Hanya kulit putih dengan lampu temaram menyinari kedua insan yang tengah dimabuk cinta. Gerayang nafsu sudah hadir di antara kedua pasangan bahagia itu. Permainan semakin panas dengan gerakan tangan Jonathan bermain riang, yang semakin memburu di bawah sana. Sementara mulut itu sibuk menyesap pucuk merah muda, gumpalan kenyal yang semakin membesar ia rasakan. Sementara tangan Laura tengah meremas rambut lelaki itu sembari mulutnya bersuara, desahan dan erangan terus keluar di sana. “Jo! Oh my God!” pekik Laura dengan dada membusung. Lelaki itu lantas tersenyum menyerin
"Diih! Amit-amit deh. Mana boleh begitu. Anak gue yaa mirip gue sama bapaknya, lah!" sengalnya tak terima dengan ucapan sahabatnya itu. Misya menghela napasnya lagi. "Gue hanya kasih masukan aja, biar elo nggak nyesel di kemudian hari. Udah hamil belum, sih? Udah mau tiga minggu kan, usia pernikahan elo? Tiap hari kan, bikinnya? Keliatan dari muka elo. Pucet mulu tiap hari. Sangar ya, kalau di kamar?" Laura menganggukkan kepalanya. "Gitu deh. Gagah banget. Makanya gue nggak bisa lupa apalagi relain Jonathan buat Kiara. Big no! Bukan hanya itu aja. Tapi, karena kasih sayangnya tulus banget buat gue, Sya." Misya tertawa mendengar ucapan sahabatnya itu. "Senjata makan tuan, lo. Dulu bilangnya, kagak bakalan mau, gue cinta sama dosen killer setan kutub Utara itu. Laah sekarang ... ada mantan pacarnya minta tanggung jawab, gak dibolehin." Misya geleng-geleng kepala seraya menyeruput teh melati miliknya. Laura mengerucutkan bibirnya. "Karena gue nggak tahu kalau ternyata Jonathan udah c
“Heuh? Hukum mati?” Gerald tampak terkejut mendengar vonis untuk Frans.Jason menganggukkan kepalanya. “Ya. Bukan karena kasus penembakan yang dia lakukan pada kamu, melainkan karena polisi berhasil menemukan markas Frans. Gudang tempat menyembunyikan narkoba dan senjata illegal.”“Aaahh ….” Gerald manggut-manggut dengan pelan. “Jadi, hukumannya adalah hukum mati? Divonis mati?” tanya Gerald sekali lagi.Jason menganggukkan kepalanya. “Ya. Hukuman mati. Akan dieksekusi satu bulan lagi. Hanya membutuhkan satu kali sidang dan … dibawa ke tempat eksekusi.” Jason kembali menjelaskan kepada Gerald.Sementara Gerald tersenyum menyeringai sembari melirik Sandra yang masih duduk di sampingnya. “Baguslah. Aku lega, mendengarnya.” Gerald kemudian mengulas senyumnya kepada Jason.Jason menepuk-nepuk bahu Gerald dengan pelan. “Cepat sembuh, Gerald. Selesaikan kuliah kamu, lulus dengan predikat baik dan … menikahlah.” Jason menerbitkan senyum tulus kepada sang anak.Gerald menganggukkan kepalanya.
“Bagaimana kondisi anak saya, Dok?” tanya Jason dengan suara paniknya.Gerald langsung dibawa ke rumah sakit dan langsung dibawa ke ruang operasi untuk mengambil peluru yang menancap di tubuh lelaki itu. Kurang dari dua jam lamanya operasi itu akhirnya selesai dilakukan.“Operasinya berjalan dengan lancar. Beruntung, peluru itu hanya menancap di bagian tulang belakang. Peluru itu sudah berhasil diambil dan kondisinya saat ini masih kritis. Kami akan membawanya lima menit lagi ke ruang intensif untuk melakukan perawatan selanjutnya sampai kondisinya kembali normal,” tutur Dokter Azmi—penanggung jawab kala operasi pengambilan peluru di tubuh Gerald.Sandra menghela napas lega setelah mendengar kabar dari Dokter Azmi bila Gerald selamat dari tembakan itu. Ia mengalami sedikit trauma bila seseorang terluka oleh luka tembak. Sebab Gery meninggal oleh peluru yang menancap di jantungnya. Sehingga membuat Gery tidak bisa diselamatkan.Kayla datang dengan wajah paniknya. “Sayang. Kamu baik-bai
Waktu sudah menunjuk angka sembilan pagi. Hari ini adalah hari Minggu. Gerald dan Sandra pergi ke mall untuk belanja keperluan bayi yang sama sekali belum mereka beli.“Karena bayinya laki-laki, lebih baik kita beli warna yang lebih ke warnah laki-laki. Seperti warna biru, putih atau abu-abu. Yang cerah-cerah. Oke?” Sandra memberi saran kepada Gerald.Pria itu memberikan jempolnya kepada Sandra. “Oke, Sandra. Terserah kamu saja, yang penting semua keperluan untuk bayi kita sudah terpenuhi.”Sandra kemudian menerbitkan senyumnya. “Kita beli baju dulu kalau begitu. Baju, celana, handuk, selimut dan topi. Kaus kaki juga.”Gerald menggenggam tangan Sandra dan membawanya masuk ke dalam toko perlengkapan serba ada. Lengkap, berbagai macam keperluan bayi ada di sana.“Yang ini bagus, nggak?” Sandra menunjuk pakaian bayi kepada Gerald.“Bagus. Ambil aja yang menurut kamu cocok, Sayang. Jangan tanya aku. Aku mah terserah kamu aja. Kalau kata kamu bagus, berarti bagus juga menurut aku.”Sandra
“Bentar ... mau mandi dulu!” teriak Gerald menjawab panggilan dari mamanya itu.Sandra lantas memukul lengan lelaki itu. “Ishh! Gerald. Gak usah teriak juga.”Gerald terkekeh pelan. “Aku mau mandi dulu. Mau mandi lagi nggak?”Sandra menggeleng. “Mau cebok aja. Mandi mah besok pagi lagi aja.”“Ya sudah. Aku mandi dulu.”Sandra mengangguk. Ia kemudian beranjak dari tempat tidurnya dan masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan area sensitifnya terlebih dahulu.Sepuluh menit kemudian Sandra keluar dari kamarnya dan menghampiri Kayla dan juga Jason serta Laura yang sudah menunggu mereka tiba di sana untuk makan malam bersama.“Gerald sudah dipanggil?” tanya Jason kepada Kayla.“Sudah. Tadi katanya mau mandi dulu,” ucapnya menjawab pertanyaan sang suami.Jason mengerutkan keningnya. “Kok, aku nggak lihat kamu naik tangga?”Kayla mengendikan bahunya. “Mungkin kamu lagi sibuk dengan rainbow cake buatan Sandra. Makanya nggak lihat aku ke atas.”Jason manggut-manggut dengan pelan. Ia kemudi
Waktu sudah menunjuk angka lima sore.Dering ponsel Sandra berbunyi, panggilan dari Gerald. Ia kemudian segera menerima panggilan tersebut.“Halo, Gerald?” tanyanya kemudian.“Sandra. Hari ini mungkin aku pulang jam tujuh malam. Banyak tugas yang harus aku kerjakan soalnya. Mengejar ketertinggalan tiga bulan nggak masuk.”“Oh iya, Gerald. Nanti aku simpan kuenya di kulkas saja kalau begitu. Kalau lapar, tinggal ambil saja di sana, yaa.”“Iya, Sayang. Ya sudah kalau begitu aku lanjut nugas lagi.” Gerald menutup panggilan tersebut setelah memberi tahu bila dirinya akan pulang malam. Khawatir Sandra cemas lantaran tidak ada pulang di jam yang biasanya dia pulang.Sandra kemudian keluar dari kamarnya setelah membersihkan diri. Menghampiri Kayla yang sedang menggendong Felisha.“Mamanya ke mana, Mom?” tanya Sandra kepada Kayla.“Lagi mandi dulu katanya. Biar pulang nggak perlu mandi lagi.”Sandra manggut-manggut. “Gerald tadi telepon, katanya dia akan pulang di jam tujuh. Ada banyak tugas
Satu minggu sebelum tragedi ....Gery menemui Jason di gedung International Global.“Ada yang ingin saya sampaikan pada Anda.” Gery berucap dengan tegas dan datar.“Apa itu?” tanyanya ingin tahu. “Silakan duduk.” Jason mempersilakan Gery duduk di sofa yang tak jauh dari kursi kebanggaannya.Gery menghela napasnya dengan panjang. “Anda masih belum ingin menyetujui hubungan Sandra dan Gerald? Saya sudah ikhlas mereka bersama, Pak Jason. Kalau masalahnya ada pada saya ....” Gery memberikan dokumen surat permohonan cerai kepada Jason.“Saya sudah menandatangani surat cerai ini dan dua minggu lagi sidang dimulai. Semoga hakim menyetujui permohonan ini dan Sandra akan saya minta mengenakan pakaian longgar agar tidak kelihatan kalau dia sedang hamil. Tolong, Pak Jason. Saya hanya bisa berharap banyak pada Gerald.“Dia pasti bisa menjaga Sandra dari Frans. Saya tidak ingin Sandra jadi budak Frans. Anda pasti tahu bagaimana kejamnya dia kepada perempuan. Bukan karena cinta, tapi obsesi. Saya,
“Morning!” Gerald menyapa anggota keluarganya yang tengah duduk menunggunya keluar untuk sarapan sama-sama.Kayla menelengkan kepalanya kemudian menatap Gerald dengan lekat. “Kok, keluarnya dari kamar atas? Jam berapa pindahnya?”“Mom!” Gerald menatap datar mamanya itu.Kayla lantas menerbitkan cengiran kepada anaknya itu. “Yuk, aah sarapan. Laura harus berangkat ke sekolah, Gerald ke kampus, Daddy ke kantor dan Nicko ke kantor juga.”“Para ladies mau ngapain?” tanya Gerald kemudian.“Mommy sama Sandra mau santai leha-leha di rumah lah. Main sama si bayi mungil Felisha.” Kayla menerbitkan senyumnya.Gerald menghela napasnya dengan pelan. “Yang penting kalian bahagia.”“Selalu itu yang kamu ucapkan pada kami. Memangnya kamu sendiri tidak bahagia?” tanya Kayla kemudian.“Tentu saja bahagia. Kenapa tanya seperti itu?”Kayla mengendikan bahunya. “Hanya tanya.”Gerald manggut-manggut. Tak lama setelahnya, dering ponsel Jason berbunyi. Gerald menoleh kepada papanya yang tengah mengerutkan k
Makan malam untuk pertama kalinya bersama keluarga Gerald di rumah milik orang tua lelaki itu tentunya. Membuat Sandra bahagia luar biasa karena merasa sudah menjadi bagian dari keluarga tersebut.Ada Kinara dan Nicko juga di sana membuat suasana di sana semakin ramai karena adanya mereka. Usia Felisha kini sudah menginjak satu bulan dua minggu, semakin sehat dan berisi setelah dirawat dengan baik oleh Kayla yang memang sudah ahlinya merawat anak-anak.“Seru banget, makan malam di malam ini. Terasa lengkap setelah adanya Kak Gerald dan Kak Sandra di sini,” ucap Kinara kemudian menerbitkan senyumnya.Kayla menganggukkan kepalanya sembari mengulas senyumnya. “Sama. Mommy juga merasakan hal yang sama, Sayang. Akhirnya, yaa. Kita bisa berkumpul lagi dan tambah dua personel. Sebentar lagi ada kandidat baru lagi. Calon cucu Mommy. Tiga bulan lagi akan lahir.” Kayla menerbitkan senyumnya kepada Sandra.Perempuan itu lantas membalas senyum Kayla. “Terima kasih, sudah menyambutku dengan baik.
Sandra gelagapan kemudian menelan salivanya dengan pelan. “He—heeuuh? Mak—maksudnya, Pak Jason?” Jason memutar bola matanya dengan pelan. “Jangan panggil saya dengan itu. Panggil saja Papa apa susahnya? Kayak nggak pernah pu—“ Jason mengatup bibirnya menahan ucapannya yang sudah pasti akan membuat Sandra terluka bila lolos keluar dari bibirnya. “Kayak apa, Pa?” tanya Gerald dengan suara datarnya. Jason menggeleng pelan. “Tidak ada. Papa sudah tahu dan lupa, kalau Sandra memang sudah tidak punya orang tua sejak lama,” ucapnya pelan sembari melirik Sandra yang tengah tersenyum tipis. “Dia tidak seberuntung Papa.” “Kan, sudah Papa katakan tadi. Tidak perlu diperbesar. Kamu sudah dewasa, seharusnya paham dengan ucapan Papa.” Gerald mengendikan bahunya. “Papa juga harus jaga lisannya. Jangan sampai keceplosan lagi.” Jason menganggukkan kepalanya dengan pelan kemudian mengusapi lengan anaknya itu. “Cepat sembuh, Nak. Jangan lama-lama di sini. Mentang-mentang nggak perlu bayar!” Geral